ANEKA MACAM PERJANJIAN
ANEKA MACAM PERJANJIAN
Balyan Hawari
NIM : 05020422027
Abdurrochman
NIM: 05020420021
NIM : 05040422072
Abstrak
Pembahasan perjanjian dalam hukum perdata merupakan kesepakatan antara dua
pihak atau lebih yang menciptakan hak dan kewajiban yang dapat ditegakkan secara hukum.
Subjek hukum manusia tidak terlepas dari perbuatan hukum, di mana transaksi seperti jual
beli, sewa menyewa, dan penggunaan jasa seseorang sering dilakukan untuk melangsungkan
kehidupan. Pembahasan ini mencakup pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, jenis-
jenis perjanjian, dan lainya . banyak orang sering tidak menyadari arti pentingnya suatu
perjanjian, sehingga terkadang muncul masalah karena kurang paham dalam membuat
perjanjian. Oleh karena itu, makalah artikel ini berusaha memaparkan apa arti perjanjian dan
hal-hal yang harus diperhatikan agar hak-hak seseorang terpenuhi. Selain itu, juga
memberikan pengetahuan tentang bagaimana suatu perjanjian dianggap sah menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pemahaman mendalam tentang topik ini sangat penting
bagi praktisi hukum dan pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan kontraktual untuk
memastikan kepatuhan terhadap hukum dan melindungi hak-hak mereka.
Kata kunci : perjanjian , hukum perdata , KUHPer
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum, sehingga dalam konteks hukum, setiap perkataan atau
tindakan seseorang dianggap sebagai dukungan untuk hak dan kewajiban yang juga dikenal
sebagai subjek hukum. Selain individu, badan hukum juga termasuk sebagai subjek hukum.
Oleh karena itu, setiap orang, baik warga negara maupun orang asing, memiliki hak dan
kewajiban untuk melakukan tindakan hukum, termasuk membuat perjanjian dengan pihak lain.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perjanjian
` Dalam ilmu hukum perdata, banyak pendapat ahli tentang definisi perjanjian. Menurut
Djumadi, perjanjian adalah suatu kejadian di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau
di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan sesuatu.1
1
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 2
2
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-4, ( Jakarta : Citra Aditya Bhakti, 1987),6
3
Ibid,12
Menurut Gunawan Widjaja dalam buku perikatan yang lahir dari perjanjian
menyebutkan Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Artinya, perjanjian melahirkan
Perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam Perjanjian4.
Sementara itu, menurut M. Yahya Harahap, “Suatu perjanjian adalah Suatu hubungan
hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak
untuk memperoleh prestasi dan sekaligus Mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan
prestasi5. Dari pengertian Yahya Harahap diatas menegaskan tentang hubungan hak dan juga
kewajiban bagi orang Yang melaksanakan perjanjian. Jadi, ketika melakukan suatu perjanjian,
ada hak & Kewajiban yang melekat masing-masing pihak yang harus dilaksanakan supaya
Perjanjian tersebut terlaksana.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu kejadian di
mana seseorang berjanji untuk mengikatkan diri kepada orang lain. Perjanjian ini berisi janji-
janji yang telah disetujui sebelumnya, berupa hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat,
baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Jika perjanjian dibuat secara tertulis, hal itu dapat
memberikan jaminan kepastian hukum yang lebih kuat.
A. Unsur Perjanjian
1. Unsur Essensialia adalah elemen yang harus ada agar sebuah perjanjian dianggap sah
menurut hukum. Ini meliputi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, seperti adanya kesepakatan, para pihak yang memiliki
kecakapan hukum, objek perjanjian, dan alasan yang sah. Selain itu, isi perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, atau kesusilaan.
2. Unsur Naturalia adalah elemen yang tidak perlu disepakati secara khusus, namun secara
otomatis melekat pada setiap perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual-beli, penjual secara
implisit harus menjamin pembeli bahwa barang yang dijual bebas dari cacat tersembunyi.
4
Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cet 6, 2014),91
5
Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006 ), 2
6
Sudikno Mertokusumo dalam Ridwan Khairandy,66
3. Unsur Accidentalia adalah elemen yang harus dinyatakan dengan jelas dalam perjanjian dan
tidak diatur oleh undang-undang. Ini merupakan ketentuan tambahan yang bisa ditetapkan
oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual-beli, setelah
barang diserahkan, tanggung jawab beralih ke pembeli. Sedangkan, jika ada cacat
tersembunyi, itu menjadi tanggung jawab penjual.
