Anda di halaman 1dari 9

Pancasila and Covenantal Pluralism in Indonesia: A Historical Approach

Transformation 2022, Vol. 39(2) 91–98 © The Author(s)2021 Article reuse guidelines:
sagepub.com/journals-permissions DOI: 10.1177/02653788211069971
journals.sagepub.com/home/trn
PP 91-97
Introduction
Page 91
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok,
India, dan Amerika Serikat. Berdasarkan penjabaran Worldometer informasi terkini PBB, jumlah
penduduk Indonesia saat ini sebanyak 276.596.273 jiwa per Minggu 26 Juli 2021. Salah satu
pulau dengan populasi terpadat di dunia adalah Pulau Jawa. Selain itu jumlah penduduknya,
Indonesia juga kaya dengan keberagamannya. Greetz, misalnya, berbicara tentang hal itu
keberagaman, “Ada lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang berbeda di Indonesia, masing-
masing dengan keunikannya masing-masing identitas budayanya sendiri, dan lebih dari dua ratus
lima puluh bahasa berbeda digunakan. . hampir semua agama penting di dunia terwakili, selain
sejumlah besar agama asli” (Geertz, 1963, 24). Kemudian, Sukarno sebagai presiden pertama
Indonesia menetapkan Pancasila sebagai ideologi dan teori dasar bangsa Indonesia untuk
merangkul keberagaman. di Indonesia (bhinneka tunggal ika). Oleh karena itu, pasal ini
berpendapat bahwa Pancasila mengedepankan pluralisme perjanjian di Indonesia. Untuk
mencapai tujuan tersebut, penelitian ini secara singkat akan menggunakan pendekatan sejarah
Pendekatan Historis: Sejarah Indonesia
Pada bagian ini artikel ini akan membahas tentang keberagaman yang ada di Indonesia, baik
agama, suku, dan sebagainya pentingnya Pancasila untuk mempersatukan mereka.
Etnis di Indonesia
Indonesia mempunyai lebih dari 400 suku bangsa. Namun, secara umum, ada dua hal utama
pengelompokan di Indonesia berdasarkan wilayahnya: wilayah barat dan timur. Sementara
sebagian besar penduduk asli di wilayah barat berasal dari etnis melayu, orang papua dari
Kepulauan Melanesia berada di wilayah timur. Selain itu, ada kelompok etnis lain dengan bahasa
mereka sendiri yang mendiami Jawa Timur atau Tengah (Jawa), Jawa Barat (Sunda), dan
Sumatera Utara (etnis Batak). Indonesia pun menjadi incaran negara tujuan para saudagar
tersebut sejak abad ke-8. Mereka tidak hanya bertukar dagang, tapi juga merantau ke Indonesia.
Nyanyian mer ini sebagian besar berasal dari Arab, India, Portugal, dan China. Bagi orang
Tionghoa, populasinya hampir 4% dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 1930an (Chia et
al., 2019). Pendeknya, Penduduk Indonesia telah diperkaya dengan keberagaman etnisnya.
Page 92
Agama di Indonesia
Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Hefner (2020) menyatakan bahwa 87,2%
penduduknya menganut agama Islam. Penduduk sisanya terdiri dari Protestan dan Katolik
(9,90%);Hindu (1,69%); Penganut Buddha (0,72%) dan Konghucu (0,05%). Di antara enam
keyakinan yang diketahui, hanya umat Budha dan Hindu saja yang menganut agama politeisme.
