Anda di halaman 1dari 149

BAB I

Konsep Tes, Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi

Kompetensi mengajar adalah kemampuan dasar yang harus


dimiliki oleh semuatenaga pengajar. Berbagai konsep
dikemukakan untuk mengungkap apa danbagaimana
kemampuan yang harus dikuasai oleh tenaga pengajar di
berbagaitingkatan sekolah. Dalam buku yang disusun oleh Tim
PPPG (Proyek Pengembangan Pendidikan Guru) dikemukakan 10
kompetensi mengajar yaitu: (1) Kemampuan menguasai
landasan kependidikan, (2) Kemampuan menguasai bahan
ajaran, (3) Kemampuan mengelola proses belajar mengajar, (4)
Kemampuan mengelola kelas, (5) Kemampuan mengelola
interaksi belajar mengajar, (6) Kemampuan menilai hasil belajar,
(7) Kemampuan mengenal fungsi dan program bimbingan dan
penyuluhan, (8) Kemampuan menyelenggarakan Administrasi
Pendidikan, (9) Kemampuan menggunakan media/sumber
belajar, dan (10) Kemampuan menafsirkan hasil penelitian untuk
kepentingan pengajaran.
Demikian juga dalam Instrumen Penilaian Kemampuan Guru
(IPKG) disebutkan 5 kemampuan pokok guru yaitu kemampuan
untuk (1) merumuskan indikator keberhasilan belajar, (2)
memilih dan mengorganisasikan materi, (3) memilih sumber
belajar, (4) memilih mengajar, dan (5) melakukan penilaian.
Masih banyak lagi model yang menggambarkan kemampuan
dasar mengajar ini, namun demikian nampak dengan jelas
bahwa pada semua profil kemampuan tersebut selalu
mencantumkan dan mempersyaratkan kemampuan tenaga
pengajar untuk mengevaluasi hasil belajar, sebab kemampuan
mengevaluasi hasil belajar memang merupakan kemampuan
dasar yang mutlak dimiliki oleh tenaga pengajar.Mengingat
begitu pentingnya penguasaan pengetahuan dan keterampilan
dalam mengevaluasi kegiatan dan hasil belajar, maka dalam
makalah akan dibahas secara umum hal-hal yang berkenaan
dengan pengertian dan esesnsi dari evaluasi, asesment
(penilaian), tes, dan measurement (pengukuran).

1
Pengertian Tes, Penilaian, Pengukuran, dan Evaluasi

A. Tes
Istilah ini berasal dari bahasa latin “testum” yang berarti
sebuah piringan atau jambangan dari tanah liat. Istilah ini
dipergunakan dalam lapangan psikologi dan selanjutnya
hanya dibatasi sampai metode psikologi, yaitu suatu cara
untuk menyelidiki seseorang. Penyelidikan tersebut dilakukan
mulai dari pemberian suatu tugas kepada seseorang atau
untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Pada
hakikatnya tes adalah suatu alat yang berisi serangkaian
tugas yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus
dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu aspek
perilaku tertentu. Beberapa pengertian tes menurut ahli,
antara lain:
a) Tes merupakan suatu alat penilaian dalam bentuk tulisan
untuk mencatat atau mengamati prestasi siswa yang
sejalan dengan target penilaian. (Jacobs & Chase, 1992;
Alwasilah, 1996).
b) Tes menurut Arkunto dan Jabar (2004) merupakan alat
atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau
mengukur sesuatu dengan menggunakan cara atat aturan
yang telah ditentukan. Dalam hal ini harus dibedakan
pengertian antara tes, testing, testee, dan tester. Testing
adalah saat pada waktu tes tersebut dilaksanakan (saat
pengambilan tes).Testee adalah responden yang
mengerjakan tes. Mereka inilah yang akan dinilai atau
diukur kemampuannya. Sedangkan Tester adalah seorang
yang diserahi tugas untuk melaksanakan pengambilan tes
kepada responden.
c) Menurut Zainul dan Nasution (2001) tes didefinisikan
sebagai pertanyaan atau tugas atau seperangkat tugas
yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang
suatu atribut pendidikan atau suatu atribut psikologis
tertentu.
d) Tes merupakan salah satu upaya pengukuran terencana
yang digunakan oleh guru untuk mencoba menciptakan
kesempatan bagi siswa dalam memperlihatkan prestasi

2
mereka yang berkaitan dengan tujuan yang telah
ditentukan (Calongesi, 1995).
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil pengertian
bahwa tes adalah instrumen atau alat yang digunakan untuk
memperoleh informasi tentang individu atau objek yang
direncanakan untuk mengetahui tentang trait/sifat/atribut
dimana tiap butir pertanyaan tersebut memiliki jawaban.
Sebagai alat pengumpul informasi atau data, tes harus
dirancang secara khusus. Kekhususan tes terlihat dari bentuk
soal tes yang digunakan, jenis pertanyaan, rumusan
pertanyaan yang diberikan, dan pola jawabannya harus
dirancang menurut kriteia yang telah ditetapkan. Demikian
juga waktu yang disediakan untuk menjawab pertanyaan
serta pengadministrasian tes juga dirancang secara khusus.
Selain itu aspek yang diteskanpun terbatas. Biasanya meliputi
ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Kekhususan-
kekhususan tersebut berbeda antara satu tes dengan tes
yang lain. Tes ini dapat berupa pertanyaan tertulis,
wawancara, pengamatan tentang unjuk kerja fisik, checklist,
dan lain-lain.
B. Fungsi Tes
Secara umum, ada dua macam fungsi yang dimiliki oleh
tes, yaitu:
1. Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Dalam
hubungan ini tes berfungsi mengukur tingkat
perkembangan atau kemajuan yang telah dicapai oleh
peserta didik setelah mereka menempuh proses
belajarmengajar dalam jangka waktu tertentu.
2. Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran,
sebab melalui tes tersebut akan dapat diketahui sudah
seberapa jauh program pengajaran yang telah ditentukan,
telah dapat dicapai.
Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2005:152) dalam
bukunya Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, fungsi tes dapat
ditinjau dari tiga hal:
a. Fungsi untuk kelas.
b. Fungsi untuk bimbingan.
c. Fungsi untuk administrasi.

3
Adapun perbandingan dari ketiga fungsi tersebut adalah :

Tabel 1. Fungsi tes ditinjau dari tiga hal


Fungsi Untuk Fungsi Untuk Fungsi Untuk
Kelas Bimbingan Administrasi
a. Mengadakan a. Menentukan arah a. Memberi petunjuk
diagnosis pembicaraan dengan dalam
terhadap orang tua tentang mengelompokkan
kesulitan belajar anak-anak mereka. siswa.
b. Mengevaluasi b. Membantu siswa b. Penempatan siswa
celah antara dalam menentukan baru.
bakat dengan pilihan. c. Membantu siswa
pencapaian. c. Membantu siswa memiliki kelompok.
c. Menaikkan mencapai tujuan d. Menilai kurikulum.
tingkat prestasi. pendidikan dan e. Memperluas hubungan
d. Mengelompokkan jurusan. masyarakat (public
siswa dalam d. Memberikan relation).
kelas pada waktu kesempatan kepada f. Menyediakan informasi
metode pembimbing, guru, untuk badan lain di
kelompok. dan orang tua dalam luar sekolah.
e. Merencanakan memahami kesulitan
kegiatan proses anak.
belajar mengajar
untuk siswa
secara
perseorangan.
f. Menetukan siswa
mana yang
memerlukan
bimbingan
khusus.
g. Menentukan
tingkat
pencapaian
untuk setiap
anak.

C. Measurement (Pengukuran)
Pengukuran yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan
measurement dan dalam bahasa arabnya adalah muqasayah,
dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk
“mengukur” sesuatu. Mengukur pada hakikatnya adalah
membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran
tertentu. Misalnya mengukur suhu badan dengan
menggunakan thermometer, hasilnya 36 celcius, 37 celcius,
0 0

4
dan seterusnya. Dapat dipahami bahwa pengukuran itu
sifatnya kuantitatif.
Pengukuran yang bersifat kuantitatif itu dibagi menjadi
tiga, yang pertama adalah pengukuran yang dilakukan bukan
untuk menguji sesuatu. Misalnya; pengukuran yang dilakukan
oleh penjahit pakaian mengenai panjang lengan, panjang
kaki, lebar bahu, ukuran pinggang dan sebagainya. Yang
kedua adalah pengukuran yang dilakukan untuk menguji
sesuatu. Misalnya; pengukuran untuk menguji daya tahan per
baja terhadap tekanan berat, pengukuran untuk menguji daya
tahan nyala lampu pijar, dan sebagainya. Yang ketiga adalah
pengukuran untuk menilai, yang dilakukan dengan jalan
menguji sesuatu. Misalnya; mengukur kemajuan belajar
peserta didik dalam rangka mengisi nilai rapor yang dilakukan
dengan menguji mereka dalam bentuk tes hasil belajar.
Pengukuran jenis ketiga ini yang dipakai dalam dunia
pendidikan.
Menurut Cangelosi(1995) yang dimaksud dengan
pengkuran adalah suatu proses pengumpulan data melalui
pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi yang
relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini
pendidik atau guru menaksir prestasi siswa dengan membaca
atau mengamati apa saja yang dilakukan siswa, mengamati
kinerja mereka, mendengar apa yang mereka katakana, dan
menggunakan indera mereka seperti melihat, mendengar,
menyentuh, mencium, dan merasakan. Menurut Zainul dan
Nasution (2001) pengukuran memiliki dua karakteristik utama
yaitu: penggunaan angka atau skala tertentu dan menurut
aturan atau formula tertentu.
Measurement merupakan proses yang mendeskripsikan
performance siswa dengan menggunakan suatu skala
kuantitatif(system angka) sedemikian rupa sehingga sifat
kualitatif dari performance siswa tersebut dinyatakan dengan
angka angka (Alwasilah , 1996) Peryataan tersebut diperkuat
dengan pendapat yang menyatakan bahwa pengukuran
merupakan pemberian angka terhadap suatu atribut atau
karakter tertentu yang dimiliki oleh seorang, atau objek
tertentu yang mengacu pada aturan atau formulasi yang

5
jelas. Aturan atau formulasi tersbut disepakati oleh para ahli
(Zainul dan Nasution, 2001). Dengan demikian, pengukuran
dalam bidang pendidikan berarti mengukur atribut atau
karakteristik peserta didik tertentu, yang diukur bukan
peserta didik tetapi karakteristik atau atributnya. Menurut Ari
Kunto, pengukuran merupakan kegiatan membandingkan
suatu hal dengan satuan ukuran tertentu sehingga sifatnya
menjadi kuantitatif.

D. Asesmen (Penilaian)
Definisi Asesmen Menurut beberapa Ahli
a. Menurut Linn dan Gronlund (Uno dan Satria, 2012),
asesmen (penilaian) merupakan suatu istilah umum yang
meliputi tentang belajar siswa (observasi, rata-rata
pelaksanaan tes tertullis) dan format penilaian kemajuan
belajar. Selain itu, asesmen didefinisikan juga sebagai
sebuah proses yang ditempuh untuk mendapatkan
informasi yang digunakan dalam rangka membuat
keputusan-keputusan mengenai para siswa, kurikulum,
program-program, dan kebijakan pendidikan, metode atau
instrumen pendidikan lainnya oleh suatu badan, lembaga,
organisasi atau institusi resmi yang menyelenggarakan
suatu aktivitas tertentu.
b. Menurut Angelo dan Croos (Abidin, 2014), asesmen atau
penilaian merupakan sebuah proses yang didesain untuk
membantu guru menemukan hal-hal yang telah dipelajari
siswa di dalam kelas dan tingkat keberhasilannya dalam
pembelajaran.
c. James A. Mc. Lounghlin & Rena B Lewis mendefinisikan
asesmen sebagai proses sistematika dalam mengumpulkan
data seseorang anak yang berfungsi untuk melihat
kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang saat
itu, sebagai bahan untuk menentukan apa yang
sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan informasi tersebut
guru akan dapat menyusun program pembelajaran yang
bersifat realitas sesuai dengan kenyataan objektif.
d. Asesmen menurut Dariyanto (2010:130) adalah suatu
proses untuk menyimpulkan hasil pengukuran melalui

6
analisis yang sistematis dengan menggunakan kriteria
seperti baik, buruk, cocok tidak cocok sesuai dengan
penilaian kriteria masing-masing.
e. Penilaian menurut Zaenal Arifin (2009:2) merupakan suatu
proses atau kegiatan yang sistematis dan
berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi
tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam
rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan
kriteria dan pertimbanagan tertentu.
f. Haryati (2009:15) berpendapat lain, ia mengungkapkan
bahwa penilaian (assessment) merupakan istilah yang
mencakup semua metode yang biasa dipakai untuk
mengetahui keberhasilan belajar siswa dengan cara
menilai unjuk kerja individu peserta didik atau kelompok.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa penilaian adalah suatu proses
pengumpulan informasi secara menyeluruh yang dilakukan
secara terus menerus untuk mengetahui kemampuan atau
keberhasilan siswa dalam pembelajaran dengan menilai
kinerja siswa baik kinerja secara individu maupun dalam
kegiatan kelompok. Penilaian itu harus mendapatkan
perhatian yang lebih dariseorang guru. Dengan demikian,
penilaian tersebut harus dilaksanakan dengan baik, karena
penilaian merupakan komponen vital (utama) dari
pengembangan diri yang sehat, baik bagi individu (siswa)
maupun bagi organisasi/kelompok.
Tujuan dan Fungsi Asesmen (Penilaian)
Adapun tujuan dilakukannya asesmen dalam proses
pembelajaran dijelaskan pula oleh Sudjana (2005) yaitu
sebagai berikut :
1) Mendeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga
dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam
berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuh;
2) Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan
pengajaran di sekolah, yakni seberapa jauh keefektifannya
dalam mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan
pendidikan yang diharapkan;

7
3) Menentukan tindak lanjut hasil asesmen, yakni melakukan
perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program
pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya;
4) Memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari
pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Oleh karena itu, penggunaan jenis assessment yang tepat
akan menentukan keberhasilan dalam memperoleh
informasi yang berkenaan dengan proses pembelajaran.

Fungsi Asesmen / Penilaian


Dengan mengetahui makna dari penilaian, maka dapat
dikatakan bahwa tujuan asesmen menurut Suharsimi Arikunto
(2005:10-11) adalah :
a) Penilaian berfungsi selektif, artinya dengan mengadakan
penilaian guru memiliki cara untuk mengadakan seleksi
atau penilaian terhadap siswanya.
b) Penilaian berfungsi diagnostik. Apabila alat yang digunakan
dalam penilaian cukup memenuhi persyaratan, maka
dengan melihat hasilnya, guru akan dapat mengetahui
kelemahan siswa. Di samping itu, diketahui pula sebab-
musabab kelemahan itu.
c) Penilaian berfungsi sebagai penempatan. Pendekatan yang
lebih bersifat melayani perbedaan kemampuan adalah
pengajaran secara kelompok. Untuk dapat menentukan
secara pasti di kelompok mana siswa akan ditempatkan,
digunakan suatu penilaian. Sekelompok siswa yang
memiliki hasil penilaian yang sama akan berada di dalam
kelompok yang sama.
d) Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan. Fungsi
ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana program
berhasil diterapkan. Keberhasilan program ditentukan oleh
beberapa faktor yaitu faktor guru, metode mengajar,
kurikulum, sarana, dan sistem administrasi.

Menurut Unodan Satria (2012) fungsi penilaian dibagi


menjadi menjadi beberapa bagian. Pertama, fungsi penilaian
pendidikan bagi guru adalah untuk:

8
a) Mengetahui kemajuan belajar peserta didik, mengetahui
kedudukan masing-masing individu peserta didik dalam
kelompoknya,
b) Mengetahui kelemahan-kelemahancara belajar-mengajar
dalam proses belajar mengajar,
c) Memperbaiki prosesbelajar-mengajar, dan () menentukan
kelulusan murid.

Sedangkan bagi murid, penilaian pendidikan berfungsi untuk:


a) Mengetahui kemampuan danhasil belajar,
b) Memperbaiki cara belajar,
c) Menumbuhkan motivasibelajar.

Fungsinya bagi sekolah adalah:


a) Mengukur mutu hasil pendidikan,
b) Mengetahui kemajuan dan kemunduran sekolah,
c) Membuat keputusan kepada peserta didik,
d) Mengadakan perbaikan kurikulum.

Secara lebih rinci, Purwanto mengelompokkan fungsi


penilaiandalam kegiatan evaluasi pendidikan dan pengajaran,
yakni:
1. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta
keberhasilan siswa setelah mengalami atau melakukan
kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu.
2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program
pengajaran. Pengajaran sebagai suatu sistem terdiri dari
beberapa komponen yangsaling berkaitan satu sama lain.
Komponen-kompenen yang dimaksud adalah: tujuan,
materi atau bahan pengajaran, metode dan kegiatan
belajar mengajar, alat dan sumber pelajaran, dan prosedur
serta alat evaluasi.
3. Untuk keperluan Bimbingan Konseling (BK). Hasil-hasil
penilaian dalam kegiatan evaluasi yang telah dilaksanakan
oleh guru terhadap siswanya dapat dijadikan sumber
informasi atau data bagi pelayanan BK oleh para konselor
sekolah atau guru pembimbing lainnya.

9
4. Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum
sekolah yang bersangkutan.

Ciri-Ciri Asesmen (Penilaian) dalam Pendidikan


Ciri–ciri penilaian dalam pendidikan menurut Suharsimi
Arikunto (2005:11-17), antara lain sebagai berikut :
1. Ciri pertama, yaitu bahwa penilaian dilakukan secara tidak
langsung. Contoh kasusnya adalah mengukur kepandaian
melalui ukuran kemampuan menyelesaikan soal-soal.
Sehubungan dengan tanda-tanda anak yang pandai atau
inteligen, seorang ahli Ilmu Jiwa Pendidikan bernama Carl
Witherington mengemukakan pendapatnya dan
memberikan sumbangsih dalam pembentukan macam
tingkatan inteligensi (IQ) pada manusia.
2. Ciri kedua, yaitu penggunaan ukuran kuantitatif. Penilaian
pendidikan bersifat kuantitatif artinya menggunakan
simbol bilangan sebagai hasil pertama pengukuran.
Setelah itu lalu diintrepretasikan ke bentuk kualitatif.
Contoh : Ani mempunyai IQ 125 dan Ana dengan IQ 105,
maka Ani termasuk anak yang sangat pandai sedangkan
Ana anak normal.
3. Ciri ketiga, yaitu bahwa penilaian pendidikan
menggunakan unit-unit atau satuan-satuan yang tetap,
karena dari contoh diatas IQ 105 termasuk anak normal
maka IQ 80 termasuk anak yang dungu.
4. Ciri keempat, yaitu bersifat relatif artinya tidak sama atau
tidak selalu tetap dari waktu ke waktu yang lain.
5. Ciri kelima, yaitu dalam penilaian pendidikan itu sering
terjadi kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan tersebut
bisa ditinjau karena banyak faktor antara lain terletak pada
alat ukurnya, pada orang yang melakukan penilaian, pada
anak yang dinilai, atau situasi saat penilaian berlangsung.

Manfaat Asesmen Pembelajaran


Menurut Endang Poerwanti (2001:7), asesmen
pembelajaran bermanfaat untuk:
1. Memberi penjelasan secara lengkap tentang target
pembelajaran yang dapat dijelaskan; sebelum pendidik

10
melakukan asesmen terhadap siswanya terlebih dulu harus
mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan siswa,
informasi yang dibutuhkan tentang pengetahuan,
keterampilan, dan performa siswa. Pengetahuan,
keterampilan dan performa siswa yang dibutuhkan dalam
pembelajaran disebut dengan target atau hasil
pembelajaran;
2. Memilih teknik asesmen untuk kebutuhan masing-masing
siswa, bila mungkin guru dapat menggunakan beberapa
indikator keberhasilan untuk setiap taget pembelajaran;
masing masing target pembelajaran memerlukan
pemilihan teknik asesmen yang berbeda, misalnya untuk
dapat melakukan asesmen kemampuan siswa dalam
pemecahan masalah dalam matematika tentu akan sangat
berbeda dengan kemampuan membaca atau
mendengarkan, dan berbeda pula untuk pemecahan
masalah IPS yang memerlukan diskusi;
3. Memilih teknik asesmen untuk setiap target pembelajaran,
pemilihan teknik asesmen harus didasarkan pada
kebutuhan praktis di lapangan dan efisiensi. Teknik
asesmen ini harus dapat mengungkapkan kemampuan
khusus serta untuk mengembangkan kemampuan siswa,
sehingga ketika memilih teknik asesmen harus pula
dipertimbangkan manfaatnya untuk umpan balik bagi
siswa. Sebab itu, ketika melakukan interpretasi dari hasil
asesmen haruslah dengan cermat, dengan menghindari
berbagai keterbatasan yang bersumber dari subyektifitas
pelaksana asesmen.

D. Evaluasi
Definisi Evaluasi
Evaluasi berasal dari akar kata bahasa Inggris value yang
berarti nilai, jadi istilah evaluasi sinonim dengan penilaian.
Pengertian evaluasi menurut beberapa ahli sebagai berikut :
1. Evaluasi menurut Firman (2000:18) merupakan penilaian
terhadap data yang dikumpulkan melalui kegiatan
asesmen.

11
2. Menurut Calongesi (1995) evaluasi adalah suatu keputusan
tentang nilai berdasarkan hasil pengukuran. Calengosi
(1995) juga menyatakan bahwa evaluasi dapat dinyatakan
sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan
menggunakan informasi yang diperoleh melalui
pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan
instrumen tes maupun non tes.
3. Arikunto (2003:2) mengungkapkan bahwa evaluasi adalah
serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengukur
keberhasilan program pendidikan.
4. Purwanto (2002:58) dalam hal ini lebih meninjau
pengertian evaluasi program dalam konteks tujuan yaitu
sebagai proses menilai sampai sejauhmana tujuan
pendidikan dapat dicapai.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa evaluasi adalah


pemberian nilai terhadap kualitas sesuatu. Selain dari itu,
evaluasi juga dapat dipandang sebagai proses merencanakan,
memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat
diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan.
Dengan demikian, Evaluasi merupakan suatu proses yang
sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan
sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai
oleh siswa (Purwanto, 2002:55).
Dengan kata lain evaluasi adalah proses penentuan nilai
atau harga dari data yang terkumpul. Pemberian
pertimbangan mengenai nilai dan arti tidak dapat dilakukan
secara sembarangan, oleh karenanya evaluasi harus
dilakukan berdasar prinsip-prinsip tertentu. Evaluasi harus
merupakan kegiatan yang harus dilakukan terus menerus dari
setiap program, karena tanpa evaluasi sulit untuk mengetahui
jika, kapan, dimana, dan bagaimana perubahan-perubahan
akan dibuat. Evaluasi bersifat kualitatif.
Evaluasi tidak hanya terbatas dalam menggambarkan
pengertian untuk menggambarkan status seseorang
dibandingkan dengan anggota kelompok lainnya. Tetapi yang
lebih penting, evaluasi dilaksanakan dalam rangka
menggambarkan kemajuan yang dicapai oleh seseorang.

12
Karena itu evaluasi harus dipahami sebagai bagian yang
integral dari penyelenggaraan sebuah program, yang selalu
berawal dari pemahaman terhadap siswa.

Tujuan Evaluasi
Evaluasi memiliki tujuan untuk:
1) Pengelompokkan
Salah satu tujuan pengukuran dan evaluasi adalah
untuk pengelompokan. Pengelompokkan ini dapat
berdasarkan tingkat ketrampilan, umur, jenis kelamin,
kondisi kesehatan, minat. Sebagai upaya untuk
memperbaiki proses pembelajaran, guru dapat
menempatkan siswanya ke dalam kelompok-kelompok
tertentu, sesuai dengan tingkat kemampuannya. Siswa
dengan kemampuan yang tinggi tidak harus dipaksa
bertahan dengan teman sekelompoknya yang
berkemampuan kurang, demikian juga sebaliknya. Dengan
dilakukannya pengukuran dan evaluasi siswa dapat
dikelompokkan pada kelompok yang tepat.
Jika siswa ditempatkan dalam kelompok yang setara
tingkat ketrampilannya, guru dapat menyusun program
pelajaran secara individual. Keuntungan lain yang
diperoleh dari pengelompokkan ini adalah siswa dapat
berani, lebih lancar, lebih aktif ketika berlatih, karena
mereka bersaing dengan siswa lain yang berkemampuan
setara. Dengan kata lain, tujuan penempatan siswa ke
dalam kelompok yang setara adalah untuk memperbaiki
proses pembelajaran.
2) Penilaian
Tujuan utama dari penilaian ini adalah memberikan
informasi tentang kemajuan yang dicapai dari proses
pembelajaran yang dikerjakan dan posisi siswa di dalam
kelompoknya. Dengan mempertimbangkan seluruh faktor,
penilaian harus dilakukan secara objektif sehingga dapat
mencerminkan kemajuan yang diperoleh, dan perbaikan-
perbaikan yang diperlukan.

13
3) Motivasi
Motivasi merupakan kekuatan yang memandu
seseorang untuk mencapai hasil yang tertinggi. Apabila
dilaksanakan secara tepat, evaluasi dapat merupakan
proses memotivasi yang positif. Demikian pula sebaliknya,
bila dilakukan secara sembarangan evaluasi dapat
mengurangi motivasi. Motivasi yang terbesar adalah
keberhasilan. Agar supaya siswa tetap memiliki motivasi,
mereka harus mengetahui bahwa dirinya berkembang
kemampuannya. Tes-tes ketrampilan olahraga
memungkinkan siswa untuk berkompetisi dengan dirinya
sendiri sebagai cara untuk mengukur kemajuannya.
4) Penelitian.
Penelitian adalah penyelidikan yang dilakukan secara
sistematis untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Mutu
data yang dikumpulkan bergantung pada antara lain:
ketelitian dan ketepatan alat ukur, teknik pengukuran, dan
kelayakan tes.
Penentuan ini dapat digunakan untuk menentukan
tingkat, membebaskan peserta dari suatu kesatuan
pelajaran, menaikkan peserta dari suatu tingkat ke tingkat
yang lebih tinggi, memberikan umpan balik untuk
memperbaiki unjuk kerja, menempatkan individu-individu
ke dalam kelompok-kelompok tertentu atau menentukan
suatu bentuk latihan yang khusus. Pada pokoknya,
penentuan status mencakup semua tujuan-tujuan lain
pengukuran dan evaluasi.

Tipe-tipe Evaluasi
a) Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif
 Evaluasi formatif bertujuan untuk menyempurnakan
program dan memantau kemajuan siswa. Evaluasi ini
dilakukan di sela-sela program yang sedang
berlangsung, dengan tujuan agar hasilnya dapat
digunakan untuk menyempurnakan program.
Pelaksanaan tes secara periodik dan dilakukan beberapa
kali, seperti tes mingguan, bulanan.

14
 Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilaksanakan
pada akhir suatu program, misalnya akhir catur wulan,
akhir semester. Nilai yang diperoleh pada evaluasi
sumatif biasanya dilaporkan dalam bentuk rapor,
sementara hasilnya dinyatakan dalam bentuk nilai
tertentu atau dalam bentuk laporan secara deskriptif.
b) Evaluasi produk dan Evaluasi Proses
Berdasarkan atas tujuan-tujuan khusus program, dapat
menekankan perhatian pada produk yang dihasilkan dari
unjuk kerja fisik, proses yang menghasilkan produk, atau
keduanya. Misalnya, dalam evaluasi produk, menentukan
urutan hasil akhir dalam perlombaan lari 10 Km hanya
memerlukan catatan waktu seorang pelari yang diperlukan
untuk menempuh jarak perlombaan. Hal ini disebut
evaluasi produk.
Apabila nita menaruh minat untuk memperbaiki gaya
lari para pelari, maka kita perlu menganalisa proses
terjadinya gerak lari, termasuk aspek-aspek seperti
penempatan kaki pelari, ayunan lengan, panjang langkah,
kecondongan tubuh dan sebagainya. Hal ini merupakan
evaluasi proses. Untuk sebagian besar aktivitas, harus
memperhatikan keduanya baik evaluasi produk maupun
proses. Beberapa aktivitas misalnya senam, lebih banyak
memberi kemungkinan untuk evaluasi proses daripada
evaluasi produk.
c) Evaluasi Acuan Patokan dan Acuan Norma
Guru, merasa perlu untuk menafsirkan arti informasi
atau data yang hasil pengetesan. Misalnya pada sebuah
kelas yang terdiri atas 40 orang siswa. Siswa A
memperoleh nilai 25 dalam tes kesegaran jasmani untuk
butir tes push-up. Apabila yang diterapkan evaluasi acuan
norma, maka yang digunakan sebagai kriteria adalah
norma kelompok. Misalnya kemampuan rata-rata 40 siswa
dalam push-up adalah 20 kali, maka berdasarkan rata-rata
tersebut kemampuan siswa A dapat ditafsirkan. Ini berarti,
jika dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya
kemampuan siswa A berada di atas rata-rata.

15
E. Perbedaan Antara Tes, Measurement (Pengukuran),
Asesment (Penilaian) dan Evaluasi
1) Perbedaan Asesmen dan Evaluasi
Rustaman (2003) mengungkapkan bahwa asesmen
lebih ditekankan pada penilaian proses. Sementara itu
pada evaluasi lebih ditekankan pada hasil belajar. Apabila
dilihat dari sisi keberpihakannya, asesmen lebih berpihak
kepada kepentingan siswa. Siswa dalam hal ini
menggunakan asesmen untuk merefleksikan kekuatan,
kelemahan dan perbaikan belajar. Sementara itu evaluasi
lebih berpihak kepada kepentingan evaluator.
Yulaelawati (2004) mengungkapkan bahwa terdapat
perbedaan antara evaluasi dengan asesmen. Evaluasi
merupakan penilaian program pendidikan secara
menyeluruh. Evaluasi pendidikan lebih bersifat makro,
meluas, dan menyeluruh. Sementara itu asesmen
merupakan penilaian dalam scope yang lebih sempit
(mikro) bila dibandingkan dengan evaluasi. Asesmen
hanya menyangkut kompetensi siswa dan perbaikan
program pembelajaran.
2) Perbedaan Tes, Pengukuran dan Evaluasi
Terdapat perbedaan makna antara mengukur dan
mengevaluasi. Mengukur (Measurement) adalah
membandingkan sesuatu dengan satu ukuran tertentu,
sehingga pengukuran bersifat kuantitatif. Sementara itu
evaluasi adalah pengambilan suatu keputusan terhadap
sesuatu dengan ukuran baik-buruk. Dengan demikian
pengambilan keputusan tersebut lebih bersifat kualitatif.
(Arikunto, 2003; Zainul & Nasution, 2001).
Setiap butir pertanyaan atau tugas dalam tes harus
selalu direncanakan dan mempunyai jawaban atau
ketentuan yang dianggap benar. Sementara itu tugas
ataupun pertanyaan dalam kegiatan pengukuran
(measurement) tidak selalu memiliki jawaban atau cara
pengerjaan yang benar atau salah karena measurement
tidak selalu memiliki jawaban atau cara pengerjaan yang
benar atau salah karena measurement dapat dilakukan
melalui alat ukur non-tes.

16
3) Hubungan Tes, Measurement (Pengukuran),
Asesment (Penilaian) dan Evaluasi
Menurut Zainul & Nasution (2001), hubungan antara
tes, pengukuran dan evaluasi adalah sebagai berikut.
Evaluasi belajar baru dapat dilakukan dengan baik dan
benar apabila menggunakan informasi yang diperoleh
melalui pengukuran yang menggunakan tes sebagai alat
ukurnya. Selain tes, informasi tentang hasil belajar juga
diperoleh menggunakan alat ukur non tes seperti
observasi, skala rating, dan lain-lain. Mereka juga
menyatakan bahwa guru mengukur berbagai kemampuan
siswa. Apabila guru melangkah lebih jauh dalam
menginterpretasikan skor sebagai hasil pengukuran
tersebut dengan menggunakan standar tertentu untuk
menentukan nilai atas dasar pertimbangan tertentu, maka
kegiatan tersebut disebut evaluasi.
Untuk mengungkapkan hubungan antara asesmen dan
evaluasi, Gabel (1993) mengungkapkan bahwa evaluasi
merupakan proses pemberian penilaian terhadap data atau
hasil yang diperoleh melalui asesmen. Hubungan antara
asesmen, evaluasi, pengukuran, dan testing dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.

Gambar 1. Diagram hubungan antara peristilahan dalam asesmen &


evaluasi

17
Tabel 2. Contoh Hubungan Antara Tes, Non-Tes, Pengukuran, Dan
Evaluasi
Tes Pengukuran Evaluasi
Soal : Seperangkat Bu Dini menghitung berapa Bu Dini menilai bahwa
soal/ tugas untuk jumlah kesalahan Ani kemampuan Ani dalam
mengamati obyek dalam menggnakan menggunakan mikroskop
menggunakan mikroskip (ia menghitung masih kurang
mikroskop dengan terjadi 3 kesalahan dari 5
prosedur yang tugas)
benar
Non-Tes Pengukuran Evaluasi
Soal : Siswa Bu Ajeng membandingkan Bu Ajeng menilai bahwa
ditugasi oleh Bu laporan praktikum yang kemampuan Denta
Ajeng untuk dibuat Denta dengan sangat baik dalam
menyusun laporan standar kriteria dan menyusun laporan
pasca kegiatan menghitung total skor yang praktikum yang ideal
praktikum fisika diperoleh. Skor yang
diperoleh yaitu 85

Gambar 2. Bagan Hubungan antara Evaluasi, Asesmen, Pengukuran,


dan Tes

18
Daftar Pustaka

Aimah, Rahma. Penilaian dan Pengukuran dalam Evaluasi


pembelajaran. https://www.academia.edu (diakses Januari
2019)
Anonim. (2014). Pengertian Asesmen. (online)
http://eprints.ung.ac.id/4803/5/2012-1-86204-
131409130-bab2-29082012060719.pdf (diakses pada
Januari 2019)
Arikunto, S & Jabar.2004.Evaluasi Program Pendidikan.Jakarta:
Bumi Aksara.
Nabhan, A. (2013). Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan
Evaluasi. digilib.unila.ac.id/1040/8/BAB%20II.pdf
(diakses Januari 2019).
Rakhmawati. (2013). Asesmen Pembelajaran. (online)
http://digilib.uinsby.ac.id/10938/5/Bab2.pdf (diakses
pada Januari 2019).
Solikin. (2011). Pengertian Dan Hubungan Antara Tes,
Pengukuran, Dan Evaluasi.
http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-
Indonesia/PENGERTIANDANHUBUN_Solikan_16692.pdf
(diakses Januari 2019)
Sugiyatno. (2012). Test, Pengukuran, Assessmen,
Evaluasi.http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidik
an/sugiyatno-mpd/materi-kuliah-evaluasi-bk-2.pdf
(diakses Januari 2019).
Wulan,Ana Ratna. Pengertian Dan Esensi Konsep Evaluasi,
Asesmen, Tes, Dan Pengukuran. http://file.upi.edu/
pengertian_asesmen.pdf (Januari 2019).

