Anda di halaman 1dari 39

PERENCANAAN PENGELOLAAN LIMBAH

KEGIATAN PERTAMBANGAN NIKEL


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Teknik Pengelolaan Limbah Industri Pertambangan

Dosen Pengampu
Rr. Dina Asrifah, S.T., M.Sc.
Disusun Oleh
Kelompok 1
Teknik Pengelolaan Limbah Industri Pertambangan TL-C

Quinta Kezia Maharani (114210038)


Sintha Kusuma Wardhani (114210050)
Ricky Al Fahri (114210051)
Matthew Ardito D.N (114210059)
Ilmam Farizi (114210075)
Maritza Syandita Salsabila (114210092)
Sabrina Salma Aulia Putri (114210120)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN “VETERAN” YOGYAKARTA
2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Tujuan.......................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................3
2.1 Nikel.........................................................................................................................3
2.2 Genesa Bijih Nikel.....................................................................................................4
2.3 Endapan Nikel Laterit...............................................................................................7
2.4 Industri Pertambangan Bijih Nikel Indonesia............................................................8
2.5 Tahapan Penambangan Bijih Nikel............................................................................9
2.6 Tahapan Pengolahan Bijih Nikel..............................................................................11
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................................21
3.1 Pengolahan Bijih Nikel............................................................................................21
3.2 Analisis Kualitas Air Limbah....................................................................................23
3.3 Rekomendasi Pengolahan Limbah..........................................................................25
BAB IV PENUTUP.............................................................................................................33
4.1 Kesimpulan...................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah, salah
satunya adalah nikel. Dengan permintaan global yang terus meningkat, terutama
dalam industri manufaktur seperti otomotif dan elektronik, Indonesia memiliki
potensi besar untuk mengembangkan industri pertambangan nikel. Cadangan nikel
yang signifikan di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua menjadi faktor penentu
dalam pengembangan industri ini. Pemerintah Indonesia memberikan dukungan
kuat melalui kebijakan perpajakan yang menguntungkan dan insentif investasi
lainnya untuk mendorong pertumbuhan industri pertambangan nikel serta menarik
investasi dalam eksplorasi dan pengembangan tambang. Namun, di samping
manfaat ekonominya, industri ini juga menghadapi tantangan lingkungan dan sosial
seperti kerusakan lingkungan, konflik dengan masyarakat lokal, dan masalah
kesehatan akibat polusi. Oleh karena itu, pemerintah telah memperketat regulasi
dan pengawasan terkait pertambangan nikel untuk memastikan keberlanjutan
lingkungan dan keselamatan kerja.
Pengolahan limbah dalam industri pertambangan nikel di Indonesia
merupakan perhatian utama karena proses ekstraksi dan pemrosesan nikel
menghasilkan limbah berupa tailing, limbah cair, dan limbah padat dengan volume
yang signifikan. Limbah-limbah ini dapat memiliki dampak serius terhadap
lingkungan, termasuk pencemaran air dan tanah oleh logam berat seperti nikel,
kobalt, dan kromium, yang pada gilirannya dapat membahayakan flora, fauna, dan
kesehatan masyarakat setempat. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan regulasi
ketat terkait pengelolaan limbah dalam industri pertambangan nikel untuk
memastikan kepatuhan dan perlindungan lingkungan yang lebih baik. Pengelolaan
limbah memerlukan teknologi canggih dan mahal, seperti pengendapan, filtrasi, dan
pemurnian kimia, untuk mengurangi kandungan logam berat sebelum pembuangan.

iii
1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengolahan limbah yang tepat bagi kegiatan / usaha tambang bijih
nikel.
2. Mengetahui karakteristik dari limbah yang dihasilkan oleh kegiatan / usaha tambang
bijih nikel.
3. Merekomendasikan tahapan pengolahan air limbah yang dihasilkan berdasarkan
hasil identifikasi.

iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nikel
Nikel merupakan logam berkilau berwarna putih keperakan yang keras,
mudah dibentuk, dan mudah dipoles. Nikel memiliki konduktivitas termal dan listrik
yang cukup rendah dan dapat dimagnetisasi. Sifat-sifat yang penting dalam aplikasi
industri meliputi ketahanan terhadap oksidasi dan korosi oleh alkali, kekuatan pada
suhu tinggi, dan kemampuan untuk membentuk paduan dengan banyak logam
lainnya (Bide et al., 2008). Karakteristik fisik dari Nikel dapat dilihat melalui tabel
berikut ini:

Tabel 1. Karakteristik Fisik Nikel


Simbol Ni
Nomor Atom 29
Berat Atom 58.6934
Densitas pada 293 K 8902 Kg/m3
o
Titik Leleh 1453 C
o
Titik Lebur 2732 C
Struktur Kristal Kubik face centered
Kekerasan 3.8 Mohs
Konduktivitas 22 %(berdasarkan
Elektrik International Annealed
Copper Standard)
(Sumber : Bide et al., 2008)

v
Gambar 1. Batu Laterit yang Mengandung Bijih Nikel
(Sumber : Bide, 2008)
Nikel adalah unsur paduan utama dari stainless steel, dan mengalami
pertumbuhan yang sangat cepat seiringan dengan peningkatan permintaan stainless
steel. Saat ini lebih dari 65% nikel digunakan dalam industri stainless steel, dan
sekitar 12% digunakan dalam industri manufaktur super alloy atau nonferrous alloy.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara penghasil nikel di dunia dari jenis
lateritik. data produksi dan cadangan nikel dunia berdasarkan laporan United States
Geological Survey pada Januari 2015. Dari segi potensi cadangan, indonesia
menempati urutan ke-enam dengan potensi cadangan sebesar 5% dari total seluruh
cadangan dunia seperti. Hal ini menunjukkan posisi penting Indonesia di dunia
pertambangan bijih nikel. Cadangan nikel dunia saat ini yaitu jenis lateritik sebanyak
72% dan sisanya sulfide, tetapi produksi nikel saat ini sebagian besar diperoleh dari
jenis sulfida yaitu sebanyak 58% dan sisanya 42% dari jenis lateritic (Setiawan,2016).

2.2 Genesa Bijih Nikel


Bijih nikel dapat ditemukan di dalam batuan laterit. Menurut Elias (2002),
laterit dapat terbentuk dari proses laterisasi yang merupakan proses pelapukan
kimiawi yang terjadi di daerah dengan iklim lembab dalam waktu yang lama dan
dengan kondisi tektoknik yang relatif stabil. Secara sederhana, proses laterisasi
melibatkan pecahnya mineral primer dan lepasnya komponen kimia dari mineral-
mineral primer yang lapuk tersebut ke dalam airtanah (groundwater). Setelah itu,
terjadi pencucian dari komponen mobile, konsentrasi sisa komponen tidak bergerak
atau tidak larut, dan pembentukan mineral baru yang stabil di dalam lingkungan

vi
pelapukan. Efek bersih dari transformasi mineral dan mobilitas diferensial unsur-
unsur yang terlibat menghasilkan mantel berlapis atau berlapis dari bahan lapuk
yang menutupi batuan induk tempat ia terbentuk, yang umumnya disebut sebagai
“profil laterit”.