Mengapa Indonesia mempunyai banyak agama? Secara historis, para pedagang India membawa
agama Hindu dan Budha pada abad kedua dan keempat sedangkan mereka datang ke Pulau
Sumatera, Jawa, dan Sulawesi (Chia et al., 2019). Akibatnya, empat kerajaan terkemuka Hindu
dan Budha muncul pada abad tersebut: Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Syailendra. Dinasti
Sanjaya misalnya, membangun candi Prambanan pada abad ke-8 sebagai agama Hindu
monumen di Indonesia. Kerajaan Sailendra sebaliknya membangun candi Borobudur pada tahun
ke abd sebagai candi Budha di Yogyakarta. Pada abad pertengahan, para pedagang Muslim
berdatangan Indonesia pada abad ke-13 dan memperluas pengaruh Islam melalui pantai barat
Sumatera dan Jawa Timur. Alhasil, kerajaan Demak, Pajang, Mataram, dan Banten dibangun
berdasarkan keyakinan Islam. Katolik dan Protestan dibawa oleh orang barat ke Indonesia
melalui perdagangan, tetapi terutama melalui kolonisasi. Misalnya, kolonialisme Portugis
memperkenalkan agama Katolik Flores, Indonesia pada abad ke-16. Belanda membawa agama
Protestan dan menyebarkannya di Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan melalui 350
tahun penjajahan. Singkatnya, keberagaman agama di Indonesia tidak lepas dari negara-negara
lain yang membawa agamanya masing-masing
Presiden Pertama Indonesia
Presiden pertama, Kusno Sosrodihardjo yang dikenal dengan nama Soekarno, lahir pada tanggal
6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya, Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang Muslim dan guru
sekolah di Jawa. sedangkan ibunya adalah penganut agama Hindu dari Kerajaan Singaraja
(Buleleg) Bali. Ida Ayu Nyoman Rai, ibunda Sukarno, adalah seorang kasta Brahmana.
Akibatnya, Soekarno terbongkar terhadap keberagaman agama dari orang tuanya sejak dini. Dia
belajar Islam dari ayahnya dan mengenal agama Hindu dan Budha dari ibunya. Selain orang
tuanya, kakek dan neneknya juga mengajarinya ilmu kebatinan, animisme, dan budaya Jawa.
Pengasuhnya, Sarinah, juga berpendidikan Soekarno seorang humanisme (Chia et al., 2019).
Latar belakang sejarah ini mengungkapkan keadaan Indonesia presiden pertama diperkaya
dengan keberagaman dari keluarganya. Selain latar belakang keluarga, Alfian (1980)
menyebutkan bahwa Soekarno juga dipengaruhi oleh Pemikir Sosialis Barat (Karl Marx: 1818–
1883), nasionalis Muslim (Tjokroaminoto dan K. H. Ahmad Dahlan), dan modernis Muslim
(Muhammad ‘Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani). Alhasil, Soekarno menyintesis pemikiran
tersebut ke dalam artikelnya yang bertajuk “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang
muncul pada tahun 1926 di majalah Suluh Indonesia Muda (Soekarno, 1984). Dalam artikel
tersebut, Soekarno mengemukakan tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dapat
membentuk satu gelombang pasang yang sangat besar dan tak tertahankan” karena “hanya
kesatuan inilah yang akan terjadi membawa kami pada realisasi impian kami: Indonesia
Merdeka” (Soekarno, 1984). Hal ini mengungkapkan bahwa Gagasan persatuan adalah tujuan
utama pandangan politik Sukarno. Dia percaya itu kemerdekaan Indonesia hanya dapat dicapai
dengan persatuan nasional. Advokasinya terhadap persatuan ditunjukkan oleh pernyataannya:
“Saya bukan seorang Komunis, saya tidak memihak pihak mana pun! aku hanya mendukung
persatuan – Persatuan Indonesia – dan persahabatan antara semua gerakan kita yang berbeda”
(Soekarno, 1984)
Page 93
Lahirnya Pancasila
Karena keberagaman yang dimiliki Indonesia, Sukarno berkeinginan untuk menyatukan berbagai
aliran pandangan dunia dengan mereka berbagai nilai menjadi sebuah konsep umum tentang cara
hidup tanpa menghilangkan dinamika sehat yang terkandung dalam masing-masing nilai tersebut
(Chia et al., 2019). Oleh karena itu, Soekarno menyampaikan pidato yang monumental 1 Juni
1945 tentang Pancasila (Alfian, 1980, 9–10). Pancasila menyatukan berbagai aliran kepercayaan,
budaya, berpikir menjadi satu komunitas yang beragam. Pancasila menawarkan kebebasan dan
pluralitas agama bagi masyarakat Indonesia. Pancasila menganut bhinneka tunggal ika atau
keberagaman dalam kesatuan. Pancasila memastikan bahwa Indonesia adalah negara demokratis.
