Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MOBILISASI PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG TERHADAP


TENAGA KERJA DAN SUMBER SUMBER EKONOMI

Guru Pengampu: Bu Yunita

Mata Pelajaran Sejarah

Kelas: XI-6

Disusun Oleh:

Muhammad Rasya Pratama

Muhammad Tonny Saputra

Januar Christian Harpenas

Surya Adi Wijaya

Defyn dwy saputra

SMA 4 SAMARINDA SEBRANG

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT. atas limpahan
Rahmat serta Karunia-Nya penyusunan makalah ini yang berjudul “Mobilisasi
Pemerintahan Pendudukan Jepang Terhadap Tenaga Kerja Dan Sumber Sumber
Ekonomi” dapat diselesaikan. Tak lupa saya mengucapkan rasa terima kasih
kepada semua pihak yang telah banyak berperan penting dalam membantu
penyusunan makalah ini, yaitu kepada Orang Tua dan Bapak/Ibu guru
pembimbing yang banyak memberikan semangat dan masukan baik dalam teori
maupun pelaksanaannya.

Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari sangat jauh dari


kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga dapat
dijadikan pedoman agar memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya.

Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih banyak


kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan maupun bantuan dalam
menyusun makalah ini. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi
kita semua baik sekarang maupun di masa yang akan datang.

Samarinda, 24 April 2024

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3. Tujuan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1. Organisasi Penggerakan Pemuda Pada Saat Mobilisasi Pemerintahan
Pendudukan Jepang..............................................................................................3
2.2. Pemerahan Tenaga Kerja Dan Ekonomi Pada Saat Mobilisasi
Pemerintahan Pendudukan Jepang.......................................................................9
BAB III PENUTUP..............................................................................................12
3.1. Kesimpulan............................................................................................12
3.2. Saran.......................................................................................................12
Daftar Pustaka......................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN
1.

1.1. Latar Belakang


Keberhasilan Jepang setelah Restorasi Meiji tahun 1867 membuat
Jepang ingin mensejajarkan bangsanya dengan bangsa Barat. Pembaruan
dalam segala bidang, seperti pendidikan, militer, pemerintahan, ekonomi,
dan lain sebagainya dilakukan untuk mengimbangi dan mempertahankan
Jepang dari bangsa Barat. Jepang bahkan bersaing dengan bangsa Barat
dalam mencari daerah kekuasaan. Keinginan mencari daerah kekuasaan
selain dampak setelah Restorasi Meiji, juga dampak dari ideologi kuno
Jepang yang dikenal dengan Hakko Ichi-u. Pengertian dari Hakko Ichi-u
adalah delapan benang di bawah satu atap, yang memiliki makna
pembentukan suatu lingkungan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi
bagian-bagian besar dunia. Maka dari itu Jepang ingin menguasai seluruh
Asia Tenggara, bahkan juga Indonesia (Notosusanto, 1979).
Awal kedatangan Jepang di Indonesia disambut baik oleh rakyat
Indonesia dikarenakan Jepang dianggap sebagai pembebas dari penjajah
bangsa asing. Rakyat Indonesia juga percaya akan datang penyelamat dari
penjajah bangsa Barat sesuai dengan ramalan “Jayabaya”. Kemenangan
Jepang diawal peperangan ternyata tidak bertahan lama. Sekutu mulai
membalas kekalahan tersebut. Perlahan-lahan namun pasti sekutu mulai
memukul mundur pasukan Jepang di Pasifik pada awal pertengahan tahun
1942. Kekalahan pertama Jepang terjadi pada pertempuran Laut di Midway,
bulan Juni 1942. Bulan November 1942, Amerika Serikat juga berhasil
merebut Kepulauan Solomon dari tangan Jepang. Sekitar 24.000 orang
tentara Jepang tewas dalam perang ini. Serangan pihak sekutu selanjutnya
adalah merebut dan menghancurkan kota Rabaul yang merupakan benteng
paling kuat dari tentara Jepang serta penghalang paling besar sekutu menuju
ke Tokyo (Ojong, 2009).
Perang Pasifik yang tengah berlangsung dijadikan sebuah alasan bagi
Jepang untuk menerapkan adanya praktek politik militer di daerah yang
diduduki. Di daerah pendudukan Jepang, kebutuhan akan bahan baku
sebagai pendukung perang, terutama logistik dan tenaga manusia dengan
segera harus dilaksanakan. Penerapan pemerintahan semi militer Jepang
mengakibatkan rakyat yang dijajah mengalami penderitaan cukup pahit.
Penduduk pribumi dimanfaatkan tenaganya untuk keperluan perang
melawan Sekutu atau dipekerjakan secara paksa. Masyarakat diperintah
untuk bekerja di perkebunan-perkebunan dan proyek pembangunan
infrastruktur pendukung perang. Adanya proyek Jepang tersebut maka
melahirkan suatu kebijakan mobilisasi manusia yang disebut dengan
Romusha.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa saja organisasi penggerakan pemuda pada saat mobilisasi
pemerintahan pendudukan jepang?
b. Bagaimana pemerahan tenaga kerja dan ekonomi pada saat mobilisasi
pemerintahan pendudukan jepang?

