Anda di halaman 1dari 31

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Aromaterapi

a. Defini Aromaterapi

Aromaterapi adalah suatu pengobatan alternatif dengan menggunakan

minyak essensial konsentrasi tinggi yang berasal dari ekstrak tumbuhan

aromatik (Watt & Janca, 2008; Lee, et al., 2011; Koensoemardiyah,

2009). Aromaterapi dapat mempengaruhi keadaan fisik dan psikis melalui

perubahan pada respon fisiologi, perilaku, dan dapat mengurangi

gangguan rasa nyaman pada suatu individu seperti cemas, depresi, nyeri,

dan sebagainya (Watt & Janca, 2008; Lee, et al., 2011).

Aroma berperan penting dalam mempengaruhi perasaan pasien,

namun sebenarnya kandungan zat kimia dalam jenis minyaklah yang

berperan menenangkan pasien secara farmakologis. Ada beberapa jenis

aromaterapi yang memiliki efek menenangkan diantaranya Lavender,

Chamomile, dan Vanila. Aromaterapi yang paling populer adalah

Lavender (Pande, et al., 2013).

Lavender adalah terjemahan dari “lavera” yang merupakan bahasa

latin, yang memiliki arti menyegarkan. Lavender adalah bunga yang

memiliki 25-30 spesies, salah satunya Lavendula Angustifolia (Prima


commit to user

5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dewi, 2011). Lavender memiliki kandungan utama berupa Linalool dan

Linalyl Asetat. Linalool memiliki efek menenangkan dan membuat

mengantuk, dan Linalyl Asetat memiliki efek kecanduan (Ali, et al.,

2015).

b. Manfaat

Seperti disebutkan diatas, aromaterapi dapat mempengaruhi fisik dan

psikis suatu individu. Aromaterapi sudah digunakan selama ribuan tahun

oleh masyarakat asli Amerika, Indian, Mesir dan rakyat Cina. Minyak

essensial tersebut digunakan sebagai agen penyembuhan, obat-obatan, dan

deodoran (Tiran, 1996). Namun, istilah aromaterapi pertama kali

dikemukan di awal abad 20 di Prancis oleh seorang dokter dan ahli kimia

bernama Rene-Maurice Gattefosse. Saat itu ia menyadari kemampuan

penyembuhan luka, antibakteri dan analgesik dari lavender saat terjadi

kecelakaan di laboratorium miliknya. Setelah itu, ia menerbitkan buku

yang berisi penelitiannya tentang efek antimikroba dari minyak tersebut

dan untuk pertama kali menggunakan istilah aromaterapi (Tiainen, 2014).

Price (2007), mengatalan bahwa sifat farmakologis dari lavender

mempunyai efek terapeutik yang mampu mempengaruhi sistem saraf

simpatis, parasimpatis dan sistem limbik yang dapat menyebabkan efek

relaksasi. Efek farmakologi untuk relaksasi yang dapat ditimbulkan oleh

lavender diantaranya adalah sifat analgesik, menurunkan kontraktilitas

otot lutik, efek menenangkan, efek sedatif, hipotensif, menurunkan


commit to user

6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

frekuensi jantung, antidepresan, antiansietas, antiinsomnia dan dapat

meningkatkan konsentrasi.

c. Metode Pemberian Aromaterapi

Synder & Lindquist (2006) dalam Rawiti, et al. (2014), menjelaskan

cara pemberian aromaterapi, sebagai berikut:

1. Pemberian melalui nasal

Pemberian aromaterapi dengan cara dihirup akan menyebabkan

molekul yang terdapat pada minyak esensial tersebut terbawa oleh

aliran turbulen ke langit-langit hidung. Terdapat bulu-bulu halus yang

merupakan juluran dari sel reseptor pada langit-langit hidung. Bulu-

bulu ini nanti akan mentransmisikan impuls melalui bulbus

olfaktorius dan traktus olfaktorius ke sistem limbik saat bulu-bulu ini

terkena molekul minyak tersebut. Proses diatas akan menstimulasi

memori dan emosional yang melewati hipotalamus bekerja dan akan

menyebabkan pesan tersebut dialirkan ke bagian otak dan tubuh

lainnya. Pesan tersebut akan menyebabkan terjadinya

pelepasanpelepasan zat neurokimia yang bersifat euforik, relaksan,

atau sedatif.

2. Pemberian topikal

Pemberian topikal dengan cara mengoleskan minyak esensial.

Proses penyerapan senyawa ini bermula ketika senyawa ini masuk

melewati epidermis kulit dan masuk ke dalam saluran limfe dan


commit to user

7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

darah, kelenjar keringat, serta saraf. Pada terapis aroma profesional,

pemberian topikal minyak esensial dilakukan dengan cara pemijatan.

Terapi dengan pijat menggunakan gerakan rutin yang teratur dengan

menggunakan satu atau dua tetes minyak esensial yang dilarutkan ke

dalam krim atau gel.