Gambar 2. Profil Laterit Berserta Kandungan Unsur Kimia


(Sumber : Elias, 2002)
Secara umum, bijih nikel laterit terbagi dua berdasarkan letak ditemukannya
di dalam tanah. Menurut Prambodo (2020), bijih nikel laterit terbagi atas bijih nikel
laterit limonit dan bijih nikel saprolit. Proses genesa nikel laterit sekunder secara rinci
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dimulai dengan proses pelapukan pada batuan peridotit yang
merupakan batuan beku ultrabasa dan mengandung olivine, magnesium
silikat, dan besi silikat.
2. Batuan peridotit yang sangat mudah hancur ini melapuk akibat adanya
infiltrasi air tanah yang kaya CO2 yang akan menghancurkan olivine.
3. Mengurangnya kandungan mineral dalam batuan peridotit tersebut
akan membentuk suspensi koloid dan partikel silika.
4. Setelah itu, larutan besi akan bereaksi dengan oksida dan mengendap
menjadi ferri hidroksida yang akan membentuk mineral-mineral baru
seperti geotit (FeO(OH)), hematit (Fe2O3), dan kobalt.

vii
5. Magnesium dan nikel silikat akan tertinggal di dalam larutan selama air
tanah bersifat asam.
6. Terjadi pengkayaan (Enrichment) bijih nikel akibat pelarutan mineral-
mineral yang terendapkan. Kandungan nikel akan bertambah hingga
batuan memiliki kadar nikel sebesar 1,5% dari batuan yang hanya
mengandung 0,25% nikel. Kadar ini merupakan kadar nikel pada batuan
yang sudah dapat ditambang .
Batuan ultrabasa terkait ofiolit kapur tersebar luas di seluruh sabuk
metalogenik di Indonesia, termasuk sabuk Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Maluku
Utara. Batuan ultrabasa ini membentuk batuan dasar tempat berkembangnya endapan
Ni laterit. Batuan ini terutama terdiri dari 70% peridotit yang terbuat dari harzburgit,
lherzolit, dan dunit kecil serta 30% piroksenit dan gabbro, yang telah mengalami
metamorfisme tingkat tinggi regional dan pelapukan kuat yang mengakibatkan
terbentuknya serpentinit. Di sabuk Sulawesi, endapan laterit Kolonodale dan Morowali
Ni ditampung oleh harzburgit dan lherzolit, sedangkan endapan laterit Sorowako Ni
ditumbuhkan oleh harzburgit dan dunit. Sabuk laterit Weda Bay Ni Maluku Utara juga
dikembangkan pada dunit dan harzburgite. Serpentin, olivin, ortopiroksen, dan, dalam
beberapa kasus, klinopiroksen dominan dalam peridotit kelompok laterit Kolonodale
dan Weda Bay Ni. Piroksenit dari endapan laterit Morowali Ni pada dasarnya
mengandung ortopiroksen sebagai mineral utama, sedangkan serpentin merupakan
produk alterasi ortopiroksen. Fase seperti bedak juga diamati pada batuan dasar
peridotit pada endapan laterit Kolonodale dan Morowali (Tamehe et al., 2024).

viii
Gambar 3. Profil Nikel Laterit Indonesia (Kolonodale Ni deposit)
(Sumber: Tamehe et al., 2024)

2.3 Endapan Nikel Laterit


Berdasarkan profil nikel laterit yang telah diberikan, endapat nikel laterit
terdiri atas beberapa bagian. Menurut Rahmi dan Yulhendra (2019), endapan-
endapat terbagi atas:
2.3.1 Lapisan Tanah Penutup (Top Soil)
Lapisan tanah penutup disebut juga sebagai iron capping. Pada
lapisan ini, material berukuran lempung dengan warna coklat kemerahan
dan terdapat sisa-sisa tumbuhan. Lapisan ini mengalami pengayaan Fe
karena berasal dari konkresi Fe-oksida mineral hematit (Fe 2O) dan
chromiferrous (FeCr2O4) dengan kandungan nikel yang relatif rendah. Lapisan
ini memiliki ketebalan antara 0 – 2 m.
2.3.2 Zona Limonit
Zona limonit merupakan zona yang berwarna coklat muda dengan
ukuran butir lempung sampai pasir dan tekstur batuan asal yang mulai dapat
diamati. Lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 1 – 10 m. Pada zona limonit
hampir seluruh unsur yang mudah larut hilang terlindi, kadar MgO hanya
tinggal kurang dari 2% berat dan kadar SiO 2 berkisar 2 - 5% berat. Sebaliknya
kadar hematite menjadi sekitar 60 - 80% berat dan kadar Al 2O3 maksimum

ix
7% berat. Kandungan Ni pada zona ini berada pada selang antara 1% sampai
1,4%. Zona ini didominasi oleh mineral goetite, dan juga terdapat
magnetite, hematite, chromite, serta kuarsa sekunder.
2.3.3 Zona Saprolit
Zona saprolit merupakan lapisan dari batuan dasar yang sudah
lapuk, berupa bongkah-bongkah lunak berwarna coklat kekuningan sampai
kehijauan. Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat. Perubahan
geokimia zona saprolit yang terletak di atas batuan asal ini tidak banyak, H 2O
dan Nikel bertambah, dengan kadar Ni keseluruhan lapisan antara 2 - 4%,
sedangkan magnesium dan silikon hanya sedikit yang hilang terlindi. Zona ini
terdiri dari garnierit yang menyerupai bentuk vein, mangan, serpentin,
kuarsa sekunder bertekstur boxwork (tekstur seperti jaring laba-laba),
krisopras, dan di beberapa tempat sudah terbentuk limonit yang
mengandung Fe-hidroksida. Pada Unit Geomin, zona saprolit dapat dibagi
menjadi dua bagian yakni Low Saprolit Ore Zone (LSOZ) dengan kandungan
unsur Ni berkisar antara 1,4% sampai 1,8% dan kandungan unsur Fe < 40%
serta High Saprolit Ore Zone (HSOZ) dengan kandungan Ni >1,8% dan unsur
Fe < 30%.
2.3.4 Bedrock
Merupakan bagian terbawah dari profil Nikel Laterit, berwarna hitam
kehijauan, terdiri dari bongkah-bongkah batuan dasar dengan ukuran > 75
cm, dan secara umum sudah tidak mengandung mineral ekonomis. Kadar
mineral mendekati atau sama dengan batuan asal, yaitu Fe ± 5% serta Ni dan
Co antara 0,01 – 0,30%. Pada gambar 2 dapat dilihat bentuk proses endapan
Nikel Laterit.

x
Gambar 4. Endapan Nikel Laterit
(Sumber: Tamehe et al., 2024)

2.4 Industri Pertambangan Bijih Nikel Indonesia


Nikel merupakan salah satu komponen utama dalam produksi baterai
kendaraan listrik. Tidak mengherankan jika pemerintah ingin memanfaatkan sumber
daya alam yang kaya ini. Transisi dari energi fosil ke energi listrik yang lebih
berkelanjutan mendorong pertumbuhan kendaraan listrik di seluruh dunia. Dengan
berkembangnya industri ketenagalistrikan secara besar-besaran dan meningkatnya
kesadaran pengguna mobil untuk beralih ke kendaraan listrik, kebutuhan baterai
sebagai komponen utama sumber energi juga meningkat drastis. Hal ini juga akan
memfasilitasi perluasan industri pertambangan nikel, yang merupakan bahan baku
utama produksi baterai dan permintaannya terus meningkat. Tujuan pemerintah
memperluas penambangan nikel secara signifikan adalah menjadikan Indonesia
sebagai produsen suku cadang baterai untuk kendaraan listrik. Selain menjalankan
aktivitas penambangan nikel, Indonesia juga menjadi produsen nikel terbesar di
dunia. Meningkatnya permintaan nikel dan era kendaraan rendah polusi
menjadikan nikel sebagai bahan baku penting untuk produksi baterai kendaraan
(Syarifuddin, 2011).