1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui organisasi penggerakan pemuda pada saat mobilisasi
pemerintahan pendudukan jepang.
b. Untuk mengetahui pemerahan tenaga kerja dan ekonomi pada saat
mobilisasi pemerintahan pendudukan jepang.
c.
BAB II

PEMBAHASAN
2.
2.1. Organisasi Penggerakan Pemuda Pada Saat Mobilisasi Pemerintahan
Pendudukan Jepang
a. Gerakan 3 A
Organisasi pertama bentukan Jepang adalah Gerakan 3A. Gerakan
3A merupakan sebuah nama yang melambangkan Jepang adalah
Pemimpin Asia, Pelindung Asia, dan Cahaya Asia. Pada April 1942,
sebagai usaha pertama dalam membentuk gerakan rakyat, maka
Legiun/Angkatan Darat ke-16 di Jawa mendirikan “Gerakan Tiga
A/Gerakan 3-A”. Nama gerakan ini didasarkan pada slogan bahwa Jepang
adalah “Pemimpin Asia”, “Pelindung Asia” dan “Cahaya Asia”. Gerakan
ini dipimpin oleh Mr. Rd. Sjamsoeddin (Sudiyo et al., 1997). Sebagai
bagian dari Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A, maka dibentuklah San A Seinen
Kunrensho atau “Pusat Latihan Pemuda 3-A” di Jatinegara (Kurasawa
2015). Selain itu, dibentuk pula organisasi pemuda bernama “Barisan
Pemuda Asia Raya” pada 11 Juni 1942 yang diketuai oleh dr. Slamet
Sudibyo dan SA Saleh. Selanjutnya, pada Juli 1942, di dalam Gerakan
Tiga A/Gerakan 3-A didirikan suatu subseksi Islam bernama “Persiapan
Persatuan Umat Islam” dipimpin oleh R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso.
Beliau dipandang oleh pihak militer Jepang sebagai pemimpin Islam di
Indonesia yang dapat diajak bekerjasama. Namun, tidak lama kemudian,
pihak militer Jepang mulai meragukan para pemimpin Islam, khususnya
dari Islam modernis, yang aktif berpolitik dan tidak pernah sepenuhnya
mempercayai mereka (Ricklefs 2007).
Akhirnya, Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A tidak berhasil mencapai
tujuannya. Para tokoh politik di Indonesia tidak terkesan dengan gerakan
fasis tersebut dan hanya memberikan sedikit dukungan. Bahkan, tidak ada
seorang pun nasionalis Indonesia yang terkenal yang ikut serta dalam
Gerakan Tiga A/Gerakan 3-A. Propaganda gerakan tersebut, yang
dilancarkan dengan keras pada masa awal pendudukan Jepang,
mengundang hanya sedikit dari orang-orang Indonesia yang
menanggapinya secara serius (Ricklefs 2007). Pada Maret 1943, Gerakan
Tiga A/Gerakan 3-A dibubarkan. Jepang kemudian menyadari bahwa jika
mereka hendak memobilisasi gerakan rakyat, terutama di Jawa, maka
mereka harus memanfaatkan para tokoh penting dari gerakan nasionalis
sebelum Perang Dunia II yang dikenal anti-kolonial. Sehingga, mereka
pun mengalihkan fokus perhatian kepada Sukarno, Mohammad Hatta dan
Sutan Sjahrir yang pada saat itu baru dibebaskan dari penahanan Belanda.
Dalam menjalankan gerakan ini, Jepang berusaha mengajak
kerjasama dengan para tokoh Indonesia dengan membebaskan tokoh-
tokoh besar Indonesia yang ditahan (seperti Ir. Soekarno, Drs.Moh. Hatta,
Sutan Syahrir, dan lain-lain). Dimana pada awal gerakan ini diperkenalkan
kepada masyarakat Indonesia hanya untuk menarik simpati bangsa
Indonesia namun dengan menunjukkan kepada masyarakat Indonesia
bahwa pemerintah Jepang sebagai saudara tua seolah berjanji akan