Pancasila menjadi asas dasar negara Indonesia. Pancasila adalah berasal dari dua kata Sankerta:
panca berarti lima dan sila berarti prinsip. Dengan kata lain, Pancasila merupakan lima asas yang
saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan untuk menjamin bhinneka tunggal ika atau kesatuan
dalam keberagaman. Berikut lima prinsip tersebut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2kemanuasiaa yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan demokratis dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Namun Pancasila dapat diringkas menjadi tiga sila atau trisila. Pertama, yang kedua dan sila
ketiga adalah sosio-nasionalisme yang terdiri dari internasionalisme dan nasionalisme. Kedua,
sila keempat dan sila kelima adalah sosial demokrasi yang menganut asas tersebut demokrasi dan
kesejahteraan sosial. Ketiga, prinsip pertama menunjukkan aspek spiritual negara yang beriman
kepada Tuhan (Soekarno, 1986). Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kermendekaan
Indonesia (BPUKI) atau Penyidik Panitia Kerja Persiapan Kemerdekaan sangat menyambut baik
pidato Bung Karno dan mereka terbentuk masa yang beranggotakan sembilan orang pada tanggal
9 Juni 1945: Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar
Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin. Mereka
berkumpul pada tanggal 22 Juni 1945 dan mengubah tatanan Pancasila karena tatanan yang
diproklamasikan oleh Sukarno adalah nasionalisme, paham kemanusiaan/internasionalisme,
demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Jadi, urutan revisinya adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dst ...
Setelah adanya perubahan tatanan tersebut, terjadilah perdebatan mengenai prinsip pertama yang
harus diterapkan pada ‘syariah Islam’ dimasukkan. Ki Bagoes Hadikoesoemo dari kelompok
Islam berpendapat penyisipan ini karena Islam mempunyai peranan penting dalam kemerdekaan
Indonesia. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa Islam adalah yang utama agama di Indonesia.
Namun pendapat tersebut dibantah oleh kelompok nasionalis karena penyisipan tersebut dapat
membawa Indonesia menjadi negara Islam. Perwakilan Indonesia dari Indonesia Timur
mendukung pandangan kelompok nasionalis karena sebagian besar dari mereka bukan Muslim.
Akibatnya, kata ‘syariah Islam’ dihilangkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam rapat PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) karena Indonesia harus menganut semua agama dan
tidak bisa berdasarkan agama
Page 94
tertentu Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia, membela penghapusannya. Ia
berpendapat, jika kata-kata itu terus ditepati maka akan memprovokasi agama lain dan akan
terjadi sulitnya mempertahankan bhinneka tunggal ika (Chia et al., 2019). Oleh karena itu, para
pemimpin ini mengupayakan persatuan dalam keberagaman sejak awal berdirinya negara ini.
Upaya menjaga persatuan dalam keberagaman khususnya agama juga tampak dalam proklamasi
Ketuhanan Yang Maha Esa yang diproklamasikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945:
“https://news.detik.com/berita/d-3222960/ini-pidato-bung-karno-1-juni-1945-yang-jadi-cikal-
bakallahirnya-pancasila. “Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka
dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa
Indonesia bertuhan, tetapi masingmasing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan
menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-
kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa,”
papar Bung Karno.”
“Prinsip kelima hendaknya: Membangun Indonesia yang mandiri dengan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Bersifat ketuhanan Prinsip! Orang Indonesia tidak hanya percaya pada Tuhan,
tapi setiap orang Indonesia juga harus percaya pada Tuhannya sendiri Tuhan. Umat Kristen
menyembah Tuhan sesuai petunjuk Isa al-Masih, umat Islam beribadah sesuai petunjuk Sesuai
petunjuk Nabi Muhammad SAW, umat Buddha menjalankan ibadahnya sesuai dengan buku-
buku yang tersedia bagi mereka. Tapi marilah kita semua menjadi saleh. Negara Indonesia
harusnya menjadi negara tempat semua orang berada bisa beribadah kepada Tuhannya dengan
bebas, kata Karno.