2.5 Tahapan Penambangan Bijih Nikel

xi
1. Pembersihan Lahan, yakni tahap yang dilakukan agar lokasi kegiatan
penambangan bersih dari semak-semak, pepohonan kecil hingga besar, dan
bongkahan-bongkahan batu yang dapat menghalangi pekerjaan.
2. Pengupasan Tanah
Setelah lahan dibersihkan, tanah pucuk atau top soil yang subur
selanjutnya diambil dan ditimbun di area tertentu. Lokasi timbunan tanah
pucuk tersebut dapat ditanami semak-semak atau rerumputan untuk
mencegah terjadinya erosi. Tahapan penambangan nikel berikutnya adalah
overburden removal yang dilakukan dengan backfilling digging atau
beaching system. Adapun tanah penutup sengaja diambil supaya nantinya
kegiatan penggalian atau penambangan bijih nikel di lokasi dapat lebih
mudah. Lapisan tanah yang telah dikupas kemudian ditimbun di area khusus
yang populer dengan istilah disposal area.
3. Penggalian
Penggalian endapan nikel laterit biasanya dilakukan dengan cara
open pit. Penambangan dengan cara open pit adalah penambangan terbuka
yang dilakukan untuk menggali endapan-endapan bijih metal seperti
endapan bijih nikel, endapan bijih besi, endapan bijih tembaga, dan
sebagainya. Caranya adalah dengan menggali dan mengeluarkan endapan
galian bijih nikel dari dalam ke permukaan bumi. Ketika mulai menambang,
ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, mulai dari segi ekonomis,
teknis, hingga teknologi yang digunakan. Posisi dan kedalaman endapan juga
perlu diketahui agar dapat menerapkan metode penambangan yang tepat.

Gambar 5. Open Pit di PT. ANTAM Tbk.

xii
(Sumber: Rahmi dan Yulhendra, 2019)
4. Pengangkutan
Menurut Rahmi dan Yulhendra (2019), pengangkutan nikel laterit dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni:
i. Cara Konvensional

Gambar 6. Cara Pengangkutan Konvensional


(Sumber: Kolga et al., 2015)
Cara konvensional merupakan cara dimana hasil galian atau
peledakan diangkut oleh truck / belt conveyor / mine car / skip
dump type rail cars, dan sebagainya, langsung dari tempat
penggalian ke tempat dumping dengan menelusuri tebing-tebing
sepanjang bukit.
ii. Cara Inkonvensional
Cara inkonvensional merupakan cara dimana hasil galian /
peledakan ke tempat dumping dengan menggunakan cara
kombinasi alat-alat angkut. Misalnya dari permuka/medan kerja
(front) ke tempat crusher digunakan truk, dan selanjutnya melalui
ore pass ke loading point ; dari sini diangkut ke ore bin dengan
memakai belt conveyor, dan akhirnya diangkut ke luar tambang
dengan cage.

xiii
Gambar 7. Pengangkutan Inkonvensional
(Sumber: Park dan Choi., 2021)
5. Penimbunan
Penimbunan dapat dilakukan dengan blok model waste dan low grade akan
digunakan untuk proses reklamasi atau penimbunan dengan kadar rata-rata
untuk waste Ni = 1 dan untuk nilai kadar low grade Ni > 1.3 % sampai <1.5 %
pada waste dan low grade

2.6 Tahapan Pengolahan Bijih Nikel


1. Penghancuran Batu Asal
Tahapan pertama yang dilakukan dalam proses ekstraksi dan
pengolahan bijih nikel adalah penghancuran batu asal (crushing). Crushing
dapat dilakukan dengan menggunakan proses kompresi atau penekanan
bijih terhadap permukaan yang kaku atau dengan tumbukan terhadap
permukaan dalam jalur gerak yang dibatasi secara kaku (Haldar, 2018).
Menurut Haldar (2018), penghancuran batuan asal depat dilakukan dalam
tiga tahap, yakni:
a. Penghancur Primer (Primary Crusher)

xiv
Penghancuran primer adalah proses penghancuran yang
menggunakan mesin tugas berat yang digunakan untuk menghancurkan
bijih ROM berukuran (−) 1,5 m. Bijih berukuran besar ini direduksi pada
tahap penghancuran primer untuk menghasilkan dimensi produk
keluaran 10–20 cm. Penghancur primer yang umum adalah tipe rahang
dan gyratory.

Gambar 8. Penghancur Tipe Rahang


(Sumber: Haldar, 2018)

Gambar 9. Penghancur Tipe Gyratory


(Sumber: Haldar, 2018)

b. Penghancur Sekunder (Secondary Crusher)


Penghancur sekunder terutama digunakan untuk mendapatkan
kembali produk penghancur utama. Bahan hancur yang berdiameter
sekitar 15 cm yang diperoleh dari penyimpanan bijih dibuang sebagai

xv
produk penghancur akhir. Ukurannya biasanya berdiameter antara 0,5
hingga 2 cm sehingga cocok untuk digiling. Penghancur sekunder
memiliki bobot yang relatif lebih ringan dan ukuran yang lebih kecil.
Mereka umumnya beroperasi dengan pakan kering bersih tanpa elemen
berbahaya seperti serpihan logam, kayu, tanah liat, dll. yang dipisahkan
selama penghancuran primer. Penghancur sekunder yang umum adalah
tipe kerucut, gulungan, dan tumbukan.

Gambar 10.
Penghancur Tipe Gambar 11. Penghancur
Kerucut Tipe Gulungan
(Sumber: Haldar, 2018) (Sumber: Haldar, 2018)

Gambar 12. Penghancur Tipe Tumbukan


(Sumber: Haldar, 2018)

xvi
c. Penghancur Tersier (Tertiary Crusher)
Jika pengurangan ukuran tidak selesai setelah penghancuran
sekunder karena bijih ekstra keras atau dalam kasus khusus di mana
penting untuk meminimalkan produksi butiran halus, penghancuran
ulang tersier direkomendasikan menggunakan penghancur sekunder
dalam sirkuit tertutup. Limpahan layar penghancur sekunder
dikumpulkan dalam wadah.

Gambar 13. Penghancur Tersier


(Sumber: Haldar, 2018)

2. Penggilingan
Pemrosesan awal laterit sangat penting untuk tahap proses
selanjutnya. Proses penggilingan merupakan langkah awal dalam
memisahkan mineral yang dibebaskan dari mineral yang tidak diinginkan
dan meningkatkan luas permukaan. Penggilingan mengkonsumsi sejumlah
besar energi pada tahap awal proses pengolahan mineral. Proses
penggilingan dapat menghabiskan hingga 70% energi di pabrik pengolahan
mineral. Biasanya, langkah penggilingan terjadi menjelang akhir proses
kominusi. Ball mill adalah jenis mesin penggiling yang menggunakan
kombinasi benturan dan abrasi untuk memperkecil ukuran partikel. Kunci
keberhasilan pengolahan mineral adalah menciptakan kondisi
pengoperasian yang optimal (Prameswara et al., 2022).

xvii
3. Pengapungan
Menurut Rao (2000), mineral-mineral nikel sulfida seperti pentlandit
pada umumnya dapat dipisahkan dari gangue-nya dengan cara Sortasi
menggunakan kelompok pengumpul athiol seperti xantat dan
alkyldithiofosfat dengan adanya berbagai aktivator, depresan, dan dispersan.
Karena nikel sulfida mengandung sulfur lain seperti pirhotit, pentlandit, dan
kalkopirit, maka pengayaan nikel pada umumnya dilakukan dengan dua cara:
a. Produksi konsentrat curah yang mengandung semua sulfida yang
diolah bersama-sama sebagai umpan peleburan
b. Produksi konsentrat kalkopirit} pentlandit curah dengan menekan
pirhotit secara istimewa diikuti dengan sortasi selektif kalkopirit dan
pentlandit.
Menurut Andrade (2018), untuk nikel sulfida, setelah permukaan
sulfida terkena oksigen, baik di udara atmosfer atau air, permukaan tersebut
mulai teroksidasi. Logam dari permukaan mineral dilepaskan ke dalam
larutan, dan kemudian menghasilkan lapisan kekurangan logam atau
kompleks logam-hidroksida ketika berada dalam kondisi basa. Laju oksidasi
penting dalam pengapungan waktu tinggal lama untuk memeriksa apakah
mineral teroksidasi atau tidak selama proses.