19
BAB II
Tujuan Dan Fungsi Evaluasi Hasil Belajar

Setiap orang yang melakukan suatu kegiatan akan selalu ingin tahu
hasil dari kegiatan yang dilakukannya. Seringkali pula, orang yang
melakukan kegiatan tersebut, berkeinginan mengetahui baik buruknya
kegiatan yang dilakukannya. Siswa dan guru adalah orang-orang yang
terlibat dalam kegiatan pembelajaran, tentu mereka juga berkeinginan
mengetahui proses dan hasil kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
Untuk menyediakan informasi tentang baik atau buruknya proses dan
hasil kegiatan pembelajaran, maka seorang guru harus
menyelenggarakan evaluasi. Kegiatan evaluasi yang dilakukan guru salah
satunya yaitu evaluasi hasil belajar. Evaluasi hasil belajar merupakan
aspek penting yang mendukung keberhasilan kegiatan mengajar (KMB)
secara khusus dn kualitas pendidikan secara umum. Melalui evaluasi hasil
belajar dapat diketahui berhasil tidaknya suatu Kegiatan Mengajar Belajar
(KMB). Informasi ini sangat penting bagi guru untuk membuat keputusan
dan perencanaan kedepannya.
Disisi lain, evaluasi merupakan salah satu komponen sistem
pembelajaran atau pendidikan. Hal ini berarti evaluasi merupakan
kegiatan yang penting dilakukan setiap proses pembelajaran. Evaluasi
dapat digambarkan sebagai pembuatan penetapan tentang nilai untuk
tujuan tertentu, baik berupa gagasan, pekerjaan, solusi, metode, material
dan lain–lain, yang melibatkan penggunaan ukuran seperti halnya untuk
menilai tingkat suatu tertentu itu akurat, efektif, hemat, atau
memuaskan, ketentuan itu baik yang kuantitatif atau kualitatif. Dengan
demikian maka evaluasi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam
pengajaran. Dan kegiatan ini merupakan salah satu dari empat tugas
pokok seorang guru.
Dalam praktek pengajaran keempat kegiatan pokok ini merupakan
sebuah kesatuan yang padu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Dalam melaksanakan tugas mengajarnya seorang guru berusaha
untuk menciptakan situasi belajar yang memungkinkan siswa dapat
belajar, memotivasi, mengajukan bahan ajar, serta menggunbakan
metode dan media yang telah disiapkan. Selain itu guna mencapai tujuan
pendidikan yang optimal, guru memberikan bimbingan kepada siswa
dengan berupaya untuk memahami kesulitan belajar yang dialami siswa.
Dari berbagai persoalan yang di hadapi dalam proses belajar mengajar
evaluasi memberikan sumbangan yang cukup berarti. fungsi evaluasi
digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan proses

20
pembelajaran serta sebagai alat untuk menyeleksi dan sebagai alat untuk
memberikan motivasi belajar siswa.

A. Evaluasi Hasil Belajar


Evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan,
pengumpulan, analisis dan penyajian informasi yang dapat digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program
selanjutnya. Selanjutnya Griffin & Nix (1991:3) menyatakan:
Measurement, assessment and evaluation are hierarchial. The
comparison of observation with the criteria is a measurement, the
interpretation and description of the evidence is an assessment and
the judgement of the value or implication of the behavior is an
evaluation.Sedangkan Hasil belajar siswa pada hakikatnya merupakan
perubahan tingkah laku setelah melalui proses belajar mengajar.
Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian luas mencakup
bidang kognitif, afektif dan psikomotorik.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi hasil belajar
merupakan kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis, dan penyajian
informasi mengenai perubahan tingkah laku siswa setelah melalui
proses belajar mengajar. Tingkah laku yang diamati yaitu kemampuan
siswa bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kegiatan ini dilakukan
oleh seorang guru terhadap hasil belajar siswanya. Penilaian hasil
belajar adalah kegiatan atau cara yang ditunjukkan untuk mengetahui
tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran dan juga proses
pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini seorang guru
dituntut memiliki kemampuan dalam menentukan pendekatan dan
cara-cara evaluasi, penyusunan alat-alat evaluasi, pengolahan, dan
penggunaan alat-alat evaluasi.
Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai
komponen yang saling berinteraksi dalam usaha mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan. Setiap proses pembelajaran
berlangsung, penting bagi seorang guru maupun peserta didik untuk
mengetahui tercapai tidaknya tujuan tersebut. hal ini hanya dapat
diketahui jika guru melakukan evaluasi, baik evaluasi terhadap proses
maupun produk pembelajaran. Dengan kata lain di dalam evaluasi
tercakup di dalamnya penilaian. Siapapun yang melakukan tugas
mengajar, perlu mengetahui akibat dari pekerjaannya. Pendidik harus
mengetahui sejauh mana peserta didik telah menyerap dan menguasai
materi yang telah diajarkan. Sebaliknya, peserta didik juga
membutuhkan informasi tentang hasil pekerjaannya.

21
B. Syarat Dan Ragam Alat Evaluasi
1. Syarat Alat Evaluasi
Langkah pertama yang perlu ditempuh guru dalam menilai prestasi
belajar siswa adalah menyusun alat evaluasi yang sesuai dengan
kebutuhan, dalam arti tidak menyimpang dari indikator dan jenis
prestasi yang diharapkan. Prasyarat pokok penyusunan alat evaluasi
yang baik dalam presfektif psikologi belajar meliputi dua macam,
yakni: reliabilitas dan validitas.
Secara sederhana, reliabilitas berarti hal tahan uji atau dapat
dipercaya. Sebuah alat evaluasi dipandang reliabel atau tahan uji,
apabila memiliki konsistensi hasil. Validitas berarti keabsahan atau
kebenaran. Sebuah alat evaluasi dipandang valid apabila dapat
mengukur apa yang seharusnya diukur.

2. Ragam Alat Evaluasi


a) Bentuk Objektif
Bentuk objektif atau tes objektif, yakni tes yang jawabannya dapat
diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang
ditentukan sebelumnya. Ada 5 macam tes yang termasuk dalam
evaluasi ragam objektif ini.
b) Tes Benar-Salah
Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan
jawabannya hanya dua macam, yaitu ‘B’ jika benar, dan ‘S’ jika
salah. Dalam dunia pendidikan modern, tes semacam itu sudah
lama ditinggalkan karena dua alasan:
 Tes ‘B-S’ tidak menghargai kreatifitas akal siswa karena mereka
hanya didorong untuk memilih salah satu dari dua alternatif
jawaban.
 Tes ‘B-S’ dalam beberapa segi tertentu dianggap sangat rendah
tingkat reliabilitasnya.
c) Tes Pilihan Berganda
Item-item dalam tes pilihan berganda biasanya berupa pertanyaan
atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu
dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi setiap soal.
Pada zaman modern sekarang ini, dunia pendidikan khususnya di
Barat sudah mulai meninggalkan tes pilihan berganda kecuali untuk
keperluan-keperluan di luar pengukuran prestasi belajar. Alasan-
alasan ditinggalnya jenis tes ini ialah:
 Kurang mendorong kreatifitas ranah cipta dan karsa siswa,
karena ia hanya merasa disuruh berspekulasi, yakni menebak
dan menyilang secara untung-untungan.

22
 Sering terdapat dua jawaban (di antara empat atau lima
alternatif) yang identik atau sangat mirip, sehingga terkesan
kurang diskriminatif.
 Sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok
kebenarannya, sehingga jawaban-jawaban lainnya terlalu
gampang untuk ditinggalkan.
d) Tes Pencocokan (Menjodohkan)
Tes pencocokan disusun dalam dua daftar yang masing-
masing memuat kata, istilah, atau kalimat yang diletakkan
bersebelahan.
e) Tes Isian
Alat tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek,
yang pada bagian-bagian yang memuat istilah atau nama tertentu
dikosongkan.
f) Tes Perlengkapan
Cara menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan
cara menyelesaikan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-
kalimat yang digunakan sebagai instrumen. Dalam tes melengkapi
kalimat-kalimat yang tersusun dalam bentuk karangan atau cerita
pendek, tetapi dalam bentuk kalimat-kalimat yang berdiri sendiri.
g) Bentuk Subjektif
Alat evaluasi yang berbentuk tes subjektif adalah alat pengukur
prestasi belajar yang jawabannya tidak ternilai dengan skor atau
angka pasti, seperti yang digunakan untuk evaluasi objektif. Hal ini
disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh
para siswa. Instrumen evaluasi mengambil bentuk essay
examination, yakni soal ujian mengharuskan siswa menjawab setiap
pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan
bebas.
Sementara itu, Stanley dalam Oemar Hamalik (1989:6)
mengemukakan secara spesifik tentang fungsi tes dalam pembelajaran
yang dikategorikan ke dalam tiga fungsi yang saling berinterelasi,
yakni “fungsi instruksional, fungsi administratif, dan fungsi bimbingan”.
1) Fungsi intruksional
a. Proses konstruksi suatu tes merangsang Anda untuk
menjelaskan dan merumuskan kembali tujuan-tujuan
pembelajaran (kompetensi dasar) yang bermakna. Jika Anda
terlibat secara aktif dalam perumusan tujuan pembelajaran
(kompetensi dasar dan indikator), maka Anda akan terdorong
untuk memperbaiki program pengalaman belajar bagi peserta
didik, di samping akan memperbaiki alat evaluasi itu sendiri.

23
Anda juga akan merasakan bahwa kompetensi dasar dan
indikator yang telah dirumuskan itu akan bermakna bagi Anda
dan peserta didik, sehingga akan memperkaya berbagai
pengalaman belajar.
b. Suatu tes akan memberikan umpan balik kepada guru. Umpan
balik yang bersumber dari hasil tes akan membantu Anda untuk
memberikan bimbingan belajar yang lebih bermakna bagi
peserta didik. Tes yang dirancang dengan baik dapat dijadikan
alat untuk mendiagnosis diri peserta didik, yakni untuk meneliti
kelemahan-kelemahan yang dirasakannya sendiri.
c. Tes-tes yang dikonstruksi secara cermat dapat memotivasi
peserta didik melakukan kegiatan belajar. Pada umumnya setiap
peserta didik ingin berhasil dengan baik dalam setiap tes yang
ditempuhnya, bahkan ingin lebih baik dari teman-teman
sekelasnya. Keinginan ini akan mendorongnya belajar lebih baik
dan teliti. Artinya, ia akan bertarung dengan waktu guna
menguasai materi pelajaran yang akan dievaluasi itu.
d. Ulangan adalah alat yang bermakna dalam rangka penguasaan
atau pemantapan belajar (overlearning). Ulangan ini
dilaksanakan dalam bentuk review, latihan, pengembangan
keterampilan dan konsep-konsep. Pemantapan, penguasaan dan
pengembangan ingatan (retention) akan lebih baik jika dilakukan
ulangan secara periodik dan kontinu. Kendatipun peserta didik
dapat menjawab semua pertanyaan dalam tes, tetapi ulangan ini
tetap besar manfaatnya, karena penguasaan materi pelajaran
akan bertambah mantap.

2) Fungsi administratif
a. Tes merupakan suatu mekanisme untuk mengontrol kualitas
suatu sekolah atau suatu sistem sekolah. Norma-norma lokal
maupun norma-norma nasional menjadi dasar untuk melihat
untuk menilai keampuhan dan kelemahan kurikuler sekolah,
apalagi jika daerah setempat tidak memiliki alat yang dapat
dipergunakan untuk melaksanakan evaluasi secara periodik.
b. Tes berguna untuk mengevaluasi program dan melakukan
penelitian. Keberhasilan suatu program inovasi dapat dilihat
setelah diadakan pengukuran terhadap hasil program sesuai
dengan tujuan khusus yang telah ditetapkan. Percobaan metode
mengajar untuk menemukan cara belajar efektif dan efisien bagi
para peserta didik, baru dapat dilaksanakan setelah diadakan

24
serangkaian kegiatan eksperimen, selanjutnya dapat diukur
keberhasilannya dengan tes.
c. Tes dapat meningkatkan kualitas hasil seleksi. Seleksi sering
dilakukan untuk menentukan bakat peserta didik dan
kemungkinan berhasil dalam studinya pada suatu lembaga
pendidikan. Apakah seorang calon memilih keterampilan dalam
mengemban tugas tertentu, apakah peserta didik tergolong anak
terbelakang, dan sebagainya. Hasil seleksi sering digunakan
untuk menempatkan dan mengklasifikasikan peserta didik dalam
rangka program bimbingan. Anda juga dapat menggunakan hasil
tes untuk menentukan apakah peserta didik perlu dibimbing,
dilatih, diobati, dan diajari.
d. Tes berguna sebagai alat untuk melakukan akreditasi,
penguasaan (mastery), dan sertifikasi. Tes dapat dipergunakan
untuk mengukur kompetensi seorang lulusan. Misalnya, seorang
calon guru sudah dapat dikatakan memiliki kompetensi yang
diharapkan setelah dia mampu mendemonstrasikan
kemampuannya di dalam kelas. Untuk mengetahui tingkat
penguasaan kompetensi, kemudian memberikan sertifikat,
diperlukan pengukuran dengan alat tertentu, yaitu tes.

3) Fungsi bimbingan
Tes sangat penting untuk mendiagnosis bakat-bakat khusus dan
kemampuan (ability) peserta didik. Bakat skolastik, prestasi, minat,
kepribadian, merupakan aspek-aspek penting yang harus mendapat
perhatian dalam proses bimbingan. Informasi dari hasil tes standar
(standarized test) dapat membantu kegiatan bimbingan dan seleksi
ke sekolah yang lebih tinggi, memilih jurusan/program studi,
mengetahui kemampuan, dan sebagainya. Untuk memperoleh
informasi yang lengkap sesuai dengan kebutuhan bimbingan, maka
diperlukan alat ukur yang memadai, seperti tes. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka fungsi evaluasi pembelajaran adalah:
Pertama, untuk perbaikan dan pengembangan sistem
pembelajaran. Sebagaimana Anda ketahui bahwa pembelajaran
sebagai suatu sistem memiliki berbagai komponen, seperti tujuan,
materi, metoda, media, sumber belajar, lingkungan, guru dan
peserta. Dengan demikian, perbaikan dan pengembangan
pembelajaran harus diarahkan kepada semua komponen
pembelajaran tersebut.
Kedua, untuk akreditasi. Dalam UU.No.20/2003 Bab 1 Pasal 1
Ayat 22 dijelaskan bahwa “akreditasi adalah kegiatan penilaian

25
kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan”. Salah satu komponen akreditasi adalah
pembelajaran. Artinya, fungsi akreditasi dapat dilaksanakan jika
hasil evaluasi pembelajaran digunakan sebagai dasar akreditasi
lembaga pendidikan.

B. Indikator Prestasi Belajar


Adapun indikator prestasi belajar menurut Abin Syamsudin Makmur
(2000:26), dengan mengutip pendapat Benjamin Bloom, indikator
prestasi belajar mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah
afektif, dan ranah psikomotor. Ranah kognitif seperti pengamatan,
indikatornya adalah menunjukan, membandingkan, dan
menghubungkan. Ranah afektif seperti penerimaan, indikatornya
adalah menunjukan sikap menerima dan menunjukan sikap menolak.
Ranah psikomotor seperti keterampilan bergerak dan bertindak
indikatornya adalah mengkoordinasikan gerak mata, tangan, kaki, dan
anggota badan lainnya.

C. Tujuan Evaluasi Hasil Belajar


Jika kita ingin melakukan kegiatan evaluasi, terlepas dari jenis
evaluasi apa yang digunakan, maka guru harus mengetahui dan
memahami terlebih dahulu tentang tujuan dan fungsi evaluasi. Bila
tidak, maka guru akan mengalami kesulitan merencanakan dan
melaksanakan evaluasi. Hampir setiap orang yang membahas evaluasi
membahas pula tentang tujuan dan fungsi evaluasi. Tujuan evaluasi
pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan dan efisiensi
sistem pembelajaran, baik yang menyangkut tentang tujuan, materi,
metode, media, sumber belajar, lingkungan maupun sistem penilaian
itu sendiri. Sedangkan tujuan khusus evaluasi pembelajaran
disesuaikan dengan jenis evaluasi pembelajaran itu sendiri, seperti
evaluasi perencanaan dan pengembangan, evaluasi monitoring,
evaluasi dampak, evaluasi efisiensi-ekonomis, dan evaluasi program
komprehensif.
Dalam konteks yang lebih luas lagi, Sax (1980:28) mengemukakan
tujuan evaluasi dan pengukuran adalah untuk “selection, placement,
diagnosis and remedition, feedback: norm-referenced interpretation,
motivation and guidance of learning, program and curriculum
improvement: formative and summative evaluations, and theory
development”. (seleksi, penempatan, diagnosis dan remediasi, umpan
balik, penafsiran acuran-norma dan acuan-patokan, motivasi dan

26
bimbingan belajar, perbaikan program dan kurikulum:evaluasi formatif
dan sumatif, dan pengembangan teori).
Secara umum, tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk
mengetahui efektivitas proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Efektivitas dapat dilihat dari perubahan tingkah laku yang terjadi pada
peserta didik. perubahan tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan
kompetensi, tujuan, dan isi program pembelajaran. Adapun tujuan
evaluasi hasil belajar secara khusus adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap
materi yang telah diberikan.
2. Untuk mengetahui kecakapan, motivasi, bakat, minat, dan sikap
peserta didik terhadap program pembelajaran.
3. Untuk mengetahui tingkat kemajuan dan kesesuaian hasil belajar
peserta didik dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang telah ditetapkan.
4. Untuk mendiagnosis keunggulan dan kelemahan peserta didik
dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Keunggulan peserta didik
dapat dijadikan dasar bagi guru untuk memberikan pembinaan dan
pengembangan lebih lanjut, sedangkan kelemahannya dapat
dijadikan acuan untuk memberikan bantuan atau bimbingan.
5. Untuk mengetahui efisiensi dan efektifitas strategi pembelajaran
yang digunakan guru, baik yang menyangkut metode, media
maupun sumber-sumber belajar.

Selain itu, tingkat kemajuan peserta didik juga penting untuk


diketahui setiap guru, sebab pengetahuan mengenai kemajuan peserta
didik mempunyai bermacam-macam kegunaan.
Pertama, Anda dapat mengetahui kedudukan peserta didik dalam
kelompoknya. Anda dapat memprakirakan apakah seorang peserta
didik dalam kelompoknya dapat dimasukkan ke dalam golongan anak
yang biasa atau yang luar bisa dalam arti supergenius atau lambat
majunya. Anda juga dapat membuat perencanaan yang realistis
mengenai masa depan anak. Hal ini penting, karena keberhasilan
peserta didik sebagai anggota masyarakat dikelak kemudian hari akan
ditentukan oleh ada tidaknya perencanaan masa depan yang realistis
ini.
Kedua, apabila pengetahuan tentang kemajuan peserta didik tadi
digabungkan dengan pengetahuan tentang kapasitas (kemampuan
dasar) peserta didik, maka ia dapat dipergunakan sebagai petunjuk
mengenai kesungguhan usaha anak dalam menempuh program

27
pendidikannya. Melalui petunjuk ini pula kita dapat membantu peserta
didik sesuai dengan kompetensi yang diharapkan.

D. Fungsi Evaluasi
Cronbach (1963:236) menjelaskan “evaluation used to improved
the course while it is still fluid contributes more to improvement of
education than evaluation used to appraise a product already on the
market”. Cronbach nampaknya lebih menekankan fungsi evaluasi
untuk perbaikan, sedangkan Scriven (1967) membedakan fungsi
evaluasi menjadi dua macam, yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif.
Fungsi formatif dilaksanakan apabila hasil yang diperoleh dari kegiatan
evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu atau sebagian
besar bagian kurikulum yang sedang dikembangkan. Sedangkan fungsi
sumatif dihubungkan dengan penyimpulan mengenai kebaikan dari
sistem secara keseluruhan. Fungsi ini baru dapat dilaksanakan jika
pengembangan program pembelajaran telah dianggap selesai.
Fungsi evaluasi memang cukup luas, bergantung kepada dari sudut
mana Anda melihatnya. Bila kita lihat secara menyeluruh, fungsi
evaluasi adalah:
1. Secara psikologis, peserta didik selalu butuh untuk mengetahui
hinggamana kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai. Peserta didik adalah manusia yang belum
dewasa. Mereka masih mempunyai sikap dan moral yang
heteronom, membutuhkan pendapat orang-orang dewasa (seperti
orang tua dan guru) sebagai pedoman baginya untuk mengadakan
orientasi pada situasi tertentu. Dalam menentukan sikap dan
tingkah lakunya, mereka pada umumnya tidak berpegang kepada
pedoman yang berasal dari dalam dirinya, melainkan mengacu
kepada norma-norma yang berasal dari luar dirinya. Dalam
pembelajaran, mereka perlu mengetahui prestasi belajarnya,
sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan.
2. Secara sosiologis, evaluasi berfungsi untuk mengetahui apakah
peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat.
Mampu dalam arti peserta didik dapat berkomunikasi dan
beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala
karakteristiknya. Lebih jauh dari itu, peserta didik diharapkan dapat
membina dan mengembangkan semua potensi yang ada dalam
masyarakat. Hal ini penting, karena mampu-tidaknya peserta didik
terjun ke masyarakat akan memberikan ukuran tersendiri terhadap
institusi pendidikan yang bersangkutan. Untuk itu, materi
pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

28
3. Secara didaktis-metodis, evaluasi berfungsi untuk membantu guru
dalam menempatkan peserta didik pada kelompok tertentu sesuai
dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing serta
membantu guru dalam usaha memperbaiki proses
pembelajarannya.
4. Evaluasi berfungsi untuk mengetahui kedudukan peserta didik
dalam kelompok, apakah ia termasuk anak yang pandai, sedang
atau kurang pandai. Hal ini berhubungan dengan sikap dan
tanggung jawab orang tua sebagai pendidik pertama dan utama di
lingkungan keluarga. Anda dan orang tua perlu mengetahui
kemajuan peserta didik untuk menentukan langkah-langkah
selanjutnya.
5. Evaluasi berfungsi untuk mengetahui taraf kesiapan peserta didik
dalam menempuh program pendidikannya. Jika peserta didik sudah
dianggap siap (fisik dan non-fisik), maka program pendidikan dapat
dilaksanakan. Sebaliknya, jika peserta didik belum siap, maka
hendaknya program pendidikan tersebut jangan dulu diberikan,
karena akan mengakibatkan hasil yang kurang memuaskan.
6. Evaluasi berfungsi membantu guru dalam memberikan bimbingan
dan seleksi, baik dalam rangka menentukan jenis pendidikan,
jurusan, maupun kenaikan kelas. Melalui evaluasi, Anda dapat
mengetahui potensi peserta didik, sehingga dapat memberikan
bimbingan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Begitu juga
tentang kenaikan kelas. Jika peserta didik belum menguasai
kompetensi yang ditentukan, maka peserta didik tersebut jangan
dinaikkan ke kelas berikutnya atau yang lebih tinggi. Kegagalan ini
merupakan hasil keputusan evaluasi, karena itu Anda perlu
mengadakan bimbingan yang lebih profesional.
7. Secara administratif, evaluasi berfungsi untuk memberikan laporan
tentang kemajuan peserta didik kepada orang tua, pejabat
pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan
peserta didik itu sendiri. Hasil evaluasi dapat memberikan
gambaran secara umum tentang semua hasil usaha yang dilakukan
oleh institusi pendidikan.

Di samping itu, fungsi evaluasi dapat dilihat berdasarkan jenis evaluasi


itu sendiri, yaitu:
1. Fungsi formatif, yaitu untuk memberikan umpan balik (feedback)
kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses
pembelajaran dan mengadakan program remedial bagi peserta
didik.

29
2. Fungsi sumatif, yaitu untuk menentukan nilai (angka)
kemajuan/hasil belajar peserta didik dalam mata pelajaran tertentu,
sebagai bahan untuk memberikan laporan kepada berbagai pihak,
penentuan kenaikan kelas dan penentuan lulus-tidaknya peserta
didik.
3. Fungsi diagnostik, yaitu untuk memahami latar belakang
(psikologis, fisik dan lingkungan) peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar, dimana hasilnya dapat digunakan sebagai dasar
dalam memecahkan kesulitan-kesulitan tersebut.
4. Fungsi penempatan, yaitu untuk menempatkan peserta didik dalam
situasi
5. pembelajaran yang tepat (misalnya dalam penentuan program
spesialisasi) sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.

E. Prinsip-prinsip Pelaksanaan Evaluasi


Untuk memperoleh hasil evaluasi yang lebih baik, maka
pelaksanaan evaluasi hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip
kontinuitas, komprehensif, objektivitas, kooperatif, dan praktis.
Dengan demikian, evaluasi pembelajaran hendaknya:
1) dirancang sedemikian rupa, sehingga jelas abilitas yang harus
dievaluasi, materi yang akan dievaluasi, alat evaluasi dan
intreprestasi hasil evaluasi.
2) Menjadi bagian integral dari proses pembelajaran.
3) Agar hasilnya objektif, evaluasi harus menggunakan berbagai alat
(instrumen) dan sifatnya komprehensif.
4) Diikuti dengan tindak lanjut. Disamping itu, evaluasi juga harus
memperhatikan prinsip keterpaduan, prinsip berorientasi kepada
kecakapan hidup, prinsip belajar aktif, prinsip kontinuitas, prinsip
koherensi, prinsip keseluruhan, prinsip pendagogis, prinsip
diskriminalitas, dan prinsip akuntabilitas.

Evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan pemilihan, pengumpulan,


analisis, dan penyajian informasi mengenai perubahan tingkah laku
siswa setelah melalui proses belajar mengajar. Setiap guru penting
untuk melakukan evaluasi hasil belajar, karena evaluasi itu sendiri
berfungsi dan bertujuan untuk mengetahui keefektifan dan efisiensi
sistem pembelajaran, baik yang menyangkut tentang tujuan, materi,
metode, media, sumber belajar, lingkungan maupun sistem penilaian
itu sendiri.
Guru dapat melaksanakan evaluasi hasil belajar dengan
menggunakan alat evaluasi yaitu dengan tes secara objektif dan tes

30
secara subjektif. Tes tersebut selanjutnya dapat dijadikan penilaian
terhadap prestasi belajar siswa. prestasi belajar siswa harus ditinjau
berdasarkan kemampuan siswa dibidang kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Agar memperoleh hasil evaluasi yang lebih baik dan
mencapai tujuan evaluasi, maka pelaksanaan evaluasi hendaknya
memperhatikan prinsip-prinsip kontinuitas, komprehensif, objektivitas,
kooperatif, dan praktis.
Sebelum melakukan kegiatan hendaknya guru harus mengetahui
dan memahami terlebih dahulu tentang tujuan dan fungsi evaluasi itu
sendiri. Selain itu juga penting mengetahui beragam alat evaluasi,
indikator prestasi belajar, serta prinsip-prinsip kegiatan evaluasi. jika
tidak, maka guru akan mengalami kesulitan merencanakan dan
melaksanakan kegiatan evaluasi.

31
Daftar Pustaka

Arifin, Zainal. 2010. Makalah Evaluasi Pembelajaran (Teori dan Praktik).


Diambildari:http://www.academia.edu/6959537/Evaluasi_Pembelaja
ran_Teori_Dan_Praktik_Makalah_Jurusan_Kurikulum_Dan_Teknologi
_Pendidikan_Fakultas_Ilmu_Pendidikan_Universitas_Pendidikan_Ind
onesia. (26 September 2018)

--. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta Pusat:Direktorat Jendral


Pendidikan Islam, Kementrian Agama RI.

Asriyadi. 2017. Makalah Evaluasi Hasil Belajar dan Evaluasi pembelajaran.


Diambil dari:https://asriyadi91.blogspot.com/2017/04/makalah-
evaluasi-hasil-pembelajaran.html. (1 Januari 2019)

Asyifa, Cheria Drifi., dan Faniandari, Suci. 2016. Makalah Evaluasi


Pembelajaran, Hasil Belajar, Beda Assesment, Measurement, Dan
Evaluation. Diambil
dari:http://www.academia.edu/28592716/Makalah_Evaluasi_dan_H
asil_Belajar. (1 Januari 2019)

Harisa., Basdiati., Hikmawati, Nur., dan M, Fatima Azzahra. 2014.


Evaluasi Hasil Belajar. Diambil
dari:http://harisahrs.blogspot.com/2016/09/makalah-evaluasi-hasil-
belajar.html. (1 Januari 2019)

Widoyoko, E. P. (2009). Evaluasi program pembelajaran.


Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

32
BAB III
Prinsip Dan Acuan Penilaian

Dalam proses belajar seorang anak di sekolah tentunya memiliki daya


tangkap (daya serap) yang berbeda pada setiap pelajaran. Perbedaan
daya tangkap inilah yang mempengaruhi penilaian hasil belajar siswa.
Penilaian hasil belajar merupakan aktivitas yang sangat penting dalam
proses pendidikan. Semua proses pendidikan akan menghasilkan
penilaian yang diwujudkan secara kuantitatif berupa nilai. Penilaian juga
merupakan ujung tombak dari suatu kegiatan pencapaian taraf berhasil
tidaknya suatu pembelajaran. Model dalam penilaian selalu berkembang
dan disempurnakan seiring dengan perkembangan dan perubahan
kurikulum yang berlaku.
Dalam melakukan proses penilaian dibutuhkan instrumen untuk
mengamati dan mengukur hasil pembelajaran. Instrumen penilaian
digunakan dengan memperoleh data yang mencerminkan ketercapaian
tujuan pembelajaran pada peserta didik. Data tersebut selanjutnya harus
diolah dan dimaknai sehingga menjadi infromasi yang bermakna. Selain
itu berdasarkan data tersebut penilai dapat membuat keputusan
mengenai posisi atau status seorang peserta didik, misalnya naik atau
tidak naik kelas, lulus atau tidak dan sebagainya. Seluruh proses
penilaian hasil belajar tentu harus dilakukan dengan cermat, mulai dari
penyusunan instrumen, pelaksanaan tes, pengolahan, sampai pada
penetapan hasil akhir.
Penilaian merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan
pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan dapat ditempuh
melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem
penilaiannya. Berdasarkan hal tersebut, maka penilaian harus dilakukan
sesuai dengan prinsip-prinsip penilaian yang sebenarnya agar penilaian
yang dilakukan oleh guru atau dosen sesuai dengan prinsip penilaian yang
sebenarnya.

A. Pengertian Penilaian
Ditinjau dari sudut bahasa, penilaian diartikan sebagai proses
menentukan nilai suatu objek. Untuk dapat menentukan suatu nilai
atau harga suatu objek diperlukan adanya ukuran atau kriteria.
Misalnya untuk dapat mengatakan baik, sedang, kurang, diperlukan
adanya ukuran yang jelas, bagaimana yang baik, yang sedang dan
yang kurang. Ukuran itulah yang dinamakan kriteria. Dari pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa cara penilaian adalah adanya objek

33
atau program yang dinilai dan adanya kriteria sebagai dasar untuk
membandingkan antara apa yang dicapai dengan kriteria sebagai
dasar untuk membandingkan antara apa yang dicapai dengan kriteria
yang harus dicapai. Perbandingan bisa bersifat mutlak, bisa pula
bersifat relatif. (Kurniawan, 2011)
Perbandingan bersifat mutlak artinya hasil perbandingan tersebut
menggambarkan posisi objek yang dinilai ditinjau dari kriteria yang
berlaku. Sedangkan perbandingan yang bersifat relatif artinya hasil
perbandingan lebih menggambarkan posisi suatu objek yang dinilai
terhadap objek lainnya dengan bersumber pada kriteria yang sama.
Dengan demikian, inti penilaian adalah proses mementukan nilai suatu
objek tertentu berdasarkan kriteria tertentu. Proses pemberian nilai
tersebut berlangsung dalam bentuk interpretasi yang diakhiri dengan
judgment. Interpretasi dan judgment merupakan tema penilaian yang
mengimplikasikan adanya suatu perbandingan antara kriteria dan
kenyataan dalam konteks situasi tertentu. Atas dasar itu maka dalam
kegiatan penilaian selalu ada objek/program yang dinilai, ada kriteria,
dan ada interpretasi/ judgment. (Na’im dan Siska, 2016)
Sedangkan menurut Juliantine (2012), penilaian adalah koleksi dari
informasi yang valid, reliabel, dan bertujuan untuk meningkatkan
penampilan. Juliantine juga mengungkapkan bahwa, penilaian
memerlukann informasi yang baik dan informasi yang baik itu harus
valid dan reliabel. Penilaian digunakan sebagai usaha untuk melihat
keberhasilan proses belajar-mengajar yang ditunjukkan dalam bentuk
nilai dan juga digunakan sebagai penilaian terhadap usaha dalam
rangka perbaikan suatu penampilan. Jadi dalam penilaian harus
dilakukan secara adil, dan harus dihubungkan dengan tujuan.
Menurut Arifin (2009), penilaian hasil belajar adalah proses
pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan
kriteria tertentu. Penilaian adalah proses sistematis meliputi
pengumpulan informasi (angka atau deskripsi verbal), analisis, dan
intrepretasi untuk mengambil keputusan. Untuk itu, diperlukan data
sebagai dasar pengambilan keputusan. Dalam hal ini, keputusan
berhubungan dengan sudah atau belum berhasilnya peserta didik
dalam mencapai suatu kompetensi. (Zulita, 2013: 98)
Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilainya adalah hasil
belajar siswa. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan
tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang
luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotoris. Oleh sebab
itu, dalam penilaian hasil belajar rumusan kemampuan dan tingkah
laku yang diinginkan dikuasai siswa (kompetensi) menjadi unsur

34
penting sebagai dasar dan acuan penilaian. Penilaian proses
pembelajaran adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai tujuan-
tujuan pengajaran.
Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Berdasarkan pada PP. Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan bahwa penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah terdiri atas:
a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan;
c. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Setiap satuan pendidikan selain melakukan perencanaan dan proses
pembelajaran, juga melakukan penilaian hasil pembelajaran sebagai
upaya terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara
berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester,
ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Selanjutnya,
penilaian hasil belajar oleh pendidik digunakan untuk (a) menilai
pencapaian kompetensi peserta didik; (b) bahan penyusunan laporan
kemajuan hasil belajar; dan (c) memperbaiki proses pembelajaran
(Na’im dan Siska, 2016)
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian
proses sistematis meliputi pengumpulan informasi, analisis, dan
intrepretasi untuk mengambil keputusan dalam melihat keberhasilan
proses belajar-mengajar yang dapat bersifat mutlak ataupun relatif.

