Anda di halaman 1dari 29

‫الر ِحي ِْم‬

‫الر ْح ٰم ِن َّ‬
‫ّٰللاِ َّ‬
‫ِب ْس ِم ه‬

‫علَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َر َكتاُُُُ‬


‫سالَ ُم َ‬
‫ال َّ‬
SEJARAH DAN LANDASAN SERTA
KURIKULUM PENDIDIKAN
INKLUSI

By : Kelompok 4
Ika Wahyu Zekreningsih
Meganita
Mutmainnah
Suharmita
Sejarah Pendidikan Inklusi

1. Deklarasi Universal 1948.


2. Deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak
Anak.
3. Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua
(World Declaration on Education For All) di Jomtien
Thailand tahun 1990.
4. UNESCO, 1994: 11-12)
5. Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 002/U/1986 tentang
penyelenggaraan pendidikan terpadu di Indonesia.
6. Perjuangan terhadap hak-hak anak dengan
hambatan belajar dilanjutkan pada tahun 2005.
Landasan Pendidikan Inklusi

Landasan Filosofis

Landasan Pedagogis

Landasan Empiris
Landasan Filosofis

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah dasar


negara yaitu Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan
atas pondasi yang lebih mendasar, yang disebut “Bhinneka Tunggal Ika”
(Abdurrahman, 2003). Falsafah ini merupakan wujud pengakuan kebhinekaan
manusia Indonesia, baik kebhinekaan vertikal maupun horozontal. Kebhinnekaan
vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial,
kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan sebagainya. Sedangkan
kebhinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan, suku bangsa, ras, etnik, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik dan sebagainya. Walaupun
berbagai keberagaman mewarnai keberadaan manusia, namun terdapat kesamaan
misi yaitu kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan
saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan
keberbakatan atau ABK hanyalah satu bentuk kebhinnekaan seperti
halnya perbedaan suku, ras, etnis, bahasa, budaya dan atau agama.
Pada hakekatnya dalam diri setiap individu terdapat keunggulan dan
kekurangan, demikian pula di dalam diri setiap individu yang normal
pasti terdapat juga kekurangan tertentu dan dalam diri ABK juga
terdapat kelebihan. Kekurangan dan keunggulan tidak memisahkan
peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku,
bahasa, budaya ataupun agama namun menjadi hasanah kekayaan
hidup yang bermartabat dan saling menghargai. Kondisi tersebut
harus mewujudkan dalam sistem pendidikan.
Sistem pendidikan harus memungkinkan
terjadinya pergaulan dan interaksi antar
siswa yang beragam, termasuk siswa normal
dan ABK. Sehingga mendorong sikap silih
asah, silih asih dan silih asuh dengan
semangat toleransi seperti halnya yang
dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Landasan Pedagogis

1. Undang-undang Dasar 1945 dalam


amandemennya pada pasal 31 ayat 1 dan 2.
2. Undang-undang nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3
dan pasal 32 ayat 1 dan 2.
3. Pemendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusi bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan atau bakat istimewa.
Landasan Empiris

Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat


sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh
The National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya
menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di
sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif.
Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk
melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat,
karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang dan
Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis atas hasil
penelitian tentang pendidikan inklusi. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Calberg dan Kavale pada tahun 1980 terhadap 50
buah penelitian, Wang dan Baker pada tahun 1986 terhadap 11
buah penelitian dan Baker pada tahun 1995 terhadap 13 hasil
penelitian menyimpulkan bahwa pendidikan inklusi berdampak
positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial
ABK dan teman-teman sebayanya di sekolah (Johnsen dan
Skjorten, 2003).
Penelitian-penelitian tentang pendidikan inklusi di Indonesia
telah banyak dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh Ester Edwar
di Padang Sumatera Barat, Bastiana di Bandung Jawa Barat dan
banyak lagi penelitian tentang pendidikan inklusi. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan inklusi merupakan upaya bersama dan beberapa
komponen-komponen yang terlibat. Tanpa kerja sama dari
komponen-komponen, maka penyelenggaraan pendidikan
inklusi tidak akan berhasil.
Kurikulum Pendidikan Inklusi

Pengertian Kurikulum

Pengembangan Kurikulum

Tujuan Pengembangan Kurikulum

Model Kurikulum Sekolah Inklusi


Pengertian Kurikulum
 Pengertian Kurikulum Menurut Kerr, J. F (1968).