Gambar 14. Ilustrasi Pengapungan


(Sumber: Haldar, 2018)
Metode pengapungan yang dapat dipakai adalah flotasi buih (froth
floatation). Metode pengapungan ini terdiri dari proses fisika-kimia yang

xviii
terjadi di antara sistem tiga fase: padat, cair dan gas. Pemisahan ideal terjadi
ketika partikel padat hidrofobik bertabrakan, menempel, dan terbawa oleh
gelembung gas ke permukaan kontak cair-gas. Sedangkan partikel padat
hidrofilik tertekan ke bawah, dalam fase cair (Andrade, 2018).

Gambar 15. Metode Froth Floatation


(Sumber: Haldar, 2018)

4. Perlindian
Proses perlindian dalam ekstraksi bijih nikel dapat dilakukan dengan
menggunakan proses High Pressure Acid Leaching (HPAL). Menurut Djouani
(2022), bijih campuran akan dicairkan sebentar dan dipanaskan pada suhu
250-225 oC dalam autoklaf berlapis titanium dengan injeksi uap dan asam
sulfat, dan nikel serta kobalt diekstraksi ke dalam larutan asam bersama
dengan besi dan aluminium. Pada suhu tinggi seperti itu, besi dan
aluminium terhidrolisis dan mengendap sebagai hematit dan berbagai fase
campuran alunit/jarosit, tergantung pada kondisi pelindian. Hidrolisis ini
menghasilkan asam dan mengurangi konsumsi asam secara keseluruhan
dalam proses HPAL, menyisakan sekitar 50-60 g/l asam bebas dalam larutan
pelindian. Bubur pelindian "dikeluarkan" dari autoklaf, padatan dipisahkan

xix
dari cairan dengan dekantasi arus berlawanan (CCD), cairan dinetralkan
untuk menghilangkan besi (III), aluminium dan kromium (III) serta nikel dan
kobalt yang dapat larut. selanjutnya diproses. Pelindian bertekanan
dilakukan di tangki Pachuca (Moa Bay) atau autoklaf berlapis titanium
(semua pabrik modern). Suhu pelindian bervariasi dalam kisaran 245 hingga
270°C. Pemisahan padat-cair dilakukan dengan metode Counter-Current
Decantation (CCD). Di pabrik modern, pemisahan tersebut dilakukan dengan
ekstraksi pelarut (SX).

Gambar 16. Penyederhanaan Skema Perlindian


(Sumber: Bahfie,2023)

xx
Gambar 17. Skema Perlindian
(Sumber: Prambodo,2020)
5. Pemekatan
Untuk meningkatkan hasil dan kadar nikel yang dibutuhkan dari
proses perlindian, perlu dilakukan pemekatan bijih nikel. Pemekatan ini
dapat dilakukan dengan metode presipitas. Metode presipitasi merupakan
proses pengendapan senyawa melalui reaksi kimia atau terbentuknya
endapan nikel dari larutan yang mengandung ion nikel. Proses ini dilakukan
dengan menambahkan senyawa kimia tertentu ke dalam larutan nikel yang
mengakibatkan terbentuknya endapan padat nikel. Endapan nikel hidroksida
(Ni(OH)2) berupa padatan berwarna biru kehijauan yang mengendap di
dasar tabung reaksi (Wanta, et al., 2019). Dijelaskan lebih lanjut oleh Wanta
et al. (2019), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses presipitasi nikel

xxi
antara lain perubahan suhu, pH, dan konsentrasi zat pengendap. Adapun
reaksi yang terjadi selama proses presipitasi nikel ini antara lain:
Ni2+ + 2NaOH → Ni(OH)2 + 2Na+
Co2+ + 2NaOH → Co(OH)2 + 2Na+
Selain larutan Natirum Hidroksida (NaOH), senyawa kimia lain yang
dapat digunakan dalam proses presipitasi nikel antara lain Natrium Karbonat
(Na2CO3), Ammonium Hidroksida (NH4OH), dan Amonium Karbonat
((NH4)2CO3). Adapun reaksi pemekatan nikel yang terjadi untuk senyawa-
senyawa kimia tersebut antara lain :
a. Natrium karbonat (Na2CO3), reaksinya dengan ion nikel
menghasilkan nikel karbonat (NiCO3) sebagai endapan padat.
Ni2+ + CO32- → NiCO3
b. Amonium karbonat ((NH4)2CO3), digunakan untuk presipitasi nikel
dalam kondisi alkali, dan hasilnya adalah nikel karbonat (NiCO 3)
sebagai endapan padat.
Ni2+ + (NH4)2CO3 → NiCO3 + 2NH4+
c. Amonium hidroksida (NH4OH), reaksi presipitasi nikel hidroksida
dengan amonium hidroksida mirip dengan reaksi presipitasi nikel
hidroksida dengan natrium hidroksida.
Ni2+ + 2NH4OH → Ni(OH)2 + 2NH4+
6. Pemurnian
Ekstraksi nikel bergantung pada pengolahan hidrometalurgi bijih
nikel serta daur ulang produk yang mengandung nikel. Langkah terakhir
dalam pengolahan hidrometalurgi adalah kristalisasi nikel sulfat. Karena
kesamaan jari-jari ion dan muatan ion antara ion nikel dan magnesium,
magnesium mengalami substitusi isomorf dan menggantikan ion nikel dalam
struktur kisi kristal NiSO4.6H2O. Hal ini merupakan suatu tantangan karena
mencapai kemurnian garam logam yang diinginkan sulit dilakukan, sehingga
menghasilkan bahan katoda yang lebih rendah untuk baterai yang
mengandung nikel. Penghilangan magnesium selama proses pemurnian
kristal NiSO4.6H2O dapat dilakukan melalui proses repulping. Menurut Choi

xxii
dan Azimi (2023), dalam industri hidrometalurgi, tahap repulping sering
digunakan untuk menghilangkan pengotor yang tergabung sebagai hasil dari
adsorpsi/penyerapan permukaan dan pemasukan cairan induk yang
mengandung pengotor. Tahap repulping melibatkan pencucian kristal dalam
larutan jenuhnya untuk menghilangkan kotoran pada kristal-kristal tersebut.
Selain itu, pemurnian bijih nikel juga dapat dilakukan dengan
melakukan pembersihan dengan cleaning agent. Bijih nikel dalam bentuk
superalloy yang belum dibersihkan terlebih dahulu ditimbang untuk
mengetahui kualitasnya sebelum dibersihkan. Paduan suhu tinggi yang
belum diolah dimasukkan ke dalam gelas kimia berisi larutan pembersih.
Gelas kimia tersebut kemudian dimasukkan ke dalam mesin pembersih
ultrasonik dan dibersihkan pada suhu dan waktu yang ditentukan. Selama
proses pembersihan, sisa-sisa diaduk di dalam gelas kimia selama jangka
waktu tertentu untuk membantu minyak dan debu pada sisa-sisa tersebut
masuk ke dalam larutan pembersih. Setelah mencuci serpihan paduan suhu
tinggi hingga bersih dengan air deionisasi dan mengeringkan dalam oven
pengering pada suhu 110 ◦C selama 30 menit, sisa yang telah dibersihkan
dan didehidrasi sepenuhnya ditimbang dan disiapkan untuk pengujian
selanjutnya (Wang et al., 2022)

