Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MASA ABU BAKAR DAN UMAR RA AHL AL HALL WA AL


AQDI RIDDAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sejarah peradapan islam

Dosen pengampu : Drs. Subianto M.Ag

Disusun Oleh:
indah sari br.barus
(0206231041)
rafly alikhsan sikumbang
(0206232055)
amanda claudy amore
(0206232057)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA


UTARA

2024
KATA PENGANTAR

Dengan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang MahaEsa yang mampu


memberikan kemampuan berpikir sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan tepat waktu. Dan saya mengucapkan terimakasih banyakkepada dosen
pengampu yang telah memberikan arah dan bimbingan sehingga makalah ini dapat
selesai dengan tepat waktu.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Spi. Selain
itu, penulis juga ingin mengembangkan wawasan dan pengetahuan tentang masa abu
bakar dan umar ahl al hall wa aqdi riddah.

Penulis sangat menyadari bahwa setiap manusia mempunyai kelemahan dan


kesalahan dalam menyusun tugas ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran kepada pembaca terhadap pembhasan tersebut.

20 Maret 2024

pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii
BAB I ............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN........................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................................... 2
BAB II ............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3
A. Masa Abu Bakar Dan Umar bin Khattab ahl al hall wa al aqdi riddah ............................ 3
B. Pengembangan Islam Sebagai Kedaulatan dan Kekuatan Politik .................................... 7
C. Perluasan Wilayah Pemerintahan Negara ...................................................................... 10
D. Sistem Penggajian Militer Rampasan Barang Atau Ghanimah ..................................... 12
E. Pertumbuhan Ilmu Keislaman Pelimpahan Wewenang Kepada Hakim Daerah sistem
pertanahan dan Sistem Kependudukan ...................................................................................... 15
BAB III.......................................................................................................................................... 17
PENUTUP..................................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 17
B. Saran .............................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Khalifah Arab(‫ ) ةفيلخ‬adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat


Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Khalifah juga sering
disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn (‫ )نينمؤملا ريمأ‬atau "pemimpin orang yang
beriman", atau "pemimpin orang-orang mukmin", yang kadang-kadang disingkat
menjadi "amir". Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang
berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmaniyah, dan
beberapa kekhalifahan kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol,
Afrika Utara, dan Mesir. Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan
negara maupun urusan agama.

Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat ataupun dengan majelis
Syura' yang merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdi yakni para ahli ilmu (khususnya
keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan mekanisme
pengangkatannya dilakukan dengan cara bai'at yang merupakan perjanjian setia antara
Khalifah dengan ummat. Khalifah memimpin sebuah Khilafah, yaitu sebuah sistem
kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-
undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist. Jabatan dan pemerintahan
kekhalifahan terakhir, yaitu kekhalifahan Utsmani berakhir dan dibubarkan dengan
pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan
kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang
kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of
Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.

1
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan yang dimaksud dengan masa abu bakar dan umar ra ahl al hall wa al aqdi
riddah, pengembangan islam sebagai kedaulatan dan kekuatan politik, perluasan wilayah,
pemerintahan negara sistem pengganjian militer rampasan perang ghanimah,
pertumbhan ilmu keislaman pelimpahan wewenang kepada hakim daerah, sistem
pertanahan dan kependudukan

C. Tujuan Penulisan
1. Agar Mengetahui terkait masa abu bakar dan umar ra ahl al hall wa al aqdi riddah,
pengembangan islam sebagai kedaulatan dan kekuatan politik, perluasan wilayah,
pemerintahan negara sistem pengganjian militer rampasan perang ghanimah,
pertumbhan ilmu keislaman pelimpahan wewenang kepada hakim daerah, sistem
pertanahan dan kependudukan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masa Abu Bakar Dan Umar bin Khattab ahl al hall wa al aqdi riddah

Ahl Al Hall Wa Al Aqdi, diartikan dengan “orang-orang yang mempunyai wewenang


untuk melonggarkan dan mengikat“. Istilah ini dirumuskan oleh Ulama Fiqh untuk sebutan
bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati Nurani mereka
. Paradigma pemikiran ulama fiqih merumuskan istilah Ahl Al-Hall Wa Al Aqd di dasarkan
pada sistim pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat
yang mewakili dua golongan, Anshar dan Muhajirin . Mereka ini oleh ulama fikih diklaim
sebagai Ahl Al Hall Wa Aqdi yang bertindak sebagai wakil Umat3 . Dalam hal ini, Mawardi
mendefinisikan Ahl Al Hall Wa Aqdi sebagai kelompok orang yang dipilih oleh kepala
negara untuk memilih kepala negara yang akan menggantikan kepala negara yang lama.
Namun Mawardi tidak menjelaskan tentang unsur-unsur dari Ahl Al Hall Wa Al Aqd . Abdul
Karim Zaidan berpendapat, Ahl Al Hall Wa Aqdi adalah orang orang yang berkecimpung
langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka
menyetujui pendapat wakil-wakilnya karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kejernihan
pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya .
Sedangkan menurut Imam an-Nawawi, Ahl Al Hall Wa Aqdi ialah para ulama,
pemimpin, pemuka rakyat yang mudah dikumpulkan untuk memimpin umat dan mewakili
kepentingan kepentingannya . Beberapa ulama yang lain memberikan istilah Ahl Al Hall Wa
Aqdi dengan sebutan ahlul ikhtiyar, yaitu orang-orang yang memiliki kompetensi untuk
memilih. Muhammad Abduh berpendapat, bahwa Ahl Al Hall Wa Aqdi sama dengan ulil
amri . Sebagian ulama dan mufassir yang tidak menyamakan Ulil Amri dengan Ahl Hall wa
Al Aqd, dalam menafsirkan kata uli al amr tidak mengaitkannya dengan Ahl Hall wa Al Aqd,
seperti al-Thabari memberi penafsiran yang beragam, yaitu para pemimpin, para sahabat
Nabi, ahli hukum Islam, fuqaha dan ulama, para sahabat Rasul, para pemimpin dan penguasa
yang taat kepada Allah dan Rasul. Lebih lanjut Abduh menjelaskan dengan lebih rinci beserta