B. Prinsip-prinsip Penilaian
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh guru pada saat
melaksanakan penilaian untuk implementasi Kurikulum 2013 baik pada
jenjang pendidikan dasar (SD/MI) maupun pada jenjang pendidikan
menengah (SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK) adalah sebagai berikut:
1. Valid
Penilaian valid berarti menilai apa yang seharusnya dinilai
dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur
kompetensi, sehingga penilaian tersebut menghasilkan informasi
yang akurat tentang aktivitas belajar. Penilaian hasil belajar oleh
pendidik harus mengukur pencapaian kompetensi yang ditetapkan
dalam standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) dan
standar kompetensi lulusan. Misalnya apabila pembelajaran

35
menggunakan pendekatan eksperimen maka kegiatan eksperimen
harus menjadi salah satu obyek yang di nilai.
Contoh: Dalam pelajaran penjaskes, guru menilai kompetensi
permainan badminton siswa, penilaian dianggap valid jika
menggunakan test praktek langsung, jika menggunakan tes tertulis
maka tes tersebut tidak valid.

2. Obyektif
Penilaian yang bersifat objektif tidak memandang dan membeda-
bedakan latar belakang peserta didik, namun melihat kompetensi
yang dihasilkan oleh peserta didik tersebut, bukan atas dasar siapa
dirinya. Penilaian harus dilaksanakan secara objektif dan tidak
dipengaruhi oleh subyektivitas penilai.
Contoh: Guru memberi nilai 85 untuk materi volley pada si A yang
merupakan tetangga dari guru tersebut, namun si B, yang
kemampuannya lebih baik, mendapatkan nilai hanya 80. Ini adalah
penilaian yang bersifat subyektif dan tidak disarankan. Pemberian
nilai haruslah berdasarkan kemampuan siswa tersebut.

3. Adil
Peserta didik berhak memperoleh nilai secara adil, penilaian hasil
belajar tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena
berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku,
budaya, adat istiadat, status sosial, ekonomi, fisik, dan gender.
Contoh: guru penjaskes laki-laki hendaknya tidak memandang fisik
dan rupa dari murid perempuan yang cantik kemudian memberi
perlakuan khusus, semua murid berhak diperlakukan sama saat
KBM maupun dalam pemberian nilai. Nilai yang diberikan sesuai
dengan kenyataan hasil belajar siswa tersebut.

4. Terbuka
Penilaian harus bersifat transparan dan pihak yang terkait harus
tau bagaimana pelaksanaan penilaian tersebut, dari aspek apa saja
nilai tersebut didapat, dasar pengambilan keputusan, dan
bagaimana pengolahan nilai tersebut sampai hasil akhirnya tertera,
dan dapat diterima.
Contoh: pada tahun ajaran baru, guru Kimia menerangkan tentang
kesepakatan pemberian nilai dengan bobot masing-masing aspek,
misal, Partisipasi kehadiran diberi bobot 20%, Tugas individu dan
kelompok 20%, Ujian tengah semester 25%, ujian akhir semester

36
35%. Sehingga disini terjadi keterbukaan penilaian antara murid
dan guru.

5. Bermakna
Penilaian hasil belajar oleh pendidik memiliki arti, makna, dan
manfaat yang dapat ditindaklanjuti oleh pihak lain, terutama
pendidik, peserta didik, orang tua, dan masyarakat.
Contoh: bagi guru, hasil penilaian dapat bermakna untuk melihat
seberapa besar keberhasilan metode pembelajaran yang digunakan,
sebagai evaluasi untuk perbaikan kedepan, serta memberikan
pengukuran prestasi belajar kepada siswa.

6. Mendidik
Penilaian hasil belajar harus dapat mendorong dan membina
peserta didik maupun pendidik untuk menjadi lebih baik dari
sebelumnya dengan cara memperbaiki kualitas belajar mengajar.
Contoh: Budi mendapatkan nilai 60 untuk pelajaran matematika,
50 untuk bahasa Indonesia, dan 65 untuk Fisika, namun dalam
kegiatan ekstrakurikuler futsal, ia meraih prestasi yang
membanggakan. Budi sadar bahwa ia harus menyeimbangkan
prestasi akademik dan non akademiknya, Kemudian budi terpacu
untuk mengevaluasi kesalahannya dan memperbaiki kualitas belajar
dan hidupnya, memperoleh nilai yang baik, juga memperoleh
prestasi yang baik.

7. Menyeluruh
Penilaian diambil dengan mencakup seluruh aspek kompetensi
peserta didik dan menggunakan berbagai teknik penilaian yang
sesuai, termasuk mengumpulkan berbagai bukti aktivitas belajar
peserta didik. Penilaian meliputi pengetahuan (cognitif),
keterampilan (phsycomotor), dan sikap (affectif).
Contoh: Dalam penilaian hasil akhir belajar, guru Seni Budaya
mengumpulkan berbagai bukti aktivitas siswa dalam catatan
sebelumnya, penilaian yang dikumpulkan mulai dari pengetahuan
tentang seni budaya, keterampilan menari, menggambar, bermusik,
kehadiran dalam KBM, dan penilaian sikap peserta didik, semua hal
tersebut digabungkan menjadi satu dan menghasilkan nilai.

37
8. Berkesinambungan
Pelaksanaan penilaian hasil belajar dilakukan secara terencana,
bertahap, dan terus menerus untuk memperoleh gambaran tentang
perkembangan belajar peserta didik.
Contoh: guru matematika melakukan KBM secara terencana, guru
menjelaskan materi tiap pertemuan, memberikan tugas,
mengadakan ulangan harian, ujian tengah semester, serta ujian
akhir semester, semua dilaksanakan secara terus menerus dan
bertahap, dan dari setiap tahap tersebut, guru mengumpulkan
informasi yang akan diolah untuk menghasilkan nilai.

9. Akuntabel
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dapat dipertanggung
jawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
Contoh: guru bahasa mandarin dapat menjelaskan secara benar
kepada pihak terkait, tentang proses penilaian, teknik penilaian,
prosedur, dan hasil yang sesuai dengan kenyataan kemampuan
hasil belajar peserta didiknya.

C. Acuan Penilaian
Dalam melaksanakan penilaian pendidik harus mengacu pada
standar umum penilaian. Standar umum penilaian memiliki prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1. Teknik penilaian disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran
2. Informasi yang dihimpun mencakup semua ranah yang sesuai
dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan
3. Pendidik harus selalu mencatat perkembangan peserta didik baik
positif atau negatif dalam catatan buku perilaku
4. Melakukan sekurang-kurangnya tiga kali ulangan harian menjelang
UTS dan tiga kali ulangan menjelang UAS
5. Pendidik harus memberikan balikan kepada peserta didik sebelum
memberika tugas lanjutan
6. Pendidik harus melakukan tes yang sesuai dengan Standar
Kompetensi dan Standar Lulusan
7. Pendidik harus menjaga kerahasiaan hasil penilaian tanpa seiizin
yang bersangkutan maupun wali murid

Ada dua teknik evaluasi yaitu teknik non-tes dan teknik tes.

1. Teknik non-tes
Yang tergolong teknik non-tes yaitu, Wawancara (Interview),
Pengamatan (Observation)

38
2. Teknik Tes
Menurut Drs. Amir Daien Indra kusuma bahwa tes adalah suatu
alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh
data-data atau keterangan-keterangan yang diiginkan tentang
seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan cepat dan tepat.
Sementara Mukhtar Buchori mengatakan bahwa tes adalah suatu
percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada tidaknya hasil-
hasil pelajaran tertentu pada seorang murid atau kelompok murid.
Dari dua penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tes
merupakn suatu alat penghimpun informasi tetapi jika dibandingkan
dengan alat-alat yang lain, tes ini bersifat lebih resmi karena penuh
dengan batasan-batasan.
Ditinjau dari segi kegunaan untuk mengukur siswa, maka tes
dibedakan atas tiga macam yaitu :
a. Tes diagnostic
Tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-
kelemahan dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat.
b. Tes formatif.
Tes formatif adalah tes untuk mengetahui sejauh mana siswa
telah terbentuk setelah mengikuti sesuatu program tertetentu
c. Tes sumatif.
Tes sumatif adalah suatu tes yang dilaksanakan setelah
berakhirnya pemberian sekelompok program atau sebuah
program yang lebih besar dalam pengalaman di sekolah dapat
disamakan dengan ulangan umum yang dilaksanakan pada
setiap catur wulan atau akhir semester.
Dalam mengajukan soal tes kepada para siswa ada beberapa model
pertanyaan yang dijadikan alat evaluasi diantaranya ada tes uraian
dan tes objektif. Tes uraian terdiri dari uraian bebas, uraian terbatas
dan uraian berstruktur. Sedangkan tes objektif terdiri dari beberapa
bentuk, yaitu bentuk pilihan benar-salah, pilihan berganda dengan
berbagai variasinya, menjodohkan dan bentuk isian pendek atau
melengkapi.
a. Tes Uraian
Tes uraian, yang dalam literatur disebut juga essay
examination, merupakan alat penilaian hasil belajar yang paling
tua. Secara umum tes uraian ini adalah pertanyaan yang menuntut
siswa menjawabnya dalam bentuk menguraikan, menjelaskan,
mendiskusikan, membandingkan, memberikan alasan dan bentuk
lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan

39
menggunakan kata-kata dan bahasa sendiri. Dengan demikian,
dalam tes ini dituntut kemampuan siswa dalam hal
mengekspresikan gagasan melalui bahasa tulisan. Disinilah
kakuatan atau kelebihan tes esai dari alat penilaian lainnya. Ada
semacam kecenderungan di kalangan para pendidik dan guru untuk
menggunakan tes uraian sebagai alat penilaian hasil belajar
disebabkan oleh beberapa hal antara lain ialah (1) adanya gejala
menurunnya hasil belajar yang salah satu diantaranya berkenaan
dengan penggunaan tes objektif, (2) lemahnya para siswa dalam
menyatakan gagasan sebagai akibat penggunaan tes objektif yang
berlebihan, (3) kurangnya daya analisis siswa karena terbiasa
dengan tes objektif yang memungkinkan mereka main tebak
jawaban manakala menghadapi kesulitan dalam menjawabnya.
Kondisi seperti ini menyebabkan adanya keinginan untuk
menggunakan kembali tes uraian. Harus diakui bahwa tes uraian
dalam banyak hal mempunyai kelebihan daripada tes objektif
terutama dalam hal meningkatkan kemampuan menalar para siswa.
Hal ini disebabkan karena melalui tes uraian dapat mengungkapkan
aspek kognitif tingkat tinggi seperti analisis-sintesis-evaluasi, baik
secara lisan maupun tulisan.
b. Tes Objektif
Soal-soal bentuk objektif banyak digunakan guru dalam menilai
hasil belajar. Hal ini disebabkkan tes obyektif bisa mencakup bahan
pelajaran yang lebih banyak dan mudahnya memeriksa jawaban
siswa. Soal-soal tes objektif dikenal ada beberapa bentuk, yakni
jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan, dan pilihan berganda.

Acuan kriteria berasumsi bahwa hampir semua orang bisa belajar


apa saja namun waktunya yang berbeda. Konsekuensi acuan ini adalah
adanya program remedi. Penafsiran skor hasil tes selalu dibandingkan
dengan kriteria yang telah ditetapkan lebih dahulu. Hasil tes ini dinilai
lulus atau tidak. Lulus berarti bisa melakukan, tidak lulus berarti tidak
bisa melakukan. Acuan ini banyak digunakan untuk bidang sains dan
teknologi serta mata kuliah praktik.
Tujuan penggunaan acuan kriteria untuk menyeleksi (secara pasti)
status individual mengenai domain perilaku yang
ditetapkan/dirumuskan dengan baik. Hal itu dimaksudkan untuk
mendapat gambaran yang jelas tentang kinerja peserta tes tanpa
memperhatikan bagaimana kinerja tersebut dibandingkan dengan
kinerja yang lain.
Dalam pendekatan dengan acuan kriteria, penentuan tingkatan
didasarkan pada skor-skor yang telah ditetapkan sebelumnya dalam

40
bentuk presentase. Untuk mendapatkan nilai A atau B, seorang siswa
harus mendapatkan skor tertentu sesuai dengan batas yang
ditentukan tanpa terpengaruh oleh kinerja (skor) yang diperoleh siswa
lain dalam kelasnya. Salah satu kelemahan dalam menggunakan
standar absolut adalah skor siswa bergantung pada tingkat kesulitan
tes yang mereka terima. Artinya apabila tes yang diterima siswa
mudah maka para siswa akan mendapat nilai A atau B, dan sebaliknya
apabila tes tersebut terlalu sulit untuk diselesaikan maka kemungkinan
untuk mendapatkan nilai A atau B akan sangat kecil.
Dalam menginterpretasi skor mentah menjadi nilai dengan
menggunakan pendekatan acuan kriteria, maka terlebih dahulu
ditentukan kriteria kelulusan dengan batas-batas nilai kelulusan.
Umumnya kriteria nilai yang digunakan dalam bentuk rentang skor
berikut:
Rentang Skor Nilai Contoh “B” di bawah ini,
80 s.d 100 A mempunyai data yang sama
70 s.d 79 B dengan contoh “A”, jika
60 s.d 69 C digunakan penilaian acuan
45 s.d 59 D kriteria, maka langkah pertama
<> E
yang dilakukan adalah
menetapkan kriteria, misalnya sebagai berikut:
Rentang Skor Nilai
90 s.d 100 10
80 s.d 89 9
70 s.d 79 8
60 s.d 69 7
50 s.d 59 6
40 s.d 49 5
30 s.d 39 4
20 s.d 29 3
10 s.d 19 2
0 s.d 9 1
Setelah kriteria ditetapkan, langkah berikutnya adalah mengkonversi
skor mentah ke nilai. Untuk skor :
45 dikonversi menjadi nilai 6
45 dikonversi menjadi nilai 5
40 dikonversi menjadi nilai 5
35 dikonversi menjadi nilai 4
30 dikonversi menjadi nilai 4
Berikut ini disajikan tabel tentang skor mentah, konversi nilai
berdasarkan pendekatan normal dan kriteria:

41
Tabel 3.
Skor Mentah, Nilai Berdasarkan Pendekatan Normal dan Kriteria
Skor Mentah Nilai Berdasarkan Pendekatan Keterangan
Normal Kriteria
50 10 6
45 9 5
40 8 5
35 7 4
30 6 4
Mencermati tabel 3 di atas, tampak bahwa terjadi perbedaan yang
berarti antara informasi yang disajikan oleh kedua pendekatan yang
digunakan. Untuk skor 50, seorang siswa akan mendapatkan nilai 10
jika menggunakan pendekartan acuan penilaian normal. Tetapi akan
memperoleh nialai 6 jika menggunakan pendekatan acuan penilaian
kriteria.

Penilaian pendidikan merupakan proses pengumpulan dan


pengelolaan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar
peserta didik. Penilaian harus berdasarkan prinsip; valid/sahih,
objektif, transparan, keterpaduan, menyeluruh dan
berkesinambungan, bermakna, sistematis, akuntabel, dan sesuai
acuan kriteria. Ada dua teknik evaluasi yaitu teknik non – tes dan
teknik tes. Teknik non–tes meliputi; Skala Bertingkat (Rating Scale),
Kuesioner (Question Air), Daftar Cocok (Ceklist), Wawancara
(Interview), Pengamatan (Observation). Sedangkan teknik tes
meliputi; tes diagnostik, tes formatif, dan tes sumatif.
Diharapkan kepada pendidik agar memperhatikan prinsip – prinsip
penilaian agar hasil yang diperoleh peserta didik dapat sesuai dengan
kriteria penilaian yang sebenarnya.

42
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Na’im dan Siska Dwi Puspitasari. 2016. Prinsip-Prinsip Penilaian


dan Acuan Penilaian. Malang: Makalah Evaluasi Pembelajaran
Arifin Z. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA.
Eka Putra Kurniawan. 2011. Penilaian Hasil Belajar. Artikel Indonesia
Leni Natalia Zulita. 2013. Sistem Pendukung Keputusan Menggunaka
Metode SAW untuk Penilaian Dosen Berprestasi (Studi Kasus di
Universitas Dehasen Bengkulu). Jurnal Media Infotama, vol. 9, no. 2.
ISSN: 1858-2680
Tite Juliantine. 2012. Penilaian dan Pendidikan Jasmani. Jurnal Pendidikan
Olahraga, vol. 1, no. 2
Maesih. 23 SEPTEMBER 2012. Prinsip-prinsip beserta contohnya.
Diperoleh 1 Januari 2019 dari
https://missymaesih.wordpress.com/2012/09/23/prinsip-prinsip-
penilaian-beserta-penerapancontohnya/.
Anonim. 9 Oktober 2016. Prinsip-prinsip penilaian dan acuan penilaian.
Diperoleh 1 Januari 2019, dari
https://perkuliahanpgsd.blogspot.com/2016/10/prinsip-prinsip-
penilaian-dan-acuan.html.
Samkomkar. 10 Desember 2009. Acuan Penilaian. Diperoleh 1 Januari,
dari http://sarkomkar.blogspot.com/2009/12/acuan-penilaian.html.

43
BAB IV
Aspek Hasil Belajar Ranah Kognitif, Afektif, & Psikomotorik

Penilaian adalah upaya atau tindakan untuk mempelajari lebih


lanjut tujuan yang telah ditentukan itu disetujui atau tidak. Dengan
kata lain, sukseskan pekerjaan untuk mengetahui keberhasilan
proses dan hasil belajar siswa. Dalam sistem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan
instruksional, menggunakan tujuan hasil belajar dari Benyamin
Mekar yang sesuai garis besar membaginya menjadi tiga ranah,
yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Salah satu prinsip dasar yang harus senantiasa
dipertimbangkan dan dipegangi dalam kerangka evaluasi hasil
belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip evaluator dalam
evaluasi evaluasi belajar dituntut untuk mendukung didik terhadap
peserta didik, baik untuk diskusi tentang bahan atau bahan yang
telah diberikan kognitif), juga dari segi penghayatan (aspek
afektif), dan pengamalannya (aspek psikomotor).
Ketiga aspek atau ranah kejiwaan itu erat sekali dan bahkan
tidak mungkin dilepas dari kegiatan atau proses evaluasi hasil
belajar. Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya yang
menentukan pengelompokkan tujuan pendidikan harus senantiasa
memilih untuk tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang
melekat pada diri peserta didik, yaitu:
1. Ranah proses berfikir (ranah kognitif)
2. Ranah nilai atau sikap (domain afektif)
3. Ranah keterampilan (domain psikomotor)
Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka tiga domain atau
ranah harus diambil sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil
belajar.

A. Pengertian Pengukuran
Pengukuran dalam sekolah hanya memuat dengan
pecandraan (deskripsi) kuantitatif mengenai tingkah laku siswa.
Penilaian tidak mempertimbangkan. Seperti disetujui tes,
pengukuran pun tidak menentukan siapa yang lulus dan siapa
yang tidak lulus. Pengukuran hanya membuahkan data
kuantitatif tentang hal yang diperoleh. Dalam sistem pendidikan
nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler
maupun tujuan intruksional, menggunakan tujuan hasil belajar

44
dari benyamin mekar yang membaginya menjadi 3 ranah yaitu
ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikokomotorik. [1]
Pengukuran dalam sekolah hanya memuat dengan
pencandraan (deskripsi) kuantitatif mengenai tingkah laku
siswa. Penilaian tidak mempertimbangkan. Sepertihalnya tes,
pengukuranpun tidak menentukan siapa yang lulus dan siapa
yang tidak lulus. Pengukuran hanya membuahkan data
kuantitatif tentang hal yang diperoleh. Pengukuran sebuah
silinder, misalnya hanya membuahkan data mengenai beberapa
sentimeter persegi luas alasnya dan berapa tinggi.
Terkait prosedur untuk memberikan angka (biasanya
disebut skor) ke suatu sifat atau karakteristik tertentu yang
berkaitan dengan mempertahankan hubungan senyatanya
antara seseorang dengan orang lain yang berkaitan dengan sifat
yang dihasilkan.
Untuk mengukur seseorang menurut batasan tersebut di
atas, perlu:
1. Mengidentifikasi orang yang ingin dihapus itu;
2. Mengidentifikasi ciri-ciri orang lain; dan
3. Menentukan prosedur yang diperlukan untuk memberikan
angka-angka pada karakteristik tersebut.
Definisi di atas menyiarkan tentang aspek terpenting dari
pengukuran (skor) yang diberikan itu mempertahankan
hubungan antar manusia seperti yang ada di dalam persetujuan.

B. Ranah Pengukuran Kognitif


1) Pengertian Ranah Penilaian Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan
mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang
menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah
kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan
berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal,
memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan
kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat
enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang
terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi.
2) Ciri-ciri Ranah Penilaian Kognitif
Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir
termasuk di dalamnya kemampuan memahami, menghafal,
mengaplikasi, menganalisis, mensistesis dan kemampuan

45
mengevaluasi. Menurut Taksonomi Bloom (Sax 1980),
kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara
hirarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis dan evaluasi.
Pada tingkat pengetahuan, peserta didik menjawab
pertanyaan berdasarkan hafalan saja. Pada tingkat
pemahaman peserta didik dituntut juntuk menyatakan
masalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contoh suatu
konsep atau prinsip. Pada tingkat aplikasi, peserta didik
dituntut untuk menerapkan prinsip dan konsep dalam situasi
yang baru. Pada tingkat analisis, peserta didik diminta untuk
untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian,
menemukan asumsi, membedakan fakta dan pendapat serta
menemukan hubungan sebab—akibat. Pada tingkat sintesis,
peserta didik dituntut untuk menghasilkan suatu cerita,
komposisi, hipotesis atau teorinya sendiri dan mensintesiskan
pengetahuannya. Pada tingkat evaluasi, peserta didik
mengevaluasi informasi seperti bukti, sejarah, editorial, teori-
teori yang termasuk di dalamnya judgement terhadap hasil
analisis untuk membuat kebijakan.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan
berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih
sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan
memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk
menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide,
gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk
memecahkan masalah tersebut
Dengan demikian aspek kognitif adalah sub-taksonomi
yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering
berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang
paling tinggi yaitu evaluasi. Aspek kognitif terdiri atas enam
tingkatan dengan aspek belajar yang berbeda-beda. Keenam
tingkat tersebut yaitu:
 Tingkat pengetahuan (knowledge), pada tahap ini
menuntut siswa untuk mampu mengingat (recall) berbagai
informasi yang telah diterima sebelumnya, misalnya fakta,
rumus, terminologi strategi problem solving dan lain
sebagianya.

46
 Tingkat pemahaman (comprehension), pada tahap ini
kategori pemahaman dihubungkan dengan kemampuan
untuk menjelaskanpengetahuan, informasi yang telah
diketahui dengan kata-kata sendiri. Pada tahap ini peserta
didik diharapkan menerjemahkan atau menyebutkan
kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri.
 Tingkat penerapan (application), penerapan merupakan
kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan
informasi yang telah dipelajari kedalam situasi yang baru,
serta memecahlcan berbagai masalah yang timbul dalam
kehidupan sehari-hari.
 Tingkat analisis (analysis), analisis merupakan
kemampuanmengidentifikasi, memisahkan dan
membedakan komponen-komponen atau elemen suatu
fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau
kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut
untuk melihat ada atau tidaknya kontradiksi. Dalam
tingkat ini peserta didik diharapkan menunjukkan
hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara
membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip
atau prosedur yang telah dipelajari.
 Tingkat sintesis (synthesis), sintesis merupakan
kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan
menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan
yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih
menyeluruh
 Tingkat evaluasi (evaluation), evaluasi merupakan level
tertinggi yang mengharapkan peserta didik mampu
membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu
gagasan, metode, produk atau benda dengan
menggunakan kriteria tertentu.
Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem
pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru
menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti
pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan
tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali
diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara
merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih
baik.

47
Tabel 4. Kaitan antara kegiatan pembelajaran dengan domain tingkatan
aspek kognitif
No Tingkatan Deskripsi
1 Pengetahuan Arti: Pengetahuan terhadap fakta, konsep, definisi,
nama, peristiwa, tahun, daftar, teori, prosedur,dll.
Contoh kegiatan belajar:
 Mengemukakan arti
 Menentukan lokasi
 Mendriskripsikan sesuatu
 Menceritakan apa yang terjadi
 Menguraikan apa yang terjadi
2 Pemahaman Arti:pengertian terhadap hubungan antar-faktor,
antar konsep, dan antar data hubungan sebab
akibat penarikan kesimpulan
Contoh kegiatan belajar:
¨ Mengungkapakan gagasan dan pendapat
dengan kata-kata sendiri
¨ Membedakan atau membandingkan
¨ Mengintepretasi data
¨ Mendriskripsikan dengan kata-kata sendiri
¨ Menjelaskan gagasan pokok
¨ Menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri
3 Aplikasi Arti: Menggunakan pengetahuan untuk
memecahkan masalah atau menerapkan
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari
Contoh kegiatan:
 Menghitung kebutuhan
 Melakukan percobaan
 Membuat peta
 Membuat model
 Merancang strategi
4 Analisis Analisis
Artinya: menentukan bagian-bagian dari suatu
masalah, penyelesaian, atau gagasan dan
menunjukkan hubungan antar bagian tersebut
Contoh kegiatan belajar:
 Mengidentifikasi faktor penyebab
 Merumuskan masalah
 Mengajukan pertanyaan untuk mencari
informasi
 Membuat grafik
 Mengkaji ulang
5 Sintesis Artinya: menggabungkan berbagai informasi
menjadi satu kesimpulan/konsepatau
meramu/merangkai berbagai gagasan menjadi
suatu hal yang baru
Contoh kegiatan belajar:

48
No Tingkatan Deskripsi
 Membuat desain
 Menemukan solusi masalah
 Menciptakan produksi baru.
6 Evaluasi Arti: mempertimbangkan dan menilai benar-salah,
baik-buruk, bermanfaat-tidak bermanfaat
Contoh kegiatan belajar:
 Mempertahankan pendapat
 Membahas suatu kasus
 Memilih solusi yang lebih baik
 Menulis laporan

3) Contoh Pengukuran Ranah Penilaian Kognitif


Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem
pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru
menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti
pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan
tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali
diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara
merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih
baik. Pengukuran hasil belajar ranah kognitif dilakukan
dengan tes tertulis.
Bentuk tes kognitif diantaranya; (1) tes atau pertanyaan
lisan di kelas, (2) pilihan ganda, (3) uraian obyektif, (4)
uraian non obyektif atau uraian bebas, (5) jawaban atau isian
singkat, (6) menjodohkan, (7) portopolio dan (8) performans.
Cakupan yang diukur dalam ranah Kognitif adalah:
 Ingatan (C1) yaitu kemampuan seseorang untuk
mengingat. Ditandai dengan kemampuan menyebutkan
simbol, istilah, definisi, fakta, aturan, urutan, metode.
 Pemahaman (C2) yaitu kemampuan seseorang untuk
memahami tentang sesuatu hal. Ditandai dengan
kemampuan menerjemahkan, menafsirkan,
memperkirakan, menentukan, menginterprestasikan.
 Penerapan (C3), yaitu kemampuan berpikir untuk
menjaring & menerapkan dengan tepat tentang teori,
prinsip, simbol pada situasi baru/nyata. Ditandai dengan
kemampuan menghubungkan, memilih,
mengorganisasikan, memindahkan, menyusun,
menggunakan, menerapkan, mengklasifikasikan,
mengubah struktur.

49
 Analisis (C4), Kemampuan berfikir secara logis dalam
meninjau suatu fakta/ objek menjadi lebih rinci. Ditandai
dengan kemampuan membandingkan, menganalisis,
menemukan, mengalokasikan, membedakan,
mengkategorikan.
 Sintesis (C5), Kemampuan berpikir untuk memadukan
konsep-konsep secara logis sehingga menjadi suatu pola
yang baru. Ditandai dengan kemampuan mensintesiskan,
menyimpulkan, menghasilkan, mengembangkan,
menghubungkan, mengkhususkan.
 Evaluasi (C6), Kemampuan berpikir untuk dapat
memberikan pertimbangan terhadap sustu situasi, sistem
nilai, metoda, persoalan dan pemecahannya dengan
menggunakan tolak ukur tertentu sebagai patokan.
Ditandai dengan kemampuan menilai, menafsirkan,
mempertimbangkan dan menentukan.

Contohnya siswa dibina kompetensinya menyangkut


kemampuan melukis jaring-jaring kubus. Namun, untuk
dapat melukis jaring-jaring kubus setidaknya diperlukan
pengetahuan (kognitif) tentang bentuk-bentuk jaring kubus
dan cara-cara melukis garis-garis tegak lurus

C. Pengukuran Ranah Afektif


Hingga dewasa ini, ranah afektif merupakan kawasan
pendidikan yang masih sulit untuk digarap secara operasional.
David Krathwohl Berbagi para koleganya yang adalah para ahli
dengan dukungan akademik yang memadai pun atas kesulitan
membangun kawasan afektif yang diperlukan dengan
membandingkan dengan wilayah kognitif. Kawasan afektif
memahami tumpang tindih dengan kawasan kognitif dan
psikomotorik. Teoretik kita bisa membedakannya, praktiknya
tidak demikian.
Afek merupakan karakteristik atau tidak afektif yang
dikumpulkan, ia dapat terdiri dari minat, motivasi, motivasi,
konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Kita hanya dapat
“memotretnya” melalui perilaku wujud, melakukan perkuatan
atau melakukan tindakan. Kemunculan perilaku ini dapat
menunjukkan 3 arah atau “Arah” (Anderson, 1981): positif,

50
netral, atau negatif. Selain memiliki Arah, afek juga memiliki
"intensitas", definisi yang ditentukan dalam tujuan atau
kompetensi afektif haruslah memiliki kemampuan tinggi.
Pengukuran afek harus pula menyediakan “kondisi” dalam
kompetensi atau penilaian, yang menentukan tentang
bagaimana memberikan preferensi atau pilihan yang disediakan
untuk siswa. Siswa bebas memilih. Juga mengandung “kriteria”,
Struktur ranah afektif dikembangkan Krathwohl et al (1964)
cukup rumit. Terkait struktur afektif ini cukup kompleks.
Tidak semua karakteristik afektif harus dinilai di sekolah.
Beberapa karakteristik afektif yang perlu dipertimbangkan
(terkait dan dibahas) terkait dengan mata pelajaran di sekolah
adalah sikap, minat, konsep diri, dan nilai (Dikdasmen, 2003).
Sikap terkait dengan perasaan positif atau negatif terhadap
objek psikologik (misal kegiatan pembelajaran, atau mata
pelajaran). Minat terkait dengan seseorang tentang keadaan
suatu tempat psikologik, atau pilihan terhadap suatu kegiatan.
Konsep diri yang berhubungan dengan diri sendiri tentang
keadaan diri sendiri, tentang kemampuan diri terkait dengan
objek psikologiknya. Nilai terkait dengan keyakinan seseorang
tentang suatu tempat objek wisata atau kegiatan. Teknik
pengukuran afektif dapat dilakukan dengan berbagai ragam
misal:
a. Skala bertingkat (skala penilaian; suatu nilai yang
membedakan angka terhadap suatu hasil penilaian).
b. Angket (daftar pertanyaan; pertanyaan yang harus dipenuhi
oleh siswa).
c. Swalapor.
d. Wawancara (wawancara; tanya jawab atau dialog untuk
mendapatkan informasi terkait dengan afek tertentu).
e. Inventori dapat disebut juga sebagai interviu ditulis. Dilihat
dari jumlah jajaran kalimat yang hanya perlu dijawab dengan
tanda cek, inventori dapat disebut checklist (isi), daftar atau
inventarisasi pribadi, dan lain-lain alat atau teknik nontes. [3]

Secara rinci, dalam buku Kurikulum 2004 SMA Pedoman


Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran
(2003) dijelaskan, termasuk 8 langkah dalam membuat
instrumen sikap dan minat:

51
1. Memilih ranah (karakteristik) afektif yang akan dibahas, misal
minat siswa terhadap mata pelajaran .
2. Menentukan indikator, misal indikator minat siswa terhadap
mapel, menerima pertanyaan di kelas, bertanya,
mengumpulkan tugas tepat waktu.
3. Memilih skala yang digunakan (metode dan skala
pengukuran).
4. Menelaah instrumen dengan teman sejawat (validasi,
penilaian).
5. Memperbaiki instrumen.
6. Menyiapkan inventori laporan diri.
7. Menentukan skor inventori.
8. Membuat hasil analisis inventori. [4]

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa


ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan
perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan
kognitif tingkat tinggi. Penilaian hasil belajar afektif kurang
mendapat perhatian dari guru. Dalam menilai hasil belajar siswa
para guru lebih banyak mengukur siswa dalam penguasaan
aspek kognitif. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa
dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap
pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman
sekelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial. Sekalipun
bahan pengajaran berisi ranah kognitif, ranah efektif harus
menjadi bagian integral dari bahan tsb dan harus tampak dalam
proses belajar dan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Hasil
belajar ranah efektif terdiri atas lima kategori sebagai berikut:
a. Reciving/attending, yakni kepekaan dalam menerima
rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada dirinya
dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dll. Dalam tipe ini
termasuk kesadaran, untuk menerima stimulus, keinginan
untuk melakukan kontrol dan seleksi terhadap rangsangan
dari luar.
b. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh
seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini
mencakup ketetapan reaksi, kedalaman perasaan, kepuasan
merespon, tanggung jawab dalam memberikan respon
terhadap stimulus dari luar yang datang pada dirinya.