Gambar 18. Skema Pemurnian


(Sumber: Wang et al.,2022)

xxiii
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kegiatan Produksi Bijih Nikel

a. Tahap Penambangan

Bijih nikel didapatkan dari endapan laterit. Penambangan laterit dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem open pit. Tahap pertama yang dilakukan dalam
penambangan endapan laterit ini adalah pembersihan lahan untuk membersihkan
lahan penambangan dari material-material yang dapat menghalangi pekerjaan dari
kegiatan penambangan. Setelah pembersihan dilakukan, tahap selanjutnya adalah
pengupasan tanah pucuk atau top soil yang dapat digunakan kembali dan
dipindahkan ke area tertentu. Setelah top soil telah diambil, langkah selanjutnya
adalah penggalian tanah dan batuan untuk mendapatkan endapan laterit yang
diinginkan. Endapan laterit yang telah digali kemudian diangkut dengan
menggunakan beberapa cara seperti dengan conveyor belt ataupun diangkut secara
langsung dengan truk. Setelah itu dilakukan penimbunan terhadap lokasi galian.
Tahapan penambangan bijih nikel laterit dapat ditunjukkan melalui alur berikut:

Pembersihan
Lahan

Pengambilan
Tanah Pucuk

Penggalian

Pengangkutan

Penimbunan

Gambar 19. Urutan Tahapan Penambangan Bijih Nikel Laterit

xxiv
(Sumber: Koleksi Pribadi, 2024)

b. Tahap Ekstraksi
Tahapan pertama yang dilakukan dalam proses ekstraksi dan pengolahan bijih
nikel adalah penghancuran batu asal (crushing). Pemrosesan awal laterit sangat
penting untuk tahap proses selanjutnya. Proses penggilingan merupakan langkah
awal dalam memisahkan mineral yang dibebaskan dari mineral yang tidak diinginkan
dan meningkatkan luas permukaan. Penggilingan mengkonsumsi sejumlah besar
energi pada tahap awal proses pengolahan mineral. Proses penggilingan dapat
menghabiskan hingga 70% energi di pabrik pengolahan mineral. Selanjutnya ialah
pengapungan, metode pengapungan yang dapat dipakai adalah flotasi buih (froth
floatation). Metode pengapungan ini terdiri dari proses fisika-kimia yang terjadi di
antara sistem tiga fase: padat, cair dan gas. Pemisahan ideal terjadi ketika partikel
padat hidrofobik bertabrakan, menempel, dan terbawa oleh gelembung gas ke
permukaan kontak cair-gas. Proses perlindian dalam ekstraksi bijih nikel dapat
dilakukan dengan menggunakan proses High Pressure Acid Leaching (HPAL). Untuk
meningkatkan hasil dan kadar nikel yang dibutuhkan dari proses perlindian, perlu
dilakukan pemekatan bijih nikel. Pemekatan ini dapat dilakukan dengan metode
presipitas. Langkah terakhir dalam pengolahan hidrometalurgi adalah kristalisasi
nikel sulfat.

xxv
Penghancuran Batu Asal

Penggilingan Batuan

Pengapungan

Perlindian

Pemekatan

Pemurnian

Gambar 20. Skema Pengolahan Bijih Nikel


(Sumber: Koleksi Pribadi, 2024)

3.2 Analisis Kualitas Air Limbah

a. Air Limbah Akibat Penambangan Endapan Laterit


Penambangan bijih nikel umumnya dilakukan secara terbuka (open pit),
sehingga ketika hujan dapat mengakibatkan run off yang membawa material
padatan tersuspensi (suspended solid) dan logam terlarut seperti Cr(VI). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Opiso et al. (2023), sampel limbah akibat
penambangan nikel memiliki kandungan Fe, Si, Al, dan Mg yang cukup tinggi yakni
61,1% (sebagai Fe2O3), 15% (sebagai SiO2), 7,86% (sebagai Al2O3) dan 7,16 (sebagai
MgO), masing-masing dan mengandung sejumlah kecil Cr (1,1%), Ni (0,954%), Co
(0,22 %) dan unsur tanah jarang (0,296% Eu, 0,163% Gd, dan 0,124% Tb). Unsur-
unsur tersebut termasuk ke dalam logam berat sehingga apabila terkonsumsi oleh
manusia dan makhluk hidup lainnya akan menyebabkan bioakumulasi yang
berbahaya.

xxvi
Gambar 21. Sampel Limbah Penambangan Nikel
(Sumber: Opiso et al., 2023)

b. Air Limbah Akibat Pemrosesan Bijih Nikel


Pengolahan bijih nikel yang dilakukan dengan proses pirometalurgi maupun
proses hidrometalurgi juga dapat menimbulkan padatan tersuspensi (suspended
solid) dan logam terlarut Cr(VI). Sumber utama padatan tersuspensi dan logam
terlarut Cr(VI) dari kegiatan pengolahan bijih nikel yaitu pencucian bijih (washing),
run off dari area stock file bijih, dan pelindian bijih nikel pada proses hidrometalurgi.
Selain itu, limbah akibat pemrosesan bijih nikel ini juga dapat mempengaruhi
kualitas air. Adapun kualitas air yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

1. pH
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amir et al. (2021), kondisi
kualitas air eksisting air limbah mengalir memiliki nilai pH mencapai 5,85
yang dimana nilai tersebut berada di bawah baku mutu air limbah yang
ditetapkan dalam PERMENKES RI No. 32 tahun 2017 dan PERMENKES RI
No. 492 tahun 2010.
2. Total Suspended Solid
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amir et al. (2021), kondisi
kualitas air eksisting air limbah mengalir memiliki nilai TSS mencapai 12
mg/L yang dimana nilai tersebut berada di bawah baku mutu air limbah
yang ditetapkan dalam PERMENKES RI No. 32 tahun 2017 dan
PERMENKES RI No. 492 tahun 2010.

xxvii
3. Kadar Logam Berat
Berdasarkan penelitian yang diinisiasi oleh Rahmawati dan Widyastuti
(2013), terdapat beberapa unsur yang mengalami peningkatan dari
inlet hingga ke outlet yaitu Cromium (Cr) dan Chromium Hexavalent (Cr-
VI). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat akumulasi logam berat
terutama untuk unsur Co dan Ni.
Selain itu, tahap-tahap ekstraksi bijih nikel juga dapat menyebabkan timbulnya
limbah slag. Slag nikel sisa hasil pengolahan bijih nikel dari proses peleburan dan
pemurnian yang telah didinginkan dan memiliki bentuk seperti butiran-butiran kecil.
Slag hasil pengolahan bijih nikel ini banyak mengandung MgO, Fe 2O3, CaO, Al2O3, Cr,
Ni dan SiO2 (data dari ESDM). Jika dilihat pada PP 18/1999 jo PP 85/1999, slag nikel
memiliki kandungan unsur yang termasuk dalam salah satu daftar pada lampiran III
peraturan tersebut. Unsur yang dimaksud adalah nikel (Ni) dan kromium VI (Cr6+).
Selain itu, Fe2O3 merupakan unsur yang paling banyak dalam slag, sehingga
kandungan besi (Fe) yang ada dalam bijih nikel tersebut akan terbuang dan menjadi
limbah. Timbunan slag padat yang berasal dari proses peleburan dan pemurnian
dapat mengganggu/mencemari lingkungan perairan salah satunya yaitu air
permukaan yang disebabkan karena limbah slag tersebut dapat terlindi (leaching)
oleh liquid (Rambu et al., 2021).