3
unsur- unsurnya dengan mengatakan, " Ahl Al Hall Wa Aqdi terdiri dari para amir, para
hakim, para ulama, para pemimpin militer, dan semua pimpinan yang dijadikan rujukan oleh
umat dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik. Pendapat yang sama di sampaikan
oleh Rasyid Ridha, ia mengatakan bahwa ulil amri adalah Ahl Al Hall Wa Aqdi yang terdiri
dari para ulama, para pimpinan militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik
seperti pedagang, tukang, petani, para tokoh wartawan . Al-Razi juga menyamakan
pengertian Ahl Al Hall Wa Aqdi dengan ulil amri . Sementara Muhammad Abduh
menetapkan syarat yang ringkas saja bagi Ahl Al-Hall Wa Al Aqd, yaitu orang Islam yang
senantiasa meruju` kepada Al- Qur`an dan Sunnah Rasulullah SAW, dan ia ditaati atau diberi
kepercayaan oleh Ummah. Sebenarnya jika kita ingin mengkaji lebih dalam mengenai
defenisi dari para Fuqaha` tentang Ahl Al-Hall Wa Al Aqd sangatlah banyak. Ahl Hall Wal
Al-Aqd ini menurut Yusuf al-Qardhawi hanya memiliki fungsi politik saja, yaitu memilih
pemimpin, berbai’at, dan mengoreksi dan mengontrol tugas-tugas anggotanya, serta memecat
pemimpin jika telah terbukti jelas menyimpang dari sumpah jabatannya .
Lembaga Ahl Hall Wa AlAqd di kalangan Sunni juga dikenal dengan istllah Ahl al-
Syaukat yaitu orang yang memegang kekuasaan politik tertinggi dan orang yang duduk di
dalamnya mempunyai peran dan pengaruh yang amat besar bagi pengangkatan imam . Ahl
Al-Hall Wa Al Aqd memiliki tugas tersendiri sebagai wujud perbedaan jabatan antara pihak
eksekutif, legislative dan yudikatif. Ahl Al-Hall Wa Al Aqd tugasnya antara lain memilih
Khalifah, Imam, kepala Negara langsung. Mereka bertanggung jawab memilih kepala Negara
dari kalangan orang-orang yang layak memperoleh posisi tersebut dengan memenuhi syarat-
syarat yang telah ditentukan. Mereka berkewajiban untuk memilih orang yang paling layak
dalam berbagai ilmu, yang berakhlak mulia punya kemampuan dalam ilmu kepemimpinan,
dipercayai oleh rakyat dan berpenggaruh dalam masyarakat serta didengar perintah dan
arahannya. Mereka dibebankan Amanah dan harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
rakyat untuk memilih ketua Negara yang sesuai dengan selera rakyat. Ini menunjukkan
betapa besarnya peran Ahl Al-Hall Wa Al Aqd dalam suatu Negara Islam sehingga para
Ulama menggelarnya Aulia Ul-Amri. yaitu orang-orang yang menjadi pemimpin untuk
melindungi umat Islam dan negaranya. Ia juga menjadi Rujukan untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang muncul . Pemberian Bai`ah pertama terhadap ketua Negara menjadi Tugas
mereka, baru kemudian Rakyat beramai-ramai memberikan bai`ah kepada kepala negaranya
yang telah dilantik oleh Ahl Al-Hall Wa Al Aqd.

4
Abdul Khaliq mengatakan dalam bukunya Fikih Politik Islam, adapun yang di
sebutkan dengan Ahl Al-Hall Wa Al Aqd seperti dalam kitab Allah, yakni Ulil Amri
legislative dan pengawas atas kewenangan eksekutif terutama pimpinan tertinggi Negara Ia
hanya disebutkan dengan Lafal Al ummah dan Tugasnya Hanya terbatas pada dua hal.
Pertama, Yaitu mengajak pada kebaikan, termasuk didalamnya segala perkara Umum yang
diantaranya menetapkan Hukum atau peraturan untuk rakyat yang dibuat lewat musyawarah.
Kedua, menindak para penguasa yang zalim, yakni yang melakukan penyimpangan dalam
pemerintahan .
Ahl Al Hall Wa Al Aqd disamping punya hak pilih, adalah menjatuhkan khalifah jika
terdapat hal-hal yang menggharuskan pemecatannya. Dengan demikian, Ahl Al Hall Wa
Aqdi terdiri dari berbagai kelompok sosial yang memilki profesi dan keahlian yang berbeda,
baik dari birokrat pemerintahan maupun tidak yang lazim disebut pemimpin formal dan
pemimpin non formal. Sudah tentu, tidak setiap pemimpin dan pemuka profesi dan keahlian
disebut, otomatis menjadi Ahl Al Hall Wa Aqdi setiap lembaga itu harus memenuhi
kualifikasi. Tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota, Ahl Al Hall Wa Aqdi Al
Mawardi berpendapat, untuk dapat menjadi anggota Ahl Al Hall Wa Aqdi seseorang harus
memenuhi tiga kriteria sebagai syarat, yaitu:
1) Mempunyai kredibilitas dan keseimbangan yang memenuhi semua kriteria. Yaitu
kepercayaan masyarakat atas dirinya bahwa ia benar-benar mempunyai kemampuan secara
umum dan memiliki karakter yang baik yang meliputi sifat dan sikap dalam kehidupan
sehari-hari.
2) Mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang
berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala negara dengan syarat-syaratnya.
3) Mempunyai pendapat yang kuat dah hikmah yang membuatnya dapat memilih
siapa yang paling pantas untuk diberi amanat memangku jabatan kepala negara dan siapa
yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan
kemaslahatan umat .
Dalam hal berapa jumlah minimal anggota Ahl al Hall Wa al Aqdi yang bisa memilih
dan mengesahkan pengangkatan kepala negara, terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama dari berbagai kelompok. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pengangkatan
kepala negara hanya sah jika diikuti oleh mayoritas anggota Ahl Al Hall Wa Aqdi dari
seluruh negeri sehingga kepemimpinannya itu mendapat penerimaan secara tulus dan
pengakuan secara umum.