memberi janji kemerdekaan kepada Indonesia, namun gerakan ini gagal
dalam melaksanakan tugasnya.
b. Seinendan dan Keibondan
Pada tanggal 29 April 1943, tepat pada hari ulang tahun Kaisar
Jepang diumumkan secara resmi berdirinya dua organisasi pemuda yang
diberi nama Seinendan dan Keibodan. Kedua organisasi ini langsung
dibawah pimpinan Gunseikan. Pembentukan ini bertujuan untuk mendidik
dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah
airnya dengan kekuatan sendiri. Maksud yang disembunyikan adalah agar
dapat memperoleh tenaga cadangan untuk memperkuat usaha mencapai
kemenangan akhir dalam perang saat itu. Kepada anggota Seinendan
diberikan pelatihan militer baik untuk mempertahankan diri maupun untuk
penyerangan. Mereka adalah pemuda-pemuda Asia yang berusia antara
tahun 15-25 tahun (kemudian diubah menjadi 14-22 tahun). Sebagai
Pembina Seinendan bertindak Naimubu Bunkyoku (Departemen Urusan
Dalam Negeri Bagian Pengajaran, Olahraga dan Seinendan).
Jepang juga membentuk organisasi pemuda di tingkat desa
(Seinendan) yang tugasnya melatih dan mendidik para pemuda agar dapat
menjaga tanah airnya dari serangan sekutu. Keibodan merupakan
organisasi yang didirikan Jepang untuk membantu tugas kepolisian, seperti
menjaga keamanan desa, lalu lintas, serta pelanggaran peraturan ekonomi
(Sagimun, 1985).
Seinendan hanyalah suatu organisasi pemuda pada tingkat daerah
atau Kecamatan. Motivasi pemuda menjadi Seinendan semula dipaksa,
kemudian pemuda- pemuda lainnya mengikuti Seinendan. Pada bulan
Oktober 1944 dibentuk Joysyi Seinendan (Seinendan Putri). Disini mereka
mendapat latihan dasar kemiliteran tetapi tanpa menggunakan senjata yang
sebenarnya.
Keibodan adalah pembantu polisi dengan tugas-tugas kepolisian
seperti penjagaan lalu lintas dan pengamanan desa. Berbeda dengan
Seinendan, anggota Keibodan terdiri dari pemuda-pemuda yang berusia
20-35 tahun (kemudian diubah menjadi 26-35 tahun). Yang dapat diterima
sebagai anggota Keibodan adalah semua laki-laki yang dinyatakan
berbadan sehat kuat dan berkelakuan baik. Jumlah pemuda yang
memasuki Keibodan melebihi jumlah Seinendan. Sebagian pemuda masuk
Keibodan karena takut kepada Jepang dan pamong yang berhasil
mengumpulkan mereka dengan paksa. Keibodan dibawahkan kepada
kepolisian. Satu hal yang perlu dicatat dalam pembentukan Keibodan
adalah bahwa Jepang berusaha agar badan ini tidak dipengaruhi oleh kaum
nasionalis.
c. Organisasi-Organisasi Semi Militer Lain
Keterlibatan penduduk lokal dalam organisasi semi militer pada
masa pendudukan Jepang merupakan persoalan yang kompleks. Meskipun
beberapa individu bergabung dengan organisasi-organisasi ini dengan
sukarela karena rasa kewajiban atau untuk mencari perlindungan di masa-
masa sulit dan ada pula yang merasa dipaksa atau tertekan untuk
bergabung. Kehadiran organisasi-organisasi ini mengaburkan batas antara
kehidupan militer dan sipil tanah, sehingga menimbulkan tantangan dalam
mengidentifikasi teman dan musuh dalam masyarakat. Situasi ini
berdampak besar pada tatanan sosial masyarakat, mengadu domba
tetangga bahkan anggota keluarga di tengah pendudukan.
1) Fujinkai (Barisan wanita)
Fujinkai atau perkumpulan wanita merupakan organisasi semi