52
c. Valuing berkenaan dengan nilai atau kepercayaan terhadap
gejala atau stimulus yang diterimanya. Dalam hal ini
termasuk kesediaan menerima nilai, latar belakang atau
pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap
nilai tersebut.
d. Organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu
sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai
lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
e. Internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem nilai yang
telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian
dan tingkah lakunya.
Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran,
satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor
dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang
memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan
merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga
dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun
para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan
yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan
minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil
belajar yang optimal, dalam merancang program pembelajaran
dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus
memperhatikan karakteristik afektif peserta didik (Sudrajat,
2008)

1) Karakteristik Ranah Afektif


Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk
diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Anderson, 1981:4).
Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang.
Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain
yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan
target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan dari
perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain,
misalnya cinta lebih kuat dari senang atau suka. Sebagian
orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat
dibanding yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan
orientasi positif atau negatif dari perasaan yang menunjukkan
apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada
pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai

53
negatif. Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-
sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala
yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau
ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan
karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan
target.
Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah,
matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini
bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang
target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang
tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa cemas bila
menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung
sadar bahwa target kecemasannya adalah tes (Sudrajat,
2008). Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting,
yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
a) Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak
secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap
dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan
sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta
menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati
dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai,
keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian
sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui
sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi
pembelajaran, pendidik, dan sebagainya (Sudrajat,
2008).
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu
predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif
atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau
orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap
terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap
peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham,
1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran,
misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah
peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris
dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini
merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik
dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu

54
pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk
pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif
(Sudrajat, 2008). Contoh indikator sikap terhadap mata
pelajaran fisika misalnya.
 Membaca buku fisika
 Mempelajari fisika
 Melakukan interaksi dengan guru fisika
 Mengerjakan tugas fisika
 Melakukan diskusi tentang fisika
 Memiliki buku fisika
Contoh pernyataan untuk kuesioner:
1. Saya senang membaca buku fisika
2. Tidak semua orang harus belajar fisika
3. Saya jarang bertanya pada guru tentang pelajaran
fisika

b) Minat
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi
yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong
seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas,
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian
atau pencapaian. Sedangkan menurut kamus besar bahasa
Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal
penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum
minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi (Sudrajat, 2008). Penilaian minat dapat
digunakan untuk:
 mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk
pengarahan dalam pembelajaran,
 mengetahui bakat dan minat peserta didik yang
sebenarnya,
 pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual
peserta didik,
 menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,

55
Contoh indikator minat terhadap pelajaran fisika:
1. Memiliki catatan pelajaran fisika
2. Berusaha memahami fisika

Contoh pernyataan untuk kuesioner:


1. Catatan pelajaran fisika saya lengkap
2. Catatan pelajaran fisika saya terdapat coretan-coretan
tentang hal-hal yang penting
3. Saya selalu menyiapkan pertanyaan sebelum mengikuti
pelajaran fisika

Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang


dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan
yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada
dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri
biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah.
Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan
intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah
kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep
diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta
didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan
diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi
peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi
sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik
dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian
diri. Kelebihan dari penilaian diri adalah sebagai berikut:
 Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan
peserta didik.
 Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang
sudah dicapai.

Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.


 Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan
peserta didik
 Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses
pembelajaran.
 Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar
dan mengetahui standar input peserta didik.

56
 Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk
mengikuti pembelajaran
 Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.

c) Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu
keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku
yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya
dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi
sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi,
sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.Target nilai
cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa
sesuatu seperti sikap dan perilaku.
Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya
intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah
tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. Definisi lain
tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai
adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan
oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan
kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar
menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini
menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan.
Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu
peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang
bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk
memperoleh kebahagiaan personal dan memberi
konstribusi positif terhadap masyarakat.
Contoh pernyataan untuk kuesioner tentang nilai peserta
didik:
 Saya berkeyakinan bahwa prestasi belajar peserta didik
sulit untuk ditingkatkan.
 Saya berkeyakinan bahwa kinerja pendidik sudah
maksimal.

d) Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang
perkembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan
masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan

57
moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang
melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema
hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana
sesungguhnya seseorang bertindak (Sudrajat, 2008).
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar
terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap
tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu
orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang
lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan
dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan
perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral
berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang
(Sudrajat, 2008).
Ranah afektif lain yang penting adalah:
 Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai
kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain.
 Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada
kode nilai, misalnya moral dan artistik.
 Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua
orang mendapat perlakuan yang sama dalam
memperoleh pendidikan.
 Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara
yang demokratis memberi kebebasan yang
bertanggung jawab secara maksimal kepada semua
orang.

Contoh Instrumen Moral


 Memegang janji
 Memiliki kepedulian terhadap orang lain
 Menunjukkan komitmen terhadap tugas-tugas

Contoh pernyataan untuk instrumen moral


 Bila saya berjanji pada teman, tidak harus menepati.
 Bila berjanji kepada orang yang lebih tua, saya
berusaha menepatinya.
 Bila ada orang lain yang menghadapi kesulitan, saya
berusaha membantu.

58
2) Mengukur Ranah Afektif
Menurut Andersen (1980) ada dua metode yang dapat
digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode
observasi dan metode laporan diri. Penggunaan metode
observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif
dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan
dan/atau reaksi psikologi. Metode laporan diri berasumsi
bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah
dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam
mengungkap karakteristik afektif diri sendiri (Sudrajat,
2008).

D. Pengukuran Ranah Psikomotorik

1) Pengertian Ranah Penilaian Psikomotorik


Ranah psikomotrik merupakan ranah yang berkaitan
dengan ketrampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah
seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah
psikomotorik adaalh ranah yang berhubungan dengan
aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari,
memukul dan sebagainya. Hasil belajar ranah
psikomotordikemukakan oleh Simpson (1958) yang
menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam
bentuk ketrampilan (skill) dan kemampuan bertindak
individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan
kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu)
dan dari hasil belajar afektif ( yang baru tampak dalam
bentuk kecenderungan-kecenderungan berprilaku).

2) Ciri-ciri ranah penilaian psikomotor


Ranah pskomotor berhubungan dengan hasil belajar yang
pencapaiannya melalui ketrampilan manipulasi yang
melibatkan otot dan kekuatan fisik. Ranah psikomotor adalah
ranah yang berhubungan aktvitas fisik, misalnya: menulis,
memukul, melompat, dan lain sebagainya.

59
Tabel 5. Kaitan antara kegiatan pembelajaran dengan domain tingkatan
aspek psikomotorik
Tingkat Deskripsi
1. Gerakan reflex Arti gerakan reflex adalah basis
semua perilakubergerak, respons
terhadap stimulus tanpa sadar.
Misalnya: melompat,
menggenggam, memegang.
Contoh kegiatan belajar:
- Mengepas magga dengan
pisau
- Memotong dahan bunga
- Menampillkan ekspresi yang
berbeda
- Meniru gerakan polisi lalu
lintas, juru parkir
- Meniru gerakan daun
berbagai tumbuhan yang
diterpa angin
2. Gerakan dasar (basic Arti gerakan ini muncul tanpa
fundamental movements) latihan tapi dapat diperhalus melalui
praktik gerakan ini terpola dan
dapat ditebak.
Contoh kegiatan belajar:
o Contoh gerakan tak
berpindah bergoyang maju
perlahan-lahan
membungkuk, merentang,
mendorong, menarik,
memeluk, berputar.
o Contoh gerakan berpindah
merangkak maju perlahan-
lahan, meluncur, berjalan,
berlari, meloncat-loncat,
berputar mengitari,
memanjat.
o Contoh gerakan manipulasi
menyusun balok,
menggunting, menggambar
dengan krayon, memegang
dan melepas objek, blok atau
mainan
o Ketrampilan gerak tangan
dan jari-jari memainkan
bole, menggambar.
3. Gerakan perspepsi Arti: gerakan sudah lebih meningkat
(perceptualobilities) karena dibantu kemampuan

60
Tingkat Deskripsi
perseptual.
Contoh kegiatan belajar:
 Menangkap bola, mendrible
bola
 Melom[at daro satu petak ke
petak yang lain dengan 1 kali
sambil menjaga
keseimbangan
 Memilih satu objek kecil dari
sekelompok objek yang
ukurannya bervariasi
 Membaca melihat
terbangnya bola pingpong
 Melihat gerakan pendulum
menggambar symbol
giometri
 Menulis alphabet
 Mengulangi pola gerak tarian
 Memukul bola tenis,
pingpong
 Memberdakan bunyi
beragam alat music
 Membedakan suara berbagai
binatang
 Mengulangi ritmas lagu
pernah didengar
 Membedakan berbagai
tekstur dengan meraba
4. Kerakan kemampuan fisik Arti: gerak lebih efisien,
(Psycal abilities) berkembang melalui kematangan
dan belajar.
Contoh kegiatan belajar:
- Menggerakkan
otot/sekelompok otot selama
waktu tertentu berlari jauh
- Mengangkat beban
- Menarik-mendorong
- Melakukan push up
- Kegiatan memperkuat
lengan, kaki dan perut
- Menari
- Melakukan senam
- Melakukan gerakan
pesenam, pemain biola,
pemain bola.
5. Gerakan terampil Arti: dapat mengontrol berbagai

61
Tingkat Deskripsi
(skilledmovements) tingkat gerak terampil, tangkas,
cekatan melakukan gerakan yang
sulit dan rumit ( kompleks).
Contoh kegiatan belajar:
 Melakukan gerakan terampil
berbagai cabang olahraga
 Menari, berdansa
 Membuat kerajianan tangan
 Memggergaji
 Mengetik
 Bermain piano
 Memanah
 Skating
 Melakukan gerak akrobatik
 Melakukan koprrol yang sulit
6. Gerakan indah dan Arti: mengkomunikasikan perasaan
kreatif (non-discursive dengan gerakan .
communication) - Gerakan estetik: gerakan-
gerakan terampil yang
efisien dan indah
- Gerakan kreatif: gerakan-
gerakan pada tingkat
tertinggi untuk
mengkomunikasikan peran.
Contoh kegiatan:
- Kerja seni yang bermutu (
membuat patung, melukis,
menaqri balet
- Melakukan senam tingkat
tinggi
- Bermain drama (acting)
- Ketrampilan olahraga tingkat
tinggi
3) Contoh pengukuran ranah penilaian psikomotor
Ada beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil
belajar psikomotor. Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil
belajar ketrampilan dapat diukur melalui:
a. Pengalaman langsung dan penilaian tingkah laku peserta
didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung,
b. Sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan
memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap,
c. Beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak
dalam lingkungan kerjanya

62
Sementara itu Leighbody (1968) berpendapat bahwa
penilaian hasil belajar psikomotor mencakup:

1. Kemampuan menggunakan alat dan sikap kerja


2. Kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun
urut-urutan pengerjaan,
3. Kecepatan mengerjakan tugas,
4. Kemampuan membaca gambar dan symbol
5. Keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan uuran
yang telah ditentukan
Dari penjelasan diatas dapat dirangkum bahwa dalam
penilaian hasil belajar psikomotor atau ketrampilan harus
mencakup persiapan, proses, dan produk. Penilaian dapat
dilakukan pada saat proses berlangsung yaitu pada waktu
peserta didik melakukan praktik, atau sesudah proses
berlangsung dengan cara mengetes peserta didik.
Penilaian psikomotorik dapat dilakukan dengan
menggunakan observasi sebagai atau pengamatan. Observasi
sebagai alat penilaian banyak digunakan untuk mengukur
tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu
kegiatan yang dapat diamati,baik dalam situasi yang
sebenarnya maupun dalam siatuasi buatan. Dengan kata lain,
observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses
belajar ataqu psikomotorik. Misalnya tingkah laku peserta
didik ketika praktik, kegiatan diskusi peserta didik, partisipasi
peserta didik dalam simulasi dan penggunaan alins ketika
belajar.
Observasi dilakukan pada saat proses kegiatan itu
berlangsung. Pengamat terlebih dahulu harus menetapkan
kisi-kisi tingkah laku apa yang hendak diobservasinya, alalu
dibuat pedoman agaqr memudahkan dalam pengisian
obeservasi. Pengisian hasil observasi dalam pedomanyang
dibuat sebenarnya bisa diisi secara bebas dalam bentuk
uraian mengenai tingkah laku yang tampak untuk
diobservasi, bisa pula dalam bentuk memberi tanda cek pada
kolom jawaban hasil observasi.
Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk
mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah
dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut dapat berupa tes

63
paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi dan tes unjuk
kerja.
 Tes simulasi
Kegiatan psikomotorik yang dilakukan melalui tes ini, jika
tidak ada alat yang sesungguhnya yang dapat dinilai
tentang penguasaan ketrampilan dengan bantuan
peralatan tiruan atau berperaga seolah-olah menggunakan
suatu alat yang sebenarnya.
 Tes unjuk kerja
Kegiatan psikomotorik yang dilakukan melaui tes ini,
dilakukan dengan sesungguhnya dan tujuannya untuk
mengetahui apakah peserta didik sudah
menguasai/terampil menggunakan alat tersebut. Misanya
dalam melakukan praktik pengaturan lalu lintas dilapangan
yang sebenarnya tes simulasi dan tes unjuk kerja,
semuanya dapat diperoleh dengan observasi langsung
ketika peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran.
lembar obeservassi dapat menggunakan daftar ataupun
skala penilaian psikomotorik yang diukur dapat
menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang
dari sangat baik, baik, kurang, kurang dan tidak baik.

Dengan kata lain, kegiatan belajar yang banyak


berhubungan dengan ranah psikomotor adalah praktik
diaula/lapangan dan praktikum dilaboratorium. Dalam
kegiatan-kegiatan praktik itu juga ada ranah kognitif dan
afektifnya, namun hanya sedikit bila dibandingkan
pengukuran hasil belajar ranah psikomotor menggunakan tes
unjuk kerja atau lembar tugas.
Contohnya kemampuan pskomotor yang dibina dalam
belajar matematika misalnya dengan kemammpuan
mengukur (dengan satuan tertentu baik satuan baku maupun
satuan tidak baku), menggambar bentuk-bentuk geometri
(bangun datar, bangun ruang, garis, sudut,dll) atau tanpa
alat. Contoh lainnya siswa dibina kompetensinya menyangkut
kemampuan melukis jarring-jaring kubus; kemampuan dalam
melukis jarring-jaring kubus secara psikomotor dapat dilihat
dari gerak tangan siswa dalam menggunakan peralatan
(jangkan dan penggaris) saat melukis. Secara teknis penilaian

64
ranah psikomotorik dapat dilakukan dengan pengamatan
(perlu lebar pengamatan) dan tes perbuatan.
Ranah kognitif adalah ranah yang meliputi kegiatan mental
(otak). Menurut Bloom, semua yang berkaitan dengan otak
adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif
berkaitan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya
kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi,
menganalisis, mensintesis, dan kemampuan meningkatkan.
Afek merupakan karakteristik atau tidak afektif yang
dikumpulkan, ia bisa terdiri dari minat, sikap, motivasi,
konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Kita hanya dapat
“memotretnya” melalui perilaku wujud, melakukan perkuatan
atau melakukan tindakan.
Ranah psikomotor yang rumit dengan kerja otot yang
menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari
gerakan yang paling sederhana seperti gerakan-gerakan
dalam gerakan sampai dengan gerakan-gerakan yang rumit
seperti gerakan-gerakan dalam praktik. Ada perbedaan
antara keterampilan (keterampilan) dan kemampuan
(kemampuan). Keterampilan lebih terkait dengan psikomotor,
sedangkan kemampuan terkait dengan kognitif.
Hasil belajar ranah kognitif, psikomotor, dan afektif tidak
dijumlahkan, karena dimensi yang bertambah berbeda.
Masing-masing mendukung sendiri-sendiri dan memiliki
makna yang sama penting. Ada peserta didik yang memiliki
kemampuan kognitif yang tinggi, kemampuan psikomotor
yang cukup, dan memiliki minat belajar yang cukup. Namun
ada peserta didik lain yang memiliki kemampuan kognitif
yang cukup, kemampuan psikomotor tinggi. Ketika skor
kemampuan kedua peserta didik ini dijumlahkan, dapat
terjadi skornya sama, sehingga kemampuan kedua orang ini
tampak sama walau sebenarnya karakteristik kemampuan
mereka berbeda. Selain itu, ada informasi penting yang
hilang, yaitu karakteristik spesifik kemampuan masing-
masing individu.

65
DAFTAR PUSTAKA

Anas sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali


Pers, 2003)
Daryanto, Evaluasi Pendidikan , (Jakarta: Rineka Cipta, 1999)
Suharsimi Arikunto , Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan , (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996)
Joesmana, Pengukuran Dan Evaluasi Dalam Pengajaran . (Jakarta:
Depdikbud, 1988)
Nana Sudjana dan Dr. Ibrahim MA. Penelitian dan Pendidikan,
(Bandung, Sinar Baru, 1989)
Anas sudijono,Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2003)
Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999),
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996)
Dikmenum Diknas. Kurikulum 2004 SMA pedoman khuus
pengembangan silabus dan mata pelajaran pendidikan agama
Islam, Buku 7.1. (Jakarta: 2003) hal. 23.
Arikunto, Suharsimi. Dasar-dasar evaluasi pendidikan.
Joesmana,Pengukuran Dan Evaluasi Dalam Pengajaran. (Jakarta:
Depdikbud, 1988)

66
BAB V
Tes, Pengukuran, Penilaian Dan Evaluasi

A. Tes
1. Defnisi Tes
Istilah ini berasal dari bahasa latin “testum” yang berarti sebuah
piringan atau jambangan dari tanah liat. Istilah ini dipergunakan
dalam lapangan psikologi dan selanjutnya hanya dibatasi sampai
metode psikologi, yaitu suatu cara untuk menyelidiki seseorang.
Penyelidikan tersebut dilakukan mulai dari pemberian suatu tugas
kepada seseorang atau untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu.
Pada hakikatnya tes adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas
yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta
didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Beberapa
pengertian tes menurut ahli, antara lain :
a) Tes merupakan suatu alat penilaian dalam bentuk tulisan untuk
mencatat atau mengamati prestasi siswa yang sejalan dengan
target penilaian. (Jacobs & Chase, 1992; Alwasilah, 1996).
b) Tes menurut Arkunto dan Jabar (2004) merupakan alat atau
prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur
sesuatu dengan menggunakan cara atat aturan yang telah
ditentukan. Dalam hal ini harus dibedakan pengertian antara
tes, testing, testee, dan tester. Testing adalah saat pada waktu
tes tersebut dilaksanakan (saat pengambilan tes).Testee adalah
responden yang mengerjakan tes. Mereka inilah yang akan
dinilai atau diukur kemampuannya. Sedangkan Tester adalah
seorang yang diserahi tugas untuk melaksanakan pengambilan
tes kepada responden.
c) Menurut Zainul dan Nasution (2001) tes didefinisikan sebagai
pertanyaan atau tugas atau seperangkat tugas yang
direncanakan untuk memperoleh informasi tentang suatu atribut
pendidikan atau suatu atribut psikologis tertentu.
d) Tes merupakan salah satu upaya pengukuran terencana yang
digunakan oleh guru untuk mencoba menciptakan kesempatan
bagi siswa dalam memperlihatkan prestasi mereka yang
berkaitan dengan tujuan yang telah ditentukan (Calongesi,
1995).
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil pengertian bahwa
tes adalah instrumen atau alat yang digunakan untuk memperoleh
informasi tentang individu atau objek yang direncanakan untuk

67
mengetahui tentang trait/sifat/atribut dimana tiap butir pertanyaan
tersebut memiliki jawaban. Sebagai alat pengumpul informasi atau
data, tes harus dirancang secara khusus. Kekhususan tes terlihat dari
bentuk soal tes yang digunakan, jenis pertanyaan, rumusan
pertanyaan yang diberikan, dan pola jawabannya harus dirancang
menurut kriteia yang telah ditetapkan. Demikian juga waktu yang
disediakan untuk menjawab pertanyaan serta pengadministrasian tes
juga dirancang secara khusus. Selain itu aspek yang diteskanpun
terbatas. Biasanya meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kekhususan-kekhususan tersebut berbeda antara satu tes dengan tes
yang lain. Tes ini dapat berupa pertanyaan tertulis, wawancara,
pengamatan tentang unjuk kerja fisik, checklist, dan lain-lain.

2. Fungsi Tes
Secara umum, ada dua macam fungsi yang dimiliki oleh tes, yaitu:
- Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Dalam hubungan
ini tes berfungsi mengukur tingkat perkembangan atau
kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka
menempuh proses belajar mengajar dalam jangka waktu
tertentu.
- Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran, sebab
melalui tes tersebut akan dapat diketahui sudah seberapa jauh
program pengajaran yang telah ditentukan, telah dapat dicapai.
Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2005:152) dalam bukunya
Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, fungsi tes dapat ditinjau dari tiga
hal:
a. Fungsi untuk kelas.
b. Fungsi untuk bimbingan.
c. Fungsi untuk administrasi.
Adapun perbandingan dari ketiga fungsi tersebut adalah :
Fungsi Untuk Fungsi Untuk
Fungsi Untuk Kelas
Bimbingan Administrasi
a. Mengadakan a. Menentukan arah a. Memberi petunjuk
diagnosis terhadap pembicaraan dalam
kesulitan belajar dengan orang tua mengelompokkan
tentang anak-
b. Mengevaluasi celah siswa.
anak mereka.
antara bakat b. Membantu siswa b. Penempatan siswa
dengan dalam baru.
pencapaian. menentukan c. Membantu siswa
c. Menaikkan tingkat pilihan. memiliki kelompok.
prestasi. c. Membantu siswa d. Menilai kurikulum.

68
Fungsi Untuk Fungsi Untuk
Fungsi Untuk Kelas
Bimbingan Administrasi
d. Mengelompokkan mencapai tujuan e. Memperluas
siswa dalam kelas pendidikan dan hubungan
pada waktu metode jurusan. masyarakat (public
d. Memberikan
kelompok. relation).
kesempatan
e. Merencanakan f. Menyediakan
kepada
kegiatan proses pembimbing, informasi untuk
belajar mengajar guru, dan orang badan lain di luar
untuk siswa secara tua dalam sekolah.
perseorangan. memahami
f. Menetukan siswa kesulitan anak.
mana yang
memerlukan
bimbingan khusus.
g. Menentukan tingkat
pencapaian untuk
setiap anak.

B. Measurement (Pengukuran)
Pengukuran yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan
measurement dan dalam bahasa arabnya adalah muqasayah, dapat
diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk “mengukur” sesuatu.
Mengukur pada hakikatnya adalah membandingkan sesuatu dengan
atau atas dasar ukuran tertentu. Misalnya mengukur suhu badan
dengan menggunakan thermometer, hasilnya 360 celcius, 370 celcius,
dan seterusnya. Dapat dipahami bahwa pengukuran itu sifatnya
kuantitatif.
Pengukuran yang bersifat kuantitatif itu dibagi menjadi tiga ,
yang pertama adalah pengukuran yang dilakukan bukan untuk
menguji sesuatu. Misalnya ; pengukuran yang dilakukan oleh penjahit
pakaian mengenai panjang lengan, panjang kaki, lebar bahu, ukuran
pinggang dan sebagainya. Yang kedua adalah pengukuran yang
dilakukan untuk menguji sesuatu. Misalnya ; pengukuran untuk
menguji daya tahan per baja terhadap tekanan berat, pengukuran
untuk menguji daya tahan nyala lampu pijar, dan sebagainya. Yang
ketiga adalah pengukuran untuk menilai, yang dilakukan dengan jalan
menguji sesuatu. Misalnya ; mengukur kemajuan belajar peserta didik
dalam rangka mengisi nilai rapor yang dilakukan dengan menguji
mereka dalam bentuk tes hasil belajar. Pengukuran jenis ketiga ini
yang dipakai dalam dunia pendidikan.

69
Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan pengkuran
adalah suatu proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris
untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan yang
telah ditentukan. Dalam hal ini pendidik atau guru menaksir prestasi
siswa dengan membaca atau mengamati apa saja yang dilakukan
siswa, mengamati kinerja mereka, mendengar apa yang mereka
katakana, dan menggunakan indera mereka seperti melihat,
mendengar, menyentuh, mencium, dan merasakan. Menurut Zainul
dan Nasution (2001) pengukuran memiliki dua karakteristik utama
yaitu: penggunaan angka atau skala tertentu dan menurut aturan
atau formula tertentu.
Measurement merupakan proses yang mendeskripsikan
performance siswa dengan menggunakan suatu skala
kuantitatif(system angka) sedemikian rupa sehingga sifat kualitatif
dari performance siswa tersebut dinyatakan dengan angka angka
(Alwasilah , 1996) Peryataan tersebut diperkuat dengan pendapat
yang menyatakan bahwa pengukuran merupakan pemberian angka
terhadap suatu atribut atau karakter tertentu yang dimiliki oleh
seorang, atau objek tertentu yang mengacu pada aturan atau
formulasi yang jelas. Aturan atau formulasi tersbut disepakati oleh
para ahli (Zainul dan Nasution, 2001). Dengan demikian, pengukuran
dalam bidang pendidikan berarti mengukur atribut atau karakteristik
peserta didik tertentu, yang diukur bukan peserta didik tetapi
karakteristik atau atributnya. Menurut Ari Kunto, pengukuran
merupakan kegiatan membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran
tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif

C. Asesmen (Penilaian)
1. Definisi Asesmen Menurut beberapa Ahli
a. Menurut Linn dan Gronlund (Uno dan Satria, 2012), asesmen
(penilaian) merupakan suatu istilah umum yang meliputi tentang
belajar siswa (observasi, rata-rata pelaksanaan tes tertullis) dan
format penilaian kemajuan belajar. Selain itu, asesmen
didefinisikan juga sebagai sebuah proses yang ditempuh untuk
mendapatkan informasi yang digunakan dalam rangka membuat
keputusan-keputusan mengenai para siswa, kurikulum,
program-program, dan kebijakan pendidikan, metode atau
instrumen pendidikan lainnya oleh suatu badan, lembaga,
organisasi atau institusi resmi yang menyelenggarakan suatu
aktivitas tertentu.
b. Menurut Angelo dan Croos (Abidin, 2014), asesmen atau
penilaian merupakan sebuah proses yang didesain untuk

70
membantu guru menemukan hal-hal yang telah dipelajari siswa
di dalam kelas dan tingkat keberhasilannya dalam
pembelajaran.
c. James A. Mc. Lounghlin & Rena B Lewis mendefinisikan asesmen
sebagai proses sistematika dalam mengumpulkan data
seseorang anak yang berfungsi untuk melihat kemampuan dan
kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu, sebagai bahan untuk
menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan
informasi tersebut guru akan dapat menyusun program
pembelajaran yang bersifat realitas sesuai dengan kenyataan
objektif.
d. Asesmen menurut Dariyanto (2010:130) adalah suatu proses
untuk menyimpulkan hasil pengukuran melalui analisis yang
sistematis dengan menggunakan kriteria seperti baik, buruk,
cocok tidak cocok sesuai dengan penilaian kriteria masing-
masing.
e. Penilaian menurut Zaenal Arifin (2009:2) merupakan suatu
proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan
untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar
peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan
berdasarkan kriteria dan pertimbanagan tertentu.
f. Haryati (2009:15) berpendapat lain, ia mengungkapkan bahwa
penilaian (assessment) merupakan istilah yang mencakup
semua metode yang biasa dipakai untuk mengetahui
keberhasilan belajar siswa dengan cara menilai unjuk kerja
individu peserta didik atau kelompok.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat
disimpulkanbahwa penilaian adalah suatu proses pengumpulan
informasi secaramenyeluruh yang dilakukan secara terus menerus
untuk mengetahuikemampuan atau keberhasilan siswa dalam
pembelajaran dengan menilaikinerja siswa baik kinerja secara individu
maupun dalam kegiatankelompok. Penilaian itu harus mendapatkan
perhatian yang lebih dariseorang guru. Dengan demikian, penilaian
tersebut harus dilaksanakandengan baik, karena penilaian merupakan
komponen vital (utama) daripengembangan diri yang sehat, baik bagi
individu (siswa) maupun bagiorganisasi/kelompok.
2. Tujuan dan Fungsi Asesmen (Penilaian)
a. Tujuan Asesmen
Adapun tujuan dilakukannya asesmen dalam proses
pembelajaran dijelaskan pula oleh Sudjana (2005) yaitu sebagai
berikut :

71
1) Mendeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat
diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai
bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuh;
2) Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di
sekolah, yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah
tingkah laku para siswa ke arah tujuan pendidikan yang
diharapkan;
3) Menentukan tindak lanjut hasil asesmen, yakni melakukan
perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan
dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya;
4) Memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak
sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh
karena itu, penggunaan jenis assessment yang tepat akan
menentukan keberhasilan dalam memperoleh informasi yang
berkenaan dengan proses pembelajaran.
b. Fungsi Asesmen / Penilaian
Dengan mengetahui makna dari penilaian, maka dapat
dikatakan bahwa tujuan asesmen menurut Suharsimi Arikunto
(2005:10-11) adalah :
a) Penilaian berfungsi selektif, artinya dengan mengadakan
penilaian guru memiliki cara untuk mengadakan seleksi
atau penilaian terhadap siswanya.
b) Penilaian berfungsi diagnostik. Apabila alat yang digunakan
dalam penilaian cukup memenuhi persyaratan, maka
dengan melihat hasilnya, guru akan dapat mengetahui
kelemahan siswa. Di samping itu, diketahui pula sebab-
musabab kelemahan itu.
c) Penilaian berfungsi sebagai penempatan. Pendekatan yang
lebih bersifat melayani perbedaan kemampuan adalah
pengajaran secara kelompok. Untuk dapat menentukan
secara pasti di kelompok mana siswa akan ditempatkan,
digunakan suatu penilaian. Sekelompok siswa yang
memiliki hasil penilaian yang sama akan berada di dalam
kelompok yang sama.
d) Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan. Fungsi
ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana program
berhasil diterapkan. Keberhasilan program ditentukan oleh
beberapa faktor yaitu faktor guru, metode mengajar,
kurikulum, sarana, dan sistem administrasi.
Menurut Unodan Satria (2012) fungsi penilaian dibagi menjadi
menjadi beberapa bagian. Pertama, fungsi penilaian pendidikan

72
bagi guru adalah untuk (a) mengetahui kemajuanbelajar peserta
didik, (b) mengetahui kedudukan masing-masing individu peserta
didik dalam kelompoknya,(c) mengetahui kelemahan-
kelemahancara belajar-mengajar dalam proses belajar mengajar,
(d) memperbaiki prosesbelajar-mengajar, dan (e) menentukan
kelulusan murid. Sedangkan bagimurid, penilaian pendidikan
berfungsi untuk (a) mengetahui kemampuan danhasil belajar, (b)
memperbaiki cara belajar, dan (c) menumbuhkan motivasibelajar.
Fungsinya bagi sekolah adalah (a) mengukur mutu hasil
pendidikan,(b) mengetahui kemajuan dan kemunduran sekolah,
(c) membuat keputusankepada peserta didik, dan (d) mengadakan
perbaikan kurikulum.
Secara lebih rinci, Purwanto mengelompokkan fungsi
penilaiandalam kegiatan evaluasi pendidikan dan pengajaran,
yakni:
1) Untukmengetahui kemajuan dan perkembangan serta
keberhasilan siswa setelahmengalami atau melakukan
kegiatan belajar selama jangka waktu tertentu.
2) Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program
pengajaran.Pengajaran sebagai suatu sistem terdiri dari
beberapa komponen yangsaling berkaitan satu sama lain.
Komponen-kompenen yang dimaksud adalah: tujuan, materi
atau bahan pengajaran, metode dan kegiatan belajar
mengajar, alat dan sumber pelajaran, dan prosedur serta alat
evaluasi.
3) Untuk keperluan Bimbingan Konseling (BK). Hasil-hasil
penilaian dalam kegiatan evaluasi yang telah dilaksanakan
oleh guru terhadap siswanya dapat dijadikan sumber
informasi atau data bagi pelayanan BK oleh para konselor
sekolah atau guru pembimbing lainnya.
4) Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum
sekolah yang bersangkutan.
3. Ciri-Ciri Asesmen (Penilaian)dalam Pendidikan
Ciri – ciri penilaian dalam pendidikan menurut Suharsimi
Arikunto (2005:11-17), antara lain sebagai berikut :
a) Ciri pertama, yaitu bahwa penilaian dilakukan secara tidak
langsung. Contoh kasusnya adalah mengukur kepandaian
melalui ukuran kemampuan menyelesaikan soal-soal.
Sehubungan dengan tanda-tanda anak yang pandai atau
inteligen, seorang ahli Ilmu Jiwa Pendidikan bernama Carl
Witherington mengemukakan pendapatnya dan memberikan