5
Dasar hukum yang dijadikan alasan oleh kelompok ini adalah adanya fakta baiat Abu
Bakar untuk memangku kekhalifahan yang hanya berdasarkan pemilihan orang-orang yang
ada bersamanya dan pelaksanaan baiatnya tidak menuggu datangnya orang-orang yang tidak
berada di tempat saat itu. Namun berapa prosentase yang dimaksud dengan “mayoritas”, para
penganut kelompok ini tidak menjelaskan secara rinci. Kedua, kelompok yang berpendapat
bahwa jumlah minimal yang dapat mengesahkan pengangkatan kepala negara adalah lima
orang yang sepakat untuk mengangkat seseorang sebagai pemangku jabatan itu, atau satu
orang mencalonkan seseorang kemudian disetujui oleh empat orang lainnya. Ada dua hal
yang menjadi landasan hukum oleh kelompok ini, yaitu:
1) Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh lima orang yang
sepakat untuk membaiatnya, kemudian dikuti oleh beberapa orang lainnya, di antaranya
Umar ibn Khatab, Abu Ubaidah ibn Jarrah, Asid Ibn Hudhair, Basyar ibn Saad, Dan Salim
Maulana Abi Huzaifah.
2) Terbentuknya dewan syura yang dibuat oleh Umar yang terdiri dari enam orang
untuk memilih satu orang dari mereka sebagai pemimpin negara 83 dengan persetujuan lima
orang yang lainnya. Pengikut ini mayoritas fuqaha dan mutakallimin dari Bashrah . Ketiga,
kelompok dari ulama Kuffah. Meraka berpendapat bahwa pengangkatan kepala negara dapat
dilakukan oleh tiga orang, yaitu satu orang memangku jabatan kepala negara dengan
persetujuan dua orang, sehingga satu orang menjadi pejabat dan dua orang menjadi saksi.
Mereka mendasarkan hal ini dengan analogi pada akad pernikahan yang sah dengan satu wali
dan dua orang saksi. Keempat, kelompok ini berpendapat bahwa pengangkatan kepala negara
dapat dilakukan oleh satu orang. Mereka mendasarkan hal ini dengan pembaiatan Ali oleh
Abbas, Abbas berkata kepada Ali, “Bentangkanlah tanganmu untuk aku baiat.” Maka orang-
orang berkata, ”Paman Rasulullah telah membaiat anak pamannya, maka tidak ada orang
yang menentangnya karena hal itu adalah hukum dan hukum satu orang dapat sah . Islam
sebagai agama yang universal dan rahmat bagi seluruh semesta alam memiliki nilai-nilai atau
prinsip-prinsip yang harus dijadikan pegangan di dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara untuk menciptakan kehidupan yang berkeadilan, demokratis
dan sejahtera .

6
B. Pengembangan Islam Sebagai Kedaulatan dan Kekuatan Politik

Masa kekhalifahan Abu Bakar merupakan masa kritis perjalanan syiar Islam karena
dihadapkan sejumlah masalah seperti kemurtadan dan ketidaksetiaan. Beberapa anggota suku
muslim menolak untuk membayar zakat kepada khalifah untuk Baitul Mal (perbendaharaan
publik). Kemudian masalah berikutnya adalah munculnya beberapa kafir yang menyatakan
dirinya sebagai Nabi, serta sejumlah pemberontakan-pemberontakan kecil yang merupakan
bibit-bibit perpecahan. Pertama beliau tetap melanjutkan rencana Rasulullah saw untuk
mengirim pasukan ke daerah Syiria di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Pada mulanya
keinginan Abu Bakar ditentang oleh para sahabat dengan alasan suasana dalam negeri sangat
memprihatinkan akibat berbagai kerusuhan yang timbul. Akan tetapi setelah ia meyakinkan
mereka bahwa itu adalah rencana Rasulullah saw, akhirnya pengiriman pasukan itu pun
disetujui. Langkah politik yang ditempuh Abu Bakar itu ternyata sangat strategis dan
membawa dampak yang positif. Pengiriman pasukan pada saat negara dalam keadaan kacau
menimbulkan interpretasi di pihak lawan bahwa kekuasaan Islam cukup tangguh sehingga
para pemberontak menjadi gentar.
Di samping itu, bahwa langkah yang ditempuh Abu Bakar tersebut juga merupakan taktik
untuk mengalihkan perhatian umat Islam dalam perselisihan yang bersifat internal. Pasukan
Usamah berhasil menunaikan tugasnya dengan gemilang dan kembali dengan membawa
harta rampasan perang yang berlimpah. Langkah selanjutnya yang beliau tempuh adalah
segera memadamkan pemberontakan yang digerakkan oleh nabi-nabi palsu seperti Aswad
‘Ansi dari Yaman, Tsulaiha dari suku bani Asad di Arab Utara, Sajah binti al Harits di
Suwaid,dan Musailamah al-Kadzdzab, anggota suku Arab Tengah. Abu Bakar mengirim
Khalid bin Walid untuk menumpas pemberontakanpemberontakan tersebut dan berhasil
memadamkannya. Demikian juga terhadap gerakan kemurtadan dan suku-suku yang enggan
membayar zakat dapat diselesaikan dengan baik oleh Abu Bakar melalui perantara panglima
perangnya, Khalid bin Walid. Beliau juga menggiatkan lembaga pendidikan Islam di masjid.
Masjid dijadikan sebagai benteng pertahanan rohani, tempat pertemuan, dan lembaga
pendidikan Islam, sebagai tempat shalat berjama’ah, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya.