2. Kecemasan

a. Definisi

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggris “anxiety” yang berasal

dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci”

yang berarti mencekik (Trismiati, 2004). Kecemasan adalah suatu

gangguan perasaan yang ditandai dengan adanya perasaan ketakutan

atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, kepribadian

masih utuh, perilaku dapat terganggu namun masih dalam batas

normal (Hawari, 2008). Menurut Stuart (2006), kecemasan adalah

perasaan khawatir yang tidak jelas berkaitan dengan perasaan tidak

pasti dan tidak berdaya. Kecemasan tidak memiliki objek yang

spesifik. Kecemasan adalah suatu respon emosional terhadap sesuau

yang berbahaya.

Kecemasan merupakan hal yang normal ketika seseorang

dihadapkan ada situasi yang menekan atau mengancam dirinya, hal

ini merupakan respon psikologi dan fisiologis dari tubuh. Namun,

kecemasan yang berkepanjangan tentu tidak normal dan dapat

mengganggu aktivitas seseorang (Savitri, 2003). Kecemasan


commit to user

8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

merupakan suatu sinyal berupa perasaan tidak menyenangkan, yang

dapat diikuti oleh reaksi fisiologis seperti perubahan detak jantung

dan pernapasan yang memperingatkan adanya bahaya yang

mengancam dan memungkinkan untuk mengambil tindakan untuk

mengatas ancaman tersebut (Kaplan, et al., 2010).

b. Etiologi

Menurut Kaplan, et al. (2010), ada dua teori yang dapat

menjelasakan etiologi terjadinya kecemasan, yaitu teori psikologis

dan teori biologis.

1) Teori Psikologis

a) Teori Psikoanalitik

Kecemasan merupakan suatu sinyal yang meyadarkan ego

untuk mengambil tindakan terhadap suatu tekanan atau

ancaman. Lemahya ego dapat menyebabkan timbulnya suatu

ancaman yang memicu suatu kecemasan. Sumber ancaman

tersebut berasal dari dorongan yang bersifat insting. Ego

merupakan eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol pintu-

pintu ke arah tindakan, memilih respon apa yang akan diberikan

dan memutuskan insting mana yang akan dipuaskan dan

bagaimana caranya (Stuart, 2006; Kaplan, et al., 2010).

b) Teori Perilaku

Dalam teori ini dikatakan bahwa kecemasan dapat


commit to user

9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

disebabkan oleh stimuli lingkungan dan dapat dipelajari melalui

pengalaman individu. Pola pikir yang salah dan tidak produktif

dapat menyertai gangguan emosional. Penderita gangguan

cemas sering menilai rendah kemampuan dirinya dan menilai

lebih terhadap derajat bahaya yang diterimanya untuk

mengatasi suatu ancaman (Kaplan, et al., 2010; Videbeck,

2008).

c) Teori Eksistensial

Teori ini mengatakan bahwa tidak terdapat stimulus yang

dapat diidentifikasi secara spesifik untuk suatu perasaan

kecemasan kronis (Kaplan, et al., 2010).

2) Teori Biologis

Kaplan, et al. (2010) mengatakan bahwa penyebab kecemasan

dapat

dilihat dari segi biologis yaitu:

a) Sistem saraf otonom

Stimulasi pada sistem saraf otonom dapat menyebabkan

timbulnya gejala tertentu seperti takikardi, nyeri kepala, diare

dan nafas cepas. Manifestasi tersebut muncul saat subjek

mengalami kecemasan.

b) Neurotransmiter

commit to user

10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ada tiga neurotransmiter utama yang berhubungan

dengan kecemasan yaitu norepinefrin, serotonin, dan Gamma-

Aminobutyric Acid (GABA).

a. Norepinefrin

Teori tentang peranan norepinefrin dalam gangguan

kecemasan adalah bahwa seseorang yang mengalami

kecemasan dapat memiliki sistem noradrenergik yang

buruk dengan aktivitas yang kadang-kadang terjadi.

Badan sel sistem noradrenergik terutama terletak di lokus

seruleus di pons rostral dan badan sel ini menjulurkan

aksonnya ke korteks serebri, sistem limbik, batang otak,

dan medula spinalis. Berdasarkan hasil eksperimen pada

primata menunjukan bahwa stimulasi locus ceruleus

menyebabkan munculnya respon rasa takut pada hewan

tersebut dan ablasi pada daerah yang sama menghalangi

kemamuan hewan membentuk respon rasa takut. Temuan

yang kurang konsisten adalah pasien dengan gangguan

cemas, memiliki kadar noradrenergik yaitu 3-methoxy-4-

hydroxyphenylglycol (MHPG) dalam urin dan cairan

serebrospinal yang meningkat.

b. Serotonin

Badan sel neuron serotonergik sebagian besar

terletak di raphe nuclei di batang otak pars rostralis dan


commit to user

11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menyalurkan impulsnya ke korteks serebri, sistem limbik

dan hipotalamus. Serotonin berfungsi untuk persepsi

nyeri, agresivitas, dan mood. Kadar serotonin dan jumlah

reseptor 5HT1A, yang bersifat inhibitorik, yang menurun

dapat menyebabkan kecemasan (Bystritsky, et al., 2013).

