Anda di halaman 1dari 169

Filsafat

Ilmu FILSAFAT ILMU


Penulis
Drs. Rizal Mustansyir M. Hum Drs. Misnal Munir
M. Hum

Desain Cover
Haitamy el Jaid
Tata Letak
Bima Bayu Atijah
Cetakan I, Maret 2001
Cetakan II, Juni 2002
Cetakan III, April 2003
Cetakan IV, Juni 2004
PP.2001.08

Penerbit
PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548
Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542, Fax.
(0274) 383083 E-mail: pustakapelajar@telkom.net

Pencetak
Pustaka Pelajar Offset
ISBN: 979-9289-48-3

Kata Pengantar

Ada semacam kecemasan yang menghinggapi benak


kebanyakan filsuf. Kecemasan itu berkenaan dengan
kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
semula berjalan di atas rel kesejahteraan dan kepentingan
umat manusia, namun belakangan justru berbalik
menyengsarakan karena memperalat manusia. Mengapa
hal ini bisa terjadi? Ada beberapa jawaban yang bisa
diajukan untuk itu: Pertama, alasan historis, dosa —kalau
memang boleh dikatakan demikian— anak-anak
Renaissance yang memisahkan antara aktivitas ilmiah
dengan nilai-nilai keagamaan di masa lalu menjadikan
ilmu bergerak tanpa kendali dan kering dari rambu-
rambu normatif. Kedua, alasan normatif, orientasi
akademik mengalami pergeseran dari wilayah keilmuan
ke wilayah pasar yang cenderung profit oriented, sehingga
demi uang segolongan ilmuwan tak segan-segan
melanggar kode etik ilmiah.
Buku Filsafat Ilmu ini lebih ditujukan terutama bagi
para peminat filsafat. Namun tidak tertutup kemungkinan
bagi mereka yang ingin mengem-
bangkan wawasan falsafatinya. Mengingat tujuan tersebut
pembaca akan diantarkan mengenali berbagai pokok bahasan
utama filsafat ilmu yaitu sejarah, prinsip-prinsip metodologi,
klasifikasi, dan strategi pengembangan ilmu.
Pada bagian awal, pembaca diajak untuk mengenal
sekilas filsafat dan filsafat ilmu. Pengenalan filsafat ini
meliputi pengertian, ciri-ciri berpikir kefilsafatan, gaya-gaya
berfilsafat, cabang-cabang filsafat serta prinsip-prinsip dalam
berfilsafat. Sementara itu pengenalan sekilas tentang filsafat
ilmu terutama dimaksudkan untuk memperjelas pengertian,
objek material dan objek formal, tujuan serta implikasi filsafat
ilmu. Buku ini juga mengantarkan pembaca untuk mengenali
landasan-landasan pengembangan ilmu, yang bertumpu pada
pilar utama filsafat yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ketiga landasan filosofis tersebut sangat menentukan sikap
atau pendirian dari masing-masing ilmuwan. Pendirian
ilmuwan tersebut sangat menentukan bagi strategi
pengembangan ilmu yang dipilih.

vi
Aspek sejarah perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan mendapat penekanan dalam buku ini karena
dengan belajar sejarah kita dapat melihat berbagai visi dan
pergeseran paradigma yang menandai revolusi ilmu
pengetahuan sejakjaman Yunani hingga Kontemporer. Hal ini
mengajarkan kepada kita bahwa setiap ilmu pengetahuan
senantiasa dituntut meng