Pidato ini jelas membela persatuan dalam keberagaman di Indonesia. Soekarno mengakui
pluralisme agama di Indonesia dan mengajak masyarakat Indonesia untuk menghargai
keberagaman tersebut. Dia menganut kebebasan beragama dan Pancasila menawarkan
persamaan hak dan kebebasan bagi warga negara Indonesia karena negaranya multikultural,
multietnis, dan multiagama. ‘Ketuhanan yang Maha Esa' atau 'Kepercayaan pada Tuhan Yang
Maha Esa' bukanlah sebuah pandangan monoteistik. Sebaliknya, Sukarno percaya bahwa
Indonesia dibangun dan dihuni oleh orang-orang yang memiliki dan beribadah kepada Tuhan. Ini
adalah pandangan nasionalis.
Page 95
Pluralisme Perjanjian
Istilah pluralisme telah digunakan secara universal, namun maknanya sangat ambigu. Joustra
(2020), misalnya, mencatat definisi pluralisme di kalangan pluralis seperti deep pluralism
Connolly, 2005), pluralisme pragmatis (2006), jarak berprinsip (Bhargava, 2012), percaya diri
pluralisme (Inazu, 2016), pluralisme yang berprinsip (Carlson-Thies, 2018), pluralisme yang
berani (Patel, 2020), dan pluralisme kerukunan beragama (Neo, 2020).
Lalu, pertanyaannya mengapa pluralisme 'covenantal'? Stewart dkk. (2020) mendefinisikan
'perjanjian' itu tidak hanya mencakup aturan tetapi juga hubungan. Pluralisme, sebaliknya,
bersifat kontraktual. Sebuah 'perjanjian' bekerja melampaui konflik-konflik spesifik yang berasal
dari sistem kepercayaan. Berdasarkan Joustra (2020), pluralisme perjanjian berakar pada
kebutuhan relasional dan didasarkan pada rasa saling menghormati untuk elindungi satu sama
lain tanpa harus memberikan kebenaran atau identitas moral yang sama pada keyakinan dan
perilaku orang lain. Joustra (2020) melanjutkan bahwa pluralisme perjanjian adalah paradigma
keadilan sipil dan solidaritas manusia; sebuah perjanjian bertetangga global yang dimaksudkan
untuk dipatuhi namun tidak dilakukan terpecah di bawah tekanan keberagaman. Joustra
mengkategorikan empat jenis pluralisme. Pertama, keberagaman pluralisme memiliki perhatian
utama termasuk posisi atau landasan seluas-luasnya (Joustra, 2020,21). Kedua, pluralisme
relasional yang fokus pada hubungan (Joustra, 2020, 23). Ketiga, pluralisme konstitusional yang
menekankan pada kesatuan koheren yang melindungi dan mempertahankan keberagaman dan
keberagaman 94 Transformasi 39(2) masyarakat pluralistik (Joustra, 2020, 26). Terakhir,
pluralisme pragmatis yang menitikberatkan pada kesamaan obyek manusia meskipun ada
perbedaan (Joustra, 2020, 27).
Meskipun terdapat dukungan terhadap pluralisme perjanjian, terdapat beberapa tantangan.
Pertama, Pancasila menghormati dan menawarkan kebebasan beragama bagi masyarakat
Indonesia. Namun, itu tidak berarti bahwa Pancasila menjamin setiap warga negara akan
memperlakukan warga negara lainnya secara setara. Dengan kata lain, Pancasila dapat
mendorong pluralisme relasional, namun memberikan hasil yang minimal. Ada beberapa alasan.
Itu Alasan pertama yang menghambat pluralisme relasional adalah klaim kebenaran yang saling
bertentangan di antara agama-agama di negara tersebut Indonesia yang tidak dapat didamaikan
(Arthur, 2000 Netland, 1991;). Kebenaran yang bertentangan ini klaim tersebut tidak menarik
perhatian orang terhadap apa yang ditawarkan oleh pluralisme perjanjian mengenai rasa saling
menghormati dan inklusivitas. Alasan kedua adalah kartu identitas Indonesia. Agama kami
tertera di KTP kami. Dia hanya menyamakan agama kita dengan identitas kita. Artinya kalau ada
yang berubah keyakinan, dia juga ‘mengubah’ identitasnya karena kemungkinan besar ia akan
kehilangan keluarga, pekerjaan, teman, dan bahkan dirinya sendiri.