73
sumbangsih dalam pembentukan macam tingkatan inteligensi
(IQ) pada manusia.
b) Ciri kedua, yaitu penggunaan ukuran kuantitatif. Penilaian
pendidikan bersifat kuantitatif artinya menggunakan simbol
bilangan sebagai hasil pertama pengukuran. Setelah itu lalu
diintrepretasikan ke bentuk kualitatif.
Contoh : Ani mempunyai IQ 125 dan Ana dengan IQ 105, maka
Ani termasuk anak yang sangat pandai sedangkan Ana anak
normal.
c) Ciri ketiga, yaitu bahwa penilaian pendidikan menggunakan
unit-unit atau satuan-satuan yang tetap, karena dari contoh
diatas IQ 105 termasuk anak normal maka IQ 80 termasuk
anak yang dungu
d) Ciri keempat, yaitu bersifat relatif artinya tidak sama atau tidak
selalu tetap dari waktu ke waktu yang lain.
e) Ciri kelima, yaitu dalam penilaian pendidikan itu sering terjadi
kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa
ditinjau karena banyak faktor antara lain terletak pada alat
ukurnya, pada orang yang melakukan penilaian, pada anak
yang dinilai, atau situasi saat penilaian berlangsung.
4. Manfaat Asesmen Pembelajaran
Menurut Endang Poerwanti (2001:7), asesmen pembelajaran
bermanfaat untuk:
1) Memberi penjelasan secara lengkap tentang target
pembelajaran yang dapat dijelaskan; sebelum pendidik
melakukan asesmen terhadap siswanya terlebih dulu harus
mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan siswa, informasi
yang dibutuhkan tentang pengetahuan, keterampilan, dan
performa siswa. Pengetahuan, keterampilan dan performa
siswa yang dibutuhkan dalam pembelajaran disebut dengan
target atau hasil pembelajaran;
2) Memilih teknik asesmen untuk kebutuhan masing-masing
siswa, bila mungkin guru dapat menggunakan beberapa
indikator keberhasilan untuk setiap taget pembelajaran;
masing masing target pembelajaran memerlukan pemilihan
teknik asesmen yang berbeda, misalnya untuk dapat
melakukan asesmen kemampuan siswa dalam pemecahan
masalah dalam matematika tentu akan sangat berbeda dengan
kemampuan membaca atau mendengarkan, dan berbeda pula
untuk pemecahan masalah IPS yang memerlukan diskusi;

74
3) Memilih teknik asesmen untuk setiap target pembelajaran,
pemilihan teknik asesmen harus didasarkan pada kebutuhan
praktis di lapangan dan efisiensi. Teknik asesmen ini harus
dapat mengungkapkan kemampuan khusus serta untuk
mengembangkan kemampuan siswa, sehingga ketika memilih
teknik asesmen harus pula dipertimbangkan manfaatnya untuk
umpan balik bagi siswa. Sebab itu, ketika melakukan
interpretasi dari hasil asesmen haruslah dengan cermat,
dengan menghindari berbagai keterbatasan yang bersumber
dari subyektifitas pelaksana asesmen.
D. Evaluasi
1. Definisi Evaluasi
Evaluasi berasal dari akar kata bahasa Inggris value yang berarti
nilai, jadi istilah evaluasi sinonim dengan penilaian. Pengertian
evaluasi menurut beberapa ahli sebagai berikut :
a) Evaluasi menurut Firman (2000:18) merupakan penilaian
terhadap data yang dikumpulkan melalui kegiatan asesmen.
b) Menurut Calongesi (1995) evaluasi adalah suatu keputusan
tentang nilai berdasarkan hasil pengukuran. Calengosi (1995)
juga menyatakan bahwa evaluasi dapat dinyatakan sebagai
suatu proses pengambilan keputusan dengan menggunakan
informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik
yang menggunakan instrumen tes maupun non tes.
c) Arikunto (2003:2) mengungkapkan bahwa evaluasi adalah
serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengukur
keberhasilan program pendidikan.
d) Purwanto (2002:58) dalam hal ini lebih meninjau pengertian
evaluasi program dalam konteks tujuan yaitu sebagai proses
menilai sampai sejauhmana tujuan pendidikan dapat dicapai.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa evaluasi adalah
pemberian nilai terhadap kualitas sesuatu. Selain dari itu, evaluasi
juga dapat dipandang sebagai proses merencanakan, memperoleh,
dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat
alternatif-alternatif keputusan. Dengan demikian, Evaluasi merupakan
suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat
keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah
dicapai oleh siswa (Purwanto, 2002:55).
Dengan kata lain evaluasi adalah proses penentuan nilai atau
harga dari data yang terkumpul. Pemberian pertimbangan mengenai
nilai dan arti tidak dapat dilakukan secara sembarangan, oleh
karenanya evaluasi harus dilakukan berdasar prinsip-prinsip tertentu.

75
Evaluasi harus merupakan kegiatan yang harus dilakukan terus
menerus dari setiap program, karena tanpa evaluasi sulit untuk
mengetahui jika, kapan, dimana, dan bagaimana perubahan-
perubahan akan dibuat. Evaluasi bersifat kualitatif.
Evaluasi tidak hanya terbatas dalam menggambarkan
pengertian untuk menggambarkan status seseorang dibandingkan
dengan anggota kelompok lainnya. Tetapi yang lebih penting, evaluasi
dilaksanakan dalam rangka menggambarkan kemajuan yang dicapai
oleh seseorang. Karena itu evaluasi harus dipahami sebagai bagian
yang integral dari penyelenggaraan sebuah program, yang selalu
berawal dari pemahaman terhadap siswa.
2. Tujuan Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk:
(1) Pengelompokkan,
Salah satu tujuan pengukuran dan evaluasi adalah untuk
pengelompokan. Pengelompokkan ini dapat berdasarkan tingkat
ketrampilan, umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan, minat.
Sebagai upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran, guru dapat
menempatkan siswanya ke dalam kelompok-kelompok tertentu,
sesuai dengan tingkat kemampuannya. Siswa dengan kemampuan
yang tinggi tidak harus dipaksa bertahan dengan teman
sekelompoknya yang berkemampuan kurang, demikian juga
sebaliknya. Dengan dilakukannya pengukuran dan evaluasi siswa
dapat dikelompokkan pada kelompok yang tepat.
Jika siswa ditempatkan dalam kelompok yang setara tingkat
ketrampilannya, guru dapat menyusun program pelajaran secara
individual. Keuntungan lain yang diperoleh dari pengelompokkan ini
adalah siswa dapat berani, lebih lancar, lebih aktif ketika berlatih,
karena mereka bersaing dengan siswa lain yang berkemampuan
setara. Dengan kata lain, tujuan penempatan siswa ke dalam
kelompok yang setara adalah untuk memperbaiki proses
pembelajaran.
(2) Penilaian
Tujuan utama dari penilaian ini adalah memberikan informasi
tentang kemajuan yang dicapai dari proses pembelajaran yang
dikerjakan dan posisi siswa di dalam kelompoknya. Dengan
mempertimbangkan seluruh faktor, penilaian harus dilakukan
secara objektif sehingga dapat mencerminkan kemajuan yang
diperoleh, dan perbaikan-perbaikan yang diperlukan.
(3) Motivasi

76
Motivasi merupakan kekuatan yang memandu seseorang untuk
mencapai hasil yang tertinggi. Apabila dilaksanakan secara tepat,
evaluasi dapat merupakan proses memotivasi yang positif.
Demikian pula sebaliknya, bila dilakukan secara sembarangan
evaluasi dapat mengurangi motivasi. Motivasi yang terbesar adalah
keberhasilan. Agar supaya siswa tetap memiliki motivasi, mereka
harus mengetahui bahwa dirinya berkembang kemampuannya. Tes-
tes ketrampilan olahraga memungkinkan siswa untuk berkompetisi
dengan dirinya sendiri sebagai cara untuk mengukur kemajuannya.
(4) Penelitian.
Penelitian adalah penyelidikan yang dilakukan secara sistematis
untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Mutu data yang
dikumpulkan bergantung pada antara lain: ketelitian dan ketepatan
alat ukur, teknik pengukuran, dan kelayakan tes.
Penentuan ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat,
membebaskan peserta dari suatu kesatuan pelajaran, menaikkan
peserta dari suatu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi, memberikan
umpan balik untuk memperbaiki unjuk kerja, menempatkan
individu-individu ke dalam kelompok-kelompok tertentu atau
menentukan suatu bentuk latihan yang khusus. Pada pokoknya,
penentuan status mencakup semua tujuan-tujuan lain pengukuran
dan evaluasi.
3. Tipe-tipe Evaluasi
a) Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif
 Evaluasi formatif bertujuan untuk menyempurnakan program
dan memantau kemajuan siswa. Evaluasi ini dilakukan di sela-
sela program yang sedang berlangsung, dengan tujuan agar
hasilnya dapat digunakan untuk menyempurnakan program.
Pelaksanaan tes secara periodik dan dilakukan beberapa kali,
seperti tes mingguan, bulanan.
 Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilaksanakan pada
akhir suatu program, misalnya akhir catur wulan, akhir
semester. Nilai yang diperoleh pada evaluasi sumatif biasanya
dilaporkan dalam bentuk rapor, sementara hasilnya
dinyatakan dalam bentuk nilai tertentu atau dalam bentuk
laporan secara deskriptif.
b) Evaluasi produk dan Evaluasi Proses
Berdasarkan atas tujuan-tujuan khusus program, dapat
menekankan perhatian pada produk yang dihasilkan dari unjuk
kerja fisik, proses yang menghasilkan produk, atau keduanya.
Misalnya, dalam evaluasi produk, menentukan urutan hasil akhir

77
dalam perlombaan lari 10 Km hanya memerlukan catatan waktu
seorang pelari yang diperlukan untuk menempuh jarak
perlombaan. Hal ini disebut evaluasi produk.
Apabila nita menaruh minat untuk memperbaiki gaya lari
para pelari, maka kita perlu menganalisa proses terjadinya
gerak lari, termasuk aspek-aspek seperti penempatan kaki
pelari, ayunan lengan, panjang langkah, kecondongan tubuh dan
sebagainya. Hal ini merupakan evaluasi proses. Untuk sebagian
besar aktivitas, harus memperhatikan keduanya baik evaluasi
produk maupun proses. Beberapa aktivitas misalnya senam,
lebih banyak memberi kemungkinan untuk evaluasi proses
daripada evaluasi produk.

c) Evaluasi Acuan Patokan dan Acuan Norma


Guru, merasa perlu untuk menafsirkan arti informasi atau
data yang hasil pengetesan. Misalnya pada sebuah kelas yang
terdiri atas 40 orang siswa. Siswa A memperoleh nilai 25 dalam
tes kesegaran jasmani untuk butir tes push-up. Apabila yang
diterapkan evaluasi acuan norma, maka yang digunakan sebagai
kriteria adalah norma kelompok. Misalnya kemampuan rata-rata
40 siswa dalam push-up adalah 20 kali, maka berdasarkan rata-
rata tersebut kemampuan siswa A dapat ditafsirkan. Ini berarti,
jika dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya kemampuan
siswa A berada di atas rata-rata.
E. Hubungan Antara Tes, Measurement (Pengukuran),
Asesment (Penilaian) dan Evaluasi
1. Perbedaan Asesmen dan Evaluasi
Rustaman (2003) mengungkapkan bahwa asesmen lebih
ditekankan pada penilaian proses. Sementara itu pada evaluasi lebih
ditekankan pada hasil belajar. Apabila dilihat dari sisi
keberpihakannya, asesmen lebih berpihak kepada kepentingan siswa.
Siswa dalam hal ini menggunakan asesmen untuk merefleksikan
kekuatan, kelemahan dan perbaikan belajar. Sementara itu evaluasi
lebih berpihak kepada kepentingan evaluator.
Yulaelawati (2004) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan
antara evaluasi dengan asesmen. Evaluasi merupakan penilaian
program pendidikan secara menyeluruh. Evaluasi pendidikan lebih
bersifat makro, meluas, dan menyeluruh. Sementara itu asesmen
merupakan penilaian dalam scope yang lebih sempit (mikro) bila
dibandingkan dengan evaluasi. Asesmen hanya menyangkut
kompetensi siswa dan perbaikan program pembelajaran.

78
2. Perbedaan Tes, Pengukuran dan Evaluasi
Terdapat perbedaan makna antara mengukur dan mengevaluasi.
Mengukur (Measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan
satu ukuran tertentu, sehingga pengukuran bersifat kuantitatif.
Sementara itu evaluasi adalah pengambilan suatu keputusan terhadap
sesuatu dengan ukuran baik-buruk. Dengan demikian pengambilan
keputusan tersebut lebih bersifat kualitatif. (Arikunto, 2003; Zainul &
Nasution, 2001).
Setiap butir pertanyaan atau tugas dalam tes harus selalu
direncanakan dan mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap
benar. Sementara itu tugas ataupun pertanyaan dalam kegiatan
pengukuran (measurement) tidak selalu memiliki jawaban atau cara
pengerjaan yang benar atau salah karena measurement tidak selalu
memiliki jawaban atau cara pengerjaan yang benar atau salah karena
measurement dapat dilakukan melalui alat ukur non-tes.
3. Hubungan Tes, Measurement (Pengukuran), Asesment
(Penilaian) dan Evaluasi
Menurut Zainul & Nasution (2001), hubungan antara tes,
pengukuran dan evaluasi adalah sebagai berikut. Evaluasi belajar baru
dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila menggunakan
informasi yang diperoleh melalui pengukuran yang menggunakan tes
sebagai alat ukurnya. Selain tes, informasi tentang hasil belajar juga
diperoleh menggunakan alat ukur non tes seperti observasi, skala
rating, dan lain-lain. Mereka juga menyatakan bahwa guru mengukur
berbagai kemampuan siswa. Apabila guru melangkah lebih jauh dalam
menginterpretasikan skor sebagai hasil pengukuran tersebut dengan
menggunakan standar tertentu untuk menentukan nilai atas dasar
pertimbangan tertentu, maka kegiatan tersebut disebut evaluasi.
Untuk mengungkapkan hubungan antara asesmen dan evaluasi,
Gabel (1993) mengungkapkan bahwa evaluasi merupakan proses
pemberian penilaian terhadap data atau hasil yang diperoleh melalui
asesmen. Hubungan antara asesmen, evaluasi, pengukuran, dan
testing dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

79
Gambar 1. Diagram hubungan antara peristilahan dalam
asesmen & evaluasi

Contoh Hubungan Antara Tes, Non-Tes, Pengukuran, Dan Evaluasi


Tes Pengukuran Evaluasi
Soal : Seperangkat Bu Dini menghitung Bu Dini menilai bahwa
soal/ tugas untuk berapa jumlah kesalahan kemampuan Ani dalam
mengamati obyek Ani dalam menggnakan menggunakan
menggunakan mikroskip (ia mikroskop masih
mikroskop dengan menghitung terjadi 3 kurang
prosedur yang kesalahan dari 5 tugas)
benar
Non-Tes Pengukuran Evaluasi
Soal : Siswa Bu Ajeng Bu Ajeng menilai
ditugasi oleh Bu membandingkan laporan bahwa kemampuan
Ajeng untuk praktikum yang dibuat Denta sangat baik
menyusun laporan Denta dengan standar dalam menyusun
pasca kegiatan kriteria dan menghitung laporan praktikum
praktikum fisika total skor yang yang ideal
diperoleh. Skor yang
diperoleh yaitu 85

80
Bagan Hubungan antara Evaluasi, Asesmen, Pengukuran,
dan Tes

F. Macam-macam Tes Evaluasi Hasil Belajar


1. Pengertian test
Secara harfiah kata “test” berasal dari kata bahasa prancis kuno:
testum yang berarti piring untuk menyisihkan logam-logam mulia,
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan tes yang berarti
ujian atau percobaan.
Dari segi istilah, menurut Anne Anastasi, test adalah alat
pengukur yang mempunyai standar obyektif sehingga dapat
digunakan secara meluas, serta dapat betul-betul digunakan dan
membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu.
Sedangkan menurut F.L. Geodenough, test adalah suatu rangkaian
tugas yang diberikan kepada individu atau sekelompok individu
dengan maksud untuk membandingkan kecapan antara satu
dengan yang lain.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa test adalah cara
yang dapat digunakan atau prosedur yang dapat ditempuh dalam
rangka pengukuran dan penilaian yang dapat berbetuk pemberian
tugas, atau serangkaian tugas sehingga dapat dihasilkan nilai yang
dapat melambangkan prestasi.

81
2. Fungsi test
Secara umum test memiliki dua fungsi yaitu:
a. Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Dalam hal ini test
berfungsi mengukur tingkat perkembangan atau kemajuan yang
telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka menempuh
proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu
b. Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran, karena
melalui test tersebut dapatdiketahui seberapa jauh tujuan
pembelajaran telah dicapai.
3. Macam-macam test
a. Menurut pelaksanaannya dalam praktek test terbagi atas:
 Tes tulisan (written tes), yaitu test yang mengajukan butir-
butir pertanyaan dengan mengharapkan jawaban tertulis.
Biasanya test ini digunakan untuk mengukur aspek kognitif
peserta didik.
 Test lisan (oral test), yaitu tes yang mengajukan pertanyan-
pertanyaan dengan menghendaki jawaban secara lisan. Test
ini juga dilakukan untuk aspek kognitif peserta didik.
 Test perbuatan (performance test), yaitu tes yang
mengajukan pertanyan-pertanyaan dengan menghendaki
jawaban dalam bentuk perbuatan. Test ini digunakan untuk
menilai aspek psikomotor/ keterampilan peserta didik.
b. Menurut fungsinya test terbagi atas:
 Tes formatif (formative test), yaitu test yang dilaksanakan
setelah selesainya satu pokok bahasan. Test ini berfungsi
untuk menetukan tuntas tidaknya satu pokok bahasan. Tindak
lanjut yang dapat dilakukan setelah diketahui hasil test
formatif peserta didik adalah: (a) Jika materi yang ditestkan
itu telah dikuasai, maka pembelajaran dilanjutkan dengan
pokok bahasan yang baru. (b) Jika ada bagian-bagian yang
belum dikuasai oleh peserta didik, maka sebelum melanjutkan
pokok bahasan yang baru, terlebih dahulu diulangi atau
dijelaskan kembali bagian-bagian yang belum di kuasai. Hal
ini bertujuan untuk memperbaiki tingkat penguasaan peserta
didik
 Tes sumatif (summative test), yaitu test yang diberikan
setelah sekumpulan satuan program pembelajaran selesai
diberikan. Disekolah test ini dikenal sebagai ulangan umum.
 Test diagnostik (Diagnostic test), yaitu test yang dilakukan
untuk menentukan secara tepat, jenis kesulitan yang dihadapi
oleh peserta didik dalam suatu mata pelajaran tertentu.

82
c. Menurut waktu diberikannya test tergagi atas:
 Pra test (pre test), yaitu test yang diberikan sebelum proses
pembelajaran. Test ini bertujuan untuk mengetahui sejauh
manakah materi yang akan diajarkan telah dapat dikuasai
oleh peserta didik. Jenis-jenis pra test antara lain: (1) Test
persyaratan (Test of entering behavior), yaitu tes yang
dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan dasar yang
menjadi syarat guna memasuki suatu kegiatan tertentu. (2)
Input test (test of input competence), yaitu test yang
digunakan menentukan kegiatan belajar yang relevan,
berhubungan dengan kemampuan dasar yang telah dimiliki
oleh peserta didik.
 Test akhir (Post test), yaitu test yang diberikan setelah
dilaksanakan proses pembelajaran. Tes tersebut bertujuan
untuk mengetahui tingkat kemajuan intelektual (tingkat
penguasaan materi) peserta didik. Biasanya test ini berisi
pertanyaan yang sama dengan pra test.
d. Menurut kebutuhannya, macam test antara lain:
 Psycho test, yaitu test tentang sifat-sifat atau kecenderungan
atau hidup kejiwaan seseorang (peserta didik).
 IQ test, yaitu test kecerdasan. Test ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat kecerdasan seseorang (peserta didik).
 Test kemampuan (aptitude test), yaitu test bakat. Test ini
bertujuan untuk mengungkap kemampuan atau bakat khusus
yang dimiliki oleh seseorang.
e. Menurut jenisnya tes terbagi menjadi:
 Test standar, yaitu test yang sudah dibakukan setelah
mengalami beberapa kali uji coba (try out) dan memenuhi
syarat test yang baik.
 Test buatan guru, yaitu test yang dibuat oleh guru.
f. Menurut jenis waktu yang disediakan test terdiri atas:
 Power test, yakni test dimana waktu yang disediakan untuk
menyelesaikan test tidak dibatasi.
 Speed test, yaitu test dimana waktu yang disediakan untuk
menyelesaikan test dibatasi.

83
G. Macam-macam Tes Objektif
1. Bentuk Tes Benar Salah (True False)
Bentuk tes benar salah memiliki soal yang berupa statemen.
Statemen tersebut dapat disusun sedemikian rupa, ada yang
benar dan ada yang salah.
a) Kelebihan Tes Benar Salah
 Dapat mencakup bahan yang luas dan tidak memakan
tempat yang banyak
 Mudah dalam penyusunannya
 Petunjuk mengerjakannya mudah dimengerti
 Dapat digunakan berkali-kali
 Objektif

b) Kelemahan Tes Benar Salah


 Mudah ditebak
 Banyak masalah yang tidak dapat dinyatakan hanya
dengan kemungkinan benar atau salah
 Hanya dapat mengungkapkan daya ingat dan pengenalan
kembali

c) Petunjuk Penyusunan
 Hindari kalimat negatif, yakni kalimat yang mengandung
kata “tidak” atau “bukan”
 Pernyataan harus disusun sedemikian rupa sehingga siswa
yang memiliki pengertian samar-samar dapat terkecoh
dalam menjawabnya
 Dalam menyusun keseluruhan tes, diharapkan item yang
mengandung “salah sedikit” cukup banyak

d) Cara Melakukan Pen-skor-an Tes Benar Salah


 Dengan Denda Menggunakan rumus :
Skor = Jumlah jawaban benar – Jumlah jawaban Salah
 Tanpa Denda
Menggunakan rumus : Skor = Jumlah jawaban yang benar

2. Bentuk Pilihan Ganda (Multiple Choice Test)


Tes pilihan ganda merupakan tes yang menggunakan
pengertian/ pernyataan yang belum lengkap dan untuk
melengkapinya maka kita harus memilih satu dari beberapa
kemungkinan jawaban benar yang telah disiapkan.

84
a) Pilihan ganda biasa (melengkapi pilihan)
Bentuk ini merupakan suatu kalimat pernyataan yang belum
lengkap dan diikuti empat atau lima kemungkinan jawaban
yang tepat dan melengkapi pernyataan tersebut.

b) Hubungan antar hal (Sebab akibat)


Bentuk tes ini terdiri dari dua kalimat : satu kalimat
pernyataan dan satu kalimat alasan. Ditanyakan apakah
pernyataan memiliki hubungan sebab akibat atau tidak
dengan alasan.

c) Analisa Kasus
Bentuk tes analisa kasus ini menghadapkan peserta pada satu
masalah.

d) Membaca Diagram, atau table


Bentuk soal ini mirip dengan bentuk pilihan ganda biasa,
hanya saja disertai dengan tabel.

e) Asosiasi pilihan ganda


Bentuk soal ini sama dengan bentuk soal melengkapi pilihan,
yakni suatu pernyataan yang tidak lengkap yang diikuti
dengan beberapa kemungkinan, hanya perbedaan pada
bentuk asosiasi pilihan ganda kemungkinan jawaban bisa
lebih dari satu, sedangkan melengkapi pilihan hanya satu
yang paling tepat.

Petunjuk :
Pilih A jika (1), (2) dan (3) benar
Pilih B jika (1) dan (3) benar
Pilih C jika (2) dan (4) benar
Pilih D jika hanya (4) yang benar
Pilih E jika semuanya benar

Saran Pembuatan Soal Pilihan Ganda


a. Pernyataan dan pilihan merupakan suatu rangkaian kalimat
b. Hindari pilihan yang tidak ada kaitannya satu sama lain
c. Buat pilihan yang mirip dengan jawaban kunci
d. Letak kunci jawaban sebaiknya tidak selalu berada pada
tempat (poin) yang sama
e. Hindari kaitan antara satu soal dengan soal lainnya

85
Cara Memberikan Skor
a) Tanpa Denda
Skor = Banyaknya jawaban yang benar
b) Dengan Denda

3. Menjodohkan (Matching Test)


Menjodohkan terdiri atas satu sisi pertanyaan dan satu sisi
jawaban, setiap pertanyaan mempunyai jawaban pada sisi
sebelahnya. Siswa ditugaskan untuk memasangkan atau
mencocokkan, sehingga setiap pertanyaan mempunyai jawaban
yang benar.
a. Saran Penulisan
 Banyaknya jawaban di sebelah kanan lebih dari jawaban di
sebelah kiri
 Lebihnya jawaban hendaknya menunjukkan jawaban yang
salah
 Materinya setiap sisi baiknya mengenai satu pokok
bahasan saja
 Pisahkan menjadi dua kolom, kolom pertama memuat
jawaban, nomor soal dan pertanyaan. Sedangkan kolom
kedua memuat kode dan pilihan jawaban.

b. Cara Memberikan Skor


Penskoran pada tes menjodohkan tidak diberikan denda
terhadap jawaban yang salah
Skor = Jumlah jawaban benar

4. Tes Isian (Complementary Test)


Tes isian terdiri dari kalimat yang dihilangkan (diberi titik-titik).
Bagian yang dihilangkan ini yang diisi oleh peserta tes
merupakan pengertian yang diminta agar pernyataan yang
dibuat menjadi pernyataan yang benar.

Cara Memberikan Skor


Pada tes ini sulit dilakukan tebakan, sehingga tidak diperlukan
denda terhadap jawaban yang salah. Maka rumus yang
digunakan adalah :
Skor = Jumlah jawaban benar

86
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, et al.(1996). Glossary of Educational Assessment Term.


Jakarta: Ministry of Educational and Culture.
Anonim. (2014). Pengertian Asesmen. (online)
http://eprints.ung.ac.id/4803/5/2012-1-86204-131409130-bab2-
29082012060719.pdf (diakses pada 21 Februari 2017)
Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Arikunto, S & Jabar.2004.Evaluasi Program Pendidikan.Jakarta:
Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta:Bumi Aksara
Calongesi,J.S.1995.Merancang Tes untuk Menilai Prestasi Siswa.
Bandung: ITB.
Jacobs & Cgase. 1992. Developing And Using Test Effectively. San
Fransisco: Jossey-Bass Publisher
Mimin, Haryati. 2009. Model & Teknik Penilaian pada Tingkat Satuan
Pendidikan, Jakarta:Gaung Persada
Nabhan, A. (2013). Pengertian Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi.
digilib.unila.ac.id/1040/8/BAB%20II.pdf (diakses 21 Februari
2017).
Poerwanti, E. 2001. Evaluasi pembelajaran, Modul Akta mengajar.
UMM Press.
Rakhmawati. (2013). Asesmen Pembelajaran. (online)
http://digilib.uinsby.ac.id/10938/5/Bab2.pdf (diakses pada 21
Februari 2017)
Solikin. (2011). Pengertian Dan Hubungan Antara Tes, Pengukuran, Dan
Evaluasi. http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-
Indonesia/PENGERTIANDANHUBUN_Solikan_16692.pdf (diakses
21 Februari 2017).
Sugiyatno. (2012). Test, Pengukuran, Assessmen,
Evaluasi.http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/sugiy
atno-mpd/materi-kuliah-evaluasi-bk-2.pdf (diakses 21 Februari
2017).
Wulan,Ana Ratna. Pengertian Dan Esensi Konsep Evaluasi, Asesmen, Tes,
Dan Pengukuran. http://file.upi.edu/ pengertian_asesmen.pdf
(diakses pada 21 Februari 2017)
Zainul & Nasution.(2001). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen
Dikti.

87
BAB VI
BENTUK-BENTUK NON TES

Pengajaran merupakan upaya guru secara konkret dilakukan


untuk menyampaikan bahan kurikulum agar dapat diserap oleh
murid. Pengajaran sebagai suatu sistem terdiri dari berbagai
komponen berupa tujuan, bahan, metode, dan alat serta
penilaian. Dalam hubungan itu, tujuan menempati posisi kunci.
Bahan adalah isi pengajaran yang apabila dipelajari siswa
diharapkan tujuan akan tercapai. Metode dan alat berperan
sebagai alat pembantu untuk memudahkan guru dalam
mengajar dan murid dalam belajar. Sedangkan penilain
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana murid telah
mengalami proses pembelajaran yang ditujukan oleh perubahan
perilakunya.
Kegiatan mengukur, menilai, dan mengevaluasi sangatlah
penting dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak terlepas karena
kegiatan tersebut merupakan suatu siklus yang dibutuhkan
untuk mengetahui sejauhmana pencapaian pendidikan telah
terlaksana. Contohnya dalam evaluasi penilaian hasil belajar
siswa, kegiatan pengukuran dan penilaian merupakan langkah
awal dalam proses evaluasi tersebut. Kegiatan pengukuran yang
dilakukan biasanya dituangkan dalam berbagai bentuk tes dan
hal ini yang paling banyak digunakan. Namun, tes bukanlah
satu-satunya alat dalam proses pengukuran, penilaian, dan
evaluasi pendidikan sebab masih ada teknik lain yakni teknik
“NON TES”.
Teknik non tes biasanya dilakukan dengan cara wawancara,
pengamatan secara sistematis, menyebarkan angket, ataupun
menilai/mengamati dokumen-dokumen yang ada. Pada evaluasi
penilaian hasil belajar, teknik ini biasanya digunakan untuk
mengukur pada ranah afektif dan psikomotorik, sedangkan
teknik tes digunakan untuk mengukur pada ranah kognitif.
Berikut ini akan dijelaskan pengertian, dan bentuk-bentuk non-
tes, dalam evaluasi dalam dunia pendidikan.

88
A. Pengertian Evaluasi Non Tes
Evaluasi atau penilaian merupakan salah satu
komponen sistem pengajaran, Pengembangan alat evaluasi
merupakan bagian integral dalam pengembangan sistem
instruksional. Oleh sebab itu fungsi evaluasi adalah untuk
mengetahui apakah tujuan yang dirumuskan dapat tercapai,
evaluasi merupakan salah satu faktor penting dalam proses
belajar mengajar. Sebagai alat penilai hasil pencapaian tujuan
dalam pengajaran, evaluasi harus dilakukan secara terus
menerus. Evaluasi itu lebih dari hanya sekedar untuk
menentukan angka keberhasilan belajar, tetapi manfaat
evaluasi sangat besar.
Evaluasi merupakan kegiatan yang paling umum
dilakukan dan tindakan yang mengawali kegiatan evaluasi
dalam penilaian hasil belajar siswa. Pernyataan ini tidaklah
harus diartikan bahwa teknik tes adalah satu- satunya teknik
untuk melakukan evaluasi hasil belajar, sebab masih ada
teknik lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu teknik nontes.
Teknik evaluasi nontes berarti melaksanakan penilaian
dengan tidak mengunakan tes. Teknik penilaian ini umumnya
untuk menilai kepribadian peserta didik secara menyeluruh
meliputi sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan,
riwayat hidup dan lain-lain. Yang berhubungan dengan
kegiatan belajar dalam pendidikan, baik secara individu
maupun secara kelompok.
Hasil belajar dan proses belajar tidak hanya dinilai oleh
tes, baik melalui bentuk tes uraian maupun tes objektif, tetapi
juga dapat dinilai oleh alat-alat nontes atau bukan tes. Alat-
alat bukan tes yang sering digunakan antara lain ialah
Wawancara, kuesioner, skala (skala penilaian, skala sikap),
observasi atau pengamatan, studi kasus, dan sosiometri.
Wawancara dan kuisioner pada umumnya digunakan untuk
menilai aspek kognitif seperti pendapat atau pandangan
seorang serta harapan dan aspirasinya di samping aspek
afektif dan perilaku individu. Skala bisa digunakan untuk
menilai aspek afektif seperti skala sikap dan skala minta serta
aspek kognitif seperti skala penilaian. Observasi pada
umumnya digunakan untuk memperoleh data mengenai

89
perilaku individu atau proses kegiatan tertentu. Studi kasus
digunakan untuk memperoleh data yang komprehensif
mengenai kasus-kasus tertentu dari individu. Sosiometri pada
umumnya digunakan untuk menilai aspek perilaku individu,
terutama hubungan sosialnya. Catatan kumulatif digunakan
untuk memperoleh data dan informasi yang mendalam dan
menyeluruh mengenai individu yang dilakukan terus-menerus
sehingga diperoleh data dan informasi yang komprehensif.
Kelebihan nontes dari tes adalah sifatnya lebih komprehensif,
artinya dapat digunakan untuk menilai berbagai aspek dari
individu sehingga tidak hanya untuk menilai aspek kognitif,
tetapi juga aspek afektif dan psikomotoris.
Penggunaan nontes untuk menilai hasil dan proses
belajar masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan
penggunaan tes dalam menilai hasil dan proses belajar. Para
guru di sekolah pada umumnya lebih banyak menggunakan
tes daripada bukan tes mengingat alatnya mudah dibuat,
penggunaannya lebih praktis, dan yang dinilai terbatas pada
aspek kognitif berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh peserta
didik setelah menyelesaikan pengamalan belajarnya.