Serotonin berperan dalam menghambat respons terhadap

situasi yang mengancam. Saat terancam, aktivitas dorsal

medial prefrontal korteks akan meningkat sebagai respons

terhadap ancaman tersebut, dan serotonin akan berperan

dalam menghambat respons tersebut. Saat terkena

paparan stress yang lama dan berulang-ulang, jumlah dari

reseptor inhibitor akan menurun, sehingga menurunkan

inhibisi terhadap respon tersebut (Chaouloff, et al., 1999).

Oleh karena itu, penggunaan obat SRRI dan obat

serotonergik dapat meningkatkan kadar serotonin

sehingga aktivitas dari dorsal medial prefrontal korteks

dapat terhambat (Robinson, et al., 2013).

c. Gamma-aminobutyric Acid (GABA)

GABA bersama dengan l-Glutamic acid

(glutamate), merupakan dua neurotransmitter utama otak

yang berperan untuk menjaga aktivitas sinyal di otak tetap

stabil. Glutamate berperan sebagai neurotransmiter

eksitatorik dan GABA berperan sebagai neurotransmiter


commit to user

12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

inhibitorik. Neurotransmiter GABA berperan dalam

menginhibisi transmisi sinaps yang mengatur memori,

emosi, dan kecemasan. Jika ikatan antara GABA dengan

reseptornya berkurang maka inhibisi ikut berkurang.

Ketika terjadi defisiensi GABA maka akan terjadi

hipereksitabilitas dikarenakan tidak seimbangnya antara

eksitasi dan inhibisi. Apabila hal tersebut terjadi pada

amigdala, maka akan menyebabkan timbulnya gejala

kecemasan, rasa was-was berlebihan, dan tidak dapat

mengendalikan emosi (Kim, et al., 2012).

Sistem GABAergic dipengaruhi oleh enzim

pembentuk GABA (GAD) dan reseptor GABA.

Menurunnya jumlah enzim Glutamic Acid Decarboxylase

(GAD) yang menyintesis glutamat menjadi GABA akan

menyebabkan kecemasan. Selain itu, perubahan pada

reseptor GABA juga dapat mempengaruhi inhibisi sinyal.

Perubahan pada GABA-A reseptor subunits α2 and α3

dapat menyebabkan kecemasan (Tzanoulinou, et al.,

2014).

d. Corticotrophin releasing hormone

Corticotropin-releasing hormone, atau

corticotropinreleasing yang dikeluarkan oleh hipotalamus

bagian nucleus ini tersusun dari asam amino dan


commit to user

13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diproduksi karena aktivitas regulasi pada HPA axis,

ataupun pada ekstra hipotalamus, yaitu amygdala, korteks

prefrontal medius, serta bed nucleus of stria terminalis

(BNST). Jika terjadi peningkatan CRF lalu berikatan

dengan reseptornya yaitu Corticotropin-releasing

Hormone Reseptor 1 (CRHR1), akan menyebabkan gejala

kecemasan. CRF menjadi faktor penting pada gangguan

kecemasan yang disebabkan oleh stres (Heitland, et al.,

2013).

Pada amigdala, nucleus basolateralis memiliki jumlah

reseptor CRF paling banyak. Sedangkan nucleus centralis

memiliki neuron-neuron yang mengekspresikan CRF,

walaupun reseptor CRF pada nucleus ini ekspresinya

tidak sekuat pada nucleus basolateralis. Sehingga ketika

tikus putih diinjeksi CRF pada nucleus basolateralis,

terjadi peningkatan gejala kecemasan. Nucleus

basolateralis dan nucleus centralis menjadi 2 bagian di

amigdala yang menyimpan memori mengenai rasa takut

dan kecemasan (Gafford, 2015)

BNST berperan penting dalam mekanisme stres,

kecemasan, dan rasa takut. BNST memiliki kemiripan

dengan amigdala karena keduanya sama-sama menerima

informasi dalam bentuk yang sama, dan kaya akan


commit to user

14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

neuropeptida CRF. Apabila terjadi stres, maka jumlah

CRF dalam BNST meningkat dan menyebabkan aktivasi

dari CRF1 reseptor atau CRF2 reseptor (Sink, et al.,

2013).

c. Patofisiologi

Manusia selalu dipengaruhi oleh rangsangan eksternal maupun

internal berupa pengalaman, lingkungan dan faktor genetik.

Rangsangan tersebut ditangkap oleh panca indera dan diteruskan ke

sistem saraf pusat. Apabila rangsangan tersebut ditafsirkan sebagai

sebuah ancaman, maka respon yang timbul adalah kecemasan. Dalam

sistem saraf pusat, proses tersebut melibatkan jalur Cortex cerebri –

Limbic sistem RAS (Reticular Activating System) – Hypothalamus

yang menylurkan impuls ke kelenjar hipofise untuk mensekresikan

mediator hormonal terhadap target organ yaitu kelenjar adrenal, yang

kemudian akan mendorong sistem saraf otonom melalui mediator

hormonal lain. Kecemasan akan timbul dikarenakan hiperaktifitas

dari sistem saraf otonom (Mudjaddid, 2006).