Abu Bakar juga membentuk badan-badan terhadap tugas-tugas pemerintahan di Madinah


maupun daerah. Misalnya untuk pemerintahan pusat ia menunjuk Ali bin Abi Thalib, utsman

7
bin Affan dan Zaib bin Tsabit sebagai sekretaris serta Abu Ubaidah sebagai bendaharawan
yag menangani baitul mal serta Umar bin Khattab sebagai hakim agung. Setelah
permasalahan besar dalam negeri dapat diatasi dengan baik, Abu Bakar memfokuskan pada
kebijakan luar negeri yakni menyelamatkan suku-suku Arab dari penganiayaan pemerintahan
Persia. Untuk misi ini, Abu Bakar kembali mengirimkan Khalid bin Walid dengan
pasukannya ke Iraq dan akhirnya bertempur dengan tentara Persia di Hafir, pada tahun 12 H
(633 M).
Setelah menang mereka dikirim ke Syiria membantu perjuangan Usamah bin Zaid.
Meskipun Abu Bakar menjabat Khalifah relatif singkat yakni dua tahun tiga bulan, beliau
berhasil membina dan mempertahankan eksistensi persatuan dan kesatuan umat Islam yang
berdomisili di berbagai suku dan bangsa. Wibawa umat Islam pun semakin terangkat dengan
ditaklukannya dua imperium terbesar dunia saat itu, yaitu Persia dan Romawi (Romawi
tuntas pada pemerintahan Umar bin Khattab.). Karena penaklukan atau peletakan kedaulatan
umat Islam di kedua imperium itu menjadi aset yang sangat berpengaruh bagi pembangunan
peradaban dunia Islami. Hal itu terbukti dengan peradaban Islam yang pernah jaya
berabadabad lamanya di Jazirah Arab dan benua Eropa. Prestasi lainnya adalah upaya
pengumpulan Qur’an yang terinspirasi dialog Umar bin Khattab dengan Abu Bakar bahwa
begitu banyak para huffaz Qur’an yang syahid di medan pertempuran sehingga dikhawatirkan
oleh Umar dapat merusak kelestarian Qur’an itu sendiri di masa yang akan datang. Dari
sekian prestasi yang terukir pada masa kekhalifahan Abu Bakar, maka jasa terbesar Abu
Bakar yang dapat dinikmati oleh peradaban manusia sekarang adalah usaha pengumpulan al-
Qur’an yang kelak melahirkan mushaf Usmani dan selanjutnya menjadi acuan dasar dalam
penyalinan ayat-ayat suci al-Qur’an hingga menjadi kitab al-Qur’an yang menjadi pedoman
utama kehidupan umat Islam bahkan bagi seluruh umat yang ada di permukaan bumi ini
Setelah Abu Bakar menyelesaikan tugas kekhalifaannya dan menyusul kepergian Rasulullah
saw. Umar meneruskan langkah-langkahnya untuk membangun kedaulatan Islam sampai
berdiri tegak. Kemmpuannya dalam melaksanakan pembangunan ditandai dengan
keberhasilannya diberbagai bidang.

Pemerintahan dibawah kepemimpinan Umar dilandasi prinsip-prinsip musyawarah. Untuk


melaksanakan prinsip musyawarah itu dalam pemerintahannya, Umar senantiasa
mengumpulkan para sahabat yang terpandang dan utama dalam memutuskan sesuatu bagi

8
kepentingan masyarakat. Karena pemikiran dan pendapat mereka sangat menentukan bagi
perkembangan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Umar menempatkan mereka dalam
kedudukan yang lebih tinggi dari semua pejabat negara lainnya. Hal ini tidak lain karena
dilandasi rasa tanggung jawab kepada Allah SWT.
Di zaman Umar gelombang ekspansi secara besar-besaran pertama terjadi, ibukota Syiria,
Damaskus ditaklukkan, dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di
pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syiriah jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan
memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin Ash
dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqash. Iskandaria ditaklukkan pada tahun
641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah
ibukota dekat Hirah di Irak, ditaklukkan pada tahun 637 M, dari sana serangan dilanjutkan ke
ibukota Persia, al-Madain ditaklukkan pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Musol dapat
dikuasai. Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab ra, wilayah kekuasaan Islam sudah
meliputi jazirah Arabiah, Palestina, Syiriah, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.
Umar mengajak dunia memeluk Islam dengan ajakan yang baik dan penuh hikmah. Setelah
pasukan muslim menaklukkan Persia, Umar berwasiat kepada Sa’ad ibn Abi Waqash,
”kuperintahkan engkau untuk mengajak mereka memeluk Islam; ajakla mereka dengan cara
yang baik, sebelum memulai pertempuran. Umar juga berwasiat kepada para pemimpin
pasukan agar tidak memaksa penduduk setempat untuk mengganti agama mereka dengan
Islam. Umar justru berwasiat agar umat Islam dapat memuliakan mereka dan tidak
mengganggu praktik-praktik ibadah mereka. Seiring dengan berkembang dan meluasnya
wilayah kekuasaan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab mengharuskan ia mengatur
adminstrasi pemerintahannya dengan cermat. Dalam sejarah umat Islam, Umar bin Khattab
dipandang sebagai Khalifah yang cukup berhasil mengembangkan dan mewujudkan tata
pemerintahan dan sistem adminstrasi kenegaraan yang baik. Baik dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, politik, hukum maupun ekonomi.