B. Macam-macam Evaluasi Nontes


Hasil belajar dan proses balajar tidak hanya dinilai
dengan tes, baik melalui bentuk soal tes obyektif maupun tes
subyektif, tetapi juga dapat dinilai oleh teknik dan alat
penilaian bukan tes atau non-tes. Teknis non-tes ini
digunakan untuk menilai aspek-aspek pada diri siswa yang
sulit atau tidak dapat diukur dengan angka misalnya : menilai
sikap, minat, kerajinan, hubungan sosial dan sebagainya.
Teknik non-tes dilaksanakan melalui wawancara, obsevasi,
angket/kuesioner dan studi kasus, adapun alat yang dapat
digunakan adalah pedoman observasi, pedoman wawancara,
angket, catatan anekdot, inventory, sosiometri, skala
penilaian, skala sikap, buku pribadi, buku laporan pendidikan.
Pelaksanaan wawancara, observasi, angket, dan studi kasus
dapat mempergunakan satu atau lebih alat penilaian dari
sepuluh yang ada, disesuaikan dengan kebutuhan penilaian.

90
1. Wawancara
Wawancara adalah suatu cara yang digunakan untuk
mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya
jawab sepihak. Dikatakan sepihak karena dalam
wawancara ini responden tidak diberi kesempatan sama
sekali untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan hanya
diajukan oleh subyek evaluasi.
Sebagai alat penilaian, wawancara dapat digunakan
untuk menilai hasil dan proses belajar. Kelebihan
wawancara ialah bisa kontak langsung dengan peserta
didik sehingga dapat mengungkapkan jawaban secara
lebih bebas dan mendalam. Lebih dari itu, hubungan dapat
dibina lebih baik sehingga siswa bebas mengemukakan
pendapatnya. Wawancara bisa direkam sehinga jawaban
peserta didik bisa dicatat secara lengkap. Melalui
wawancara, data bisa diperoleh dalam bentuk kualitatif
dan kuantitatif.
Pertanyaan yang tidak jelas dapat diulang dan
dijelaskan lagi. Sebaliknya, jawaban yang belum jelas bisa
diminta lagi dengan lebih terarah dan lebih bermakna asal
tidak mempengaruhi atau mengarahkan jawaban peserta
didik. Tujuan dari wawancara adalah :
a. Untuk memperoleh informasi secara langsung guna
menjelaskan suatu situasi dan kondisi tertentu.
b. Untuk melengkapi suatu penyelidikan ilmiah.
c. Untuk memperoleh data agar dapat mempengaruhi
situasi atau orang tertentu.
Ada dua jenis wawancara yang dapat dipergunakan
sebagai alat evaluasi, yaitu:
 Wawancara Terpimpin (guided interview)
Yang juga sering dikenal dengan istilah wawancara
berstruktur (structured interview) atau wawancara
sistematis (systematic interview), yaitu wawancara yang
dilakukan oleh evaluator dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu.
Jadi, dalam hal ini responden pada waktu menjawab
pertanyaan tinggal memilih jawaban yang sudah
disediakan oleh evaluator.

91
 Wawancara Tidak Terpimpin (un-guided interview)
Yang sering dikenal dengan istlah wawancara
sederhana (simple interview) atau wawancara tidak
sistematis (non-systematic interview) atau wawancara
bebas, dimana responden mempunyai kebebasan untuk
mengutarakan pendapatnya, tanpa dibatasi oleh patokan-
patokan yang telah dibuat oleh evaluator. Dalam
wawancara bebas, pewancara selaku evaluator
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada peserta didik
atau orang tuanya tanpa dikendalikan oleh pedoman
tertentu, mereka dengan bebas mengemukakan
jawabannya. Hanya saja pada saat menganilis dan menarik
kesimpulan hasil wawancara bebas ini evaluator akan
dihadapkan kesulitan-kesulitan, terutama apabila jawaban
mereka beraneka ragam. Mengingat bahwa daya ingat
manusia itu dibatasi ruang dan waktu, maka sebaiknya
hasil wawancara itu dicatat seketika. Keuntungannya ialah
mudah diolah dan dianalisis untuk dibuat kesimpulan.
Sedangkan pada wawancara bebas, jawaban tidak perlu
disiapkan sehingga peserta didik bebas mengemukakan
pendapatnya. Keuntungannya ialah informasi lebih padat
dan lengkap sekalipun kita harus bekerja keras dalam
menganalisisnya sebab jawabannya bisa beraneka ragam.
Hasil atau jawaban peserta didik tidak bisa ditafsirkan
langsung, tetapi perlu analisis dalam bentuk kategori
dimensi-dimensi jawaban, sesuai dengan aspek yang
diungkapkan.
Ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan wawancara, yakni :
1. Tahap Awal Pelaksanaan
Tahap awal wawancara bertujuan untuk
mengondisikan situasi wawancara. Buatlah situasi yang
mengungkapkan suasana keakraban sehingga siswa
tidak merasa takut, dan ia terdorong unuk
mengemukakan pendapatnya secara bebas dan beanr
atau jujur.

92
2. Tahap Penggunaan Pertanyaan
Setelah konsisi awal cukup baik, barulah diajukan
pertanyaaan-pertanyaan sesuai dengan tujuan
wawancara. Pertanyaan diajukan secara bertahap dan
sistematis berdasarkan rambu-rambu atau kisi-kisi yang
telah dibuat sebelumnya. Apabila pertayaan dibuat
secara berstruktur, pewawancara membacakan
pertanyaan dan kalua perlu, alternatif jawabannya.
Siswa diminta mengemukakan pendapatnya, lalu
pendapat siswa diklarifikasikan ke dalam alternatif
jawaban yang telah ada. Bila wawancara tak
berstruktur, baca atau ajukan pertanyaan, lalu siswa
diminta menjawabnya secara bebas.
3. Pencatatan Hasil Wawancara
Tahap terakhir adalah mencatat hasil wawancara.
Hasil wawancara sebaiknya dicatat saat itu juga supaya
tidak lupa. Mencatat hasil wawancara berstruktur cukup
mudah sebab tinggal memberikan tanda pada alternatif
jawaban, misalnya melingkari salah satu jawaban yang
ada.
Sedangkan pada wawancara terbuka kita perlu
mencatat pokok-pokok isi jawaban siswa pada lembaran
tersendiri. Yang dicatat adalah jawaban apa adanya dari
siswa, jangan tafsiran pewawancara atau ditambah dan
dikurangi
Tahap awal wawancara bertujuan untuk
mengondisikan situasi wawancara. Buatlah situasi yang
mengungkapkan suasana keakraban sehingga peserta
didik tidak merasa takut, dan ia terdorong untuk
mengemukakan pendapatnya secara bebas dan benar atau
jujur.
Setelah kondisi awal cukup baik, barulah diajukan
pertanyaanpertanyaan sesuai dengan tujuan wawancara.
Pertanyaan diajukan secara bertahap dan sistematis
berdasarkan rambu-rambu atau kisi-kisi yang telah dibuat
sebelumnya. Apabila pertanyaan dibuat secara berstruktur,
pewawancara membacakan pertanyaan dan, kalau perlu
alternatif jawabannya. Peserta didik diminta

93
mengemukakan pendapatnya, lalu pendapat siswa
diklasifikasikan ke dalam alternatif jawaban yang telah
ada. Bila wawancara tak berstruktur, baca atau ajukan
pertanyaan, lalu peserta didik diminta menjawab secara
bebas.
Tahap terakhir adalah mencatat hasil wawancara.
Hasil wawancara sebaiknya dicatat saat itu juga supaya
tidak lupa. Mencatat hasil wawancara berstruktur cukup
mudah sebab tinggal memberikan tanda pada alternatif
jawaban, misalnya melingkari salah satu jawaban yang
ada.
Sedangkan pada wawancara terbuka kita perlu
mencatat pokok-pokok isi jawaban peserta didik pada
lembaran tersendiri. Yang dicatat adalah jawaban apa
adanya dari peserta didik, jangan tafsiran
pewawancara ditambah dan dikurangi.
Kelebihan dari wawancara adalah pewancara sebagai
evaluator (dalam hal ini guru, dosen dan lain-lain) dapat
berkomunikasi secara langsung, dengan peserta didik,
sehingga informasi yang diperoleh dapat diketahui
objektivitasnya, juga dapat diperoleh hasil penilaian yang
lebih lengkap dan mendalam, pelaksanaan wawancara
lebih fleksibel, dinamis, dan personal, data dapat diperoleh
baik dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif,
memungkinkan bagi penanya untuk memperoleh data
penguat lainmelalui mimik atau perilaku responden dalam
menjawab pertanyaan, intensitas respon terhadap
pertanyaan yang diperoleh melalui wawancara lebih tinggi
dibandingkan dengan respon melalui kuisioner.
Sedangkan kelemahannya adalah jika jumlah peserta
didik cukup banyak, maka proses wawancara banyak
menggunakan waktu, tenaga, dan biaya, ada kalanya
wawancara terjadi berlarut-larut tanpa arah, sehingga data
kurang dapat memenuhi apa yang diharapkan, sering
timbul sikap kurang baik dari peserta didik yang
diwancarai dan sikap overaction dari guru sebagai
pewawancara, karena itu perlu adanya adaptasi diri antara
pewancara dengan orang yang diwawancarai, wawancara

94
tidak dapat menjangkau responden dalam jumlah besar
dan dalam wilayah yang luas.

2. Kuisioner
Kuesioner juga sering dikenal sebagai angket.
Angket yaitu wawancara tertulis baik pertanyaan maupun
jawabannya. Pada dasarnya kuesioner adalah sebuah
pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur
(responden). Dengan kuesiner ini orang dapat mengetahui
tentang keadaan / data diri, pengalaman, pengetahuan
sikap atau pendapatnya dan lain-lain.
Pada umunya tujuan penggunaan angket atau
kuesioner dalam proses pembelajaran terutama adalah
untuk memperoleh data mengenai latar belakang peserta
didik sebagai salah satu bahan dalam menganalisis tingkah
laku dan proses belajar mereka dan untuk memperoleh
data sebagai bahan dalam menyusun kurikulum dan
progam pembelajaran.
Kelebihan kuesioner dari wawancara ialah sifatnya
yang praktis, hemat waktu, tenaga, dan biaya.
Kelemahannya ialah jawaban sering tidak objektif, lebih-
lebih bila pertanyaan kurang tajam yang memungkinkan
peserta didik berpura-pura. Seperti halnya wawancara,
kuesioner pun ada dua macam, yakni kuesioner langsung
dan tidak langsung. Kelebihan masing-masing kuesioner
tersebut hampir sama dengan wawancara.
Cara penyampaian kuesioner ada yang langsung
dibagikan kepada peserta didik, yang setelah diisi lalu
dikumpulkan lagi. Ada juga yang dikirim melalui pos. cara
kedua belum menjamin terkumpulnya kembali sesuai
dengan jumlah yang dibagikan. Oleh karena itu, sebaiknya
pengiriman kuesioner dibuat lebih dari yang diperlukan.
Alternatif jawaban yang ada dalam kuesioner bisa
juga ditransformasikan dalam bentuk simbol kuantitatif
agar menghasilkan data interval. Caranya ialah dengan
jalan memberi skor terhadap setiap jawaban berdasarkan
kriteria tertentu. Misalnya ditanyakan tingkat pendidikan

95
responden. Makin tinggi jenjang pendidikan yang
dimilikinya, makin besar skor yang diberikan.
Cara menyusun kuesioner seperti pada tes prestasi
belajar, sehingga berlaku langkah-langkah yang telah
dijelaskan di muka, yakni dimulai dengan analisis variabel,
membuat kisi-kisi, dan menyusun pertanyaan. Petunjuk
yang lebih teknis dalam membuat kuisioner adalah sebagai
berikut:
a. Mulai dengan pengantar yang isinya permohonan
mengisi kuesioner sambil dijelaskan maksud dan
tujuannya.
b. Jelaskan petunjuk atau cara mengisinya supaya tidak
salah. Kalau perlu, diberikan contoh.
c. Mulai dengan pertanyaan untuk mengungkapkan
identitas responden. Dalam identitas ini sebaiknya tidak
diminta mengisi nama. Identitas dukup mengungkapkan
jenis kelamin, usia, kelas, dan lain-lain yang ada
kaitannya dengan tujuan kuesioner.
d. Isi pertanyaan sebaiknya dibuat beberapa kategori atau
bagian sesuai dengan variabel yang diungkapkan
sehingga mudah mengolahnya.
e. Rumusan pertanyaan dibuat singkat, tetapi jelas
sehingga tidak membingungkan dan salah
mengakibatkan penafsiran.
f. Hubungan antara pertanyaan yang satu dengan
pertanyaan lain harus dijaga sehingga tampak logikanya
dalam satu rangkaian yang sistematis. Hindari
penggolongan pertanyaan terhadap indikator atau
persoalan yang sama.
g. Usahakan kemungkinan agar jawaban, kalimat, atau
rumusannya tidak lebih panjang daripada pertanyaan.
h. Kuesioner yang terlalu banyak atau terlalu panjang
akan melelahkan dan membosankan responden
sehingga pengisiannya tidak objektif lagi.
i. Ada baiknya kuesioner diakhiri dengan tanda tangan si
pengisi untuk menjamin keabsahan jawabannya.

96
Untuk melihat validitas jawaban kuesioner, ada
baiknya kepada beberapa responden secara acak dilakukan
wawancara dengan pertanyaan yang identik dengan isi
kuesioner yang telah diisinya. Tujuan penggunaan
kuesioner dalam kegiatan pengajaran adalah sebagai
berikut:
a. Untuk memperoleh data mengenai latar belakang
peserta didik sebagai bahan dalam menganalisis tingkah
laku hasil dan proses belajarnya
b. memperoleh data mengenai hasil belajar yang
dicapainya dan proses belajar yang ditempuhnya
c. Untuk memperoleh data sebagai bahan dalam
menyusun kurikulum dan program belajar-mengajar.

3. Skala
Skala adalah alat untuk mengukur nilai, minat dan
perhatian yang disusun dalam bentuk pertanyaan untuk
dinilai oleh responden dan hasilnya dalam bentuk
rentangan nilai sesuai dengan kriteria yang ditentukan.
Dalam uraian ini hanya akan dijelaskan skala penilaian
(rating scale) dan skala sikap.21 Skala biasanya dilakukan
untuk melakukan penilaian terhadap sikap atau penilaian
kualitatif dengan menggunakan bentuk skala (kuantitatif).
a. Skala Penilaian
Skala penilaian mengukur penampilan atau perilaku
orang lain oleh seseorang melalui pernyataan perilaku
individu pada suatu titik kontinu atau suatu kategori
yang bermakna nilai. Titik atau kategori diberi nilai
rentangan mulai dari yang tertinggi sampai yang
terendah. Rentangan ini bisa dalam bentuk huruf (A, B,
C, D), angka (4, 3, 2, 1) atau 10, 9, 8, 7, 6,5.
Sedangkan rentangan kategori bisa tinggi, sedang,
rendah, atau baik, sedang, kurang.
b. Skala Sikap
Sikap merupakan digunakan untuk mengukur sikap
seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa
kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak
(negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah

97
kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga
dapat diartikan reaksi seseorang terhadap suatu
stimulus yang datang kepada dirinya.
Ada tiga kompenen sikap, yakni kognisi, afeksi, dan
konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan
seseorang tentang objek atau stimulus yang
dihadapinya, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam
menanggapi objek tersebut, sedangkan konasi
berkenaan dengan kecenderungan berbuat terhadap
objek tersebut. Oleh karana itu, sikap selalu bermakna
bila dihadapkan kepada objek tertentu, misalnya sikap
peserta didik terhadap mata pelajaran, sikap mahasiswa
terhadap pendidikan politik, atau sikap guru terhadap
profesinya.

4. Observasi
Observasi adalah pengamatan kegiatan seperti
dalam diskusi, kerja kelompok, eksperimen, dan
sebagainya. Observasi juga bisa diartikan suatu teknik
yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan
secara teliti serta pencatatan secara sistematis.
Sebenarnya observasi merupakan suatu proses yang
alami, dimana kita semua sering melakukannya, baik
secara sadar maupun tidak sadar di dalam kehidupan
sehari-hari. Di dalam kelas, guru sering melihat,
mengamati, dan melakukan interprestasi. Dalam
kehidupan sehari-haripun kita sering mengamati orang
lain. Pentingnya observasi dalam kegiatan evaluasi
pembelajaran mengharuskan guru untuk memahami lebih
jauh tentang judgement, bertindak secara reflektif, dan
menggunakan komentar orang lain sebagai informasi
untuk membuat judgement yang lebih reliabel.
Tujuan utama observasi adalah untuk
mengumpulkan data dan inforamsi mengenai suatu
fenomena, baik yang berupa peristiwa maupun tindakan,
baik dalam situasi yang sesungguhnya maupun dalam
situasi buatan dan untuk mengukur perilaku kelas (baik
perilaku guru maupun peserta didik), interaksi antara

98
peserta didik dan guru, dan faktor-faktor yang dapat
diamati lainnya, terutama kecakapan sosial (social skill).
Fungsi observasi dalam penilaian non tes adalah
untuk memproleh gambaran dan pengetahuan serta
pemahaman mengenai diri murid, juga berfungsi untuk
menunjang dan melengkapi bahan-bahan yang diperoleh
melalui interview. Dengan kata lain, observasi dapat
mengukur atau menilai hasil dan proses belajar misalnya
tingkah laku siswa pada waktu belajar, tingkah laku guru
pada waktu mengajar, kegiatan siswa, partisipasi siswa
dalam simulasi, dan pengunaan alat peraga pada waktu
mengajar. Melalui pengamatan dapat diketahui bagaimana
sikap dan perilaku siswa, kegiatan yang dilakukannya,
tingkat partisipasi suatu kegiatan, proses kegiatan yang
dilakukannya.
Hal yang harus dipahami oleh anda adalah bahwa
tidak semua apa yang dilihat disebut observasi. Dengan
kata lain, observasi yang dilakukan oleh guru di kelas tidak
cukup dengan hanya duduk dan melihat melainkan harus
dilakukan secara sistematis, sesuai dengan aspek-aspek
tertentu, dan berdasarkan tujuan yang jelas. Untuk
memperoleh hasil observasi yang baik, maka kemampuan
anda dalam melakukan pengamatan harus sering dilatih,
mulai dari hal-hal yang sederhana sampai dengan hal-hal
yamg kompleks.

5. Studi Kasus
Studi kasus pada dasarnya mempelajari secara
intensif seorang individu yang dipandang mengalami suatu
kasus tertentu. Misalnya mempelajari secara khusus anak
nakal, anak yang tidak bisa bergaul dengan orang lain,
anak yang selalu gagal belajar, atau anak pandai, anak
yang paling pandai disukai teman-temannya. Kasus-kasus
tersebut (pilih salah satu yang paling diperlukan)
dipelajarinya secara mendalam dan dalam kurun waktu
yang cukup lama. Mendalam artinya mengungkapkan
semua variabel yang menyebabkan terjadinya kasus
tersebut dari berbagai aspek yangmempengaruhi dirinya.

99
Tekanan utama dalam studi kasus adalah mengapa
individu melakukan apa yang dilakukannya dan
bagaimana tingkah lakunya dalam kondisi dan
pengaruhnya terhadap lingkungan.
Untuk mengungkapkan persoalan tersebut, perlu
dicari data yang berkenaan dengan pengamalan individu
tersebut pada masa lalu, sekarang, lingkungan yang
membentuknya, dan kaitan variabel-variabel yang
berkenaan dengan kasusnya. Data diperoleh dari berbagai
sumber seperti aorang tuanya, teman dekatnya, guru,
bahkan juga dari dirinya. Teknik memperoleh data sangat
komprehensif, misalnya dengan observasi perilakunya,
wawancara, analisis dokumenter, atau tes, bergantung
pada kasus yang dipelajari. Setiap data dicatat secara
cermat, kemudian dikaji, dihubungkan satu sama lain,
kalau perlu dibahas dengan yang lain sebelum menarik
kesimpulan kesimpulan penyebab terjadinya kasus atau
persoalan yang ditunjukkan oleh individu tersebut. Studi
kasus mengisyaratkan pada penilaian kualitatif.

C. Urgensi Evaluasi Nontes


Teknik nontes merupakan teknik penilaian untuk
memperoleh gambaran terutama mengenai karakteristik,
sikap, atau kepribadian. Selama ini teknik nontes kurang
digunakan dibandingkan teknis tes. Dalam proses
pembelajaran pada umumnya kegiatan penilaian
mengutamakan teknik tes. Hal ini dikarenakan lebih
berperannya aspek pengetahuan dan keterampilan dalam
pengambilan keputusan yang dilakukan guru pada saat
menentukan pencapaian hasil belajar siswa. Seiring dengan
berlakunya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
yang didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi
dasar maka teknik penilaian harus disesuaikan dengan hal-
hal sebagai berikut.
1. Kompetensi yang diukur;
2. Aspek yang akan diukur (pengetahuan, keterampilan atau
sikap);
3. Kemampuan peserta didik yang akan diukur;

100
4. Sarana dan prasarana yang ada.
Dengan kata lain, banyak proses dan hasil belajar yang
hanya dapat diukur dengan teknik nontes. Untuk itu, jika guru
di madrasah hanya menggunakan teknik tes, tentu hal ini
dapat merugikan peserta didik dan orang tua. Teknik nontes
digunakan sebagai suatu kritikan terhadap kelemahan teknik
tes. Oleh karena itu evaluasi teknik nontes sangat penting
dilakukan.

Teknik nontes merupakan teknik penilaian untuk


memperoleh gambaran terutama mengenai karakteristik,
sikap, atau kepribadian siswa yang tidak dapat dinilai secara
kuantitatif seperti dalam teknik tes. Dengan kata lain
penilaian non test behubungan dengan penampilan yang
dapat diamati dibandingkan dengan pengetahuan dan proses
mental lainnya yang tidak dapat diamati oleh indera.
Teknik non tes dapat digolongkan menjadi 5 jenis yaitu
wawancara, kuisioner, skala, observasi, dan studi Kasus.
Teknik penilaian harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai
berikut:
1. Kompetensi yang diukur;
2. Aspek yang akan diukur (pengetahuan, keterampilan atau
sikap);
3. Kemampuan siswa yang akan diukur;
4. Sarana dan prasarana yang ada.

101
DAFTAR PUSTAKA

Anas Sudijono. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada.
Djudju Sudjana.2008.Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhammad Ali. 1996. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo), cet Ke-9, h. 113.
Mulyadi. 2010.Evaluasi Pendidikan: Pengembangan Model
Evaluasi Pendidikan Agama di Sekolah.Malang: UIN-Maliki
PRESS.
Nana Sudjana. 2012. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya), cet. Ke-17, h. 67.

102
BAB VII
PERENCANAAN TES, PENGEMBANGAN TES, PENULISAN
SOAL & PENYUSUNAN NONTES

Tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk


mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan
cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Tes merupakan
alat yang direncanakan untuk mengukur kemampuan, keahlian
atau pengetahuan. Sehingga, dalam melakukan tes dibutuhkan
perencanaan tes, pengembangan tes, prosedur penulisan
ataupun penyusunan butir-butir soal.
Merencanakan tes merupakan salah satu langkah yang tidak
boleh ditinggalkan dalam perencanaan dan desain pembelajaran.
Melalui evaluasi yang tepat bukan saja kita dapat menentukan
keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran, akan tetapi
juga sekaligus dapat melihat efektivitas program desain yang
kita rencanakan. Halmanik (2003) menjelaskan pentingnya
perencanaan tes sebagai berikut; pertama, perencanaan tes
membantu kita untuk menentukan apakah tujuan tujuan telah
dirumuskan dalam artian tingkah laku. Hal ini akan memudahkan
perencanaan suatu tes untuk mengukur prestasi belajar siswa.
Selanjutnya ia akan menyatakan bahwa penulisan suatu tes
akan membantu kita untuk memeriksa tujuan-tujuan dan jika
perlu mengadakan revisi sebelum merancang pengajaran.
Kedua, berdasarkan perencanaan tes yang telah ada itu,
selanjutnya kita dapat bersiap-siap untuk mengumpulkan
informasi yang dibutuhkan. Dengan informasi itu dapat diketahui
bahwa siswa telah memahami tujuan, apakah mereka telah
mencapainya, dan sebagainya.
Ketiga, perencanaan tes memberikan waktu yang cukup
untuk merancang tes . Untuk menyusun suatu tes yang baik ,
diperlukan persiapan yang matang yang mungkin akan menyita
waktu yang cukup banyak. Atas dasar ketiga hal tersebut
kemampuan untuk mengembangkan perencanaan tes
merupakan suatu keharusan bagi seorang guru atau pengajar.

103
Untuk merencanakan, mengembangkan maupun menuliskan
butir-butir tes tersebut diperlukan adanya langkah-langkah
ataupun prosedur yang diikuti secara sistematis sehingga dapat
diperoleh tes yang lebih efektif. Dalam merencanakan tes, hal
yang lebih dahulu dilakukan ialah menentukan dan merumuskan
tujuan tes. Kemudian, dalam pengembangan tes melibatkan
kegiatan identifikasi hasil belajar, deskripsi materi,
pengembangan spesifikasi, penulisan butir dan kunci jawaban,
pengumpulan data uji coba, pengujian kualitas butir dan
perangkat, serta komplikasi.

A. Perencanaan Tes
Tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk
mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan
cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Tes juga
dapat diartikan sebagai salah satu cara untuk mengetahui
kondisi siswa. Kondisi yang dimaksud adalah prestasi belajar
siswa.
Tes merupakan alat yang direncanakan untuk mengukur
kemampuan, keahlian atau pengetahuan. Dalam
merencanakan tes diperlukan adanya langkah-langkah yang
harus diikuti secara sistematis sehingga dapat diperoleh tes
yang lebih efektif. Adapun perencanaan tes yang dilakukan
ialah sebagai berikut:
a. Menentukan atau merumuskan tujuan tes.
b. Mengidentifikasi hasil-hasil belajar (learning outcomes)
yang akan diukur dengan tes itu.
c. Menentukan atau menandai hasil-hasil belajar yang
spesifik
d. Merinci mata pelajaran atau bahan pelajaran yang akan
diukur dengan tes itu.
e. Menyiapkan tabel spesifikasi (semacam blueprint).
f. Menggunakan tabel spesifikasi tersebut sebagai dasar
penyusunan tes.

Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam membuat


perencanaan tes antara lain:

104
a. Pemulihan sampel materi yang akan diujikan hendaknya
dilakukan dengan mengacu pada tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai.
b. Jenis tes yang akan digunakan berhubungan erat dengan
jumlah sampel materi yang akan diukur, tingkat kognitif
yang akan diukur, jumlah peserta tes, serta jumlah soal
yang akan dibuat.
c. Jenjang kemampuan berpikir yang ingin diuji
Setiap mata pelajaran mempunyai penekanan kemampuan
yang berbeda dalam mengembangkan proses berpikir
siswa. Dengan demikian jenjang kemampuan berpikir yang
akan diuji pun berbeda-beda. Jika tujuan suatu pelajaran
lebih menekankan pada pengembangan proses berpikir
analisis, evaluasi, dan kreasi maka butir soal yang akan
digunakan dalam ujian harus dapat mengukur kemampuan
tersebut demikian juga sebaliknya.
d. Ragam tes yang digunakan
Ragam tes yang dapat dipergunakan sebagai alat ukur
hasil belajar siswa baik itu berupa tes objektif maupun tes
uraian.
e. Sebaran tingkat kesukaran butir soal
Pada umumnya ahli pengukuran sepakat bahwa butir soal
yang dapat memberikan informasi yang besar kepada guru
adalah butir soal yang tingkat kesukarannya sedang
(harga p di sekitar 0,5). Secara teoritis dapat dilihat bahwa
butir soal dengan tingkat kesukaran = 0,5 akan sangat
memungkinkan indeks daya beda maksimal (mendekati 1).
f. Waktu yang disediakan untuk pelaksanaan ujian
Lamanya waktu ujian merupakan faktor pembatas yang
harus diperhatikan dalam membuat perencanaan tes.
Lamanya waktu ujian (misalnya 90 menit) akan membawa
konsekuensi kepada banyaknya butir soal yang harus
dibuat.
g. Jumlah butir soal.
Penentuan jumlah butir soal yang tepat dalam satu kali
ujian tergantung pada beberapa hal antara lain: tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai, ragam soal yang akan

105
digunakan, proses berpikir yang ingin diukur, dan sebaran
tingkat kesukaran dalam set tes tersebut.

Langkah-langkah dalam menyusun tes

a. Menentukan tujuan penilaian. Tujuan penilaian sangat


penting karena setiap tujuan memiliki penekanan yang
berbeda-beda. Misalnya untuk tujuan tes prestasi belajar,
lingkup materi/kompetensi yang ditanyakan atau diukur
disesuaikan seperti untuk kuis/menanyakan materi yang
lalu, pertanyaan lisan di kelas, laporan kerja
praktek/laporan praktikum.
b. Memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Standar kompetensi merupakan acuan/target utama yang
harus dipenuhi atau yang harus diukur melalui setiap
kompetensi dasar yang ada atau melalui gabungan
kompetensi dasar.
c. Menentukan jenis alat ukurnya, yaitu tes atau non tes atau
mempergunakan keduanya. Untuk penggunaan tes
diperlukan penentuan materi penting sebagai pendukung
kompetensi dasar. Syaratnya adalah materi yang diajukan
harus mempertimbangkan urgensi (wajib dikuasai peserta
didik). Kontinuitas (merupakan materi lanjutan), relevansi
(bermanfaat terhadap mata pelajaran lain), dan
keterpakaian dalam kehidupan sehari-hari tinggi (UKRK).
Langkah selanjutnya adalah menentukan jenis tes dengan
menanyakan apakah materi tersebut tepat diujikan secara
tertulis/lisan. Bila jawabannya tepat, maka materi yang
bersangkutan tepat diujikan dengan bentuk soal atau
uraian. Bila jawabannya tidak tepat, maka jenis tes yang
tepat adalah tes perbuatan: kinerja (performance),
Penugasan (Project), hasil karya (Product), atau lainnya.
d. Menyusun kisi-kisi tes dan menulis butir-butir soal beserta
pedoman penskorannya. Dalam menulis soal harus
memperhatikan kaidah penulisan soal.

B. Prosedur Pengembangan Tes


Prosedur pengembangan tes melibatkan kegiatan
identifikasi hasil belajar, deskripsi materi, pengembangan

106
spesifikasi, penulisan butir dan kunci jawaban, pengumpulan
data uji coba, pengujian kualitas butir dan perangkat, serta
komplikasi. Secara lebih lengkap prosedur tersebut akan
diuraikan sebagai berikut:
a. Identifikasi hasil belajar
Hasil belajar harus diidentifikasi bidang studi yang hendak
dikukur hasil belajarnya. Di samping itu hasil belajar juga
harus diidentifikasi aspek mana yang diukur ranah kognitif,
afektif atau psikomotoriknya.
b. Deskripsi materi
Materi sangat menentukan dalam pengembangan tes. Data
hasil belajar yang ingin dikumpulkan didasarkan pada
informasi mengenai hasil belajar sebagaimana sudah
dideskripsikan dalam materi, sehingga data sangat
ditentukan oleh uraian materi tentang hasil belajar yang
akan diukur datanya.
c. Pengembangan spesifikasi
Spesifikasi Tes adalah suatu uraian yang menunjukkan
keseluruhan kualitas tes dan ciri-ciri yang harus dimiliki
oleh tes yang akan dikembangkan. Pengembangan
spesifikasi merupakan langkah awal yang menentukan
dalam pengembangan perangkat tes, karena apa yang
menentukan pada langkah-langkah berikutnya sudah
dirancangkan dalam spesifikasi tes.
Spesifikasi pengembangan tes meliputi :
 Menentukan jenis tes
 Menentukan banyak butir tes
 Menentukan waktu pengerjaan
 Menentukan peserta uji coba
 Menentukan waktu uji coba
 Menentukan aturan skorsing
 Menentukan kriteria kualitas tes
 Menyusun kisi-kisi tes
d. Menuliskan butir-butir tes dan kunci jawaban
Kisi-kisi tes adalah rancangan sebagai dasar penulisan
butir-butir tes. Butir ditulis untuk mengukur variabel
dengan berpedoman pada kisi-kisi. Sehubungan dengan

107
penulisan butir tes, Surya Berata memberikan pedoman
sebagai berikut:
 Nyatakan soal sejelas mungkin
 Pilihlah kata-kata yang mempunyai arti tepat
 Hindarilah pengaturan kata yang kompleks dan janggal
 Masukkan semua keterangan yang diperlukan untuk
membuat jawaban
 Hindarilah memasukkan kata-kata yang tidak berfungsi
 Rumuskan soal setepat mungkin
 Sesuaikan taraf kesukaran soal dengan kelompok dan
tujuan yang dimaksudkan
 Hindarilah isyarat ke arah jawaban benar yang tidak
perlu

Kunci jawaban harus ditentukan dalam spesifikasi tes hasil


belajar supaya orang lain dapat mengikuti perolehan hasil
belajar responden dari jawaban yang dibuatnya.
Sebagaimana jenis jawaban yang dituntutnya, kunci jawaban
soal esai berbeda dengan objektif. Kunci jawaban soal esai
berupa uraian, sedang objektif berupa pilihan dari beberapa
alternatif.
a. Mengumpulkan data uji coba hasil belajar
Pengumpulan data uji coba dilakukan dengan mengujikan
instrumen uji coba tes yang ditulis berdasarkan kisi-kisi.
b. Uji kualitas tes
Butir tes yang ditulis berdasarkan kisi-kisi adalah butir
yang secara teori baik. Untuk memastikan apakah butir
yang secara teori baik juga baik secara empiris perlu
dilakukan uji coba kualitas. Uji kualitas dilakukan untuk
menjamin bahwa tes layak sebagai sebuah alat ukur.
Setelah berdasarkan uji kualitas menunjukkan bahwa tes
memenuhi syarat, maka tes dapat digunakan untuk
mengukur atau mengumpulkan data hasil belajar.
c. Kompilasi tes
Kompilasi tes adalah menyusun kembali butir setelah uji
coba dengan membuang butir yang jelek dan menata butir
yang baik. Butir kompilasi adalah butir yang siap
digunakan untuk mengumpulkan data hasil belajar.