Bhatt (2016) mengatakan bahwa dalam sistem saraf pusat

terdapat mediator-mediator utama penyebab timbulnya gejala-gejala

kecemasan yaitu norepinefrin, serotonin, dan GABA. Sitem saraf

otonom yang berada di perifer, terutama sistem saraf simpatis juga

berperan dalam timbulnya gejala kecemasan (Bhatt, 2016).

commit to user

15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d. Gejala Klinis

Kecemasan merupakan suatu gangguan yang ditandai adanya

perubahan kondisi psikis dan seringkali diikuti oleh gejala otonomik

seperti gelisah, khawatir berlebihan, susah konsentrasi, nyeri kepala,

dan gangguan lambung ringan (Kaplan, et al., 2010).

Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III (PPDGJ-

III) menyebutkan bahwa gangguan kecemasan memiliki beberapa

gejala seperti dibawah ini:

1) Kecemasan atau khawatir berlebihan bahwa akan bernasib buruk

2) Sulit konsentrasi

3) Ketegangan motorik, seperti:

a. Gelisah

b. Sakit kepala

c. Gemetar terus menerus

4) Overaktivitas otonomik, seperti:

a. Kepala tarasa ringan

b. Berkeringat

c. Jantung berdebar-debar

d. Sesak napas

e. Keluhan lambung ringan

f. Pusing kepala

g. Mulut kering

commit to user

16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Untuk menegakkan diagnosis, gangguan kecemasan haruslah

menjadi keluhan dan gejala utama dari pasien selama beberpa minggu

sampai beberapa bulan dan tidak hanya menonjol pada situasi tertentu

saja.

e. Klasifikasi Tingkat Kecemasan

Stuart & Laraia (2005), menyebutkan bahwa ada empat tingkat

kecemasan antara lain adalah: kecemasan ringan, kecemasan sedang,

kecemasan berat dan panik.

1) Mild Anxiety (kecemasan ringan)

Adalah kecemasan yang terjadi karena kejadian sehari-sehari

selama hidup. Pada kecemasan ringan seseorang akan lebih

waspada dan lebih peka terhadap apa yang dilihat, didengar dan

dirasakan di lingkunganya. Kecemasan ini dapat mempengaruhi

seseorang untuk belajar dan menjadi dewasa. Manifestasi dari

kecemasan sedang adalah kelelahan, dapat belajar dengan baik,

motivasi meningkat, dan tingkah laku sesuai situasi.

2) Moderate Anxiety (kecemasan sedang)

Kecemasan sedang akan membuat seseorang fokus pada

masalah yang dihadapi dan akan mempersempit pandangannya

sehingga apa yang dilihat, didengar dan dirasakan akan lebih

sempit. Manifestasi dari kecemasan sedang adalah kelelahan

meningkat, denyut jantung dan laju pernapsan meningkat,


commit to user

17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi,

konsentrasi menurun, mudan tersinggung, tidak sabar, mudah

lupa, marah dan menangis.

3) Severe Anxiety (kecemasan berat)

Akan lebih mempersempit pandangannya secara signifikan

sehingga akan fokus pada sumber kecemasan, perilaku yang

kemudian muncul merupakan respon untuk mengurangi

kecemasan. Manifestasi yang muncul adalah pusing, sakit kepala,

mual, insomnia, diare, bingung, dan disorientasi.

4) Panik

Munculnya perasaan takut karena kehilangan kendali atas

dirinya sendiri. Tanda dan gejala yang terjadi adalah susah

bernafas, dilatasi pupil, pucat, pembicaran inkoheren, tidak dapat

merespon perintah sederhana, berteriak, menjerit, halusinasi dan

delusi.

f. Tatalaksana

Tatalaksana kecemasan dapat berupa terapi farmakologis dan

terapi non farmakologis.

1) Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis yang diberikan sebagai terapi kecemasan

pada umumnya memiliki efek untuk mengubah level

meurotransmiter yang berpengaruh dalam patofisiologi


commit to user

18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kecemasan. Terapi farmakologis kecemasan yang biasanya

digunakan adalah benzodiazepin dan antidepresan yang antara

lain golongan Selective Serotonine Reuptake Inhibitor

(SSRI), Serotonin-Norepinephrine Reuptake

Inhibitors (SNRIs) dan Monoamine Oxydase Inhibitor (MAO-I)

(Bhatt, 2016).

a) Benzodiazepin

Benzodiazepin bekerja dengan cara berikatan dengan

reseptor GABA-A, pengikatan ini akan menyebabkan

terbukanya kanal klorida, yang memungkinkan masuknya

ion klorida ke dalam sel, yang menyebabkan meningkatnya

potensial elektrik membran sel dan akan menyebabkan sel

sulit terangsang (Gunawan, et al., 2012). Contoh obat

golongan ini adalah diazepam, alprazolam, oxazepam,

nitrazepam, temazepam, lorazepam, clonazepam dan

midazolam. Efek samping yang sering timbul berupa

delirium, gangguan berjalan, hipotermi, dan dapat

menyebabkan ketergantungan (Soerjono, et al., 2006)

b) Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)

Golongan antidepresan SSRI bekerja dengan cara

menahan reabsorpsi serotonin ke otak sehingga kadar

serotonin bebas meningkat. SSRI digunakan sebagai lini

pertama farmakoterapi untuk pasien kecemasan (Closs &


commit to user

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ferreira, 2008). Obat yang termasuk ke dalam golongan ini

adalah fluoksetin, sertralin, flufoksamin, dan paroksetin.