Adapun sistem yang beliau terapkan dalam keihidupan sosial kemasyarakatan ialah menerap
kan perlunya menghargai hak-hak individu dalam kehidupan masyarakat. Hal itu tampak
pada masyarakat yang ditaklukkannya. Beliau memberikan kelonggaran dalam menjalankan
ibadah menurut ajaran agamanya masing-masing. Dalam bidang pemerintahan,
kemasyarakatan dan kenegaraan, Umar menyelesaikan tiap permasalahan yang dihadapi tidak

9
cukup dengan pengamatan fisik semata-mata. Semua diselesaikan dengan peelitian yang
cermat, teliti dan seksama. Kebijakan ini diberlakukan ke seluruh wilayah yang menjadi
tanggung jawab kekhalifaannya. Wilayah kekuasaan yang sangat luas mendorong Umar
untuk segera mengatur administrasi negara. Administrasi pemerintahan diatur menjadi
delapan wilayah propinsi, yaitu: Mekah, Madinah, Syiriah, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina
dan Mesir, dan yang menjadi pusat pemerintahannya adalah Madinah. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Umar bin Khatab telah menciptakan sistem desentralisasi dalam
pemerintahan Islam.
Sejak pemerintahan Umar, telah dilengkapi adminstrasi pemerintahan dengan beberapa
jawatan yang diperlukan sesuai dengan perkembangan negara pada waktu itu. Jawatan-
jawatan penting itu antara lain adalah; Dewan alKharaj (jawatan pajak) yang mengelolah
adminstrasi pajak tanah di daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Dewan al-Hadts (jawatan
kepolisian) yang berfungsi untuk memelihara ketertiban dan menindak pelanggar-pelanggar
hukum yang nantinya akan diadili oleh qadhi. Beliau juga telah merintis jawatan pekerjaan
umum (Nazarat al-Nafiah), Jawatan ini bertangung jawab atas pembangunan dan
pemeliharaan gedung-gedung pemerintah, saluran-saluran irigasi, jalan-jalan, rumah-rumah
sakit dan sebagainya. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar juga telah didirikan
pengadilan, untuk memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang pada
pemerintahan Abu Bakar, khalifah dan para pejabat adminstratif merangkap jabatan sebagai
qadhi atau hakim. Awalnya konsep rangkap jabatan trersebut juga diadopsi pemerintahan
Umar. Tetapi, seiring dengan perkembangan keukasaan kaum muslimin, dibutuhkan
mekanisme administraif yang mendukung terselenggaranya sistem pemerintahan yang baik
Selain itu Umar juga tidak lupa melibatkan masyarakat dalam menentukan kebijakannya.
Dengan demikian Umar telah memberikan pendidikan demokratis kepada rakyatnya untuk
dapat berpartisipasi dalam membangun Negara. Dimana sebelum beliau menetapkan suatu
kebijakan, Beliau telah menetapkan peraturan bagi dirinya sehingga menjadi contoh Teladan
bagi segenap rakyatnya.

C. Perluasan Wilayah Pemerintahan Negara

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan
publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia
juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun

10
638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan
Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga memulai proses kodifikasihukum Islam. Umar dikenal
dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para
penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana. Ketika Umar bin Khattab menjadi
khalifah, ia menundukkan daerah Syam, Irak dan Mesir sebagai wilayah kekuasaan Islam.
Beliau juga yang menyinari bulan Ramadhan dengan shalat Tarawih, memulai penanggalan
Islam dengan dimulai dari peristiwa Hijrah, yang sampai saat ini terus berlaku. Dia pula yang
pertama kali dinamakan sebagai Amirul Mu’minin. Diantara kebijakan-kebijakan beliau
adalah sebagai berikut:
a. Memperkukuh Persatuan dan Kesatuan Bangsa Arab
Kesatuan politik untuk negeri-negeri Arab merupakan salah satu yang menjadi pemikiran
Umar ketika Abu Bakar masih memangku jabatan sebagai khalifah. Maka, sesudah ia
menggatikannya, yang pertama mendapat perhatiannya ialah memperkukuh kesatuan dan
menegakkan dasar-dasarnya. Pemikirannya itu telah memberikan arah kepadanya bahwa
kesatuan itu tidak akan bersih kecuali harus dibersihkan terlebih dulu dari segala cacat, yakni
semua orang Arab itu harus bersatu dalam kesatuan tanah air dan aqidah sama halnya seperti
dalam bahasa mereka. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa orang-orang Yahudi dan
Nasrani masih menguasai jazirah Arab. Maka, untuk menggalang persatuan aqidah, kaum
Nasrani Najran dikeluarkan dari semenanjung dan memerintahkan Ya’la bin Umayyah
supaya jangan ada orang yang terperdaya dari agamanya, dan mengeluarkan mereka yang
masih berpegang pada agama mereka. Mereka diberi tanah di Iraq seperti tanah mereka di
Najran. Mereka harus diperlakukan dengan baik. Begitu juga terhadap orang-orang Yahudi di
Khaibar dan Fadak, mereka agar dipindahkan dari tempattempat mereka ke Syam dan
memberi ganti uang sesuai dengan harganya, dan jangan sampai ada yang diganggu. Dengan
demikian seluruh Jazirah Arab itu bersih dari segala keyakinan selain Islam. Sekarang
tegaklah sudah dasar-dasar kesatuan yang dimaksud oleh Amirul mukminin.

Sejak menjadi suatu masyarakat muslim persatuan orang-orang Arab itu dalam aqidah,
kebiasaan dan hubungan sosial terbentuk. Adanya larangan riba, minum- minuman keras,
makan bangkai, darah daging babi dan segala yang disembelih tidak dengan nama Allah,
pembatasan dalam poligami, larangan mengubur anak perempuan hidup-hidup, pengaturan
hubungan sosial serta penertiban waris, semua itu membuat mereka dalam arti hidup
perkotaan menjadi harmonis, suatu hal yang tak pernah mereka rasakan sebelum itu.
Ditambah lagi dengan adanya persatuan aqidah dan ibadah diantara mereka, disamping