A. Asas Asas Perjanjian
Dalam perjanjian terdapat asas-asas umum hukum perjanjian sebagaimana yang diatur dalam
KUH-Perdata antara lain :
7
C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (PN Balai Pustaka, Jakarta, ) 1983, 4
8
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT. Raja Grafindo,jakarta , 2003 , 7
ada kesepakatan, tetapi kesepakatan tidak sah jika terjadi karena paksaan, kesalahan, atau
penipuan.9
4. Asas itikad baik
Asas Itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini mengharuskan pihak kreditur
dan debitur untuk melaksanakan perjanjian berdasarkan kepercayaan dan kejujuran.
Menurut James Gordley yang dikutip oleh Ridwan Khairandy, itikad baik sulit
didefinisikan. Dalam praktik, itikad baik sering diartikan sebagai kepatuhan dan kepantasan
dalam menjalankan kontrak. Menurut teori klasik hukum kontrak, asas ini dapat diterapkan
ketika perjanjian sudah memenuhi syarat tertentu, tetapi tidak melindungi pihak yang
dirugikan pada tahap pra-kontrak atau perundingan, karena perjanjian belum memenuhi
syarat tertentu pada tahap ini.10
5. Asas Kepribadian ( personality )
Dijelaskan dalam Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 menyatakan
seseorang hanya dapat membuat perjanjian untuk kepentingan diri sendiri. Pasal 1340
menyebutkan perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
Ada pengecualian dalam Pasal 1317 ayat 1 KUH Perdata yang memungkinkan pembuatan
perjanjian untuk pihak ketiga, dikenal sebagai derdenbeding. Dengan aturan ini, pihak yang
membuat perjanjian bisa menyetujui agar perjanjian tersebut juga berlaku bagi pihak
ketiga.11
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syarat-syarat untuk sahnya sebuah perjanjian,
ada empat syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
9
R. Subekti, Hukum Perjanjian, dalam bukunya Muhammad Syaifuddin, 15
10
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, 5
11
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia (Dalam Perspektif Perbandingan)…, 93
12
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori Dan Praktik
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2012, 110
Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif karena melibatkan pihak-pihak yang
terkait dengan perjanjian tersebut. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif, yang
berkaitan langsung dengan unsur-unsur pokok perjanjian. Jika salah satu dari empat syarat
ini tidak terpenuhi, perjanjian dapat cacat dan terancam batal, baik bisa dibatalkan karena
pelanggaran syarat subjektif atau batal demi hukum jika melanggar syarat objektif.
Syarat subjektif mencakup hal-hal yang berhubungan dengan pribadi pihak-pihak yang
terlibat dalam perjanjian. Syarat ini tidak dapat digantikan oleh pihak lain yang tidak terkait
dengan perjanjian. Syarat subjektif meliputi:
Syarat objektif dari perjanjian meliputi hal tertentu yang merupakan objek perjanjian, diatur
dalam Pasal 1332-1334 KUH Perdata. Objek perjanjian adalah prestasi yang merupakan hak
dan kewajiban kedua belah pihak, baik berupa tindakan positif maupun negatif. Bentuk prestasi
meliputi:
13
R. Subekti, Hukum Perjanjian, dalam bukunya Muhammad Syaifuddin, 1986,6
(b) Berbuat sesuatu
(c) Tidak berbuat sesuatu
A. Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal dalam literatur disebut causa yang halal (geoorloofde orzaak). Dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tidak dijelaskan pengertian dari orzaak
(causa yang halal). Akan tetapi dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya
menyebutkan causa Yang terlarangnya. Suatu sebab dianggap terlarang apabila bertentangan
dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebuah perjanjian yang tidak
memiliki kausa hukum atau kausanya tidak halal, maka Perjanjiannya tidak sah. Hal tersebut
sama artinya dengan suatu perjanjian Hanya akan memiliki akibat hukum jika memenuhi dua
syarat. Syarat yang Pertama yaitu tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas dan patut,
syarat Kedua menyatakan bahwa perjanjian itu harus mengandung sifat sah.
Menurut Drs. CST. Kansil, SR, perjanjian sewa menyewa adalah kesepakatan di mana
pihak pertama memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakan barangnya dalam
14
Dr. H. Indra Muchlis Adnan, Hukum Bisnis,( Trussmedia Grafika,DIY, cetakan 1,2016) 48
15
Ibid 49
jangka waktu tertentu dengan kewajiban si penyewa membayar sewa. Penyewa harus
membayar sewa tepat waktu dan merawat barang seolah-olah itu miliknya sendiri.16
d. Hibah ( schenking )
Pasal 1666 KUH Perdata menjelaskan bahwa hibah adalah perjanjian di mana satu pihak
memberikan sesuatu barang kepada pihak lain tanpa meminta pembayaran sebagai imbalan.
Proses hibah bersifat mutlak, sehingga barang tersebut langsung menjadi milik penerima dan
tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi. Namun, dalam konteks hibah wasiat (testament),
barang hanya diberikan setelah pemberi meninggal dunia, sehingga sebelum itu pemberi
masih dapat menarik hibah tersebut.