Efek samping yang dapat muncul yaitu gejala

gastrointestinal, difungsi seksual, dan gangguan tidur

(Arozal & Gunawan, 2007).

c) Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs)

SNRI bekerja dengan meningkatkan kadar serotonin

dan norepinefrin dengan menghambat reabsorpsinya. Obat

yang termasuk golongan ini adalah venlafaxine,

desvenlafaxine dan duoloxetine. Efek dari obat ini adalah

eksaserbasi karena jumlah neurotransmitter norepinefrin

yang terlalu banyak sehingga menimbulkan gejala

kecemasan (Bystritsky, et al., 2013).

d) Monoamine Oxydase Inhibitor (MAO-I)

MAO-I bekerja dengan meningkatkan kadar

neurotransmiter seperti norepinefrin dan serotonin di sinaps

melalui penghambatan pada kerja MAO, yaitu enzim yang

bekerja mendegradasikan neurotransmiter amin biogenik

(Prayitno, 2008).

Contoh obat golongan ini adalah fenelzin dan

tranilsipromin. Efek samping yang sering timbul yaitu

hipotensi postural, disfungsi seksual, dan beberapa efek

samping yang lebih berat, sehingga obat ini digunakan sebagai


commit to user

20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

alternatif apabila seseorang tidak respon terhadap pengobatan

dengan SSRI (Brunton, et al., 2011).

2) Terapi Non farmakologis

a) Relaksasi

Relaksasi adalah teknik dalam terapi perilaku yang

dikemukakan oleh Jacobson dan Wolpe untuk mengurangi

ketegangan atau kecemasan (Ramadhani & Adiyos, 2011).

Relaksasi bertujuan untuk mengurangi stres atau ketegangan

jiwa. Relaksasi dilakukan dengan cara mengencangkan atau

melonggarkan otot tubuh yang diikuti dengan

membayangkan sesuatu yang indah, menyenangkan dan

damai. Dapat pula dengan cara mendemgarkan musik atau

bernyanyi (Gunawan, 2012).

b) Distraksi

Distraksi adalah cara untuk mengurangi kecemasan

dengan mengalihkan perhatian pada hal lain sehingga pasien

diharapkan lupa terhadap kecemasan yang dialaminya.

Distraksi bertujuan agar dapat menstimulasi pelepasan

endorfin yang dapat menghambat stimulus cemas. Salah satu

yang efektif adalah dengan memberikan dukungan spiritual

seperti membacakan doa-doa sesuai agama dan keyakinan

dari pasien (Potter & Perry, 2006).

c) Humor
commit to user

21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kemampuan untuk menyerap hal-hal lucu dan tertawa

melenyapkan stres. Hipotesis menyatakan bahwa tertawa

dapat menstimulasi pelepasan endorfin ke dalam sirkulasi

dan melenyapkan perasaan stres (Potter & Perry, 2006).

d) Aromaterapi

Aromaterapi adalah terapi menggunakan minyak

essensial yang dapat mengurangi atau mengatasi gangguan

rasa nyaman seperti cemas, depresi, nyeri dan sebagainya

(Watt & Janca, 2008). Terapi ini masuk kedalam tubuh

melalui hidung dan akan memperngaruhi sistem limbik

sehingga dapat membuat perasaan pasien menjadi lebih

tenang (Pengelly, 2003).

3. Stres Kronik

a. Definisi

Istilah stres pertama kali dijabarkan oleh Hans Selye (1936

dalam Szabo, et al., 2010) yang mengatakan bahwa stres adalah

respon tidak spesifik tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan

padanya. Stres juga merupakan suatu pengalaman emosional yang

negatif yang disertai dengan perubahan biokimia, fisiologi, kognitif,

dan perilaku untuk mengubah keadaan stres tersebut atau

menyesuaikan diri terhadap efeknya (Taylor, et al., 2009). Stres

merupakan respon tubuh saat menghadapi sebuah kondisi yang


commit to user

22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dianggap membahayakan, dimana respon tersebut bergantung pada

berbagai stresor dan individu itu sendiri (Pinel, 2009).

Paparan stresor dalam jangka waktu yang lama dapat

menginduksi timbulnya stres kronik yang dapat menimbulkan

gangguan pada tubuh, stres kronik menandakan tingkat stres yang

berat pada individu (Taylor, 2009).

b. Faktor stres (stresor)

Stresor adalah suatu keadaan atau pikiran yang dirasakan atau

dipersepsikan sebagai suatu ancaman yang dapat mengganggu

mekanisme homeostasis atau penyebab timbulnya stres. Stresor

dapat berasal dari dalam maupun luar individu itu sendiri (Maramis

& Maramis, 2009).

Lazarus & Cohen (1977 dalam Fink, 2010) mengklasifikasikan

stresor menjadi tiga, yaitu:

1) Catalysmic events

Stres yang bersumber dari suatu kejadian besar atau tiba-tiba

terjadi, fenomena penting yang mempengaruhi banyak orang,

contohnya adalah bencana alam, demonstrasi, kebakaran.