militer Jepang yang beranggotakan para wanita. Fujinkai dibentuk pada
bulan Agustus . Adapun tugas utama dari fujinkai yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat melalui kegiatan
pendidikan dan kursus kursus. Saat situasi semakin memanas dan,
organisasi fujinkai dilatih militer sederhana tanah, bahkan pada tahun 1944
dibentuk pasukan Srikandi guna membantu perang melawan sekutu.
2) Suishintai (barisan pelopor)
Latar belakang dibentuknya organisasi Suishintai yaitu atas dasar
keputusan rapat Chuo sangi in (dewan pertimbangan pusat). Salah satu
yang menjadi keputusan dari rapat tersebut adalah merumuskan cara untuk
menumbuhkan kesadaran rakyat untuk memenuhi kewajiban dan
membangun persaudaraan dan rangka mempertahankan tanah airnya dari
serangan musuh. Melalui organisasi ini mereka berharap mampu
meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga masyarakat siap untuk
membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia.Suishintai juga
mengadakan pelatihan militer bagi para pemuda, walaupun menggunakan
peralatan sederhana seperti bambu runcing dan senapan kayu. Selain itu
juga organisasi ini dilatih untuk menggerakkan masa, memperkuat
pertahanan dan hal lain yang intinya untuk kesejahteraan masyarakat.
Organisasi semi militer ini juga tergolong unik karena pemimpinnya
adalah seorang nasionalis yaitu Ir. Soekarno ( dibantu R. P Suroso, Otto
iskandardinata dan Buntaran martoatmodjo) di bawah naungan Jawa
hokokai, organisasi ini memiliki anggota mencapai 60.000 orang.
3) Kaikyo seinen Teishinti (Hizbullah)
Hizbullah (tentara Allah) merupakan salah satu organisasi semi
militer yang dibentuk Jepang dengan beranggotakan para sukarelawan
khusus pemuda Islam akibat peperangan Asia timur raya, Jepang merasa
semakin terdesak dan mengalami kesulitan karena banyak mengalami
kekalahan. Keadaan tersebut memicu Jepang untuk menambah kekuatan
dengan merencanakan pembentukan pasukan cadangan sebanyak 40.000
orang yang terdiri dari pemuda Islam. Rencana Jepang tersebut cepat
menyebar di tengah masyarakat dan segera disambut positif dari tokoh-
tokoh Masyumi, pemuda Islam Indonesia dan pihak lainnya. Bagi Jepang
tanah, pasukan Islam ini digunakan untuk membantu memenangkan
perang, namun bagi Masyumi pasukan Islam tersebut digunakan untuk
persiapan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sehubungan dengan
hal itu tanah, pemimpin-pemimpin Masyumi mengusulkan kepada Jepang
untuk membentuk pasukan sukarelawan yang khusus terdiri dari pemuda
Islam.
d. Heiho dan PETA
Heiho (Prajurit Bantu) didirikan pada 24 April 1943 (di Jawa) dan
Mei 1943 (di Sumatera) sebagai barisan militer bantuan bagi Jepang yang
terdiri dari mantan prajurit KNIL (Tentara Kerajaan Hindia-Belanda) dan
30 masyarakat Indonesia yang mendaftarkan diri sebagai Heiho. Heiho
terdiri dari 2 bagian, yaitu Rikugun Heiho (Heiho Angkatan Darat) dan
Kaigun Heiho (Heiho Angkatan Laut). Diperkirakan sampai akhir
pendudukan Jepang, jumlah anggota Heiho mencapai 42.000 orang.
Kyodo Boei Giyu-gun (Pasukan Pembela Tanah Air/PETA) yang
didirikan tanggal 8 September 1943, merupakan barisan militer baru yang