vi
ikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat, sehingga ilmu
selalu kontekstual.
Jika kita belajar tentang sejarah perkembangan ilmu, mau
tidak mau kita kembali menengok perkembangan ilmu di dunia
Barat, karena mereka memang memiliki landasan
pengembangan ilmu yang lebih sistematik dan terdokumentasi
secara cermat daripada dunia Timur. Perkembangan ilmu di
dunia Barat berakar pada tradisi Yunani yang berlandaskan
Logos, Ethos, dan Pathos. Logos membimbing ilmuwan untuk
mengambil keputusan yang lebih mendasarkan diri pada
pemikiran yang bersifat rasional, dapat dinalar {reasonable).
Ethos mengajarkan para ilmuwan tentang pentingnya rambu-
rambu normatif dalam pengembangan ilmu, sebab di sinilah
kunci utama bagi relasi antara produk ilmu dengan masyarakat.
Pathos menyangkut komponen atau unsur rasa dalam diri
manusia sebagai makhluk yang mencintai aspek keindahan,
sehingga hidup ini tidak monoton dan kaku, selalu terbuka
peluang untuk mengadakan improvisasi bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.
Hal yang sering dilupakan oleh kebanyakan sejarawan
ilmu adalah sumbangan pemikiran Timur, terutama Islam bagi
pengembangan ilmu di dunia Barat. Sejarah mencatat ketika
dunia Barat mengalami tidur panjang pada jaman Abad
Pertengahan, pemikiran Islam justru mengalami perkembangan
yang pesat, terutama pada zaman Bani Abbasiyah. Bahkan
karya-
karya pemikir Islam banyak yang diambil alih oleh dunia Barat,
yangjustru melahirkan renaissance. Oleh karena itu tidak
berlebihan bila dikatakan bahwa pemikiran dunia Islam

vii
merupakan salah satu pendorong timbulnya semangat
renaissance.
Pokok bahasan filsafat ilmu yang paling penting adalah
masalah metodologi, maka dalam buku ini ditampilkan
beberapa pandangan tentang prinsip- prinsip metodologis ilmu
seperti Prinsip Skeptik- Metodis Rene Descartes, Prinsip
Verifikatif Ayer, dan Prinsip Falsifikatif Popper. Ketiga prinsip
metodis ini memainkan peranan penting dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan kurun waktu
yang melingkupinya masing-masing.
Klasifikasi ilmu pengetahuan selalu mengalami
perkembangan sesuai dengan semangatjaman. Oleh karena itu
dalam buku ini dikemukakan beberapa visi klasifikasi ilmu
pengetahuan mulai dari Christian Wolff, August Comte yang
banyak memberikan inspirasi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bercorak Positivistik;
klasifikasi ilmu menurut Popper yang didasarkan atas
pengelompokan Dunia 1, 2, dan 3; kemudian perkembangan
ilmu pengetahuan menurut Thomas Kuhn yang melahirkan
berbagai perubahan paradigmatis yang mendorong teijadinya
revolusi ilmiah. Akhirnya klasifikasi epistemologis tentang
sifat dan jenis ilmu yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas
dengan penekanan

viii
pada interelasi antara jenis ilmu yang satu dengan ilmu yang
lain.
Akhir kata, penulis berharap semoga buku ini bermanfaat.

Pebruari 2000
Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar — v Daftar Isi — x


Bab I. Pengenalan Ilmu Filsafat — 1
A. Pengantar — 1
B. Pengertian Filsafat — 2
C. Ciri-ciri Berpikir Kefilsafatan — 3
D. Beberapa Gaya Berfilsafat — 5
E. Cabang-cabang Utama Filsafat — 9
1. Metafisika — 10
2. Epistemologi — 16
3. Aksiologi — 26
F. Prinsip-prinsip dalam Berfilsafat — 36
G. Penutup — 38
Bab II. Selintas tentang Filsafat Ilmu — 43
A. Pengantar — 43
B. Objek Material dan Formal Filsafat Ilmu — 44
C. Pengertian Filsafat Ilmu — 49
D. Tujuan dan Implikasi
Filsafat Ilmu — 51
/
1. Tujuan Filsafat Ilmu — 51
2. Implikasi Mempelajari Filsafat Ilmu — 53
E. Penutup — 53
Bab III. Sejarah dan Peranan Pemikiran
Filsafat Barat dalam Perkembangan Ilmu
Pengetahuan — 55
A. Pengantar — 55
B. Perkembangan Pemikiran Filsafat
Barat — 59
1. Zaman Yunani Kuno — 59
2. Zaman Pertengahan — 66
3. Zaman Renaissans — 69
4. Zaman Modern — 71
5. Zaman Kontemporer — 89
C. Penutup — 97
Bab IV. Prinsip-prinsip Metodologi — 107
A. Pengantar — 107
B. Beberapa Pandangan tentang Prinsip
Metodologi — 108
1. Rene Descartes — 108
2. Alfred Jules Ayer — 113
3. Karl Raimund Popper — 117
C. Penutup — 118
Bab V. Perkembangan, Pengertian, dan Klasifikasi
Ilmu Pengetahuan — 121
A. Pengantar — 121
B. Periodesasi Perkembangan Ilmu — 126
1. Periode Pra-Yunani Kuno — 126
10
2. Zaman Yunani Kuno — 127
3. Zaman Pertengahan {Middle Age) — 127
4. Zaman Renaissance — 132
5. Zaman Modern — 134
6. Zaman Kontemporer — 135
C. Pengertian Ilmu — 138
D. Beberapa Pandangan tentang Klasifikasi Ilmu
Pengetahuan — 143'
1. Christian Wolff — 144
2. Auguste Comte — 148
3. Karl Raimund Popper — 151
4. Thomas S. Kuhn — 153
5. Jurgen Habermas — 156
E. Penutup — 160