2) Personal stressors

Stresor yang bersumber dari kejadian penting yang terjadi pada

individu, seperti perceraian, kematian seseorang yang dicintai,

dan pensiun.

3) Background stressors
commit to user

23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pertikaian dan permasalah yang biasa terjadi setiap hari, seperti

masalah dalam pekerjaan atau masalah pada kegiatan sehari-hari.

c. Patofisiologi

Ketika tubuh terpapar oleh suatu stresor, tubuh akan

memberikan respon untuk menghadapinya. Respon stres

diantaranya berupa respon saraf dan hormon yang melakukan

mekanisme pertahanan terhadap kondisi tersebut. Respon ini

berhubungan dengan fungsi saraf simpatis dan HPA axis yang dapat

mempengaruhi fisiologis tubuh (Taylor, et al., 2009).

Sistem saraf simpatis meresponnya dengan menstimulasi

aktivasi dari organ dan otot polos yang berada di bawah

pengendaliannya, seperti meningkatkan denyut jantung dan

mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga merangsang medula

adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke sirkulasi.

HPA axis yang juga diaktifkan kerena merespon munculnya stresor

kemudian akan mengeluarkan hormon-hormon yang bekerja sesuai

organ targetnya dan menstimulasi perubahan aktifitas fisiologis

tubuh, seperti perubahan metabolisme. Kombinasi dari berbagai

hormon stres yang dilepaskan dengan aktivitas neural simpatis

berperan dalam tahapan-tahapan terjadinya stres (Alkhadi, 2013).

commit to user

24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Hans Selye (1974 dalam Szabo, et al., 2012) mengemukakan

teori terkait tahapan stres yang disebut General Adaptation

Syndrome (GAS), yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu:

1) Alarm response

Respons tubuh terhadap stresor untuk pertama kalinya.

Respons ini menyebabkan munculnya mekanisme pertahanan

diri yang diawal dengan aktivasi neuroendokrin yang terdiri

atas sistem saraf simpatis dan HPA axis. Respons ini disebut

dengan “fight-or-flight”.

2) Stage of resistance

Tahapan dimana tubuh berupaya untuk mempertahankan

dirinya menghadapi stres yang berkepanjangan. Pada tahapan

ini, sistem neuroendokrin teta mengeluarkan hormon-hormon

stres tetapi tidak setinggi saat alarm response.

3) Stage of exhaustion

Pada tahapan ini terjadi penurunan resistensi, sehingga

muncul kemunduran fisik dan psikis. Tahapan ini berlangsung

jika stresor terus berlanjut atau muncul stresor baru yang

menyebabkan maladaptasi dan memperburuk keadaan, bahkan

dapat menimbulkan berbagai macam penyakit.

d. Tipe Stres

commit to user

25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Stres dibagi menjadi dua jenis stres, yaitu eustres dan distres.

Eustres adalah respon terhadap stres yang bersifat positif, sehat, dan

konstruktif (bersifat membangun) yang menjadikan tubuh memiliki

kemampuan untuk beradaptasi sehingga tidak memunculkan

keadaan patologis dan biasanya hanya berlangsung sebentar.

Distres adalah respon terhadap stres yang bersifat negatif, tidak

sehat, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk

konsekuensi individu terhadap penyakit sistemik dan tingkat

ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan

dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian (Selye, 1974 dalam

Szabo, et al., 2012).

Berdasarkan durasinya, stres dibagi menjadi 3 tipe yaitu stres

akut, stres episodik, dan stres kronik. Stres akut adalah stres yang

timbul hanya sesaat setelah seseorang mengalami suatu kejadian

tertentu. Stres episodik adalah stres yang timbul saat adanya

tantangan dan mempunyai pola tertentu, seperti pada siswa yang

akan mengikuti ujian akan mengalami stres yang dimulai pada saat

pengumuman waktu ujian sampai ujian tersebut selesai sepenuhnya.

Stres kronik adalah stres yang berlangsung dalam jangka waktu

yang cukup lama (Payne & Hahn, 2002 dalam American

Psychological Association, 2016).

e. Pengaruh stres terhadap tubuh


commit to user

26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut The American Institute of Stress (2011), pengaruh dari

stres dapat berupa pengaruh psikologis dan fisiologis. Pengaruh

pada psikologis yang muncul antara lain berupa pelupa, disorientasi,

suasana hati berubahubah, menurunnya nafsu makan, meningkatnya

kecemasan dan perasaan sedih, perilaku yang obsesif-kompulsif,

dan perasaan lelah, sedangkan pengaruh fisiologis akibat stres,

antara lain berupa meningkatnya detak jantung, meningkatnya

tekanan darah, tonus otot yang meningkat, sulit bernapas.

f. Stres kronik pada tikus

Stresor yang sengaja diberikan untuk menginduksi suatu afek

tertentu atau perubahan aktivitas neuroendokrin sudah banyak

digunakan dalam eksperimen menggunakan hewan coba seperti

tikus. Oleh sebab itu, protokol tikus model stres sudah banyak

dibuat dan di standardisasi, dengan tujuan untuk memperoleh

modifikasi neuroendokrin, respon biologis dan perilaku tertentu,

paling sering adalah depresi dan kecemasan, yang kemudian

diharapkan dapat bermanfaat dan berguna dalam perkembangan

teori gangguan mood dan tatalaksanya (Gambarana, 2006).