dibentuk untuk membantu militer Jepang melindungi wilayah Jawa dari
Sekutu.
Upaya yang dilakukan pemerintahan militer Jepang melalui badan
militer yaitu Heiho adalah dengan pendidikan dan pelatihan. Pendidikan
dan pelatihan tersebut berupa pemahaman terhdap kode-kode yang berlaku
dalam ketentaraan Jepang, keterampilan memindahkan senjata dan peluru
dari gudang ke atas truk, penggunaan senjata serta pemeliharaan senjata
lain-lain. Para pemuda Indonesia dalam organisasi Heiho ini langsung
dididik dan dikader oleh tentara-tentara penduduk Jepang, yang
diperbantukan dan dikelompok dalam kelompok kententaraan Jepang atau
angkatan perang Jepang yang dilatih secara intensif dan diberi
pengetahuan dan pembekalan militer yang cukup memadai. Upaya yang
dilakukan pemerintahan militer Jepang melalui badan militer yaitu
Pembela Tanah Air (PETA) adalah dengan melalui pendidikan dan
pelatihan militer yang sangat disiplin yang berupa pelatihan penggunaan
senjata, kemampuan dalam berperang, serta kemampuan untuk bertahan
dari serangan sekutu. Upaya yang dilakukan pemerintahan militer Jepang
melalui badan militer yaitu Barisan Pelopor adalah dengan memberikan
pendidikan dan pelaihan kesiapsiagaan rakyat untuk bertahan total bila
diserang Sekutu.
2.2. Pemerahan Tenaga Kerja Dan Ekonomi Pada Saat Mobilisasi
Pemerintahan Pendudukan Jepang
a. Pemerahan Tenaga Kerja
Untuk menunjang keberhasilan dalam pemenuhan kebutuhan
perekonomian, Jepang menerapkan sistem Romusha. Romusha dibentuk
dilatarbelakangi oleh Jepang yang membutuhkan banyak tenaga kerja baik
dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun dikerahkan untuk
pembangunan infrastruktur. pengerahan tenaga kerja dimulai dengan secara
sukarela, namun karena terus-menerus mengalami desakan Perang Pasifik
maka semakin lama pengerahan tenaga kerja ini bersifat memaksa dan
tenaga kerja romusha diserahkan pada Romukyokai (panitia romusha) yang
dibagi setiap desa terdapat panitia romusha (Hendri F. Husaini dan Apid,
2008). Terlebih melihat kondisi para tenaga kerja romusha yang sangat
memprihatinkan, dimana kelaparan, kesehatan yang tidak diperhatikan, dan
penderitaan yang berkepanjangan membuat para pekerja romusha yang
gugur. Kebijakan Romusha yang wadah yang menampung budak untuk
Jepang, serta penghasilan petani dirampas (eksploitasi) dengan menerapkan
aturan yang tidak masuk akal (Istifaroh, 2014).
Pengerahan Romusha besarbesaran juga berdampak perubahan sosial
di pedesaan, di desa sebagian besar hanya tinggal anak-anak, wanita, dan
orang yang cacat. Pemuda desa banyak yang melarikan diri ke perkotaan
karena takut dijadikan Romusha. Sebagian besar dari Romusha yang dikirim
ke luar Jawa, bahkan ke luar negeri meninggal di tempat mereka bekerja,
hanya sebagian kecil saja yang kembali (Kurasawa, 1993:173).
b. Pemerahan Ekonomi dan Bahan Pangan
Jepang menerapkan dua sistem ekonomi, yaitu ekonomi autarki dan
ekonomi perang. Dimana kebijakan dalam sistem autarki bertugas dalam
pemenuhan kebutuhan pribadi (kebutuhan Jepang) dan menjaga pertahanan
wilayah dibawah kekuasaan Jepang untuk dapat memproduksi atau
menghasilkan bahan-bahan untuk kebutuhan perang Jepang saat itu.