Bab VI. Strategi Pengembangan Ilmu — 167


A. Pengantar — 167
B. Ilmu; Bebas Nilai atau Tidak? — 168
C. Strategi Pengembangan Ilmu di Indonesia — 173
D. Penutup — l?’7
Biodata — 180

11
BA BI A

Pengenalan Ilmu Filsafat

A. Pengantar
Filsafat merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan
perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan merupakan titik ideal
dalam kehidupan manusia, karena ia dapat menjadikan manusia
untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan
kamanusiaan yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak
sebagaimana yang biasa dilakukan manusia (actus homini).
Kebijaksanaan tidaklah dapat dicapai dengan jalan biasa, ia
memerlukan langkah-langkah tertentu, khusus, istimewa.
Beberapa langkah menuju ke arah kebijaksanaan itu antara lain:
1. Membiasakan diri untuk bersikap kritis terhadap
kepercayaan dan sikap yang selama ini sangat kita junjung
tinggi. Misalnya: merefleksikan secara kritis norma-norma
adat, hukum, etis, bahkan agama yang selama ini sudah kita
yakini kebenarannya.

1
2. Berusaha untuk memadukan (sintesis) hasil bermacam-
macam sains dan pengalaman kemanusiaan, sehingga
menjadi pandangan yang konsisten tentang alam semesta
beserta isinya. Misalnya: mempelajari dan mengikuti
perkembangan mutakhir temuan-temuan ilmiah, kemudian
mempertanyakan apakah temuan-temuan tadi sesuai dengan
sifat-sifat kemanusiaan.
3. Mempelajari dan mencermati jalan pemikiran para filsuf
dan meletakkannya sebagai pisau analisis untuk
memecahkan masalah kehidupan yang berkembang dalam
kehidupan konkret, sejauh pemikiran itu memang relevan
dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi. „
4. Menelusuri butir-butir hikmah yang terkandung dalam
ajaran agama, sebab agama merupakan sumber
kebijaksanaan hidup manusia, tidak hanya untuk
kepentingan duniawi, bahkan juga akhirat.

B. Pengertian Filsafat
Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani
Philosophia, Philos artinya suka, cinta atau kecenderungan pada
sesuatu, sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. Dengan
demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan cinta atau
kecenderungan pada kebijaksanaan.
Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan
berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:1
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak
kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti
formal).
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran
2
keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk
mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan
pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang
konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan
tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian
ini dinamakan juga logo- sentrisme.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang
mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan
jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

C. Ciri-ciri Berpikir Kefilsafatan


Berpikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang
dapat dibedakan dari bidang ilmu lain.
Beberapa ciri berpikir kefilsafatan dapat dikemuka-
kan sebagai berikut:2
1. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga
sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
2. Universal artinya pemikiran filsafat menyangkut
pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir
kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek
keumumannya.
3. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan
abstraksi pengalaman manusia. Misalnya: apakah
kebebasan itu?
4. Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai
dengan kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya tidak
mengandung kontradiksi.
5. Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian
kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan
terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh.
3
Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk
menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran
filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang
bebas, yakni bebas dari pra- sangka-prasangka sosial,
historis, kultural, bahkan relijius.

8. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah


orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap
hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya
sendiri.
Ke delapan ciri berpikir kefilsafatan ini menjadikan filsafat
cenderung berbeda dengan ciri berpikir ilmu-ilmu lainnya,
sekaligus menempatkan kedudukan filsafat sebagai bidang
keilmuan yang netral, terutama ciri ketujuh.

D. Beberapa Gaya Berfilsafat


Filsafat bisa dimengerti dan dilakukan melalui banyak cara,
sehingga berlaku prinsip “Variis modis bene fit", dapat berhasil
melalui banyak cara yang berbeda. Bertens3 menengarai ada
beberapa gaya berfilsafat (styles of philosophizing). Pertama,
berfilsafat yang terkait erat dengan sastra. Artinya, sebuah karya
filsafat dipandang memiliki nilai-nilai sastra yang tinggi. Contoh:
Sartre tidak hanya dikenal sebagai penulis karya filsafat, tetapi
juga seorang penulis novel, drama, skenario film. Bahkan
beberapa filsuf pernah meraih hadiah nobel untuk bidang
kesusaste- raan yakni: Henri Bergson (1928), Bertrand Russell
(1950), Sartre (1964) Albert Camus (1967). Filsuf Islam
kenamaan seperti M.Iqbal juga dikenal sebagai seorang penyair.
Karya besarnya yang berjudul Asrar-i Khudi memperlihatkan
nilai-nilai sastra yang tinggi,
di samping nuansa .filsafati yang sangat kaya dengan konsep
4
insan kamil. Di sini orang acapkali mengidentikkan filsafat
dengan sastra. Pendapat semacam ini hanya benar sebagian.
Sebab ekspresi filsafati memang membutuhkan ungkapan bahasa
yang tak jarang mengandung nilai-nilai sastra, namun sesung-
guhnya kurang tepat mengatakan bahwa semua karya sastra
mengandung dimensi filsafati, sebab masing- masing bidang
memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.
Kedua, berfilsafat yang dikaitkan dengan sosial politik. Di
sini filsafat sering diidentikkan dengan praksis politik. Artinya,
sebuah karya filsafat dipandang memiliki dimensi-dimensi
ideologis yang relevan dengan konsep negara. Filsuf yang
menjadi primadona dalam gaya berfilsafat semacam ini adalah
Kari Marx (1818 -1883) yang terkenal dengan ungkapannya:
“Para filsuf sampai sekarang hanya menafsirkan dunia. Kini
tibalah saatnya untuk mengubah dunia". Filsuf-filsuf lain yang
concern dengan masalah sosial politik antara lain: Thomas
Hobbes, Jean Jacques Rousseau. Hobbes4 dalam karyanya
Leviathan (1651) menegaskan bahwa kondisi manusia yang
alami (natural) sangat rawan terhadap kekerasan, oleh karena itu
diperlukan wadah yang dapat menjamin keamanan kelompok
individual yang dinamakan negara. Dalam hal ini setiap individu
menyerahkan kebebasan alami yang dimilikinya itu secara
sukarela kepada negara demi keamanan dirinya. Lebih lanjut ia
mene-
/
gaskan bahwa perang dimungkinkan demi keamanan. Pemikir
politik lainnya, J.J. Rousseau5 dalam karyanya vang termashur
Du Contract Sociale, melontarkan tesis awal yang berbunyi L
’homme est ne libre, et partout il est dans les fers (Man is born
free, and is everywhere in chains). Keterikatan itu ada dalam
negara. Negara bagi Rousseau merupakan perwujudan kehendak
umum (volonte generate). Kehendak umum, ujarnya, sekelompok
5
orang yang dibentuk oleh kesatuan semua pribadi yang lain.
Kehendak umum merupakan suatu jenis bentuk abstrak
kekuasaan kedaulatan negara.
Ketiga, filsafat yang terkait erat dengan metodologi. Artinya
para filsuf menaruh perhatian besar terhadap persoalan-persoalan
metode ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes dan
Karl Popper. Descartes mengatakan bahwa untuk memperoleh
kebenaran yang pasti kita harus mulai dengan meragukan segala
sesuatu. Sikap yang demikian ini dinamakan skeptis metodis.
Namun pada akhirnya ada satu hal yang tak dapat kita ragukan,
ujar Descartes, yakni kita yang sedang dalam keadaan ragu-ragu,
Cogito Ergo Sum. Descartes menyajikan langkah- langkah
metodis sebagai berikut:fi (1) Hendaklah kita mulai dengan
meragukan segala sesuatu yang selama ini diterima sebagai suatu
kebenaran (2)Kita mulai dengan mengklasifikasikan persoalan
dari hal-hal yang sederhana hingga ke hal- hal yang rumit. (3)
Pemecahan masalah dimulai dari

