Anda di halaman 1dari 6

1.

Tahapan keberhasilan akademik


A. Atmosfer akademik
Atmosfer akademik merupakan gaya belajar dan mengajar yang dilakukan oleh civitas
akademik dalam membangun suasana yang menunjang tumbuh dan berkembangnya sikap,
kegiatan, dan interaksi akademik. Kualitas dari atmosfer akademik di universitas tidak hanya
secara langsung berkaitan dengan tingkat pendidikan suatu sekolah namun juga kualitas
luaran dari seseorang terhadap masyarakat. Bagi pelajar, atmosfer akademik yang baik
merupakan jaminan penting yang dapat mendorong pelajar untuk membuat progres. Bagi
sekolah, atmosfer akademik merupakan fondasi sebuah sekolah.
Saat ini, banyak universitas memiliki permasalahan dalam membangun atmosfer
akademik. Mahasiswa yang sering terlambat dan ketidakhadiran dalam mengikuti kelas
sangat umum terjadi. Budaya menyontek pada proses ujian dan plagiarisme yang dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tipe antara lain menyalin tugas, menyalin laporan praktikum,
bahkan menyalin tugas akhir. Pada universitas,dunia virtual sangat mempengaruhi atmosfer
akademik. Internet memperkaya informasi mahasiswa, meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan untuk berkreasi namun pengaruh negatif dari dunia virtual seperti kecanduan
terhadap permainan online meningkatkan kesulitan konstruksi atmosfer akademik.
Bagaimana mengkonstruksi atmosfer akademik?
Kelas adalah unit dasar dan landasan dalam membentuk atmosfer akademik. Pertama
terletak pada pengajar yang menjadi model dalam konstruksi akademik atmosfer. Kedua
adalah berusaha untuk menerapkan prinsip self-education, self-management, self-service
yang akan menjadikan pelajar menjadi ahli dalam menghadirkan atmosfer akademik. Ketiga
adalah membangun dan meningkatkan aturan dan regulasi manajemen kelas dan
menggunakannya untuk melindungi konstruksi akademik atmosfer. Keempat, sebagai
pengajar haruslah secara aktif mendukung siswa untuk melakukan berbagai aktivitas yang
meningkatkan pengetahuan seperti seminar, lokakarya, dan aktivitas akademik lainnya.
Selain keempat aspek diatas, pemenuhan sarana dan prasarana dalam kampus atau
sekolah juga mempengaruhi kosntruksi atmosfer akademik. Prasarana berupa bangunan fisik
yang memadai dan sarana berupa sistem, kurikulum, organisasi, kepustakaan, alat bantu ajar,
laboratorium dan tenaga pendidikan dan dosen yang memadai dan ahli di bidangnya.

B. Tradisi Akademik
Tahapan keberhasilan akademik yang kedua adalah tradisi akademik. Apabila atmosfer
akademik dapat dibentuk dari sebuah lembaga pendidikan lebih khususnya universitas, maka
kegiatan akademik akan menjadi sebuah kebiasaan di kalangan akademisi. Tradisi akademik
berkembang dari kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus sehingga membentuk tradisi
bagi masyarakat kampus. Tradisi akademik akan melahirkan norma-norma akademik yang
merupakan hasil dari proses belajar dan latihan yang biasanya dimiliki oleh akademisi selama
proses pendidikan. Beberapa universitas memiliki tradisi akademik yang berbeda-beda, akan
tetapi terdapat tradisi akademik yang secara umum dimiliki oleh universitas atau sekolah
antara lain penyelenggaraan seminar atau temu ilmiah pada saat dies natalis universitas
maupun fakultas, penyelenggaraan kegiatan pekan olahraga dan seni mahasiswa, pidato guru
besar yang diharapkan dapat memberikan masukan akademik sesuai bidang keilmuannya,
bahkan tradisi plonco pada mahasiswa baru. Sebuah universitas yang telah memiliki atmosfer
akademik yang baik dan telah menerapkan tradisi-tradisi akademik yang baik dapat
memberikan orientasi kepada mahasiswa baru dengan ketentuan dan regulasi yang baik pula.
Hal ini akan menjadi tradisi akademik yang baik karena melalui tahap ini, mahasiswa yang
akan menempuh pendidikan tinggi telah diperkenalkan pada lingkungan dan sistem
pendidikan kampus. Namun seringkali tradisi akademik seperti ini tidak berlangsung dengan
baik dan aktivitas plonco menjadi bagian yang buruk bahkan seringkali beberapa fakultas
tidak menginjinkan dilakukannya aktivitas tersebut karena dinilai membuka ruang bagi tindak
kekerasan antar mahasiswa.
C. Budaya Akademik
Budaya akademik merupakan suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan
penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban
masyarakat (civilized society) dan bangsa secara keseluruhan. Indikator kualitas perguuran
tinggi sekarang akan ditentukan oleh kualitas civitas akademika dalam mengembangkan dan
membangun budaya akademik ini. Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal.
Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik.
Membangun budaya akademik di perguruan tinggi merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di
kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.
Pemilikan budaya akademik seharusnya menjadi idola semua akademisi perguruan
tinggi, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah

dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi
mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.
Bagi dosen, untuk mencapai derajat akademik guru besar, ia harus membudayakan dirinya
untuk melakukan tindakan akademik pendukung tercapainya derajat guru besar itu. Ia harus
melakukan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik,
dengan terus memburu referensi mutakhir. Ia harus melakukan penelitian untuk mendukung
karya ilmiah, menulis di jurnal-jurnal ilmiah, mengikuti seminar dalam berbagai tingkat dan
forum, dan lain-lain. Ia juga harus melakukan pengabdian pada masyarakat untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesejahteraan masyarakat. Bagi mahasiswa,
faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik itu ialah terprogramnya kegiatan
belajar, diskusi substansial akademik, dan sebagainya. Dengan melakukan aktivitas seperti itu
diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara bertahap
dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses
pendidikan di perguruan tinggi.
Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang
akademisi akan memperoleh nilai-nilai normatif akademik. Boleh jadi ia mampu
berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut di depan forum namun tanpa
proses belajar dan latihan norma-norma itu tidak pernah terwujud dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan pelanggaran
dalam wilayah tertentu, baik disadari maupun tidak disadari.
Budaya akademik perguruan tinggi yang paling mendasar adalah budaya keberaksaraan
(literacy).

Masyarakat

Barat

sejak

abad

ke-16

sudah

membudayakan

budaya

keberaksaraan ini. Akibatnya, kebudayaan dan peradaban mereka maju pesat dalam hal
penguasaan ipteks. Satu hal yang menonjol dalam masyarakat Barat adalah sikap
individualisasi. Masyarakat terpecah-pecah dalam sejumlah individu, yang sedikit sekali
menunjukkan
Sehingga,

koherensi,

kebersamaan,

terjadi gejala-gejala alienasi,

dan

solidaritas,

apalagi

kegotongroyongan.

kehilangan solidaritas, dan

kebersamaan.

Dampaknya cukup besar pada aspek ekonomi, sosial, dan budaya, yang pada gilirannaya
hubungan resiprokal sebagai aspek dan gejolak itu mudah ditentukan. Namun demikian,
budaya keberaksaraan merupakan faktor yang sangat esensial dalam seluruh proses
individualisasi ini. Individualisasi dalam masyarakat kita termasuk PT masih mengalami
stagnasi. Kemampuan untuk melahirkan pemikiran yang berbeda seringkali mendapat
ganjalan dan keterasingan, bahkan dikucilkan. Saat ini disinyalir budaya keseragaman di
perguruan tinggi masih subur. Hal ini tentu berpengaruh pada pola pikir dan perilaku setiap

individu. Jika mahasiswa mempunyai daya pikir yang berbeda dengan dosennya, ia
mendapatkan perlakuan yang kurang baik. Ada kemungkinan, kebebasan dan budaya
akademik potensial ini dicampuri oleh negara (kekuasaan), perusahaan, swasta, dan lembagalembaga lain serta individu tertentu yang berkepentingan.
2. Kriteria yang harus dimiliki oleh sebuah riset agar dikatakan bermutu atau
berkualitas.
Kualitas penelitian paling sering mengacu pada proses ilmiah yang meliputi semua
aspek desain penelitian; khususya berkaitan dengan penilaian mengenai kesesuaian antara
metode dan pertanyaan, pemilihan subjek, pengukura hasil, dan perlindungan terhadap bias
sistematik, bias nonsistematik, dan kesalahan inferensial. The National Research Council
(2002) dan yang lainnya (Gersten et al., 2000; Greenhalgh, 1997; Ragin et al., 2003) telah
menggambarkan standar yang membentuk pemahaman ilmiah dan yang sering digunakan
untuk membingkai wacana pada kualitas penelitian. Sering disebutkan standar untuk menilai
kualitas penelitian adalah sebagai berikut:
1. Memiliki permasalahan yang penting dan signifikan sehingga dapat diselidiki secara
empiris dan yang berkontribusi untuk pengetahuan dasar
2. Memilik permasalahan yang berkaitan dengan teori yang relevan
3. Memberikan informasi yang diperlukan untuk mereproduksi atau mereplikasi penelitian
4. Memastikan desain penelitian, metode, dan prosedur yang cukup transparan dan
menjamin pendekatan yang independen, seimbang, dan objektif untuk penelitian
5. Memberikan penjelasan yang cukup dari sampel, intervensi, dan setiap kelompok
perbandingan
6. Menggunakan konseptualisasi dan pengukuran variabel yang benar dan reliabel
7. Mengevaluasi penjelasan alternatif untuk setiap temuan
8. Menilai kemungkinan dampak dari bias sistematik
9. Menyerahkan penelitian untuk proses peer-review
10. Mematuhi standar kualitas pelaporan (misalnya, jelas, meyakinkan dan lengkap)
Sementara tidak ada konsensus pada set tertentu atau algoritma standar yang akan
memastikan kualitas penelitian, studi penelitian lebih selaras dengan atau menanggapi
prinsip-prinsip ini (Feuer & Towne, 2002; Shavelson & Towne, 2002).
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa sementara standar seperti peer review dan
pelaporan yang terstandarisasi merupakan benchmark yag penting, penelitian tidak harus
dinilai sendiri oleh apakah diterbitkan atau tidak diterbitkan di jurnal terkemuka (Boaz &
Ashby, 2003). Selain item yang tercantum, strategi penilaian kualitas lain yang sering
disebutkan adalah analisis bibliometrik, yang mengutip penelitian oleh penulis lain. Analisis
bibliometrik yang didasarkan pada gagasan bahwa pekerjaan seorang peneliti memiliki nilai