108
C. Penulisan Soal
Menurut Sumadi Surya Berata, secara umum kemampuan
khusus yang harus dimiliki bagi penulis soal adalah:
 Penguasaan pengetahuan yang diteskan
 Kesadaran akan tata nilai yang mendasari pendidikan
 Pemahaman akan karakteristik individu yang dites
 Kemampuan membahas gagasan
 Penguasaan akan teknik penulisan soal, da
 Kesadaran akan kekuatan dan kelemahan dalam menulis
soal.

Fungsi tes tidak semata-mata sebagai alat ukur saja,


melainkan memiliki fungsi motivasi dan pembentukan sikap
bagi peserta didik. Oleh karena itu penulisan soal hendaknya
memahami nilai-nilai yang mendasari pendidikan, seperti
tujuan pendidikan, filsafat pendidikan, sistem pendidikan,
psikologi, garis-garis besarnya saja.
Dalam menulis soal diperlukan kemampuan untuk
membahas gagasan dalam bahasa verbal yang jelas dan
mudah dipahami maksudnya, sebab soal merupakan wakil
dari pendidik yang hadir di hadapan peserta didik oleh karena
itu penulisan soal membutuhkan bahasa yang lugas dan tidak
berbelit-belit.
Menurut Bott (1995), prinsip umum yang dapat dijadikan
sebagai dasar penyusunan tes dalam penulisan butir-butir
soal ialah :
 Kaitkan butir-butir tes dengan tujuan pembelajaran
 Perencanaan tes
 Penyiapan tes
 Uji coba tes
 Evaluasi tes

Dalam penulisan butir-butir soal, baik dalam bentuk tes


objektif maupun tes essay (uraian), terdapat syarat-syarat
penyusunannya. Syarat penyusunan tes objektif terdiri dua
bagian yaitu:

109
1. Syarat-syarat umum
Berikut ini beberapa syarat yang perlu diperhatikan dalam
menyusun objective test :
 Tiap bentuk dari tes objektif harus didahului dengan
penjelasan atau anjuran bagaimana cara
mengerjakannya.
 Penjelasan atau anjuran itu harus diusahakan jangan
terlalu panjang, tetapi jelas bagi yang menjawabnya
(disesuaikan dengan tingkat sekolah dan kecakapan
bahasa anak)
 Hindarkan pertanyaan yang mempunyai lebih dari satu
pengertian atau yang dapat diartikan atau ditafsirkan
bermacam-macam.
 Tiap-tiap butir soal haruslah tetap, gramatikanya baik
sehingga tidak membingungkan dan menimbulkan salah
tangkap.
 Jangan menyusun item secara langsung menjiplak dari
buku, karena item yang demikian hanya memaksa
siswa untuk menghafal dan kurang merangsang siswa
untuk berpikir.
 Harus diteliti jangan sampai item yang satu
mempermudah atau mempersukar item yang lain
(terutama dalam menyusun true-false dan multiple
choice).
 Janganlah item yang satu bergantung pada item yang
lain atau item yang terdahulu.

2. Syarat-syarat Khusus
a. Untuk completion atau fill-in
Bahasa hendaknya jelas, kalimat jangan terlalu
panjang sehingga mudah dipahami.
 Yang dihilangkan atau harus diisi (titik-titik)
janganlah mengenai satu hal saja, tetapi harus
beberapa hal. Misalnya dalam sejarah, yang
dihilangkan jangan hanya “tanggal dan
tahunnya” atau “nama tokoh-tokoh” atau
“peristiwa”, tetapi harus mencakup semua hal
tersebut.

110
 Jawaban (isi titik-titik) jangan merupakan
kalimat panjang. Sebab kalau demikian, bukan
tes objektif lagi, melainkan menyerupai tes
essay.
 Jumlah jawaban (titik-titik) harus tertentu
supaya memudahkan pengetes untuk
menskornya (10, 20, 25 dan sebagainya)

b. Untuk true-false
 Hindarkan item yang dapat dinilai “benar” dan
“salah” secara meragukan.Contoh:
B – S : Saya mendaftar ke IKIP karena takut
kalau-kalau tidak diterima di UI
Apakah item ini benar atau salah? Calon
mahasiswa yang menggunakan IKIP sebagai
cadangan, secara jujur akan membenarkan
item tersebut. Akan tetapi, bagi pengetes
maksudnya adalah sebaliknya.
 Soal-soal atau item tidak boleh mengandung
kata-kata yang merupakan atau terlalu
menunjukkan jawabannya. Misalnya dengan
digunakannya kata-kata: kadang-kadang,
mungkin, sudah pasti, barangkali, selalu, dan
sebagainya.
 Sedapat mungkin hindarkanlah statement yang
negatif, yang mengandung kata “tidak” atau
“bukan”. Contoh item yang salah”
B – S : Teleskop kadang-kadang (selalu) sama
gunanya dengan teropong bintang
B – S : Termometer bukan pengukur suhu
udara.
 Hindarkanlah kalimat yang terlalu panjang atau
kalimat majemuk yang meragukan.
Contoh yang salah :
B – S : Bapak sistem pengajaran klasikal ialah
Peestalozi dan ia mendirikan Kinder Garten
yang pertama

111
Contoh yang baik:
B – S : Pestalozi adalah pelopor sistem
pengajaran klasikal
B – S : Sekolah Monstessori terkenal dengan
nama Kinder Garten
c. Untuk multiple choice
 Statement harus jelas merumuskan suatu
masalah. Tentukanlah sebelumnya bahwa
hanya ada satu jawaban yang paling benar dan
tepat.
 Baik statement maupun option sedapat
mungkin jangan merupakan suatu kalimat yang
terlalu panjang.
 Hindarkanlah option yang tidak ada sangkut-
pautnya satu sama lain. Dengan kata lain,
option (pilihan jawaban) hendaknya homogen.
Contoh yang salah:
Hasil perkebunan Provinsi Lampung adalah:
a. Karet b. Lada c.
Terigu d. Bawang
Contoh yang baik:
Hasil perkebunan Lampung yang terbesar
adalah:
a. Karet b. Lada c. Kelapa sawit d.
Kopi
 Sedangkan dalam penulisan butir-butir soal
esai, perlu kiranya guru atau pembuat tes
memperhatikan hal-hal berikut ini:
 Sebelum memulai menulis soal yang dimaksud,
hendaknya jelas dalam pikiran kita proses
mental manakah yang kita harapkan dari murid
untuk menjawab soal tersebut.
 Guru atau penyusun tes harus benar-benar
memahami macam-macam jenis respons
stimulus (jenis soal) yang diperlukan untuk
menimbulkan atau memancing keluarnya
respons-respons tersebut.

112
 Gunakanlah bahan-bahan atau himpunan
bahan-bahan dalam menyusun soal-soal essay
tersebut.
Contoh:
Soal 1 : Metode-metode apakah yang telah
dipakai di Amerika Serikat untuk menjaga dan
mengawasi penyakit-penyakit yang banyak
menyerang masyarakat?
 Soal nomor 1 di atas sebenarnya kurang baik
karena siswa yang menjawab soal tersebut
hanya berusaha mengingat kembali nama
beberapa metode yang ditanyakan. Siswa tidak
atau kurang menggunakan daya berpikirnya.

D. Penyusunan Non-Tes
Evaluasi non-tes berarti melaksanakan penilaian
dengan tidak mengunakan tes. Teknik penilaian ini
umumnya untuk menilai kepribadian anak secara
menyeluruh meliputi sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial,
ucapan, riwayat hidup dan lain-lain. Yang berhubungan
dengan kegiatan belajar dalam pendidikan, baik secara
individu maupun secara kelompok.
Penilaian non-test adalahh penilaian pengamatan
perubahan tingkah laku yang berhubungan dengan apa
yang telah diperbuat atau yang telah dikerjakan oleh
peserta didik dibandingkan dengan apa yang dikethui atau
dipahaminya.
Berikut ini jenis-jenis instrumen non-tes dan
penyusunannya:
1. Observasi
Observasi merupakan suatu pengamatan langsung
terhadap siswa dengan memperhatikan tingkah
lakunya. Secara umum observasi adalah cara
menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang
dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan
pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-
fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan.
Bentuk pengisian pedoman bisa secara bebas dalam

113
bentuk uraian, bisa pula dengan bentuk member tanda
cek (V) pada kolom jawaban observasi bila pedoman
yang dibuat telah tersedia jawabannya (restruktur)
Ada tiga jenis observasi, yaitu :
a. Observasi langsung, yakni pengamatan yang
dilakukan terhadap gejala atau proses yang terjadi
dalam situasi yang sebenarnya dan langsung diamati
oleh pengamat.
b. Observasi dengan alat (tidak langsung), yaitu
observasi yang dilaksanakan dengan menggunakan
alat seperti miskroskop untuk mengamati bakteri,
surya kanta untuk melihat pori-pori kulit.
c. Observasi partisipasi, yaitu pengamatan yang harus
melibatkan diri atau ikut serta dalam kegiatan yang
dilakukan oleh individu atau kelompok yang diamati.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam membuat
pedoman observasi langsung adalah sebagai berikut:
 Lakukan terlebih dahulu observasi langsung
terhadap suatu proses tingkah laku, misalnya
penampilan guru di kelas.
 Berdasarkan gambaran dari langkah (a) di atas,
penilai menentukan segi-segi mana dari
perilaku guru tersebut yang akan diamati
sehubungan dengan keperluannya.
 Tentukan bentuk pedoman tersebut, apakah
bentuk bebas (tak perlu ada jawaban, tetapi
mencatat apa yang tampak) atau pedoman
yang berstruktur (memakai kemungkinan
jawaban)
 Sebelum observasi dilaksanakan, diskusikan
dulu pedoman observasi yang telah dibuat
dengan calon observan agar setiap segi yang
diamati dapat dipahami maknanya dan
bagaimana cara mengisinya.
 Bila ada hal khusus yang menarik, tetapi tidak
ada dalam pedoman observasi, sebaiknya
disediakan catatan khusus atau komentar
pengamat di bagian akhir pedoman observasi.

114
Berhasil tidaknya observasi sebagai alat penilaian
bergantung pada pengamat, bukan pada pedoman
observasi. Oleh sebab itu, memilih pengamat yang
cakap, mampu, dan menguasai segi-segi yang diamati
itu sangat diperlukan. Observasi untuk menilai proses
pembelajaran dapat dilaksanakan oleh guru di kelas
pada saat siswa melakukan kegiatan belajar. Untuk itu
guru tidak perlu terlalu formal memperhatikan perilaku
siswa, tetapi mencatat secara teratur gejala dan
perilaku yang ditunjukkan oleh siswa.

2. Wawancara (interview)
Wawancara atau interview merupakan salah satu alat
penilaian nontes yang digunakan untuk mendapatkan
informasi tertentu tentang keadaan responden dengan
jalan Tanya jawab sepihak. Atau dengan kata lain
wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan
keterangan yang dilaksanakan dengan melakukan
Tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan muka,
dan dengan arah serta tujuan yang telah ditentukan.
Ada dua jenis wawancara, yakni wawancara terpimpin
dan wawancara bebas.
a. Wawancara terpimpin biasa juga disebut wawancara
terstruktur atau wawancara sistematis. Yang
dimaksud wawancara terpimpin adalah suatu
kegiatan wawancara yang pertanyaan-pertanyaan
serta kemungkinan-kemungkinan jawabannya itu
telah dipersiapkan pihak pewawancara, responden
tinggal memilih jawaban yang sudah dipersiapkan
pewawancara.
b. Wawancara bebas atau wawancara tak terpimpin,
pada wawancara seperti ini responden diberi
kebebasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
pewawancara sesuai dengan pendapatnya tanpa
terikat oleh ketentuan-ketentuan yang telah dibuat
pewawancara.

115
Sebelum melaksanakan wawancara perlu dirancang
pedoman wawancara. Pedoman ini disusun dengan
menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Tentukan tujuan yang ingin dicapai dari wawancara.
b. Berdasarkan tujuan di atas tentukan aspek-aspek
yang akan diungkap dalam wawancara tersebut.
c. Tentukan bentuk pertanyaan yang akan digunakan,
yang bentuk berstruktur ataukah bentuk terbuka.
d. Buatlah bentuk pertanyaan yang sesuai dengan
analisis (c) di atas, yakni membuat pertanyaan yang
yang berstruktur atau yang bebas.
e. Ada baiknya dibuat pula pedoman mengolah dan
menafsirkan hasil wawancara, baik pedoman
wawancara terpimpin atau untuk wawancara bebas.
3. Angket
Angket adalah daftar pertanyaan yang terbagi dalam
beberapa kategori. Pembagiannya dibedakan menjadi
dua, yaitu pembagian kuesioner berdasarkan siapa
yang menjawab, dan pembagian berdasarkan cara
menjawab. Ditinjau dari responden yang menjawab,
maka angket dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Angket Langsung. Disebut angket langsung apabila
angket dikirimkan dan diisi langsung oleh orang yang
akan dimintai jawaban tentang dirinya.
b. Angket Tidak Langsung. Angket diisi oleh orang yang
bukan dimintai keterangan tentang dirinya.
Berikut ini merupakan langkah-langkah menyusun
angket:
a. Merumuskan tujuan
b. Merumuskan kegiatan
c. Menyusun langkah-langkah
d. Menyusun kisi-kisi
e. Menyusun panduan angket
f. Menyusun alat penilaian
4. Skala Sikap
Skala sikap digunakan untuk mengukur sikap
seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa
kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak

116
(negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah
kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga
dapat diartikan reaksi seseorang terhadap suatu
stimulus yang datang pada dirinya. Tes skala sikap
adalah perasaan suka atau tidak suka atau
kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu
atau objek. Seperti sikap terhadap materi pelajaran,
guru, proses pembelajaran, norma-norma tertentu dan
sebagainya. Penilaian tes skala sikap atas 3 (tiga)
komponen berikut :
a. Komponen afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh
seseorang terhadap objek.
b. Komponen kognisi adalah kepercayaan atau
keyakinan yang menjadi pegangan seseorang.
c. Komponen konasi adalah kecenderungan untuk
berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu
terhadap sesuatu objek.

Langkah-langkah pengembangan skala pada umumnya


adalah:

a. Menentukan objek yang dituju, kemudian tetapkan


variabel yang akan diukur dengan skala tersebut.
b. Lakukan analisis variabel tersebut menjadi beberapa
subvariabel atau dimensi variabel, lalu kembangkan
indikator setiap dimensi tersebut.
c. Dari setiap indikator, tentukan ruang lingkup
pernyataan sikap yang berkenaan dengan aspek
kognisi, afeksi, dan konasi terhadap objek sikap.
d. Susunlah pernyataan untuk masing-masing aspek
tersebut dalam dua kategori yakni pernyataan positif
dan pernyataan negatif, secara seimbang
banyaknya.

Pada garis besarnya penyusunan item untuk skala, perlu


ditempuh langkah–langkah sebagai berikut:

a. Menentukan gejala yang ditemui.


b. Rumuskan perilaku apa yang mengacu sikap apa
terhadap obyek atau gejala tersebut.

117
c. Rumuskan karakteristik dari perilaku sikap tersebut.
d. Rincilah lebih lanjut tiap karakteristik menjadi
sejumlah atribut yang lebih spesifik.
e. Tentukan indikator penilaian terhadap setiap atribut
tersebut.
f. Susunlah perangkat item sesuai dengan indikator
yang telah dirumuskan.
g. Suatu skala terdiri dari antara 20 sampai dengan 30
item.
h. Susunlah item tersebut, yang terdiri dari separuhnya
dalam bentuk. pernyataan positif dan separuhnya
dalam bentuk pernyataan negatif.
i. Tentukan banyak skala: lima atau tujuh atau
sebelas alternatif.
j. Tentukan bobot nilai bagi tiap skalanya. Misalnya
4,3,2,1.0 untuk lima nilai skala, sebagai dasar
perhitungan kuantitatif.

5. Studi kasus
Studi kasus pada dasarnya mempelajari secara intensif
seorang individu yang dianggap mengalami kasus
tertentu. Misalnya mempelajari khusus anak nakal,
anak yang tidak bisa bergaul dengan orang lain, anak
yang selalu gagal belajar, atau anak pandai, anak yang
paling disukai teman-temannya.
Studi kasus dalam pendidikan bisa dilakukan oleh guru,
guru pembimbing, wali kelas, terutama untuk kasus-
kasus siswa di sekolah. Beberapa Petunjuk untuk
melaksanakan studi kasus dalam bidang pendidikan,
khususnya di sekolah:
a. Menetapkan siapa-siapa di antara siswa yang
mempunyai masalah khusus untuk dijadikan kasus.
b. Menetapkan jenis masalah yang dihadapi siswa dan
perlu mendapatkan bantuan pemecahan oleh guru.
c. Mencari bukti-bukti lain untuk lebih meyakinkan
kebenaran masalah yang dihadapi siswa tersebut.

118
d. Mencari sebab-sebab timbulnya masalah dari
berbagai aspek yang berkenaan dengan kehidupan
siswa tersebut.
e. Menganalisis sebab-sebab tersebut dan
menghubungkannya dengan tingkah laku siswa
tersebut.
f. Dengan informasi yang telah lengkap tentang faktor
penyebab tersebut, guru dapat menentukan
sejumlah alternatif pemecahannya.
g. Alternatif yang telah teruji sebagai upaya pemecahan
masalah dibicarakan dengan siswa untuk secara
bertahap diterapkan, baik oleh siswa itu sendiri
maupun guru.

6. Sosiometri
Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan siswa
dalam menyesuaikan diri, terutama dengan teman
sekelasnya, adalah dengan teknik sosiometri. Dengan
teknik sosiometri ini dapat diketahui posisi seorang
siswa dalam hubungan sosialnya dengan siswa lain.
Sosiometri dapat dilakukan dengan cara menugaskan
kepada semua siswa di kelas untuk memilih temannya
yang paling dekat atau paling akrab.
Teknik sosiometri sebaiknya dilakukan oleh guru wali
kelas atau oleh guru pembimbing dalam usahanya
sesuai dengan tugas-tugas yang dipercayakan
kepadanya.
Adapun langkah-langkah penyusunan sosiometri ialah:
a. Menentukan kelompok yang akan dipahami dengan
metode sosiometri
b. Menyusun angket sosiometri atau tes sosiometri
untuk diisi oleh anggota kelompok
c. Setiap siswa diminta untuk menulis blanko yang
disediakan nama beberapa teman di dalam
kelompok, dan dengan siapa dia tidak ingin dan tidak
suka melakukan kegiatan tersebut
d. Setelah angket sosiometri diisi, kemudian di tabulasi
dalam matriks sosiometri

119
e. Berdasarkan matriks tersebut, maka data dianalisis
dengan cara menggambarkan sosiogram,
menganalisis hubungan sosial secara keseluruhan,
menghitung indeks sosiometri dan mengisi kartu
sosiometri secara individual.

Dalam penyusunan perencanaan tes perlu diperhatikan tes


hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar. Di
samping itu tes juga harus dijadikan alat untuk mencari
informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa
dan cara mengajar guru itu sendiri.
Dalam perencanaan tes sangat diperlukan kisi-kisi agar tes
objektif yang akan ditulis tidak melenceng dari meteri yang telah
diajarkan selama proses pembelajaran dan juga menjadi
pedoman bagi penulis dalam menulis setiap butir soal.
Adapun perencanaan tes yang dilakukan ialah menentukan
atau merumuskan tujuan tes, mengidentifikasi hasil-hasil belajar
(learning outcomes) yang akan diukur dengan tes itu,
menentukan atau menandai hasil-hasil belajar yang spesifik,
merinci mata pelajaran atau bahan pelajaran yang akan diukur
dengan tes itu, menyiapkan tabel spesifikasi (semacam
blueprint), menggunakan tabel spesifikasi tersebut sebagai dasar
penyusunan tes.
Dengan adanya perencanaan tes diharapkan suatu tes
benar-benar dapat menjadi instrumen yang dapat mengukur
kemampuan siswa.

120
BAB VIII
Analisis Kualitas Soal (Analisis Teoritis/Rasional dan
Analisis Empiris; Indeks Kesukaran, Daya Beda, Distraktor
(Pengecoh), Validitas dan Reliabilitas

Keberhasilan pendidikan sangat ditentukan oleh proses


pembelajaran. Untuk mengukur keberhasilan proses
pembelajaran diperlukan evaluasi dan proses analisis dari
evaluasi. Manfaat dari analisis evaluasi untuk mengetahui
kekuatan dan kelemahan pembelajaran dalam rangka
meningkatkan proses pembelajaran. Dalam melaksanakan
kegiatan evaluasi, berhasil atau tidaknya sangat ditentukan oleh
tepat atau tidaknya pelaksanaan ujian. Idealnya sebelum suatu
tes dipergunakan, tes tersebut harus memenuhi syarat-syarat
sebagai tes yang baik, sehingga perlu diuji coba. Dalam hal ini
dilakukan suatu analisis butir soal. Oleh karena itu , begitu
pentingnya guru mengadakan analisis butir soal (distraktor,
tingkat kesukaran, daya pembeda, dan kualitas soal), validasi
dan reliabilitas instrumen.
Hasil proses penilaian perlu dilakukan analisis, untuk melihat
validitas dan efektivitas instrumen, serta untuk mengetahui
kelemahan dan kekuatan proses pembelajaran. Ada tiga sasaran
pokok ketika guru melakukan analisis terhadap hasil belajar,
yaitu terhadap guru, siswa dan prosedur pembelajaran. Fungsi
analisis untuk guru terutama untuk mendiagnosis keberhasilan
pembelajaran dan sebagai bahan untuk merevisi dan
mengembangkan pembelajaran dan tes. Bagi siswa, analisis
diharapkan berfungsi mengetahui keberhasilan belajar,
mendiagnosa, mengoreksi kesalahan belajar, serta memotivasi
siswa belajar lebih baik.

A. Pengertian Analisis Kualitas Tes


Menunurut Aiken (1994) dalam Suprananto (2012),
kegiatan analisis butir soal merupakan kegiatan penting
dalam penyusunan soal agar diperoleh butir soal yang
bermutu. Tujuan kegiatan ini adalah mengkaji dan menelaah
setiap butir soal agar diperoleh soal yang bermutu sebelum

121
digunakan, meningkatkan kualitas butir tes melalui revisi atau
membuang soal yang tidak efektif, serta mengetahui
informasi diagnostik pada siswa apakah mereka telah
memahami materi yang telah diajarkan. Soal yang bermutu
adalah soal dapat memberikan informasi setepat-tepatnya
tentang siswa mana yang telah menguasai meteri dan siswa
yang belum menguasai materi.
Menurut Anastasia dan Urbina (1997) dalam Suprananto
(2012), analisis butir soal dapat dilakukan secara kualitatif
(berkenaan dengan isi dan bentuknya), dan kuantitatif
(berkaitan dengan ciri-ciri statistiknya). Analisis kualitatif
mencakup pertimbangan validitas isi dan konstruksi,
sedangkan analisis kuantitatif mencakup pengukuran
validilitas dan reliabilitas butir soal, kesulitan butir soal, serta
diskriminasi soal. Oleh karena itu, teknik terbaik adalah
menggunakan atau memadukan keduanya.
Analisis soal dilakukan untuk mengetahui berfungsi atau
tidaknya sebuah soal. Analisis pada umumnya dilakukan
melalui dua cara, yaitu analisis kualitatif (qualitatif
control) dan analisis kuantitatif (quantitatif control).

1. Analisis Butir Soal Secara Kualitatif


Pada prinsipnya analisis butir soal secara kualitatif
dilaksanakan berdasarkan kaidah penulisan soal (tes
tertulis, perbuatan, dan sikap). Penelaahan ini biasanya
dilakukan sebelum soal digunakan atau diujikan. Aspek
yang diperhatikan dalam penelaahan secara kualitatif
mencakup aspek materi, konstruksi, bahasa atau budaya,
dan kunci jawaban.
Ada beberapa teknik yang digunakan untuk
menganalisis butir soal secara kualitatif, yaitu teknik
moderator dan teknik panel. Teknik moderator merupakan
teknik berdiskusi yang didalamnya terdapat satu orang
sebagai penengah. Berdasarkan teknik ini, setiap butir soal
didiskusikan secara bersama-sama dengan beberapa ahli.
Sedangkan teknik panel adalah teknik menelaah butir soal
berdasarkan kaidah penulisan butir soal. Kaidah itu
diantaranya adalah materi, kontruksi, bahasa atau budaya,

122
kebenaran kunci jawaban. Caranya beberapa penelaah
diberikan beberapa butir soal yang akan ditelaah, format
penelaahan, dan pedoman penelaahan.
Dalam menganalisis butir soal secara kualitatif
penggunaan format penelaahan soal akan membantu dan
mempermudah prosedur pelaksanaannya. Format
penelaahan soal digunakan sebagai dasar untuk
menganalisis setiap butir soal. Format penelaahan yang
dimaksud adalah format penelaahan butir
soal: constructed response, selected response, tes
perbuatan dan instrumen non tes.

2. Analisis Butir Soal Secara Kuantitatif


Penelaahan soal secara kuantitatif adalah penelaahan
butir soal didasarkan pada bukti empirik. Salah satu tujuan
utama pengujian butir-butir soal secara emperik adalah
untuk mengetahui sejauh mana masing-masing butir soal
membedakan antara mereka yang tinggi kemampuannya
dalam hal yang didefinisikan oleh kriteria dari mereka yang
rendah kemampuannya. Data empirik ini diperoleh dari
soal yang telah diujikan. Ada dua pendekatan dalam
analisis secara kuantitatif yaitu pendekatan secara klasik
dan modern.
Analisis butir soal secara klasik adalah proses
penelaahan butir soal melalui informasi dari jawaban
peserta tes guna meningkatkan mutu butir soal yang
bersangkutan dengan menggunakan teori tes klasik. Pada
teori tes klasik, analisis item tes dilakukan dengan
memperhitungkan kedudukan item dalam suatu kelas atau
kelompok. Karakteristik atau kualitas item sangat
tergantung pada kelompok dimana diujicobakan sehingga
kualitas item terikat pada sampel responden atau peserta
tes yang memberikan respon (sample bounded). Beberapa
kelebihan analisis butir soal secara klasik adalah murah,
sederhana, familiar, dapat dilaksanakan sehari-hari dengan
cepat menggunakan komputer dan dapat menggunakan
beberapa data dari peserta tes.

123
Analisis butir soal secara modern adalah penelaahan
butir soal dengan menggunakan teori respon butir
atau item response theory. Teori ini merupakan suatu teori
yang menggunakan fungsi matematika untuk
menghubungkan antara peluang menjawab benar suatu
butir dengan kemampuan siswa. Teori ini muncul karena
adanya beberapa keterbatasan pada analisis secara klasik,
yaitu:
a. Tingkat kemampuan dalam teori klasik adalah true
score. Artinya, jika suatu tes sulit maka tingkat
kemampuan peserta tes akan rendah. Sebaiknya, jika
suatu tes mudah maka tingkat kemampuan peserta tes
tinggi.
b. Tingkat kesukaran butir soal didefinisikan sebagai
proporsi peserta tes yang menjawab benar. Mudah atau
sulitnya butir soal tergantung pada kemampuan peserta
tes.
c. Daya pembeda, reliabilitas, dan validitas tes tergantung
pada kondisi peserta tes.

2.1 Analisis Tingkat Kesukaran Soal


Tingkat kesukaran soal adalah peluang menjawab
benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang
biasanya dinyatakan dalam bentuk indeks. Tingkat kesukaran
dinyatakan dalam indeks kesukaran (dificulty index), yaitu
angka yang menunjukkan proporsi siswa yang menjawab
benar soal tersebut. Semakin besar indeks tingkat kesukaran
yang diperoleh dan hasil hitungan, berarti semakin mudah
soal itu.
Dalam hal ini, item yang baik adalah item yang tingkat
kesukarannya dapat diketahui, tidak terlalu sukar dan tidak
terlalu mudah. Sebab, tingkat kesukaran item itu memiliki
korelasi dengan daya pembeda. Bilamana item memiliki
tingkat kesukaran yang maksimal, maka daya pembedanya
akan rendah, demikian pula bila item itu terlalu mudah maka
tidak akan memiliki daya pembeda. Oleh karena itu,
sebaiknya tingkat kesukaran soal itu dipertahankan dalam
batas yang mampu memberikan daya pembeda. Namun, jika

124
terdapat tujuan khusus dalam penyusunan tes, maka tingkat
kesukaran itu bisa dipertimbangkan. Misalnya, tingkat
kesukaran item untuk tes sumatif berbeda dengan tingkat
kesukaran pada tes diagnostik.
Untuk menghitung taraf kesukaran soal dari suatu tes
dipergunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
U = jumlah siswa yang termasuk kelompok pandai (upper
group) yang menjawab benar untuk tiap soal.
L = jumlah siswa yang termasuk kurang (lower
group) yang menjawab benar untuk tiap soal.
T = jumlah siswa dari kelompok pandai dan kelompok
kurang (jumlah upper group dan lower group)
Misalkan suatu tes yang terdiri atas N soal yang
diberikan kepada 40 siswa. Dari hasil tes tersebut, tiap-tiap
soal dianalisis taraf kesukarannya. mula-mula hasil tes itu
kita susun kedalam peringkat, kemudian kita ambil 25% (10
lembar jawaban siswa kelompok pandai), dan 10 lembar
jawaban siswa dari kelompok yang kurang pandai. Kemudian
kita tabulasikan. Misalkan dari tabulasi soal no. 1 kita peroleh
hasil sebagai berikut: yang menjawab benar dari kelompok
pandai ada 9 siswa, dan yang menjawab benar dari kelompok
kurang pandai ada 4 siswa.
Dengan menggunakan rumus diatas, maka taraf
kesukaran atau TK dari soal no. 1 adalah:

Jadi dapat disimpilkan bahwa nilai dari TK atau tingkat


kesukarannya adalah 65%.
Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks
kesukaran sering diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Soal dengan P 0,00 sampai 0,30 adalah soal sukar.
b. Soal dengan P 0,30 sampai 0,70 adalah soal sedang.

125
c. Soal dengan P 0,70 sampai 1,00 adalah soal mudah.

2.2 Analisis Daya Pembeda


Perhitungan daya pembeda adalah pengukuran sejauh
mana suatu butir soal mampu membedakan peserta didik
yang sudah menguasai kompetensi dengan peserta didik
yang belum atau kurang menguasai kompetensi berdasarkan
kriteria tertentu. Semakin tinggi koofisien daya pembeda
suatu butir soal, semakin mampu butir soal tersebut
membedakan antara peerta didik yang menguasai
kompetensi dengan pesertan didik yang kurang menguasai
kompetensi.
Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda
disebut indeks diskriminasi.
Daya pembeda suatu soal tes dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
DP = indeks DP atau daya pembeda yang dicari.
U = jumlah siswa yang termasuk dalam kelompok
pandai yang mampu menjawab benar untuk tiap soal.
L = jumlah siswa yang termasuk kurang yang
menjawab benar untuk tiap soal.
T = jumlah siswa keseluruhan.
Contoh:
Dari hasil tes psikologi kelas 11 SPG, jumlah siswa
yang dites adalah 40 siswa, sedangkan tes tersebut terdiri
dari 20 soal. Setelah hasil tes tersebut diperiksa, kemudian
disusun kedalam peringkat untuk menentukan 25% siswa
yang termasuk kelompok pandai (upper group) dan 25%
siswa yang termasuk kelompok kurang (lower group).
Kemudian hasil tes tersebut ditabulasikan dengan
menggunakan format tabulasi jawaban tes, kemudian hasil
tabulasi dari kedua kelompok tersebut dimasukkan kedalam
format analisis soal tes, sehingga kita dapat menghitung

126
tingkat kesukaran dan daya pembeda tiap soal yang kita
analisis. Misalkan dari tabulasi soal no. 1 kita peroleh hasil
sebagai berikut: yang menjawab benar dari kelompok pandai
ada 10 siswa, dan yang menjawab benar dari kelompok
kurang ada 9 siswa. Maka daya pembedanya adalah:

Jadi dapat disimpulkan bahwa indeks pembedanya adalah


0,10.
Klasifikasi daya pembeda:
D = 0,00 – 0,20 = jelek (poor).
D = 0,20 – 0,40 = cukup (satisfactory).
D = 0,40 – 0,70 = baik (good).
D = 0,70 – 1,00 = baik sekali (excellent).