11
persatuan ras dan bahasa membuat mereka semakin kuat. b. Dimulainya tahun Hijri
Terbentuknya persatuan Arab di bawah naungan Islam, itulah yang mengilhaminya untuk
menjadikan hijrah Rasulullah sebagai permulaan kalender Arab. Umar berpendapat bahwa
hijrah Nabi ke Yatsrib itu merupakan suatu peristiwa besar dalam sejarah Islam masa
Rasulullah Saw, sebab dengan hijrah inilah permulaan pertolongan Allah kepada Rasul-Nya
diperkuat. Persatuan Arab itu justru menjadi kuat karena karena pilihan yang telah membawa
sukses ini, dan lebih sukses lagi karena ini terjadi pada tahun ke enam belas hijri, tatkala
tokoh-tokoh muslimin berangkat membawa kemenangan di daerah-daerah Kisra dan di
daerah-daerah kaisar, menyerbu Mada’in dan menerobos terus sampai ke Iwan (Balairung)
Agung, membebaskan Baitulmukaddas dan membangun Masjidil Aqsa di amping gereja
Anastasis. Sesudah Umar membandingkan kalender ini dengan kalender-kalender Persia dan
Romawi ternyata kalender ini lebih cemerlang, kalender ini telah menerjemahkan suatu
peristiwa terbesar dalam sejarah dunia. c. Menjadikan Madinah sebagai ibu kota Madinah
adalah tempat Rasulullah Saw berlindung, yang memperkuat dan memberikan pertolongan.
Al-Qur’an diturunkan disini lebih banyak dari pada yang diturunkan di Mekah. Di kota ini
pula kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul.
ajaran-ajaran dan mengenal teladan Rasulullah yang memperkuat dan membela agama Allah.
Di sini pulalah tempat kediaman para pendahulu yang pertama menyambut Islam, tempat
semua orang Arab kemudian berlindung di bawah panjinya. Kemudian oleh Rasulullah pun
dijadiakn ibu kotanya. Dari sini ia mengirim utusan kepada raja-raja dan pemimpin-
pemimpin mengajak mereka bergabung kedalam agama Allah. Dalam hal demikian tidak
heran jika kota ini yang dijadikan ibu kotanya dan menjadi titik perhatian dari segenap
penjuru.

Sesudah berhasil menumpas kaum Riddah (orang-orang murtad), keberhasilan ini telah dapat
memastikan kekuasaannya dan berkembang ke seluruh penjuru Jazirah Arab. Dengan
demikian pusat pemerintahan Islam tetap bertahan sampai kemudian dipindahkan ke
Damsyik pada masa Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.
D. Sistem Penggajian Militer Rampasan Barang Atau Ghanimah

Umar bin Khattab merupakan pemikir yang cerdas, beberapa hasil pemikiran Umar bin
Khattab kontroversial sehingga menimbulkan pro dan kontra di kalangan sahabat dan

12
cendikiawan muslim pada saat itu. Hukum dalam Islam selalu diupayakan berakar kepada
pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagai wahyu Illahi yang untuk sebagian besar
telah membawa prinsip-prinsip umum yang bernilai mutlak, yang senantiasa dapat berlaku
sepanjang waktu dan keadaan. Pengupayaan terwujudnya pesan-pesan terutama dalam hal
yang berkaitan dengan kemasyarakatan telah dikembangkan melalui ijtihad sebagai metode
yang tersedia bagi manusia untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatannya.
Ijtihad adalah upaya pemikiran maksimal manusia yang dikerjakan secara sungguh-sungguh
dalam menemukan dan menerapkan pesan-pesan Tuhan yang termuat dalam al-Qur’an dan
sunnah Rasul. Selain itu Umar bin Khattab dalam memutuskan perkara hukum selalu
berpegang teguh kepada al-Quran dan Hadits. Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh
Umar bin Khattab yang dianggap modern itu adalah ketika Umar bin Khattab melakukan
penanganan urusan kekayaan negara di samping urusan pemerintahan.
Umar bin Khattab paham sekali bahwa sebagai khalifah ia bertanggungjawab penuh terhadap
rakyatnya di mana selain dilindungi, rakyat juga sebagai subjek yang menghasilkan kekayaan
negara (melalui jizyah dan zakat) tetapi sekaligus juga menjadi objek bagi pembelanjaan
negara Madinah pada saat itu yaitu melimpahkan keseluruhan harta negara untuk menjamin
kesejahteraan rakyatnya. Tetapi beliau juga dikenal sebagai orang yang berani melakukan
ijtihad selagi kemaslahatan umat Islam yang menjadi tujuannya. Pada masa pula, perluasan
negara Islam mencapai puncak kegemilangan sehingga menimbulkan akibat timbulnya
kepentingan-kepentingan baru dan perubahan adat kebiasaan lama. Perubahan-perubahan
kebijakan Umar bin Khattab adalah orang pertama dalam Islam yang berfikiran bebas dan
kritis, yang pada masa akhir hidup nabi dengan keberanian moral.

Dalam kedudukannya sebagai mujtahid, Umar bin Khattab termasuk pada orang yang
pertama yang memberikan fatwa. Adapun salah satu ijtihad Umar bin Khattab yang
menimbulkan pro dan kontra ialah mengenai ghanimah. Menurut Muhammad Rawwas,
ghanimah adalah harta yang dirampas dari orangorang Islam dari tentara kafir dengan jalan
perang. dalam ekspansi besar-besaran yang dilakukan Umar bin Khattab sebagai contoh
ketika menaklukan negeri Syam. Sebelumnya, ghanimah selalu dibagikan setelah usai perang
kepada para Mujahid (orang yang ikut perang). Namun Umar bin Khattab berani mengambil
keputusan yang kontroversial, ghanimah tidak dibagikan kepada kaum Muslimin seluruhnya
tetapi diberikan kepada penduduk setempat, sekalipun dia kafir namun yang dia harus
membayar jizyah (pajak), maka orang tersebut disebut kafir dzimmiy, yaitu orang kafir yang