 Pengertian Kurikulum Menurut Inlow (1966).

 Pengertian Kurikulum Menurut Neagley dan Evans


(1967).

 Pengertian Kurikulum Menurut Beauchamp (1968).

 Pengertian Kurikulum Menurut Good V. Carter (1973).

 Pengertian Kurikulum Menurut UU No. 20 Tahun 2003.


Pengembangan Kurikulum

Dasar Pengembangan Kurikulum untuk


melakukan modifikasi dan pengembangan
kurikulum dalam program inklusif harus
mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Perundang-undangan yang menjadi landasan
dalam pengembangan dan implementasi kurikulum
dalam program inklusif

 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional
 Pasal 5 ayat 1, 2, 3 dan 4
 Pasal 6 ayat 1
 Pasal 12 ayat 1b
 Pasal 36 ayat 1 dan 2
 Pasal 15
 Peraturan Mendiknas No. 22/2006 tanggal 23
Mei 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
 Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan
 Pasal 1 ayat (13)
 Pasal 1 ayat (15)
 Pasal 17 ayat (1)
 Pasal 17 ayat (2)
 Peraturan Mendiknas No. 23/2006 tanggal 23
Mei 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
 Peraturan Mendiknas No. 24/2006 tanggal 2
Juni 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan
Mendiknas No. 22/2006 dan No. 23/2006.
Pengembangan kurikulum untuk layanan
pendidikan inklusi dilandasi oleh sejumlah
asumsi
 Layanan pendidikan bagi ABK dikelompokkan menjadi 2
bagian yaitu: ABK yang mengalami hambatan belajar tingkat
ringan dan tingkat sedang/berat.
 Kriteria yang digunakan untuk menetapkan kategori ringan
dan sdang/berat adalah: (1) tingkat kecerdasan, (2) hambatan
komunikasi dan interaksi dan/atau (3) hambatan perilaku.
 ABK kategori hambatan belajar tingkat ringan didorong
mengikuti pendidikan di kelas inklusif dengan menggunakan
kurikulum reguler.
 ABK kategori hambatan belajar tingkat sedang/berat
didorong mengikuti pendidikan di sekolah khusus atau di kelas
khusus di sekolah reguler dengan menggunakan kurikulum
pendidikan khusus.
 Jenis ABK pada kurikulum pendidikan khusus 2013 yang
dipersiapkan dokumennya terdiri atas: (1) Tunanetra, (2)
Tunarungu, (3) Tunagrahita, (4) Tunadaksa dan (5) Autis.
 ABK selain disebutkan dalam butir akan disediakan
dalam bentuk pedoman-pedoman.
 Setiap ABK berhak mendapat layanan Program
Kebutuhan Khusus/Kompensatoris.
 Program kebutuhan khusus pada jenjang SD dan SMP
disediakan alokasi waktu terstruktur sedangkan pada
jenjang SMA bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan.
Tujuan Pengembangan Kurikulum
 Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi

hambatan belajar yang dialami siswa semaksimal mungkin dalam setting

inklusi.

 Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program

pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang

diselenggarakan di sekolah, di luar sekolah maupun di rumah.

 Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan,

menilai dan menyempurnakan program pendidikan inklusif.