Sedangkan ekonomi perang adalah sistem yang dilakukan oleh Jepang agar
pasukan perang Jepang memiliki pasokan logistik yang terpenuhi selama
perang melawan Sekutu. Dimulai dengan Jepang memperbaiki infrastruktur
yang dapat memperlancar kegiatan “eksploitasi ekonomi” berupa perbaikan
pada jembatan, alat komunikasi milik Belanda, dan alat transportasi. Bukan
hanya itu, Jepang juga melakukan pemaksaan hak milik atas semua
perusahaan, kebun, dan bank yang merupakan kekayaan Belanda yang
masih terdapat di wilayah Indonesia. Jepang melakukan aktivitas eksploitasi
baik SDA (sumber daya alam) maupun SDM (sumber daya manusia),
seperti: (1) mewajibkan para petani dan petani hewan ternak ketika panen
dapat menyerahkan seluruh hasil panen (berupa padi, beras, daging hasil
ternak) kepada pemerintah Jepang untuk kebutuhan pangan para pasukan
tentara perang Jepang, (2) penebangan secara besar-besaran pohon jati untuk
kebutuhan pembuatan bahan dasar senjata api, (3) pembabatan habis-
habisan kebun-kebun atau lahan-lahan yang ditanami tanaman yang
dianggap Jepang tidak penting dan diganti dengan tanaman yang sesuai
dengan kebutuhan logistik perang Jepang (seperti tanaman jarak dan kapas
untuk bahan pelumas senjata api).
Mobilisasi di bidang sosialekonomi merupakan eksploitasi Jepang
terhadap sumber daya alam Indonesia, baik pada sektor pertambangan,
pertanian, dan perkebunan untuk kepentingan perang semata. Sumber
minyak bumi, seperti di Tarakan dieskploitasi besar-besaran semasa perang.
Diperkirakan pada masa Jepang, minyak di Tarakan dapat menghasilkan
350.000 ton minyak mentah setiap bulan. Padahal, Belanda melalui BPM
(Bataafsche Petroleum Maatscapij) atau pertamina Belanda hanya
menghasilkan 80.000 ton minyak per bulan (Santosa, 2005). Produksi
minyak mentah tahun 1943 tercatat 50 juta barel per tahun atau hampir
menyamai jumlah produksi minyak masa damai yang mencapai 65 juta
barel per tahun. Setiap hari kapal tanker Jepang berangkat membawa
minyak dari dermaga di Lingkas menuju Kepalauan Jepang. Ekspolitasi ini
sangat menguntungkan bagi industri Jepang di negeri induk dan kebutuhan
perang. Minyak bumi tersebut digunakan sebagai bahan bakar kapal-kapal
tempur Jepang selama perang (Santosa, 2005).
Ekspolitasi besar-besaran pada bidang sumber daya alam bangsa
Indonesia membuat perekonomian rakyat Indonesia hancur. Produksi
perkebunan, seperti teh, kopi, gula merosot tajam akibat digantikan oleh
padi, jarak, rosela, kapas, dan lain sebagainya. Kebijakan wajib serah padi
membuat rakyat Indonesia dilanda kelaparan karena kelangkaan padi,
bahkan kematian. Perkebunan-perkebunan tebu, kopi, gula, dan teh yang
termasuk barang kenikmatan di Jawa dan daerah lainnya dilakukan
penebangan besar-besar dan digantikan oleh tanaman yang berguna bagi
perang, seperti padi, kapas, jarak, rute/rosela, dan rami. Pemerintah Jepang
juga melakukan kebijkan wajib serah padi, yaitu mengharuskan para petani
untuk menyerahkan dan menjual hanya kepada pemerintah Jepang dengan
harga dan kuota yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar dapat
mengontrol dan menimbun padi yang berguna untuk bahan pangan bagi
tentara Jepang yang sedang berperang (Kurasawa, 1993).
BAB III