13
taat mengikuti peraturan pemerintah Islam. Dalam ayat dikatakan bahwa 1/5 (seperlima) dari
harta rampasan perang haruslah dibagi kepada enam macam, yaitu: Allah, Rasul, Kerbat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil; maka mafhum-nya 4/5 (empat
perlima) selebihnya dibagikan di antara para tentara yang ikut berperang. Mafhum ini
diperkuat oleh perbuatan Nabi yang telah membagikan harta rampasan perang di Khaibar
kepada tentara-tentara yang ikut berperang.
Atas dasar ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi maka para tentara yang ikut berperang di Irak dan
Syam 1/5 (seperlima) dari padanya segera dikeluarkan untuk enam komponen yang tersebut
dalam ayat dan selebihnya dibagikan kepada tentara yang ikut berperang. Dalam riwayat lain
disebutkan, bahwa Saad bin Abi Waqqas menulis surat kepada Umar bin Khattab bahwa bala
tentara yang berada di bawah pimpinannya telah meminta agar tanah rampasan perang di Irak
dan Syam segera dibagi-bagikan. Terhadap permintaan itu Umar bin Khattab menolak untuk
membagikan tanah rampasan tersebut. Sebaliknnya Umar bin Khattab menetapkan agar tanah
tersebut tetap berada pada tangan pemilik dan penggarapnya, hanya saja kepada mereka
diwajibkan membayar pajak dan pajak itulah yang kemudian untuk Baitul Mal yang
selanjutnya dipakai untuk kepentingan dan kemaslahatan kaum muslimin, termasuk
kepentingan para tentara tersebut.43 Sikap penolakan Umar bin Khattab ini menimbulkan
problematika, karena soal pembagian harta rampasan perang itu sebenarnya telah disebutkan
secara tegas di dalam nash baik al-Qur’an dan Sunnah, yang melatarbelakangi Umar bin
Khattab untuk mengambil sikap tersebut, diantaranya:

Pertama, bahwa setelah tanah-tanah itu berada di tangan dan kekuasaan kaum muslimin,
selanjutnya perlu pemeliharaan. Untuk itu perlu ditempatkan tentara guna pengamanannya
yang tentunya juga perlu di beri tanah untuk tempat tinggal mereka, juga penghidupan
mereka. Seandainya tanah itu telah dibagi maka tujuan pemeliharaan tersebut tidak tercapai.
Kedua, apabila tanah-tanah itu dibagikan kepada para tentara yang ikut berperang, maka
dikhawatirkan akan dapat menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin karena
dengan pembagian itu berarti pemilik tanah-tanah tersebut akan mengelompok kepada
kalangan tertentu yakin tentara-tentara yang ikut berperang saja. Bagaimana dengan kaum
muslimin yang kebetulan tidak ikut berperang atau yang datang kemudian. Ketiga, apabila
tanah-tanah itu dibagi-bagikan kepada para tentara yang ikut berperang maka dikhawatirkan
akan dapat melemahkan kekutan tentara Islam sendiri karena hal itu dapat menstimulir untuk
berperang dengan motivasi bukan karena Allah melainkan karena untuk mendapatkan harta

14
rampasan.
Ijtihad Umar bin Khattab menjadi urgen dan relevan dalam konteks perpolitikan masa kini,
dimana kekuasaan dan uang dijadikan sebagai poros sekaligus sumbu kehidupan. Karena
ijtihad yang dibangun dan dikembangkan merupakan hasil dari pendekatan fiqih kontekstual
yang berbeda dari mayoritas sahabat Rasulullah SAW pada masa itu. Puluhan bahkan ratusan
kali ijtihad ini diimplementasikan pada pemerintahan Islam. Sehingga menimbulkan apa yang
disebut para sejarawan dengan masa pemerintahan kejayaan Islam yang dirasakan
keadilannya oleh semua lapisan masyarakat baik yang miskin maupun kaya, baik yang
muslim maupun non muslim.46 Umar bin Khattab dikenal sebagai sosok pemikir yang
cerdas, keras, dan pemberani. Setelah menjabat kedua pada masa khulafaurrasidin, ia telah
banyak mengeluarkan pemikiran yang kreatif. Tidak jarang hasil pemikiran-pemikirannya
tersebut secara tekstual berbeda. Oleh karena itu, pemikiran yang kontroversial ini sering
menimbulkan pro dan kontra di kalangan sahabat dan cendikiawan pada saat itu. Sebagian
dari mereka ada yang dapat memahami dan menerima pemikiran inovatif Umar bin Khattab
tetapi sebagian lainnya sulit menerima dan menolak keras pemikirannya. Dari sebagian
mereka yang menolaknya, menganggap Umar bin Khattab keluar dari tuntunan hidup
beragama yang diajarkan oleh Rasululah SAW. Pada masanya pula, perluasan negara Islam
penuh kegemilangan di beberapa tempat. Itulah sebabnya banyak perubahan kebijakan akibat
timbulnya kepentingan-kepentingan baru dan perubahanperubahan adat dan kebiasaan lama.
Maka tidak heran jika perubahan-perubahan di atas akan berakibat pada perubahan hukum.

E. Pertumbuhan Ilmu Keislaman Pelimpahan Wewenang Kepada Hakim Daerah


sistem pertanahan dan Sistem Kependudukan

Umar bin Khattab, sebagai Khalifah kedua dalam sejarah Islam, memperkenalkan sistem
keilmuan Islam yang mendalam dalam penanganan pertanahan. Salah satu aspek yang
ditetapkannya adalah hakim daerah yang memiliki pengetahuan luas dalam hukum Islam dan
pertanahan untuk menyelesaikan sengketa tanah berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Umar
juga mengeluarkan kebijakan tentang pemakaian tanah yang tidak digunakan dengan efisien,
serta memberikan hak kepada individu untuk memanfaatkan tanah yang tidak dimiliki oleh
siapapun dengan cara yang produktif, dengan tetap memperhatikan prinsip kepemilikan
dalam Islam. Kebijakan Umar dalam sistem pertanahan dan kependudukan pada masa
pemerintahannya cenderung mengedepankan prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat. Dalam konteks hakim daerah, Umar bin Khattab menerapkan kebijakan untuk