Model Kurikulum Pendidikan Inklusi

Model Kurikulum Sekolah


Reguler Penuh

Model Kurikulum Sekolah Model Kurikulum


Reguler yang Dimodifikasi Pendidikan Individual

Program Khusus
Kompensatori
Model Kurikulum Sekolah
Reguler Penuh
Kurikulum sekolah reguler penuh diperuntukkan bagi individu
yang memiliki kelainan ringan dan tidak membutuhkan layanan
pendidikn khusus atau membutuhkan layanan pendidikan khusus
tetapi tidak sampai harus melakukan modifikasi kurikulum. Misalnya
anak gangguan pendengaran dan bicara atau anak gangguan
perkembangan dan ortopedi yang tidak mengalami gangguan
intelegensi. Pada model ini peserta didik berkebutuhan khusus hanya
membutuhkan bimbingan atau intervensi khusus, seperti remedial,
pendampingan, latihan yang lebih intensif, dll.
Model Kurikulum Sekolah
Reguler yang Dimodifikasi
 Model ini, guru melakukan modifikasi pada: Isi kurikulum,
Strategi pembelajaran, Jenis dan cara penilaian dan Program
tambahan lainnya.
 Ada mata pelajaran tertentu yang dapat diikuti dengan penuh
tanpa modifikasi dan ada mata pelajaran tertentu yang harus
dengan program individual.
 Cara melakukan modifikasi kurikulum dapat dilakukan dengan
melalui pelatihan sederhana bagi guru kelas maupun guru
bidang studi.
Model Kurikulum Pendidikan
Individual
 Diperuntukkan bagi individu yang memang tidak memungkinkan
menggunakan kurikulum reguler maupun modifikasi. Tingkat kebutuhan
pelayanan khususnya termasuk sedang atau agak berat. Mereka diberikan
kurikulum PPI yang dikembangkan oleh tim sekolah, orang tua dan profesi
lain.

 Proses pembelajaran dan penilaian menggunakan standar yang berbeda.


Penyesuaian dapat dilakukan dalam pendekatan, tingkat kesulitan maupun
manajemen waktu.

 Untuk tingkat kesulitan lebih disesuaikan dengan tingkat kemampuan


anak. ABK menerima materi yang sama tetapi dengan tingkat kesulitan
yang berbeda.
Komponen-komponen PPI berdasarkan The US
Code (PL.94-122), PPI memuat enam komponen
(Soendari, 2016, Mercer & Mercer, 1989:22),
yaitu:
 Tarap kemampuan siswa saat ini
 Tujuan umum yang akan dicapai (annual goal)
 Tujuan pembelajaran khusus (short-term objectives)
 Deskripsi tentang pelayanan pembelajaran
 Waktu dan lamanya diberikan pelayanan
 Evaluasi pembelajaran
 Ruang lingkup pengembangan PPI meliputi aspek pendidikan
akademik dan non akademik.
Program Khusus Kompensatori
Kurikulum yang terbaru yang telah disahkan dan telah

diinstruksikan penggunaannya adalah kurikulum 2013. Muatan

kurikulum 2013 untuk setiap tingkatan pendidikan inklusi dilengkapi

dengan program pelajaran kompensatoris, mata pelajaran ini diberikan

sebagai bentuk kompensasi atau penguatan akibat kelainan yang

dialami anak berkebutuhan khusus.

Program kebutuhan khusus bukan mata pelajaran dan

pembelajaran, tetapi wajib diberikan sesuai kebutuhan peserta didik.

Alokasi waktu yang disediakan adalah 4 jam per minggu.


Program kompensatori terdiri dari
beberapa program pembelajaran yang
disediakan dengan kekhususan anak.

 Orientasi dan Mobilitas untuk anak tunanetra


 Bina komunikasi, persepsi bunyi dan irama untuk
anak tunarungu
 Bina diri untuk anak tunagrahita
 Bina diri dan bina gerak untuk anak tunadaksa
 Bina pribadi dan sosial untuk anak tunalaras
 Bina komuniasi, interaksi sosial dan perilaku
untuk anak autis
Keunggulan dan Kelemahan Model
Kurikulum Pendidikan Inklusi
 Model kurikulum regular penuh
 Keunggulan: Peserta didik berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. (Freiberg, 1995)

 Kelemahan: Peserta didik berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri


dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Pada saat-saat
tertentu kondisi ini dapat menyulitkan mereka.

 Model kurikulum regular dengan modifikasi


 Keunggulan: Peserta didik berkebutuhan khusus dapat diberi pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhannya.

 Kelemahannya: Tidak semua guru di sekolah regular paham tentang ABK.


Untuk itu perlu adanya sosialisasi mengenai ABK dan kebutuhannya.
 Model kurikulum PPI

 Keunggulan: Peserta didik mendapatkan layanan

pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan.

 Kelemahan: Guru kesulitan dalam menyusun IEP

dan sangat membutuhkan waktu yang banyak.


‫َجزَ ا ُك ُم ّ‬
‫ّٰللاُ َخيْر‬

Anda mungkin juga menyukai