ketika dinilai oleh rekan-rekan dan memiliki manfaat yang cukup untuk pengakuan dalam
teks baru atau artikel. Sementara publikasi jurnal dan analisis bibliometrik menyediakan data
kuantitatif, hal tersebut adalah asumsi yang salah bahwa semua "penelitian" yang diterbitkan
dalam jurnal atau dikutip oleh orang lain adalah akurat, handal, valid, bebas dari bias,
nonfraudulent, atau memiliki kualitas yang cukup (Boaz & Ashby 2003).
Menurut Research Quality Framework (RQF) yang merupakan bagian dari program
Backing Australias Ability yaitu sebuah inisiatif dari pemerintah Australia untuk
memformulasikan kerangka kerja terbaik dengan tujuan untuk mengetahui kualitas penelitian
dan mengetahui manfaat/dampak yang ditimbulkan dari suatu penelitian. Menurut RQF, yang
termasuk kualitas penelitian adalah manfaat intrinsik dan dampaknya secara keilmuan, ini
adalah upaya pengenalan dari orisinalitas suatu penelitian oleh penilai dan dampaknya bagi
pengembangan disiplin ilmu yang sama atau yang berkaitan. Akhirnya, sebuah penelitian
dikatakan berkualitas jika memiliki karakter seperti berikut:
1. Penelitian yang terkemuka di dunia dalam bidangnya atau dapat menciptakan kontribusi
yang sama-sama luar biasanya dalam suatu daerah tertentu
2. Penelitian yang memenuhi standar dunia dan unggul di bidangnya atau dapat
menciptakan kontribusi yang luar biasa pada suatu daerah tertentu
3. Penelitian yang dikenal secara internasional sebagai penelitian yang luar biasa dari segi
originalitas, siginifikansi dan kecermatan tapi yang tetap unggul dan melebihi standar
tertinggi
4. Penelitian yang diakui sebagai penelitian yang secara metodologi berpengaruh terhadap
bidangnya dan memiliki orisinalitas, signifikansi dan kecermatan yang tinggi
Referensi
Boaz, A., & Ashby, D. (2003). Fit for purpose? Assessing research quality for evidence based
policy and practice. London: ESRC UK Centre for Evidence Based Policy and
Practice.
Feuer, M., & Towne, L. (2002). The logic and the basic principles of scientific based
research. Presentation given at a seminar on the use of scientifically based research in
education,
Washington,
DC.
Retrieved
November
14,
2016,
from
http://www.ed.gov/nclb/methods/whatworks/research/ page_pg11.html
Gersten, R., Baker, S., & Lloyd, J. W. (2000). Designing highquality research in special
education: group experimental design. The Journal of Special Education, 34(1), 218.
Greenhalgh, T. (1997). How to read a paper: Assessing the methodological quality of
published papers. British Medical Journal, 315, 305308.
Ragin, C. C., Nagel, J., & White, P. (2003). Workshop on scientific foundations of qualitative
research. Arlington, VA: National Science Foundation.

Shavelson, R. J., & Towne, L. (Eds.). (2002). Scientific research in education. Washington,
DC: National Research Council, National Academy Press.

Anda mungkin juga menyukai