3.3 Rekomendasi Pengolahan Limbah


Aktifitas penambangan menyebabkan terbukanya vegetasi yang berakibat
pada meningkatnya laju erosi dan sedimentasi sehingga berdampak pada degradasi
kualitas air permukaan (sungai, danau dan laut). Olehnya itu diperlukan upaya-upaya
untuk mereduksi dampak yang ditimbulkan oleh aktifitas pertambangan. Pilihan
serangkaian metode pengelolaan dan pengolahan air limbah pertambangan nikel
bergantung pada beberapa faktor, termasuk izin pemulangan dan fasilitas
pembuangan yang tersedia. Pada umumnya, skema pengolahan dan pengelolaan air
buangan terbagi ke dalam 3 proses dasar, yakni primary, secondary, atau advanced
(lanjutan / tertiary). Pada tahap primer atau primary treatment, dilakukan

xxviii
penyisihan atau pembuangan sebagian besar atau seluruhnya dari padatan
tersuspensi dan bahan organik. Pembuangan yang terjadi di tahap primer ini dapat
dilakukan dengan proses penyaringan (screening) ataupun sedimentation.
Selanjutnya, air limbah yang keluar dari tahap primer ini akan diolah lebih lanjut
dalam tahap sekunder untuk menyisihkan bahan organik buangan (residual organic
matter) dan material tersuspensi. Pada pengolahan tahan sekunder, dilakukan
proses-proses biologis yang menggunakan mikroorganisme dalam prosesnya.
Limbah dari pengolahan sekunder biasanya mengandung sedikit BOD 5 dan padatan
tersuspensi dan mungkin mengandung beberapa miligram per liter oksigen terlarut.
Jika ingin mendapatkan air yang dapat digunakan kembali (reusable water), maka,
harus dilakukan pengolahan air limbah lanjutan atau pengolahan tahap tersier
(tertiary). Tahap tersier ini digunakan untuk menghilangkan zat atau material
tersuspensi dan terlarut yang disisakan pada tahan sekunder. Contoh material yang
dapat dihilangkan pada tahap ini adalah zat-zat kimia seperti logam berat
(Anonymous, 2011).
Dapat dilihat bahwa untuk parameter Total Suspended Solid masih berada di
atas baku mutu. Sehingga, perlu dilakukan pengolahan terhadap material padat
tersuspensi tersebut. Tahap pertama yang dapat dilakukan untuk mengurangi TSS
tersebut adalah dengan melakukan screening pada air limbah yang dialirkan.
Menurut Martini, dkk., (2020), screening dilakukan untuk menyaring sampah
padatan yang berasal dari buangan industri, dan berbagai aktivitas manusia yang
berukuran besar yang mampu menyebabkan penyumbatan pada saluran air ataupun
pada saluran pengelolaan air asam tersebut. Selanjutnya, air limbah tersebut dapat
dialirkan pada tahap selanjutnya yakni pada tahap koagulasi-flokulasi untuk
memperoleh flok-flok atau jonjot zat padatan yang tersuspensi. Setelah terbentuk
jonjot-jonjot zat padatan yang tersuspensi, air limbah tersebut kemudian dapat
dialihkan ke tahap selanjutnya, yakni tahap sedimentasi atau pengendapan dari
jonjot-jonjot tersebut sehingga dihasilkan air yang memiliki konsentrasi TSS sangat
rendah.
Setelah itu, dilakukan pengolahan untuk mengurangi konsentrasi Fe pada air
tersebut. Untuk mengurangi kadar Fe pada air, dapat dilakukan proses sedimentasi

xxix
dengan menggunakan lumpur aktif (activated sludge) yang dapat dilakukan pada
tahap sekunder (Wibawa et al, 2021). Selanjutnya, air tersebut dapat dialirkan ke
tahap tersier atau advanced untuk menghilangkan kandungan logam berat seperti
Mn dengan menggunakan kaskade aerasi, biofilter., dan lahan basah aerobic. Secara
sederhana, alur proses pengolahan air limbah pertambangan nikel ini dapat
diilustrasikan sebagai berikut:

Kaskade
Tahap Koagulasi- Penggunaan Aerasi
Sebelum Tahap Tahap
Pengolahan Screening Primer
Flokulasi Sekunder Lumpur Tahap Tersier Biofilter
(Preliminary) Sedimentasi Teraktivasi Aerobic
Wetlands

Gambar 22. Alur Pengolahan Air Limbah Yang Disarankan


(Sumber: Koleksi Pribadi, 2024)
1. Tahap Preliminary
Dalam pengolahan air limbah pertambangan nikel, sebelum air limbah
pertambangan nikel dialirkan ke unit pengolahan, air limbah pertambangan nikel
akan dialirkan terlebih dahulu ke area screening atau tahap penyaringan material-
material berukuran besar yang dapat berupa serasah-serasah dedaunan, kerikil,
kerakal, ataupun sampah dari manusia yang berada di sekitar area pertambangan.
Agar proses pengaliran air limbah pertambangan nikel dapat dilakukan dengan
mudah, sekaligus dengan biaya yang cukup murah, air limbah pertambangan nikel
dapat dialirkan dengan menggunakan bantuan gaya gravitasi.

Gambar 23. Rancangan Screen Bars yang Disarankan


(Sumber: Degremont Water Handbook)

xxx
2. Tahap Primer
a. Koagulasi – Flokulasi
Proses pertama yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsentrasi
padatan terlarut (TSS) adalah koagulasi – flokulasi. Proses ini bertujuan untuk
membentuk flok-flok zat padatan seperti koloid sehingga proses sedimentasi
dapat berjalan dengan efektif. Proses ini menggunakan zat tambahan berupa
coagulant yang berguna sebagai penyatu atau bahan kimia penyatu partikel-
partikel koloid yang tersuspensi di dalam air. Salah satu jenis koagulan yang
dapat digunakan adalah fly ash. Fly ash merupakan debu hasil sisa dari
pembakaran batu bara yang dibakar dalam suhu yang sangat tinggi. Berdasarkan
penelitian yang diinisiasi oleh Moersidik et al pada tahun 2022, fly ash mampu
mengurangi turbidity atau kekeruhan dengan efektivitas mampu mencapai
67,11%. Jenis fly ash yang digunakan terdapat dua jenis, yakni FA-H2SO4 dan FA-
HCl. Adapun dosis optimum dari koagulan fly ash tersebut adalah 25 – 50 mg/L.
Pemberian koagulan ini dilakukan langsung di settling pond.
b. Sedimentasi
Setelah diberi koagulan dan melewati proses koagulasi dan flokulasi,
maka selanjutnya akan dilakukan proses sedimentasi. Proses sedimentasi
merupakan proses pengendapan flok-flok dari partikel-partikel koloid yang telah
melewati proses koagulasi-flokulasi. Settling pond atau kolam pengendapan
berfungsi sebagai tempat menampung air asam tambang sekaligus
mengendapkan partikel padat yang ikut bersama air dari lokasi penambangan.
Settling pond ini dibuat dari posisi terendah di area penambangan sehingga air
dapat masuk ke dalam settling pond. Dengan adanya kolam pengendapan
diharapkan air yang keluar dari area penambangan tidak mengandung partikel
padat sehingga tidak menimbulkan kekeruhan pada sungai sebagai tempat
pembuangan akhir. Selain itu juga tidak menyebabkan kedalaman sungai
menjadi dangkal akibat adanya partikel padat yang terbawa air (Prakoso et al,
2020). Adapun rancangan unit sedimentasi yang dapat digunakan di PT.
Pertambangan X adalah sebagai berikut:

xxxi
Tabel 1. Rancangan Zonasi Settling Pond

Zona Keterangan
Zona Masukan (Inlet) Sebagai tempat masuknya air lumpur
ke dalam settling pond
Zona Pengendapan (Settlement zone) Sebagai tempat partikel padatan akan
mengendap dengan estimasi panjang
kolam adalah panjang dari kolam
dikurangi panjang zona masukan dan
keluaran
Zona Endapan Lumpur (Sediment) Sebagai tempat partikel padatan
dalam cairan (lumpur) mengalami
sedimentasi dan terkumpul di bagian
bawah kolam.
Zona Keluaran (Outlet) Sebagai tempat keluaran buangan
cairan yang jernih dengananjang zona
kira-kira sama dengan kedalaman
kolam pengendapan, diukur dari
ujung kolam pengendapan.
(Sumber : Koleksi Pribadi, 2023)

Zona Pengendapan

Zona Pengendapan

Zona Sedimen

Gambar 24. Foto Udara Settling Pond yang Digunakan


(Sumber : Koleksi Pribadi, 2023)

xxxii
3. Tahap Tersier
Tahap selanjutnya dari pengolahan air limbah pertambangan nikel yang
direncanakan di PT Pertambangan X adalag tahap sekunder. Pada tahap ini,
disarankan untuk melakukan pengendapan sekunder yakni dengan menggunakan
lumpur teraktivasi atau activated sludge. Berdasarkan penelitian yang diinisiasi oleh
Hughes dan Gray pada tahun 2013, activated sludge ini dapat digunakan untuk
mengurangi kadar logam berat pada air limbah pertambangan nikel, terutama besi
dan mangan. Penghilangan logam dengan mencampurkan lumpur aktif merupakan
proses yang cepat, dan penghilangan maksimum dapat dicapai dalam waktu kontak
5 menit. Pemuatan air limbah pertambangan nikel ke dalam tangki lumpur aktif
dalam tangki aerasi dapat menyebabkan penurunan pH lumpur secara signifikan; hal
ini harus dicegah dan mungkin memerlukan pengolahan awal air limbah
pertambangan nikel.

Gambar 24. Activated Sludge


(Sumber : Marcias et al, 2017)
4. Tahap Lanjutan
Unit pengolahan selanjutnya adalah unit pengurangan kadar besi dan kadar
mangan di dalam air limbah pertambangan nikel. Pada proses ini, pengolahan dapat
dilakukan dengan menggunakan metode pengolahan air limbah pertambangan nikel
pasif Lopérec. Menurut Jacob et al (2022), instalasi pengolahan air limbah
pertambangan nikel pasif Lopérec terdiri dari kaskade aerasi, dua kolam
pengendapan, dua kaskade re-aerasi, dan dua biofilter aliran atas yang bekerja
secara paralel. Air terjun aerasi primer memiliki panjang 10 m, kedalaman 1,5 m,

xxxiii
dan terdiri dari 10 anak tangga. Aliran air dibagi rata antara dua kolam pengendapan
masing-masing seluas 300 m3 (380 m2) untuk memberikan waktu bagi Fe(II) untuk
teroksidasi dan Fe hidroksida untuk mengendap. Dua tahap re-aerasi adalah lubang
got beton sedalam 1,5 m. Lubang got tersebut memastikan air untuk teroksigenasi
sepenuhnya sebelum memasuki biofilter. Dua biofilter aliran atas berukuran 30 m 3
memiliki kedalaman 1 m dan diisi dengan pozzolana (20–40 mm). Biofilter
diinokulasi dengan 1 m3 pozzolana dari bioreaktor yang digunakan selama uji skala
percontohan di lokasi. Hal tersebut dirancang untuk menghilangkan As dan Mn. Air
hanya dapat disuplai ke salah satu kolam pengendapan atau salah satu biofilter.
Sistem ini dirancang untuk aliran air limbah pertambangan nikel maksimum 60
m3h−1.

Gambar 25. Instalasi Lopérec


(Sumber : Jacob et al, 2022)
Selain itu, juga dapat digunakan lahan basah aerobik (aerobic wetland) untuk
mengurangi nilai kadar besi dan mangan. Lahan basah aerobik adalah jenis sistem
pengolahan pasif yang paling sederhana namun jenis perairan yang dapat diolah
secara efektif terbatas. Lahan basah aerobik digunakan untuk mengolah perairan
yang sedikit asam atau basa yang mengandung konsentrasi Fe tinggi. Mereka
memiliki kapasitas terbatas untuk menetralkan keasaman. Fungsi utama sistem ini
adalah untuk memungkinkan aerasi pada air tambang yang mengalir di antara

xxxiv
vegetasi, memungkinkan Fe terlarut teroksidasi, dan menyediakan waktu tinggal di
mana air diperlambat agar produk oksida Fe dapat mengendap. Karena
pengendapan Fe menghasilkan H+, air yang keluar dari lahan basah aerobik mungkin
memiliki pH lebih rendah daripada air yang masuk, meskipun konsentrasi Fe lebih
rendah. Apabila air influen bersifat basa dan Fe tidak berada dalam larutan pada
konsentrasi yang signifikan Oksidasi Fe merupakan proses istimewa sehingga
oksidasi Mn tidak terjadi sebagai proses yang signifikan sampai oksidasi Fe hampir
selesai. (Zipper dan Skousen, 2014).

Gambar 26. Aerobic Wetland


(Sumber : Zipper dan Skousen, 2014)

xxxv
Gambar 27. Skema Pengolahan Air Limbah yang Disarankan
(Sumber : Maulida dan Purwanti, 2023)

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pengolahan bijih nikel dilakukan dengan melalui dengan berbagai proses, tahapan pertama
yang dilakukan dalam proses ekstraksi dan pengolahan bijih nikel adalah penghancuran
batu asal (crushing). Dilanjutkan dengan proses penggilingan Selanjutnya ialah
pengapungan, metode pengapungan yang dapat dipakai adalah flotasi buih (froth
floatation). Setelah dilakukan dengan proses pengapungan, setelahnya ialah proses
perlindian dalam ekstraksi bijih nikel dapat dilakukan dengan menggunakan proses High
Pressure Acid Leaching (HPAL). Untuk meningkatkan hasil dan kadar nikel yang dibutuhkan
dari proses perlindian, perlu dilakukan pemekatan bijih nikel. Pemekatan ini dapat
dilakukan dengan metode presipitas. Langkah terakhir dalam pengolahan hidrometalurgi
adalah kristalisasi nikel sulfat.