Perjanjian penitipan adalah kesepakatan di mana satu pihak menyerahkan suatu barang
kepada pihak lain untuk disimpan. Pihak yang menerima barang tersebut memiliki kewajiban
untuk menjaga dan mengembalikannya dalam kondisi semula pada waktu yang telah
ditentukan.
Pinjam pakai adalah perjanjian di mana satu pihak meminjamkan suatu barang kepada
pihak lain untuk digunakan. Pihak yang meminjam berkewajiban untuk mengembalikan
barang tersebut tepat waktu dan dalam kondisi yang sama seperti saat barang tersebut
dipinjam.
g. Pakai Habis
Perjanjian pakai habis adalah kesepakatan yang menetapkan waktu atau periode ketika
suatu layanan atau produk akan berakhir atau berhenti digunakan. Ini sering terjadi dalam
konteks layanan berlangganan atau perjanjian penggunaan produk tertentu. Misalnya, ketika
seseorang berlangganan layanan internet atau aplikasi seluler dengan kontrak berjangka
waktu tertentu, maka perjanjian pakai habis menetapkan akhirnya periode berlangganan
tersebut.
16
Dr. H. Indra Muchlis Adnan, Hukum Bisnis,( Trussmedia Grafika,DIY, cetakan 1,2016) 50
Dalam konteks perjanjian, "bunga tetap" dan "bunga abadi" mengacu pada jenis
pembayaran bunga yang diatur dalam perjanjian tersebut, terutama dalam perjanjian
pinjaman atau obligasi.
Bunga Tetap: Dalam perjanjian, bunga tetap mengacu pada tingkat bunga yang telah
ditentukan dan tetap selama masa berlaku perjanjian. Ini berarti pihak yang membayar
bunga akan membayar jumlah yang sama dalam setiap periode pembayaran, tanpa
memperhatikan perubahan dalam kondisi pasar atau suku bunga. Perjanjian pinjaman
dengan bunga tetap memberikan kepastian pembayaran bagi pihak yang menerima
pinjaman.
Bunga Abadi: Dalam perjanjian, bunga abadi mengacu pada tingkat bunga yang dapat
berubah seiring waktu sesuai dengan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian. Ini berarti
pembayaran bunga dapat naik atau turun dari periode ke periode, tergantung pada perubahan
kondisi pasar atau indeks yang mendasarinya. Perjanjian dengan bunga abadi memberikan
fleksibilitas, tetapi juga meningkatkan risiko bahwa pembayaran bunga dapat meningkat
secara signifikan jika suku bunga pasar naik. Dalam perjanjian pinjaman atau obligasi, jenis
bunga yang dipilih akan bergantung pada preferensi risiko dan kebutuhan pihak yang terlibat
dalam perjanjian tersebut.
Persekutuan perdata adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang sepakat
untuk melakukan kegiatan bersama, sedangkan badan hukum adalah entitas hukum yang
secara hukum memiliki keberadaan terpisah dari individu-individu yang membentuknya.
Dalam berbagai perjanjian, baik persekutuan perdata maupun badan hukum dapat menjadi
pihak yang terlibat, tergantung pada sifat dan tujuan perjanjiannya. Misalnya, dalam
perjanjian kemitraan, persekutuan perdata bisa menjadi bentuk hukum yang digunakan,
sementara dalam perjanjian bisnis yang lebih kompleks, badan hukum seperti perusahaan
dapat menjadi pihak yang terlibat.
m. Perjanjian Perdamaian
Perjanjian perdamaian adalah kesepakatan yang dibuat antara pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik atau perang untuk mengakhiri pertikaian dan memulai proses rekonsiliasi.
Biasanya, perjanjian perdamaian memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
gencatan senjata, penyelesaian sengketa, pemulihan keamanan, pembagian sumber daya,
dan upaya untuk membangun kembali hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa.
Perjanjian perdamaian dapat berupa perjanjian formal yang ditandatangani di hadapan
mediator atau negosiator internasional, atau bisa juga berupa perjanjian yang lebih informal
namun tetap diakui oleh pihak-pihak yang terlibat.
Leasing merupakan jenis perjanjian di mana pihak yang memiliki aset (lesor)
memberikan hak penggunaan aset tersebut kepada pihak lain (lessee) untuk jangka waktu
tertentu dengan imbalan pembayaran sewa. Dalam konteks aneka perjanjian, leasing dapat
digunakan dalam berbagai situasi, seperti leasing kendaraan, peralatan, atau properti.