2.3 Analisis Pengecoh (Efektifitas Distraktor)


Instrumen evaluasi yang berbentuk tes dan objektif,
selain harus memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan
terdahulu, harus mempunyai distraktor yang efektif. Yang
disebut dengan distraktor atau pengecoh adalah opsi-opsi
yang bukan merupakan kunci jawaban (jawaban benar) atau
disebut juga dengan pola jawaban atau fungsi pengecoh.
Yaitu distribusi siswa dalam hal menentukan pilihan pada soal
bentuk pilihan ganda. Fungsi distraktor ini diperoleh dengan
menghitung banyaknya siswa yang memilih pilihan jawaban
a, b, c, d dan e yang tidak memiliki pilihan manapun, dalam
istilah evaluasi disebut omit disingkat O.
Dari pola jawaban soal dapat ditentukan apakah
pengecoh berfungsi sebagai pengecoh dengan baik atau tidak.
Pengecoh yang tidak dipilih sama sekali oleh siswa berarti
pengecoh itu jelek, dan terlalu menyolok menyesatkan.
Sebaliknya sebuah distraktor dapat dikatakan berfungsi
dengan baik apabila distraktor tersebut mempunyai daya tarik
yang besar bagi pengikut-pengikut tes yang kurang

127
memahami konsep atau kurang menguasai bahan. Dengan
melihat pola jawaban soal, dapat diketahui:
1. taraf kesukaran soal
2. taraf pembeda soal
3. baik tidaknya distraktor

Sesuatu distraktor dapat diperlakukan dengan 3 cara yaitu:


1. diterima karena sudah baik
2. ditolak karena tidak baik
3. ditulis kembali karena kurang baik
Kekurangannya mungkin hanya terletak pada rumusan
kalimatnya sehingga hanya perlu ditulis kembali, dengan
perubahan seperlunya. Menulis soal adalah suatu kesukaran
yang sulit, sehingga apabila masih dapat distraktor dapat
dikatakan berfungsi baik jika paling sedikit dipilih oleh 5 %
pengikut tes. Butir soal yang baik pengecohnya akan dipilih
secara merata oleh peserta didik yang menjawab salah.
Sebaliknya, butir soal yang kurang baik, pengecohnya akan
dipilih secara tidak merata.
Pengecoh dianggap baik bila jumlah peserta didik yang
memilih pengecoh itu sama atau mendekati jumlah ideal.
Indeks pengecoh dihitung dengan rumus:

Keterangan:
IP = indeks pengecoh
P = jumlah peserta didik yang memilih pengecoh
N = jumlah peserta didik yang ikut tes
B = jumlah peserta didik yang menjawab benar pada setiap
soal
n = jumlah alternatif jawaban
1. = bilangan tetap
Catatan:
Jika semua peserta didik menjawab benar pada butir soal
tertentu (sesuai kunci jawaban), maka IP = 0 yang berarti
soal tersebut jelek. Dengan demikian pengecoh tidak
berfungsi.

128
Contoh:
50 orang peserta didik dites dengan 10 soal bentuk pilihan
ganda. Tiap soal memiliki alternatif jawaban (a, b, c, d, e).
Kunci jawaban (jawaban yang benar) no. 8 adalah c. Setelah
soal no.8 diperiksa untuk semua peserta didik, ternyata dari
50 orang peserta didik, 20 peserta didik menjawab benar dan
30 peserta didik menjawab salah. Idealnya, pengecoh dipilih
secara merata.
Berikut ini adalah contoh soal.
Alternatif
A B C D E
jawaban
Distribusi
jawaban
7 8 20 7 8
peserta
didik
IP 93% 107% ** 93% 107%
Kualitas
++ ++ ++ ++ ++
pengecoh

Keterangan:
** = kunci jawaban
++ = sangat baik
+ = baik
 = kurang baik
_ = jelek
_ _ = sangat jelek
Pada contoh diatas, IP butir a, b, c, d, dan e adalah
93%, 107%, 93%, dan 107%. Semuanya dekat dengan
angka 100%, sehingga digolongkan sangat baik sebab semua
pengecoh itu berfungsi.

129
Jika pilihan jawaban peserta didik menumpuk pada satu
alternatif jawaban, misalnya seperti berikut:
Alternatif
A B C D E
jawaban
Distribusi
jawaban
20 2 20 8 0
peserta
didik
IP 267% 27% ** 107% 0%
Kualitas
_ - ** ++ _
pengecoh

Dengan demikian, dapat ditafsirkan pengecoh (d) yang


terbaik, pengecoh (e) dan (b) tidak berfungsi, pengecoh (a)
menyesatkan, maka pengecoh (a) dan (e) perlu diganti
karena termasuk jelek, danpengecoh (b) perlu direvisikarena
kurang baik. adapun kualitas pengecoh berdasar indeks
pengecoh adalah:
Sangat baik IP = 76% - 125%
Baik IP = 51% - 75% atau 126% - 150%
Kurang baik IP = 26% - 50% atau 151% - 175%
Jelek IP = 0% - 25% atau 176% - 200%
Sangat jelek IP = lebih dari 200%

2.4 Validitas
Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan
sejauh mana tes telah mengukur apa yang seharusnya
diukur. Di dalam buku Encyclopedia of Educational
Evaluation yang ditulis oleh Scarvia Anderson dan kawan-
kawan disebutkan: “A test is valid if it measures what it
purpose to measure” atau jika di artikan lebih kurang
demikian: Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut
mengukur apa yang hendak di ukur. Sebenarnya
pembicaraan validitas ini bukan ditekankan pada tes itu
sendiri tetapi pada hasil pengetesan atau skornya. Secara
garis besar ada dua macam validitas, yaitu validitas logis dan
validitas empiris.

130
1. Validitas Logis
Validitas logis adalah sebuah instrumen evaluasi
menunjuk pada kondisi bagi seluruh instrumen evaluasi
yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan hasil
penalaran. Kondisi valid tersebut dipandang terpenuhi
karena instrumen yang bersangkutan sudah dirangcang
secara baik, mengikuti teori dan ketentuan yang ada. Ada
dua macam validitas logis yang dapat dicapai oleh sebuah
instrumen, yaitu:
a. Validitas isi, yaitu sebuah tes dikatakan memiliki
validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu
yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang
diberikan. Validitas isi dapat diusahakan tercapainya
sejak saat penyusunan dengan cara memerinci materi
kurikulum atau materi buku pelajaran.
b. Validitas konstruksi, yaitu sebuah tes dikatakan memiliki
validitas konstruksi apabila butir-butir soal yang
membangun tes tersebut mengukur setiap aspek berfikir
seperti yang disebutkan dalam tujuan instruksional
khusus.

2. Validitas empiris
Validitas empiris adalah ketepatan mengukur yang
berdasarkan pada hasil analisis yang bersifat empiris
dengan kata lain validitas empiris adalah validitas yang
bersumber pada atau diperoleh atas dasar pengamatan
dilapangan. Bertitik tolak dari itu, maka tes hasil belajar
dapat dikatakan telah memiliki validitas empiris apabila
berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap data
hasil pengamatan dilapangan, terbukti bahwa tes hasil
belajar itu dengan secara tepat telah dapat mengukur hasil
belajar yang sesungguhnya diungkap atau diukur lewat tes
hasil belajar tersebut.
Ada dua macam validitas empiris yang dapat dicapai
oleh sebuah instrumen, yaitu:
a. Validitas ada sekarang (Conten validity)
Validitas ini lebih umum dikenal dengan validitas
empiris. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas empiris

131
jika hasilnya sesuai dengan pengamalan. Jika ada istilah
“sesuai” tentu ada dua hal yang dipasangkan. Dalam hal
ini hasil tes dipasangkan dengan hasil pengalaman.
Pengalaman selalu mengenai hal yang telah lampau
sehingga data pengalaman tersebut sekarang sudah ada
( ada sekarang, concurren).
Dalam membandingkan hasil sebuah tes maka
diperlukan suatu kriterium atau alat banding. Maka hasil
tes merupakan sesuatu yang dibandingkan. Untuk
jelasnya dibawah ini dikemukakan sebuah contoh.
Misalnya seorang guru ingin mengetahui apakah tes
sumatif yang disusun sudah valid apa belum. Untuk ini
diperlukan sebuah kriterium masa lalu yang sekarang
datanya dimiliki. Misalnya nilai ulangan harian atau nilai
ulangan sumatif yang lalu.

b. Validitas Prediksi (Prediktifve Validity)


Memprediksi artinya meramal, dengan meramal
selalu mengenai hal yang akan datang jadi sekarang
belum terjadi. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas
prediksi atau validitas ramalan apabila mempunyai
kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi
pada masa yang akan datang.
Misalnya tes masuk perguruan tinggi adalah
sebuah tes yang diperkirakan mampu meramalkan
keberhasilan peserta tes dalam mengikuti kuliah dimasa
yang akan datang. Calon yang tersaring berdasarkan
hasil tes diharapkan mencerminkan tinggi rendahnya
kemampuan mengikuti kuliah. Jika nilai tesnya tinggi
tentu menjamin keberhasilannya kelak. Sebaliknya
seorang calon dikatakan tidak lulus tes karena memiliki
tes yang rendah jadi diperkirakan akan tidak mampu
mengikuti perkuliahan yang akan datang.

2.5 Reliabilitas
Reliabilitas instrumen adalah keadaan instrumen yang
menunjukkan hasil pengukuran yang reliable (tidak berubah-
ubah, konsisten). Instrumen yang reliable adalah instrumen

132
yang apabila digunakan untuk mengukur subyek atau objek
yang sama pada waktu yang berbeda dan pengukuran
dilakukan oleh orang yang berbeda hasilnya tetap sama.
Reabilitas berhubungan dengan kepercayaan. Suatu tes
dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi
jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Suatu
tes dapat dikatakan reliabel jika selalu memberikan hasil
yang sama bila diteskan pada kelompok yang sama pada
waktu atau kesempatan yang berbeda.
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi reliabilitas
suatu tes yaitu:
1. Kemampuan peserta tes atau subjek uji coba. Makin
heterogen atau makin berbeda kemampuan peserta tes
makin tinggi reliabilitas tes.
2. Semakin besar jumlah peserta tes semakin besar
reliabilitas, karena semakin banyak peserta tes maka
semakin beragam kemampuannya.
3. Panjang pendeknya tes. Jumlah item tes yang banyak
dengan mengkaji beberapa tujuan akan lebih reliable
dibandingkan dengan jumlah item yang sedikit, karena
akan lebih representatif. Namun jumlah item tes yang
terlalu banyak akan melelahkan dan mengganggu
konsentrasi sehingga hasil yang diperoleh tidak tepat lagi.
4. Evaluasi yang subjektif juga akan menurunkan reliabilitas.
5. Hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan tes.

Adanya hal-hal yang mempengaruhi hasil tes ini


semua, secara tidak langsung akan mempengaruhi reliabilitas
soal tes. Reliabilitas instrumen dinyatakan dengan koefisien
reliabilitas. Instrumen yang reliable adalah instrumen yang
memiliki koefisien reliabilitas minimal 0,70. Sebaiknya
koefisien reliabilitas instrumen 0,80 atau lebih. Koefisien
reliabilitas instrumen dihitung dengan menggunakan rumus
tertentu.

133
1. Pengujian Reliabilitas Tes Bentuk Objektif
Pada tes belajar bentuk objektif, ada tiga macam
metode yang dapat digunakan untuk menentukan taraf
reliabilitas.
a. Metode atau teknik ulangan (test-retest
method) atau single test-double trial method.
Instrumen penelitian test-retest dilakukan dengan
cara mencobakan instrumen dua kali pada responden.
Jadi dalam hal ini instrumennya sama, respondennya
sama, dan waktunya yang berbeda. Reliabilitas diukur
dari koefisien korelasi antara percobaan pertama dengan
yang berikutnya. Bila koefisien korelasi positif dan
signifikan maka instrumen tersebut reliable. Pengujian
cara ini sering juga disebut stability, yaitu seberapa
stabil skor yang diperoleh individu apabila dilakukan
pengujian dalam waktu yang berbeda.
Rumus yang dapat digunakan untuk menentukan
reliabiltas test dengan metode test-retest antara lain
adalah Product Momen Correlation, yaitu sebagai
berikut:

Keterangan:

X = skor test pertama

Y = skor test kedua

N = jumlah peserta tes

Cara lain yang dapat digunakan dengan teknik tes retes


ini adalah tekinik korelasi rank- order dari Spearmen
menggunakn rumus:

134
Keterangan:

ρ = koefisien korelasi

D = difference (beda antara rank skor hasil tes I


dengan rank skor hasil tes II) = RI – RII

N = banyaknya peserta tes.

b. Metode Belah Dua (split-half method) atau Single Test


Single Trial Method.
Dalam menggunakan metode ini pendidik atau
evaluator hanya menggunnakan sebuah tes dan
dicobakan satu kali. Oleh sebab itu disebut juga singel-
test-singel-trial method. Pada metode ini tes yang
diberikan dibagi/dibelah menjadi dua bagian. Jumlah
item yang diberikan harus genap sehingga dapat dibagi
dua dan tiap kelompok memiliki jumlah item/butir soal
yang sama jumlahnya.
Untuk menentukan reliabilitas seluruh tes dapat
digunakan rumus Spearman-Brown sebagai berikut:

Keterangan:

r11 = korelasi antara skor-skor setiap belahan tes.

r12 = koefisien reliabilitas tes.

Cara lain yang juga dapat digunakan pada


metode singel-test-singel-trial adalah formula Rulon,
Flanagan, Kuder-Richardson, Hoyt.

c. Metode Bentuk Paralel atau MetodeDouble Test Double


Trial

Pada metode ini dipergunakan dua buah tes yang


mempunyai kesamaan tujuan, tingkat kesukaran, dan
susunan, tetapi butir-butir soal berbeda. Pengujian

135
reliabilitas dengan cara ini cukup dilakukan sekali, tetapi
instrumennya dua, pada responden yang sama, waktu
yang sama, instrumen berbeda. Reliabiltas instrumen
dihitung dengan cara mengkorelasikan antara data
instrumen yang satu dengan data instrumen yang
dijadikan equivalen. Bila koefisien korelasi positif dan
signifikan maka instrumen tersebut reliable.
Kelemahan dari metode ini adalah kesukaran
dalam penyusunan item yang parallel dengan item pada
tes pertama, selain itu juga membutuhkan biaya yang
lebih mahal dan memakan waktu yang lebih lama.
Rumus yang dapat digunakan untuk menentukan
reliabilitas dengan metode parallel ini adalah Product
Moment Correlation dan Rank Order Correlation.

2. Pengujian Reliabilitas Tes Bentuk Uraian


Pengujian reliabilitas tes bentuk uraian tidak dapat
dilakukan seperti contoh di atas. Butir soal uraian
menghendaki gradualisasi penilaian. Barangkali butir soal
nomor 1 penilaian terendah adalah 0 dan penilaian
tertinggi adlah 10, tetapi soal nomor 2 mungkin diberi nilai
tertinggi hanya 5 dan butir soal nomor 3 penilaian tertinggi
misalnya 5 dan sebagainya.
Untuk keperluan mencari reliabilitas tes perlu juga
dilakukan analisa item seperti halnya tes bentuk Obkektif.
Skor untuk masing-masing item dicantumkan pada kolom
item menurut apa adanya. Rumus yang digunakan adlah
rumus alpha sebagai berikut.

Keterangan:

∑σ2i = jumlah varians skor tiap-tiap item

σ2t = varians total

136
Kegiatan analisis butir soal merupakan kegiatan penting
dalam penyusunan soal agar diperoleh butir soal yang bermutu
dengan tujuan untuk mengkaji dan menelaah setiap butir soal
agar diperoleh soal yang bermutu sebelum digunakan,
meningkatkan kualitas butir tes melalui revisi atau membuang
soal yang tidak efektif.
Tingkat kesukaran soal adalah peluang menjawab benar
suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang biasanya
dinyatakan dalam bentuk indeks. Semakin besar indeks tingkat
kesukaran yang diperoleh dan hasil hitungan, berarti semakin
mudah soal itu.
Perhitungan daya pembeda adalah pengukuran sejauh mana
suatu butir soal mampu membedakan peserta didik yang sudah
menguasai kompetensi dengan peserta didik yang belum atau
kurang menguasai kompetensi berdasarkan kriteria tertentu.
Yang disebut dengan distraktor (pengecoh) adalah opsi-opsi
yang bukan merupakan kunci jawaban atau disebut juga dengan
pola jawaban.
Validitas adalah suatu konsep yang berkaitan dengan sejauh
mana tes telah mengukur apa yang seharusnya diukur.
Sedangkan reliabilitas adalah keadaan instrumen yang
menunjukkan hasil pengukuran yang reliable (tidak berubah-
ubah, konsisten).

137
DAFTAR PUSTAKA

Alita. 2012. Analisi Kualitas Tes dan Butir Soal. http://re-


alitha.blogspot.co.id Diakses pada tanggal 03 Januari 2019
Amma, Surahma. 2016. Analisis Kualitas Butir Soal.
http://surahma-amma.blogspot.com/2016/09/analisis-kualitas-
butir-soal.html?m=1. Diakses pada tanggal 03 Januari 2019
Maulidiah, Rizka. 2015. Analisis Butir Soal.
http://riskangeblog.blogspot.com/2015/05/analisis-butir-
soal.html. Diakses pada tanggal 03 Januari 2019
Nurlaeli, Firda. Analisis Kualitas Tes dan Butir Soal.
https://fidanurlaeli.wordpress.com/2010/11/28/analisis-kualitas-
tes-dan-butir-soal/. Diakses pada tanggal 03 Januari 2019
Syafiq. 2015. Analisis Kualitas Soal.
http://tintamufa.blogspot.com/2015/03/analisis-kualitas-
soal.html?m=1. Diakses pada tanggal 03 Januari 2019

138
BAB IX
PENILAIAN KETERAMPILAN

A. Pengertian Penilaian Keterampilan


Penilaian keterampilan adalah suatu penilaian yang dilakukan untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam menerapkan pengetahuan untuk
melakukan tugas tertentu di dalam berbagai macam konteks sesuai
dengan indicator pencapaian kompetensi. Penilaian keterampilan dapat
dilakukan dengan berbagai teknik, antara lain penilaian kinerja,
penilaian proyek, dan penilaian portofolio.

B. Teknik Penilaian Keterampilan


Teknik penilaian keterampilan dapat digambarkan pada skema
berikut.

Berikut disajikan uraian singkat mengenai teknik-teknik penilaian


keterampilan tersebut yang mencakup pengertian, langkah-langkah,
dan contoh instrumen dan rubrik penilaian kinerja.

1) Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja adalah penilaian untuk mengukur capaian
pembelajaran yang berupa keterampilan proses dan/atau hasil
(produk).Dengan demikian, aspek yang dinilai dalam penilaian
kinerja adalah kualitas proses mengerjakan/melakukan suatu tugas
atau kulaitas produknya atau kedua-duanya. Contoh keterampilan
proses adalah keterampilan melakukan tugas/tindakan dengan
menggunakan alat dan/ataubahan dengan prosedur kerja kerja

139
tertentu, sementara produk adalah sesuatu (bisanya barang) yang
dihasilkan dari penyelesaian sebuah tugas.
Contoh penilaian kinerja yang menekankan aspek proses
adalah berpidato, membaca karya sastra, menggunakanperalatan
laboratorium sesuai keperluan, memainkan alat musik,
bermain bola, bermain tenis, berenang, koreografi, dan dansa.
Contoh penilaian kinerja yang menekankan aspek produk
adalah membuat grafik, menyusun karangan, dan menyulam.
Contoh penilaian kinerja yang mempertimbangkan baik proses
maupun produk adalah memasak nasi goring dan memanggang
roti.
Langkah-langkah umum penilaian kinerja adalah:
1. menyusun kisi-kisi;
2. mengembangkan/menyusun tugas yang dilengkapi dengan
langkah-langkah, bahan, dan alat;
3. menyusun rubrik penskoran dengan memperhatikan aspek-
aspek yang perlu dinilai;
4. melaksanakan penilaian dengan mengamati siswa selama proses
penyelesaian tugas dan/atau menilai produk akhirnya
berdasarkan rubrik;
5. mengolah hasil penilaian dan melakukan tindak lanjut.

Berikut ini contoh kisi-kisi penilaian kinerja,


soal/tugas, pedoman penskoran, dan rubrik penilaian kinerja.

Kompetensi Teknik
No. Materi Indikator
Dasar Penilaian
1. Melakukan Larutan Siswa dapat Kinerja
penyelidikan untuk asam menentukan larutan
menentukan sifat dan asam dan
larutan yang ada basa basamenggunakan
di lingkungan indikator kertas
sekitar lakmus.
menggunakan
indikator buatan
maupun alami.

140
Contoh Rubrik Penskoran Penilaian Kinerja

Skor
No. Aspek yang Dinilai
0 1 2 3 4

Menyiapkan alat dan


1.
bahan yang diperlukan

Melakukan uji
2.
asam/basa

3. Membuat laporan

Jumlah

Skor Maksimum 9 (2+4+3)

Pada contoh penilaian kinerja dengan di atas, penilaian


diberikan dengan memperhatikan baik aspek proses maupun
produk. Sebagaimana terlihat pada rubrik penilaian, ada 3 (tiga)
butir aspek yang dinilai, yaitu keterampilan siswa dalam
menyiapkan alat dan bahan (proses), keterampilan siswa dalam
melakukan uji asam/basa (proses), dan kualitas laporan (produk).
Guru dapat menetapkan bobot penskoran yang berbeda-beda
antara aspek satu dan lainnya yang dinilai dengan memperhatikan
karakteristik KD atau keterampilan yang dinilai. Pada contoh di
atas, keterampilan proses (penyiapan bahan dan alat +
pelaksanaan uji asam/basa) diberi bobot lebih tinggi dibandingkan
produknya (laporan).

2) Penilaian Proyek
Penilaian proyek adalah suatu kegiatan untuk mengetahui
kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuannya melalui
penyelesaian suatu tugas dalam periode/waktu tertentu. Penilaian
proyek dapat dilakukan untuk mengukur satu atau beberapa KD
dalam satu atau beberapa mata pelajaran.Tugas tersebut berupa
rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pengumpulan
data, pengorganisasian data, pengolahan dan penyajian data, serta
pelaporan.

141
Pada penilaian proyek setidaknya ada 4 (empat) hal yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:
1. Pengelolaan. Kemampuan siswa dalam memilih topik, mencari
informasi, dan mengelola waktu pengumpulan data, serta
penulisan laporan.
2. Relevansi. Topik, data, dan produk sesuai dengan KD.
3. Keaslia. Produk(misalnya laporan)yang dihasilkansiswa
merupakan hasil karyanya, dengan mempertimbangkan
kontribusi guru berupa petunjuk dan dukungan terhadap
proyek siswa.
4. Inovasi dan kreativitas. Hasil proyek siswa terdapat unsur-
unsur kebaruan dan menemukan sesuatu yang berbeda dari
biasanya.

Berikut ini contoh kisi-kisi, tugas, dan rubrik penilaian proyek.

Kompetensi Teknik
No. Materi Indikator
Dasar Penilaian
1. Membuat dan Sel Siswa dapat: Proyek
menyajikan
1.Merencanakan
postertentang
pembuatan poster
sel dan bagian-
sel dan bagian-
bagiannya
bagiannya

2.Merancang poster
sel dan bagian-
bagiannya

3.Menyusun dan
mengatur warna
poster sel dan
bagian-bagiannya.

4.Memberikan label
poster sesuai
dengan konsep sel.

5.Menyusun laporan
pembuatan poster
sel dan bagian-
bagiannya

142
Contoh Rubrik Penskoran Proyek
Skor
Aspek yang Dinilai
0 1 2 3 4
G
Kemampuan merencanakan
u
rKemampuan menggambar sel secara tepat
uberdasarkan hasil pengamatan pada
mikroskop
d
Kemampuanmenggambar sel berdasarkan
a
referensi dan memberikan label bagian-
p
bagiansel.
a
tKemampuan menjelaskanfungsibagian sel
melalui presentasi.
m
ePoster (Produk)
nSkormaksimum 15
e
menetapkan bobot yang berbeda-beda antara aspek satu dan
lainnya pada penskoran (sebagaimana contoh rubrik penskoran
di atas) dengan memperhatikan karakteristik KD atau
keterampilan yang dinilai.

3) Penilaian Portofolio
Seperti pada penilaian pengetahuan, portofolio untuk
penilaian keterampilan merupakan kumpulan sampel karya terbaik
dari KD pada KI-4. Portofolio setiap siswa disimpan dalam suatu
folder (map) dan diberi tanggal pengumpulan oleh guru. Portofolio
dapat disimpan dalam bentuk cetakan dan/atau elektronik. Pada
akhir suatu semester kumpulan sampel karya tersebut digunakan
sebagai sebagian bahan untuk mendeskripsikan pencapaian
keterampilan secara deskriptif.Portofolio keterampilan tidak diskor
lagi dengan angka.
Berikut adalah contoh ketentuan dalam penilaian
keterampilan dengan portofolio:
1. Karya asli siswa;
2. Karya yang dimasukkan dalam portofolio disepakati oleh siswa
dan guru;

143
3. Guru menjaga kerahasiaan portofolio;
4. Guru dan siswa mempunyai rasa memiliki terhadap dokumen
portofolio;

C. PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN

Penilaian adalah proses sistematis meliputi pengumpulan


informasi (angka atau deskripsi verbal), analisis, dan interpretasi
untuk mengambil keputusan. Sedangkan penilaian pendidikan
adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.

Pengertian Penilaian
Penilaian adalah proses sistematis meliputi pengumpulan informasi
(angka, deskripsi verbal), analisis, interpretasi informasi untuk
membuat keputusan.

Prinsip-prinsip pengembangan Penilaian


1. Valid, berarti menilai apa yang seharusnya dinilai; dengan
menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi.
2. Reliabel, reliabel berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil
penilaian.
3. Menyeluruh, penilaian harus dilakukan secara menyeluruh
mencakup seluruh domain yang tertuang pada setiap
kompetensi .
4. Berkesinambungan, penilaian dilakukan secara terencana,
bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran
pencapaian kompetensi peserta didik dalam kurun waktu
tertentu.
5. Obyektif, penilaian harus dilaksanakan secara obyektif (ada
fakta dan ada kriteria yang jelas).
6. Mendidik, proses dan hasil penilaian dapat dijadikan dasar
untuk memotivasi, memperbaiki proses pembelajan.

144
7. Terbuka, artinya dapat diketahui oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.
8. Adil, artinya tidak menguntungkan atau merugikan sebagian
pihak.

D. Penilaian Kelas
Penilaian kelas adalah proses pengumpulan & penggunaan
informasi oleh guru melalui sejumlah bukti untuk membuat
keputusan ttg pencapaian hasil belajar/kompetensi siswa. Adapun
terdapat 5 ciri-ciri dalam penilianan kelas, yaitu Belajar tuntas,
Otentik, berkesinambungan, Berdasarkan acuan kriteria / patokan ,
Menggunakan berbagai cara & alat penilaian. Dari kelima ciri ciri
tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Belajar Tuntas
Belajar Tuntas (mastery learning): peserta didik tidak
diperkenankan mengerjakan pekerjaan berikutnya, sebelum
mampu menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar,
dan hasil yang baik. “Jika peserta didik dikelompokkan
berdasarkan tingkat kemampuannya untuk beberapa mata
pelajaran dan diajarkan sesuai dengan karakteristik mereka,
maka sebagian besar dari mereka akan mencapai
ketuntasan”.(John B. Carrol, A Model of School Learning)
2. Penilaian Otentik/ Autentik
a. Memandang penilaian dan pembelajaran secara terpadu
b. Menggunakan berbagai cara dan kriteria
c. Holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap,)
3. Berkesinambungan
Memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil terus
menerus dalam bentuk Ulangan Harian, Ulangan Tengah
Semester, Ulangan Akhir Semester, dan Ulangan Kenaikan
Kelas.
4. Berdasar Acuan kriteria/patokan
Prestasi kemampuan peserta didik TIDAK DIBANDINGKAN
dengan peserta kelompok, tetapi dengan kemampuan yang
dimiliki sebelumnya dan patokan yang ditetapkan
5. Menggunakan Berbagai cara & alat penilaian
a. Mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan
yang bervariasi

145
b. Menggunakan penilaian yang bervariasi: Tertulis, Lisan,
Produk, Portofolio, Unjuk Kerja, Proyek, Pengamatan, dan
Penilaian Diri.

E. Jenis Penilaian Autentik


Dalam penilaian autentik teradapat 4 jenis penilaian, yaitu
Penilaian Tertulis / Tes Tulis, Penilaian Unjuk Kerja, Penilaian
Proyek,Penilaian Portofolio. Keempat jenis penilaian tersebut akan
dijabarkan sebagai berikut:
1. Tes Tulis
Tes tulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan
kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dari berbagai alat
penilaian tertulis, tes memilih jawaban benar-salah, isian
singkat, dan menjodohkan merupakan alat yang umumnya
hanya menilai kemampuan berpikir rendah (pengetahuan saja).
Tes tulis terdiri dari tes objective ,dan essay.
2. njuk Kerja (Performance) :
Penilaian unjuk kerja merupakan penilaian yang dilakukan
dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan
sesuatu. (unjuk kerja, tingkah laku, interaksi). Dalam penilaian
ini akan menjadi baik atau cocok bila digunakan untuk:
• Penyajian lisan: keterampilan berbicara, berpidato, baca
puisis, berdiskusi.
• Pemecahan masalah dalam kelompok
• Partisipasi dalam diskusi
• Menari
• Memainkan alat music
• Olah Raga
• Menggunakan peralatan laboratorium
• Mengoperasikan suatu alat
3. Penilaian Proyek (Penugasan)
Penilaian proyek adalah kegiatan penilaian terhada suatu tugas
yang harus diselesaikan dalam periode atau waktu tertentu.
Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui
pemahaman,kemampuan, mengaplikasikan, kemampuan
penyelidikan dan kemampuan menginformasikan. Dalam
penilaian proyek perlu menetapkan tahapan yang harus dinilai
seperti penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data,
laporan tertulis, poster dan lain-lain. Biasanya penilaian proyek
berfokus pada perencanaan, pengerjaan dan produk proyek.
Berikut contoh tugas penilaian proyek.

146
Format Penyekoran Tugas Proyek
KRITERIA DAN SKOR
ASPEK
3 2 1
Jika memuat
Jika memuat
Jika memuat tujuan, tujuan, topik,
tujuan, topik,
topik, alasan, alasan, tempat
alasan, tempat
tempat penelitian, penelitian,
PERSIAPAN penelitian,
responden, daftar responden,
responden, daftar
pertanyaan dengan daftar
pertanyaan kurang
lengkap. pertanyaan
lengkap.
tidak lengkap

Jika
Jika daftar
Jika daftar pertanyaan
pertanyaan dapat
pertanyaan dapat tidak
PENGUMPULAN dilaksanakan
dilaksanakan semua terlaksana
semua, tetapi data
DATA dan data tercatat semua dan
tidak tercatat
dengan rapi dan data tidak
dengan rapi dan
lengkap. tercatat
lengkap.
dengan rapi.

Jika sekedar
melaporkan
Jika pembahasan
PENGOLAHAN Jika pembahasan hasil
data kurang
data sesuai tujuan penelitian
DATA menggambarkan
penelitian tanpa
tujuan penelitian
membahas
data

Jika penulisan
Jika sistimatika kurang
Jika sistimatika
penulisan benar, sistimatis,
PELAPORAN penulisan benar,
memuat saran, bahasa kurang
TERTULIS memuat saran,
namun bahasa komunikatif,
bahasa komunikatif.
kurang komunikatif kurang
memuat saran

F. Penilaian Portofolio
Penilaian portofolio adalah penilaian berkelanjutan yang
didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan
perkembangan kemampuan peserta didik dalam suatu periode.
Pernilaian portofolio relatif lebih otentik dibanding jenis penilaian tes.
Portofolio berisi kumpulan karya siswa yang tersusun secara
sistematis dan terorganisasi yang diambil selama proses
pembelajaran.

147
Portofolio digunakan oleh pendidik dan siswa untuk memantau
perkembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa dalam
mata pelajaran tertentu. Portofolio menggambarkan perkembangan
prestasi, kelebihan dan kekurangan kinerja siswa, seperti kreasi kerja
dan karya siswa lainnya. Dalam penilaian portofolio karya-karya yang
dapat dikumpulkan adalah puisi, karangan, gambar / lukisan, desain,
paper, sinopsis, naskas pidato, naskah drama, rumus, doa, surat,
komposisi, musik, teks lagu, resep makanan, laporan
observasi/penyelidikan/eksperimen, dsb.
G. Penilaian Sikap
Sikap merupakan kesiapsiagaan mental seseorang dalam
merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai
atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Sikap dapat
dibentuk, sehingga terjadi perilaku atau tindakan yang diinginkan.
1. Instrumen Penilaian Sikap
 Observasi perilaku
 Skala sikap

Format Penilaian Sikap dalam praktek IPA :

Perilaku
No. Nama Penuh Bekerja Nilai Keterangan
Bekerjasama Berinisiatif
Perhatian sistematis

1. Fika

2. Dudi

3. ....

2. Pemberian Skor (Skoring)


Langkah-langkah pemberian skor sebagai berikut.
a. Menyusun suatu jawaban model sebagai kunci jawaban yang
memenuhi syarat sebagai jawaban yang baik (benar, relevan,
lengkap, berstruktur, dan Jelas).
b. Setiap item bisa berbeda bobot. Perbedaan bobot bisa
berdasar pada jenis bahan (bahan perangsang, bahan inti,
bahan penting, dan kurang penting), teksonomi
(pengetahuan, pemahaman, evaluasi, dll).
c. Membaca beberapa jawaban dari peserta didik yang kurang
pandai dan yang pandai. Hal ini dapat dipakai untuk
memperoleh gambaran umum tentang kualitas dari jawaban

148
dari para peserta didik atau mengecek apakah kunci jawaban
cukup realistik.
d. Sebaiknya masing-masing nomor dari jawaban tes diperiksa
sekaligus sebelum melakukan skoring nomor yang lain.
e. Agar tidak terpengaruh oleh kesan mutu jawaban yang
mendahului sebaiknya sesudah selesai diperikasa jawaban-
jawaban satu nomor, lembar jawab perlu ditukar urutannya.
f. Tidak usah memperhatikan nama dan nomor peserta, untuk
mengurangi subyektivitas.
g. Membiasakan hanya memeriksa isi pikiran yang
dikemukakan dalam jawaban, sehingga tidak perlu menilai
bentuk tulisan dan lain-lain.
h. Mengembalikan lembar jawab lengkap dengan catatan-
catatan seperlunya.

149

Anda mungkin juga menyukai