15
memastikan bahwa hakim memiliki kualifikasi yang baik dan integritas yang tinggi dalam
menangani kasus-kasus pertanahan dan kependudukan. Selain itu, Umar juga
menginstruksikan agar hakim berlaku adil tanpa memandang status sosial atau kekayaan,
serta memberikan perlindungan bagi hak-hak rakyat kecil dalam hal kepemilikan tanah dan
pemukiman. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, wewenang hakim daerah dalam sistem
pertanahan dapat berbeda-beda tergantung pada kondisi dan kebutuhan masyarakat di daerah
tersebut. Umar bin Khattab memperkenalkan sistem administrasi yang efisien dan adil,
termasuk dalam pengaturan pertanahan. Hakim daerah pada masa itu biasanya bertanggung
jawab atas penyelesaian sengketa pertanahan, pemberian tanah kepada yang berhak, dan
pemeliharaan ketertiban umum di wilayah mereka. Umar bin Khattab juga dikenal karena
menegakkan keadilan dan menegaskan hak-hak rakyat, termasuk hak atas tanah. Khalifah
Umar bin Khattab menerapkan kebijakan yang memberi wewenang luas kepada hakim
daerah dalam berbagai aspek pemerintahan, termasuk dalam masalah pertanahan. Beberapa
kebijakan yang diterapkan oleh Umar untuk kewenangan hakim daerah di antaranya adalah:

1. Penyelesaian Sengketa: Hakim daerah bertanggung jawab atas penyelesaian sengketa,


termasuk sengketa pertanahan, dengan adil dan berdasarkan hukum Islam.

2. Pemberian Tanah: Hakim daerah memiliki kewenangan untuk memberikan tanah kepada
yang berhak, baik itu untuk tujuan pertanian, pemukiman, atau keperluan lainnya, dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan keadilan.

3. Pemeliharaan Ketertiban: Hakim daerah bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban


umum di wilayahnya, termasuk dalam hal pengawasan dan penegakan aturan terkait dengan
pertanahan.

4. Pengawasan Terhadap Pemungutan Pajak: Umar memastikan bahwa hakim daerah juga
memiliki tanggung jawab untuk mengawasi pemungutan pajak yang dilakukan secara adil
dan sesuai dengan ketentuan Islam.

5. Perlindungan Hak Rakyat: Umar menekankan perlunya hakim daerah untuk melindungi
hak-hak rakyat, termasuk hak-hak atas tanah, dari eksploitasi atau penyalahgunaan oleh pihak
lain.

16
Kebijakan-kebijakan ini mencerminkan prinsip keadilan, efisiensi administrasi, dan
perlindungan hak asasi manusia yang menjadi prioritas dalam pemerintahan Umar bin
Khattab.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Di tengah
perdebatan antara kaum Anshor dan Muhajirin Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah
yaitu Abu Ubaidah bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak
usulan itu, lalu Umar dengan suara yang lantang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah
yang diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti
yang dilakukan oleh Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan
tersebut. Konsep khilafah Abu Bakar merupakan prestasi tersendiri baginya, sebab beliau
meletakkan pondasi kenegaraan yang teratur serta pondasi persatuan umat. Salah satu
prestasi yang tertinggi dari masa kepemimpinannya adalah pengumpulan al-Qur’an di
dalam satu mushaf, sehingga pengaruh Islam lebih cepat dan mudah menyebar di penjuru
dunia. pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah merupakan fenomena yang baru
yang menyerupai penobatan putra mahkota, tetapi harus dicatat bahwa proses peralihan
kepemimpinan tersebut tetap dalam bentuk musyawarah yang tidak memakai sistem
otoriter. Sebab Abu Bakar tetap meminta pendapat dan persetujuan dari kalangan sahabat
Muhajirin dan AnsharDi zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan)
pertama terjadi. Wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina,
Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Pada masa pemerintahan khalifah Umar
, ia menundukkan daerah Syam, Irak dan Mesir sebagai wilayah kekuasaan Islam. Beliau
juga yang menyinari bulan Ramadhan dengan shalat Tarawih, memulai penanggalan
Islam dengan dimulai dari peristiwa Hijrah, yang sampai saat ini terus berlaku. Dia pula
yang pertama kali dinamakan sebagai Amirul Mu’minin. Beberapa kebijakannya tentang ;
Memperkukuh Persatuan dan Kesatuan Bangsa Arab, Dimulainya tahun Hijri, Sistem
Pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sadar bahwa di dalam

17
makalah ini masih terdapat kekurangan yang perlu dibenahi.Oleh karena itu, kritik dan
saran dari bapak dosen dan audiens sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah
kami. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Audah, Ali, Rekontruksi pemkiran dalam Islam, Jakarta:

Tinta mas,1996. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I, Jakarta:

Ichtiar van Hoeve, 1997 Haekal, Muhammad, Husain, Abu Bakr As-Siddiq, terj. Ali Audah,
Abu Bakar asSiddiq Sebuah Biogra. Cet. II; Bogor: Pustaka

Litera Antar Nusa, 2001 K. Hitti, Philip, History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Hakim
dan Dedi Selamet Riyadi. Cet. I ; Jakarta: PT

Serambi Ilmu Semesta, 2013. Mahmud, Abbas, Aqqad, Abqariyah Umar, terj. Abdulkadir
Mahdamy, Menyusuri Jejak Manusia Pilihan,Umar bin Khattab, Cet I; Solo:

18
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003. Mufradi, Ali, Islam dan Kawasan kebudayaan Arab,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Nasution, Harun , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jakarta: UI-Press, 2010. Sou’yb,
Joesoef, Sejarah Daulat Khulafaurrasyidin, Cet. 1: Jakarta:

Bulan Bintang, 1979. Sulaiman Muhammad al-Thamawy, Umar bin Khattab, Cet.II; Cairo
t.p.,1996. Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, 1997.

Yusuf Muhammad al-Kandahlawy, Mukhtashar Hayatush-Shahabat, diterjemahkan oleh


Kathur Suhardi dengan judul Sirah Shahabat, Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998.

19

Anda mungkin juga menyukai