PENUTUP
3.
3.1. Kesimpulan
Mobilisasi bangsa Indonesia pada masa pendudukan Jepang tahun
1942- 1945 adalah mengorganisasikan dan mengerahkan rakyat Indonesia
dalam berbagai bidang untuk menarik simpati rakyat Indonesia guna
mendukung perang Asia Timur Raya. Latar belakang kebijakan mobilisasi
juga dikarenakan posisi Jepang selama perang semakin terdesak oleh
kekuatan sekutu di Pasifik. Kebijakan mobilisasi bangsa Indonesia untuk
kepentingan perang berdampak positif dan negatif bagi kedua belah pihak,
yaitu bagi bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Bagi Indonesia dampak
negatif yang lebih banyak dirasakan, seperti kebijakan wajib serah padi
membuat rakyat kekurangan bahan pangan dan menderita kemiskinan,
bahkan kematian. Dampak bagi negara Jepang sendiri terlihat dari sektor
ekonomi, dimana keuntungan yang diperoleh Jepang selama menduduki
Indonesia, yaitu dari mengeksploitasi sumber daya alam wilayah Indonesia,
terutama minyak bumi, pertanian, dan perkebunan..
3.2. Saran
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan di dalamnya baik secara materi maupun penulisan sehingga
diharapkan pembaca dapat memberikan kritik konstruktif dan saran agar
penulis dapat meningkatkan kemampuan menjadi lebih baik. Dengan segala
kekurangan yang ada, penulis juga berharap penulisan makalah berjudul
"Mobilisasi Pemerintahan Pendudukan Jepang Terhadap Tenaga Kerja Dan
Sumber Sumber Ekonomi" ini dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan atau bahkan menjadi salah satu sumber referensi untuk para
pembaca.
Daftar Pustaka

Dwi, M. 2000. Buku Putih Masa Pendudukan Jepang. Wacana. Vol. 2. No. 1.

Husaini, F dan Apid. (2008). Romusa: Sejarah yang terlupakan. Yogyakarta:


Ombak.

Istifaroh, A. (2014). Kebijakan Pendudukan Pemerintahan Jepang Terhadap


Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Surabaya Tahun 1942-1945

Kurasawa. 1993. Mobilisasi Dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial Di


Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kurasawa, A. 2015. Kuasa Jepang di Jawa, Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-


1945. Depok: Komunitas Bambu.

Notosusanto. 1979. Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang Di Indonesia.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Ojong, P. K. 2009. Perang Pasifik. Jakarta: Buku Kompas.

Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta.

Sagimun, M. D. 1985. Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme Jepang.


Jakarta: Inti Idayu Press.

Santosa, I. 2005. Tarakan Pearl Harbor Indonesia 1942-1945. Jakarta: Primamedia


Pustaka.

Sudiyo. 1997. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, Dari Budi Utomo sampai
dengan Pengakuan Kedaulatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Kebangkitan
Nasional.

Anda mungkin juga menyukai