Bagaimana kita mengevaluasi pertumbuhan pluralisme perjanjian di Indonesia berdasarkan
informasi tersebut di atas? Artikel ini akan menggunakan tiga kategori utama pluralisme
perjanjian dari Stewart dkk. (2020) untuk mempertimbangkan pluralisme perjanjian. Kategori
pertama adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dia artinya masyarakat dapat
menjalankan agamanya secara bebas dan memperoleh persamaan hak (Stewart et al., 2020).
Meski demikian, Indonesia masih tertinggal dari pluralisme perjanjian yang ideal. Pada tahun
2009 misalnya, Mahkamah Konstitusi Indonesia menguatkan “UU Penodaan Agama” (UU
1/PNPS/1965) untuk menguntungkan mayoritas. Artinya kebebasan, persamaan hak, dan saling
pengakuan bagi seluruh warga negara dihapuskan, meskipun kebebasan beragama dijamin dalam
pasal 29(2) Konstitusi Indonesia. hidup sendiri. Oleh karena itu, meskipun toleransi beragama
diusung oleh Pancasila, namun pluralisme keberagaman (atau kebenaran preposisi) dan KTP
Indonesia melemahkan hubungan pluralisme di Indonesia. Kedua, tantangan dari legislator Islam
untuk menegakkan penerapan hukum Islam dan etika pada tahun 2000 dan 2002. Mereka
memandang bahwa kebebasan dan pluralisme tidak bersifat mutlak atau tidak dapat dikurangi,
namun dapat diringkas oleh negara demi kepentingan barang publik lainnya (Hefner, 2020, 6).
Selain itu, Mahkamah Konstitusi Indonesia telah menggunakan putusan yang menyatakan bahwa
seseorang adalah individu hak untuk menjalankan agama secara bebas dapat dibatasi jika
perilaku individu tersebut melanggar tentang hak-hak mayoritas. Kasus ini juga terjadi pada
Muslim progresif (Hefner, 2020, 6)
Page 96
Harsono (2020) juga menyatakan bahwa Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB) atau Lintas
Agama Forum Komunikasi harus terdiri dari mayoritas. Bali, misalnya, memiliki 83% persen
Forum Komunikasi Lintas Agama harus dari tokoh Hindu Bali. FKUB di Jakarta, di sisi lain,
terdiri dari 85% persen Muslim. Akibatnya, kelompok agama mayoritas mengalaminya hak veto
agama minoritas.
Kategori kedua adalah literasi agama. Artinya pemahaman terhadap keyakinannya sistem dan
keterlibatan dengan keyakinan lain (Stewart et al., 2020). Indonesia mengawali agasan dialog
antar agama. Istilah dialog sendiri berasal dari dua kata Yunani: ‘dia’ dan ‘logos’. Dia artinya
melalui, sedangkan logos adalah kata. Artinya melalui perkataan atau percakapan. Banawiratma
(1999, 877), seorang teolog Katolik, menyatakan lima tingkat dialog: kehidupan, pengalaman
keagamaan, teologis, tindakan, analisis kontekstual, dan refleksi. Fuad (2007) berpendapat
bahwa dialog dalam Indonesia berada pada tataran menjadi (kehidupan), berbuat (tindakan,
analisis kontekstual dan refleksi), dan refleksi (pengalaman keagamaan). Namun, sulit untuk
melakukan diskusi atau dialog teologis. Victor Tanja, misalnya, berpendapat bahwa dialog
teologis tidak mungkin dilakukan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa istilah ‘dialog antaragama’
tidak mengacu pada dialog antar agama melainkan antar umat beragama atau berkeyakinan
(Tanja, 1998, 39). Kenyataan ini menjadikan terjadinya dialog antaragama di Indonesia pada
tingkat permukaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih perlu belajar
berdialog tanpa asumsi keras mengenai titik-titik perselisihan berbohong. Kita perlu memiliki
kemauan untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain dengan kepercayaan, keterbukaan dan
simpati (Fuad, 2007, 240–242).