Misalnya, dalam perjanjian bisnis, leasing peralatan dapat menjadi pilihan yang
menguntungkan bagi perusahaan yang membutuhkan akses ke peralatan tanpa harus
melakukan investasi besar untuk membelinya secara langsung. Dalam leasing, perjanjian
menyebutkan hak dan kewajiban masing-masing pihak terkait penggunaan aset,
pembayaran sewa, dan kondisi lainnya yang relevan.
b. Beli sewa
"Beli sewa" atau "sewa beli" adalah suatu bentuk perjanjian di mana pihak yang
menyewa (lessee) memiliki opsi untuk membeli aset yang disewa setelah jangka waktu
tertentu. Dalam konteks aneka perjanjian, beli sewa bisa menjadi solusi fleksibel untuk
memperoleh akses ke aset tertentu tanpa harus melakukan pembelian secara langsung.
Misalnya, dalam perjanjian bisnis, beli sewa dapat digunakan untuk mendapatkan
akses ke peralatan atau properti dengan membayar sejumlah uang sebagai sewa selama
jangka waktu tertentu. Setelah masa sewa berakhir, lessee memiliki opsi untuk membeli
aset tersebut dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya atau dengan harga yang
diputuskan berdasarkan nilai pasar saat itu.
c. Franchise
Franchise, atau waralaba, adalah suatu bentuk bisnis di mana pemilik merek atau
konsep usaha (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan lain
(franchisee) untuk menjalankan bisnis dengan menggunakan merek dagang, sistem
operasional, dan dukungan dari franchisor. Dalam konteks aneka perjanjian, perjanjian
franchise adalah dokumen hukum yang mengatur hubungan antara franchisor dan
franchisee.
Perjanjian franchise biasanya mencakup berbagai hal, seperti hak dan kewajiban
kedua belah pihak, hak penggunaan merek dagang, biaya yang harus dibayarkan oleh
franchisee (seperti biaya royalti atau biaya awal), durasi perjanjian, wilayah yang
diberikan, sistem pelatihan, dukungan pemasaran, dan peraturan terkait dengan
operasional bisnis.
d. Joint Venture
Kontrak joint venture adalah kesepakatan antara dua perusahaan untuk membentuk
perusahaan baru yang dikenal sebagai perusahaan joint venture. Menurut Peter Mahmud,
ini adalah kontrak antara dua perusahaan untuk membentuk perusahaan baru. Menurut
Erman Rajagukguk, ini adalah kerjasama antara pemilik modal asing dan nasional
berdasarkan perjanjian kontraktual. Dalam kontrak joint venture:
Lisensi adalah izin atau hak yang diberikan oleh pemilik hak kekayaan intelektual
(seperti hak cipta, merek dagang, atau paten) kepada pihak lain untuk menggunakan,
memodifikasi, atau mendistribusikan karya atau produk tersebut dalam batas yang
ditentukan. Dalam konteks aneka perjanjian, perjanjian lisensi adalah dokumen yang
mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan penggunaan hak kekayaan intelektual
tersebut.
1. Lingkup Lisensi: Menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat, termasuk
jenis lisensi yang diberikan dan batasan-batasan penggunaannya.
17
Dr. H. Indra Muchlis Adnan, Hukum Bisnis,( Trussmedia Grafika,DIY, cetakan 1,2016) 57-58
2. Hak dan Pembayaran: Menjelaskan apakah ada biaya lisensi yang harus dibayar, serta
ketentuan pembayaran seperti royalti atau biaya lisensi tetap.
3. Durasi dan Wilayah: Menentukan jangka waktu lisensi berlaku dan wilayah geografis
di mana lisensi tersebut berlaku.
4. Perjanjian Keamanan dan Perlindungan: Meliputi ketentuan tentang hak cipta, merek
dagang, atau paten, serta cara penanganan pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Perjanjian lisensi sering digunakan dalam industri musik, film, perangkat lunak, dan
banyak lagi sebagai cara untuk memberikan akses terhadap karya atau produk tertentu
kepada pihak lain dengan mempertahankan kendali atas hak kekayaan intelektual.
Kesimpulan
Perjanjian adalah suatu kejadian di mana seseorang berjanji untuk mengikatkan diri
kepada orang lain. Perjanjian ini berisi janji-janji yang telah disetujui sebelumnya, berupa
hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.
Jika perjanjian dibuat secara tertulis, hal itu dapat memberikan jaminan kepastian hukum
yang lebih kuat.
Daftar Pustaka
Dr. H. Indra Muchlis Adnan, Hukum Bisnis,( Trussmedia Grafika,DIY, cetakan 1,2016) 48
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori Dan Praktik Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2012,
C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (PN Balai Pustaka, Jakarta, )
1983, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT. Raja
Grafindo,jakarta , 2003
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004,
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2004)
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-4, ( Jakarta : Citra Aditya Bhakti, 1987)
Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
cet 6, 2014)
Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006 )