Ada beberapa macam pemberian paparan stres pada tikus,

yaitu model stres akut, stres kronik, dan stres adaptif. Pada paparan

model stres akut, akan terjadi peningkatan aktivitas motorik tikus.

Sedangkan pada model stres kronik, akan terjadi penurunan


commit to user

27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

aktivitas pada tikus. UCMS merupakan salah satu contoh dari model

stres kronik yang memiliki validitas tinggi jika dibandingkan

dengan paparan stres jenis lain karena memiliki kemiripan dengan

stresor pada kehidupan sehari-hari yang tidak dapat diprediksi. Pada

UCMS, hewan mendapat paparan stres terus menerus selama

minimal 14 hari, dengan jenis dan waktu yang acak. Hal ini

bertujuan agar hewan tidak dapat beradaptasi. Pemberian UCMS

akan meyebabkan terjadinya perubahan perilaku dan gangguan

neurobiologis. (Bondi, et al., 2007; Nollet, et al., 2013; Chakravarty,

et al., 2013).

4. Pengaruh Stres terhadap Kecemasan

Stres merupakan respon pertahanan diri terhadap stresor yang berasal

dari dalam maupun luar tubuh. Namun, paparan stresor yang berlebihan

dan dalam jangka waktu yang lama pada otak dapat menyebabkan

terjadinya kerusakan struktur otak dan penurunan level faktor neurotropik

oleh karena efek neurotoksiknya terhadap kortisol dan neuroinflamasi.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya neurodegenerasi yang dapat

menimbulkan gangguan pada fungsi kognitif, emos dan perilaku (Nollet,

et al., 2013; Stehpanicev, et al., 2014; Pittenger & Duman, 2008).

Pada saat stres, kortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal

meningkat sehingga dapat meningkatkan faktor ansiogenik salah satunya

adalah serotonin sehingga muncul gejala kecemasan. Ketika mengalami


commit to user

28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

stres tubuh kan mengirimkan impuls ke dorsal raphe nucleus dan akan

mengaktivasi serotonin neuron. Aktivasi ini disebabkan oleh stresor

antara lain CRF/CRH, terutama saat CRF meningkat dan CRF berikatan

dengan CRFR2. Serotonin memiliki 2 reseptor utama yaitu 5HT1A

reseptor yang bersifat inhibitorik dan 5HT2A reseptor yang bersifat

eksitatorik. Meningkatnya kadar serotonin saat terjadi stres kronis

disebabkan karena menurunnya jumlah 5HT1A reseptor yang bersifat

menghambat aktivitas neuron. Reseptor ini bekerja pada daerah di otak

yang berfungsi untuk pengatur mood dan kecemasan, yaitu prefrontal

cortex, hipokampus, dan amigdala. Jika kadar 5HT1A reseptor menurun

maka inhibisi dari aktivitas neuron akan berkurang dan dapat terjadi

hiperaktivitas neuron sehingga muncul gejala kecemasan (Albert, et al.,

2014)

Meningkatnya serotonin pada saat stres juga dapat terjadi saat

serotonin berikatan dengan reseptornya yaitu 5-HT2C reseptor yang

bersifat eksitatorik. Hal ini dapat mengaktifkan basolateral amigdala yang

kaya akan GABA dan berperan dalam mekanisme kecemasan. Aktivasi

basolateral menyebabkan reseptor GABAA dan reseptor 5-HT2C berada

pada lokasi yang sama sehingga terjadi penurunan kemampuan inhibisi

oleh GABA (Christianson, et al., 2010). Peningkatan serotonin yang

distimulasi oleh stres juga dapat menghambat kerja GABA. Ketika CRF

meningkat dan mengaktifkan serotonin, serotonin akan menghambat

produksi CRF agar kecemasan menurun tetapi mekanisme feeback negatif


commit to user

29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ini akan terjadi apabila jumlah reseptor serotonin di BNST seimbang dan

terjadi saat stres akut karena kadar dari serotonin tidak berlebihan (Daniel

& Rainnie, 2015; Ciranna, 2006).

Amigdala berperan dalam respons stres dan kecemasan. Tingginya kadar

CRF sering ditemukan pada 2 tempat yaitu Central Amigdala (CeA) dan

Bed Nucleus of Stria Terminalis (BNST). Reseptor CRF lebih banyak

dibanding tepat lain dan terdapat neuron yang memproduksi CRF pada

tempat tersebut. Pada resting condition, amigdala akan diinhibisi oleh

GABA dan kerja neuronnya rendah. Tetapi saat stres, CRF akan

meningkat dan menyebabkan transmisi glutamat di amigdala meningkat.

Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik. Adanya eksitasi pada

amigdala membuat sensitivitas individu terhadap lingkungan sekitarnya

akan meningkat dan timbulnya rasa was-was. Selain amigdala, BNST

juga menggunakan GABA sebgai neurotransmitter utama neuronnya, jika

jumlah GABA yang dapat diikat oleh reseptornya menurun, maka proses

inhibisi pun berkurang (Daniel & Rainnie, 2015).