Kategori ketiga adalah sikap positif terhadap keberagaman seperti rendah hati, sabar, dan empati
(Stewart et al., 2020). Hefner (2020) mencatat jalannya kampanye gubernur di ibu kota
Indonesia, Jakarta, pada tahun 2021–2017. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Gubernur Jakarta
yang beragama Kristen keturunan Tionghoa, dengan seenaknya meremehkan referensi terhadap
al-Ma’ida 51 ayat dalam Al-Qur'an pada kampanye pada tanggal 27 September 2016 yang
memberikan nasihat kepada umat Islam tidak menjadikan orang Yahudi dan Kristen sebagai
pemimpin atau teman. Hefner (2020) menyatakan bahwa ketika lawan politik Ahok mengetahui
komentarnya, mereka memposting video ucapannya yang sudah disunting di web. Ini Video yang
disunting membuat Ahok mengklaim ayat Alquran itu sendiri sengaja menyesatkan. Itu Hasilnya
dia kalah pada pemilu 2017, dan dia dipenjara dengan tuduhan mencemarkan nama baik Islam.
Hefner (2020) berpendapat bahwa kejadian ini gagal memperkuat pluralisme perjanjian.
Kepribadian saya berpendapat bahwa politik melemahkan pluralisme perjanjian di Indonesia. Ini
bukan tentang kebajikan atau hal positif tanggapan terhadapnya, namun ada motivasi politik di
balik perpecahan ini. Namun, tantangan untuk pluralisme perjanjian bukan karena agenda politik,
tapi juga masyarakat Indonesia yang belum siap merangkul keberagaman meski Pancasila
sebagai ideologi Indonesia mendukungnya. Hefner (2020) mengutip data opini publik yang
dikumpulkan dari ilmuwan politik Indonesia seperti
Marcus Mietzner, Burhanuddin Muhtadi, dan Rizka Halida. Mereka mensurvei Muslim
Indonesia jika bersifat toleran bagi non-Muslim yang mengadakan acara keagamaan atau
membangun tempat ibadah di wilayah mayoritas Muslim daerah. Survei tersebut menyatakan
bahwa 33% umat Islam percaya bahwa hal tersebut sangat tidak toleran dan merupakan
tambahan 17% mengatakan ‘intoleransi’. Singkatnya, 50% umat Islam belum siap untuk
mengizinkan kegiatan keagamaan non-Muslim di komunitasnya. Andreas Harsono (2020),
peneliti Indonesia, memvalidasi survei ini. Pada bulan Maret, 15 warga Indonesia mengajukan
gugatan ke Mahkamah Agung atas penutupan ribuan rumah ibadah, sebagian besar gereja
Kristen, berdasarkan undang-undang yang diskriminatif. Nancy Angela Hendriks, sang
pemohon, meminta agar mereka menginginkan kebebasan beribadah dengan hak yang sama
tanpa hak pengecualian apa pun. Harsono lebih lanjut mengatakan, media Tirto.id mencatat ada
32 gereja yang ditutup di bawah lima tahun pertama Jokowi sebagai presiden Indonesia
Page 97
Hefner (2020) melanjutkan surveinya. 52% umat Islam di Indonesia menolak peran non-Muslim
eksekutif tingkat tinggi di pemerintahan. Semua statistik ini mengungkapkan tingkat toleransi
terhadap non-Muslim masih rendah. Oleh karena itu, saya harus setuju dengan Hefner bahwa
warisan itu Pancasila dan pluralisme perjanjian telah gagal.
Kesimpulan
Pendekatan sejarah mengungkapkan bahwa Pancasila mendorong pluralisme perjanjian di
Indonesia sejak masa itu berdirinya Indonesia hingga saat ini. Soekarno, presiden pertama
Indonesia, terbentuk Pancasila untuk memfasilitasi kebebasan dan menawarkan persamaan hak
di antara masyarakat Indonesia. Namun, ini ideologi bukannya tanpa tantangan. Tantangan
tersebut datang dari konstitusi Indonesia, peraturan hukum, agenda politik, dan masyarakat
Indonesia. Singkatnya, Pancasila mendukung pluralisme perjanjian, namun realisasinya
sepertinya masih jauh.

Anda mungkin juga menyukai