xxxvi
2. Penambangan bijih nikel menghasilkan air limbah yang memiliki kualitas air yang buruk.
Kegiatan penambangan bijih nikel dan ekstraksi bijih nikel mampu mempengaruhi kualitas
pH, TSS, dan kadar logam berat dalam air.
3. Untuk mendapatkan effluent air yang jernih dan agar mendapatkan kualitas air sungai yang
sesuai baku mutu, perlu dilakukan pengolahan air asam tambang yang terdiri atas tahap
preliminary, tahap primer, tahap sekunder, dan tahap lanjutan. Pada tahap preliminary¸ air
harus melewati bar screens untuk mencegah penyumbatan saluran akibat material
padatan yang besar. Pada tahap primer, perlu dilakukan koagulasi – flokulasi dengan
menggunakan fly ash dan proses sedimentasi di settling pond untuk mengurangi kadar TSS.
Pada tahap sekunder, perlu dilakukan sedimentasi sekunder dengan menggunakan lumpur
aktif untuk mengurangi kadar Fe. Pada tahap lanjutan, perlu digunakan kaskade
aerasi, biofilter, dan aerobic wetland untuk mengurangi kadar Fe.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. K., Prianata, Y. L. O., Shaddad, A. R., Aldiyansyah, A., & Kadar, M. I. (2021). Analisis
Kualitas pH dan TSS Air Limbah Penambangan Bijih Nikel PT Prima Utama Lestari di
Desa Ussu, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur. Jurnal Geomine, 9(3), 267-
274.
Asep, N.,dkk. 2022. Pengolahan Kromium (VI) Pada Air Limbah Pertambangan Bijih Nikel
Menggunakan Besi yang Diperoleh dari Slag Nikel. Jurnal Teknologi Mineral dan
Batubara Volume 18, Nomor 3, September 2022 : 177 – 191.
Bahfie, F., Manaf, A., Astuti, W., Nurjaman, F., Prasetyo, E., Triapriani, Y., & Susanti, D. (2023).
FROM NICKEL ORE TO NI NANOPARTICLES IN THE EXTRACTION PROCESS:
PROPERTIES AND APPLICATION. Uspehi Fiziki Metallov, 24(1).
Bide, T., Hetherington, L., & Gunn, G. (2008). Nickel.

xxxvii
Choi, K. H., & Azimi, G. (2023). Crystallization of nickel sulfate and its purification process:
towards efficient production of nickel-rich cathode materials for lithium-ion
batteries. RSC advances, 13(41), 28501-28512.
Elias, M. (2002). Nickel laterite deposits-geological overview, resources and exploitation.
Giant ore deposits: Characteristics, genesis and exploration. CODES Special
Publication, 4, 205-220.
Haldar, S. K. (2018). Mineral exploration: principles and applications. Elsevier.
Henriques Leal Andrade, B. (2018). Potential Use of Oxygen Depleted Air In Nickel Sulphide
Flotation.
Jacob, J., Joulian, C., & Battaglia-Brunet, F. (2022). Start-Up and Performance of a Full Scale
Passive System In-Cluding Biofilters for the Treatment of Fe, as and Mn in a Neutral
Mine Drainage. Water, 14(12), 1963
Kolga, A., Rakhmangulov, A., Osintsev, N., Sładkowski, A., & Stolpovskikh, I. (2015). Robotic
transport complex of automotive vehicles for handling of rock mass at the process of
open cast mining. Transport problems, 10(2), 109-116.
Martini, S., Yuliwati, E., & Kharismadewi, D. (2020). Pembuatan Teknologi Pengolahan
Limbah Cair Industri. Jurnal Distilasi, 5(2), 26-33.
Maulida, S. A., & Purwanti, I. F. (2023). Kajian Pengolahan Air Asam Tambang Industri
Pertambangan Batu Bara dengan Constructed Wetland. Jurnal Teknik ITS (SINTA: 4,
IF: 1.1815), 12(1), D46-D51.
Moersidik, S. S., Yulianita, N. E., Hasanah, S. U., Hidayat, A. E., Pratama, M. A., & Priadi, C. R.
(2022). THE PERFORMANCE OF FLY ASH-BASED COAGULANTS TO REMOVE HEAVY
METALS FROM ACID MINE DRAINAGE. Rasayan Journal of Chemistry, 15(3), 2016-
2025.
Opiso, E. M., Tabelin, C. B., Ramos, L. M., Gabiana, L. J. R., Banda, M. H. T., Delfinado, J. R.
Y., ... & Villacorte-Tabelin, M. (2023). Development of a three-step approach to
repurpose nickel-laterite mining waste into magnetite adsorbents for As (III) and As
(V) removal: Synthesis, characterization and adsorption studies. Journal of
Environmental Chemical Engineering, 11(1), 108992.
Park, S., & Choi, Y. (2021). Analysis and diagnosis of truck transport routes in underground
mines using transport time data collected through bluetooth beacons and tablet

xxxviii
computers. Applied Sciences, 11(10), 4525.
Prambodo, M. S. (2020). Review Proses Ekstraksi Nikel Menggunakan Metode Leaching
Dengan Media Larutan Asam Sulfat (Doctoral dissertation, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember).
Rahmawati, K., & M Widyastuti, M. W. (2013). Kajian Kualitas Limbah Cair Kegiatan
Pertambangan Bijih Nikel PT. Aneka Tambang Tbk, Halmahera Timur, Maluku Utara.
Jurnal Bumi Indonesia, 2(2).
Rahmi, F., & Yulhendra, D. (2019). Optimalisasi Pit Limit Penambangan Mineral Nikel Laterit
PT ANTAM Tbk. Unit Bisnis Penambangan Nikel Di Site Pomalaa Sulawesi Tenggara Di
Front X. Bina Tambang, 4(3), 294-306.
Rambu, M. I., Yusuf, F. N., Nawir, A., & Wakila, M. H. (2021). Analisis Kualitas Air Lindian Sisa
Pengolahan Nikel (Ferronickel, Nickel Matte Dan Nickel Pig Iron). Jurnal GEOSAPTA
Vol, 7(1).
Sari, Y. A., Saputro, S. H., & Prasetya, A. T. (2013). PENENTUAN KADAR NIKEL DALAM
MINERAL LATERIT DENGAN METODE KOPRESIPITASI MENGGUNAKAN Cu-PIROLIDIN
DITIOKARBAMAT. Indonesian Journal of Chemical Science, 2(3).
Tamehe, L., Zhao, Y., Xu, W., & Gao, J. (2024). Ni (Co) Laterite Deposits of Southeast Asia: A
Review and Perspective. Minerals, 14(2), 134.
Wang, R., Wang, M., Gao, S., Wang, Z., Xin, T., Liu, M., & Bao, Y. (2022). Compound
purification of nickel base superalloy cutting waste through special cleaning agent
attached to ultrasonic stirring. Journal of Cleaner Production, 378, 134548.
Wanta, K. C., Putra, F. D., Susanti, R. F., Gemilar, G. P., Astuti, W., Virdhian, S., & Petrus, H. T.
B. M. (2019). Pengaruh derajat keasaman (pH) dalam proses presipitasi hidroksida
selektif ion logam dari larutan ekstrak spent catalyst. Jurnal Rekayasa Proses, 13(2),
94-105.
Zipper, C., & Skousen, J. (2014). Passive treatment of acid mine drainage. Acid Mine
Drainage, Rock Drainage, and Acid Sulfate Soils: Causes, Assessment, Prediction,
Prevention, and Remediation, 339-353.

xxxix

Anda mungkin juga menyukai