Saat resting condition, amigdala akan di inhibisi oleh GABA dan

menurunkan kerja neuron. Tetapi pada stres, peningkatan CRF akan

meningkatkan transmisi glutamat di amigdala. Glutamat merupakan

neurotransmitter eksitatorik sifatnya berlawanan dengan GABA sebagai

neurotransmitter inhibitorik. Jika terjadi eksitasi atau disinhibisi pada

amigdala akan meningkatkan sensitivitas individu dan rasa was-was

terhadap lingkungannya. Selain itu, CRF juga faktor terjadinya delesi


commit to user

30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pada GABA- receptor, sehingga jumlah GABA yang berikatan dengan

reseptornya berkurang. BNST juga menggunakan GABA sebagai

neurotransmitter utama pada neuronnya, jika terjadi penurunan jumlah

GABA yang diikat oleh reseptor, maka proses inhibisi pada BNST

berkurang (Daniel & Rainnie, 2015) Hal ini membuktikan pendapat Ito

(2010) bahwa paparan stres terus menerus menurunkan aktivitas

presynaptic GABAergic interneuron yang menyebabkan penurunan

jumlah GABA yang dihasilkan ke sinaps.

Saat terjadi stres dan nyeri, dopamin akan diproduksi dan akan

menstimulasi transmisi eksitatorik pada BNST. Hal ini dapat terjadi scara

langsung dan tidak langsung. Secara langsung, dopamin akan mestimulasi

CRF neuron pada BNST. Secara tidak langsung, dopamin akan

terlebihdahulu menstimulasi CRF pada CeA, lalu CRF pad CeA akan

menstimulasi sekresi CRF di BNST (Gafford, 2015).

5. Pengaruh Aromaterapi Lavender terhadap Kecemasan

Minyak esensial yang diekstrak dari tanaman aromatik telah

digunakan untuk aromaterapi sejak dulu (Gedney, et al., 2004). Minyak

esensial tersebut dapat diserap ke dalam tubuh melalui sistem pernapasan,

kontak langsung dengan kulit ataupun dengan konsumsi oral. Menurut

Woronuk, et al. (2011), absorbsi melalui saluran pernapasan dapat terjadi

melalui dua cara, pertama, terjadi absorbsi pada paru-paru dan saluran

hidung lalu masuk ke alirancommit


darah, to
memicu
user senyawa aktif ke sistem saraf

31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pusat dan memperngaruhi neurotransmiter dan yang kedua, transmisi

melalui sistem penciuman, lalu akan menembus sawar darah otak, dan

senyawa–senyawa akan mencapai sistem saraf pusat melalui jalur saraf

penciuman.

Aromaterapi Lavender memiliki kandungan utama berupa Linalool dan

Linalyl Asetat. Linalool memiliki efek relaksasi dan membuat

mengantuk, dan Linalyl Asetat memiliki efek kecanduan (Ali, et al.,

2015). Efek relaksasi dari Linalool bermula ketika senyawa tersebut

menembus sawar darah otak setelah masuk ke dalam tubuh melewati

sistem penciuman. Linalool akan berikatan dengan reseptor GABA dan

akan menyebabkan efek serupa dengan benzodiazepin saat diberikan

kepada pasien dengan gangguan kecemasan, yaitu relaksasi dan sedatif.

Pada pasien dengan gangguan kecemasan, ada dua hal yang dapat

menyebabkan munculnya gejala kecemasan, yaitu menurunnya jumlah

enzim Glutamic Acid Decarboxylase/GAD (enzim pembentuk GABA)

dan adanya perubahan atau gangguan pada reseptor GABA. Ketika terjadi

penurunan jumlah enzim pembentuk GABA, maka akan menyebabkan

aktivitas sinyal di otak menjadi tidak stabil oleh karena terjadinya

hipereksitabilitas. Terjadinya hipereksitabilitas tersebut disebabkan karena

berkurangnya inhibisi oleh GABA seiring dengan berkurangnya GABA

yang berikatan dengan reseptor GABA (Kim, et al., 2012; Tzanoulinou, et

al., 2014; Sayorwan, et al., 2012).

commit to user

32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Aromaterapi juga dapat mempengaruhi perasaan seseorang

dengan cara meningkatkan kadar neurotransmiter, diataranya adalah

serotonin, noradrenalin, dan endorfin (Cheng, et al., 2015). Serotonin

berperan dalam menghambat respons terhadap situasi yang mengancam,

ketika terancam aktivitas dorsal medial prefrontal korteks akan meningkat

sebagai respons terhadap ancaman. Saat jumlah serotonin menurun, peran

serotonin sebagai inhibitor akan berkurang dan respons terhadap ancaman

tersebut akan meningkat (Robinson, et al., 2013).

commit to user

33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lavender

commit to user

34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis

Aromaterapi lavender (Lavandula angustifolia) dapat menurunkan

kecemasan pada tikus putih (Rattus novergicus) setelah dipapar

unpredictable chronic mild stress

commit to user

35

Anda mungkin juga menyukai