6
hal-hal yang sederhana, kemudian meningkat secara bertahap ke
arah hal-hal yang lebih rumit. (4) memeriksa kembali secara
menyeluruh, mungkin ada hal-hal yang masih tersisa atau
terabaikan.
Keempat, berfilsafat yang dikaitkan dengan kegiatan analisis
bahasa. Kelompok ini dinamakan mazhab analitika bahasa dengan
tokoh-tokohnya antara lain: G.E. Moore, Bertrand Russell,
Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.
Corak berfilsafat yang menekankan pada aktivitas analisis bahasa
ini dinamakan logosentrisme. Tokoh sentral mazhab ini,
Wittgenstein,7 mengatakan bahwa filsafat secara keseluruhan
adalah kritik bahasa. Tujuan utama filsafat adalah untuk
mendapatkan klarifikasi logis tentang pemikiran. Filsafat
bukanlah seperangkat doktrin, melainkan suatu kegiatan.
Kelima, berfilsafat yang dikaitkan dengan menghidupkan
kembali pemikiran filsafat di masa lampau. Di sini aktivitas
filsafat mengacu pada penguasaan sejarah filsafat. Dalam hal ini
cara mempelajari filsafat yang dipandang baik adalah dengan
mengkaji teks- teks filosofis dari para filsuf terdahulu.
Keenam, masih ada gaya berfilsafat lain vang cukup
mendominasi pemikiran banyak orang, terutama di abad
keduapuluh ini vakni berfilsafat dikaitkan dengan filsafat tingkah
laku atau etika. Etika dipandang sebagai satu-satunya kegiatan
filsafat vang paling nyata, sehingga dinamakan juga praksiologis,
bidang ilmu praksis.
E. Cabang-cabang Utama Filsafat
Asas-asas filsafat merupakan suatu kajian yang me-
ngetengahkan prinsip-prinsip pokok bidang filsafat. Dalam hal ini
dikaji beberapa bidang utama filsafat seperti: metafisika,
epistemologi dan etika. Ketiga bidang ini dapat dipandang sebagai
pilar utama suatu bangunan filsafat manakala kita ingin
memahami visi filsafati seseorang atau suatu aliran. Sontag
menegaskan bahwa vitalitas dan sensitivitas filsafat itu berasal
7
dari refleksi diri yang bersifat tetap dan terus-menerus (konstan).
Filsafat itu semata-mata berisikan penolakan pada sesuatu yang
pasti dalam berbagai lingkup teoritik atau prosedur dasariah yang
bukan merupakan bagian konsepsi teoritik itu sendiri. Secara
historis teori-teori filsafati yang efektif akan menghadirkan suatu
konsepsi baru dan terang mengenai apa dan bagaimana cara keija
filsafat itu. Oleh karena itu kesalahan utama terletak pada
penghadiran filsafat sebagai persoalan diri yang dapat dieliminir
dan seolah persoalan-persoalannya dapat dipecahkan secara
tuntas.8 Filsafat justru menghadirkan problem-problem abadi
{perennialproblems), yang menuntut pemecahan secara terus-
menerus dan tidak pernah mengenal titik henti. Di sini acapkali
teijadi kesalahpahaman terhadap filsafat, yang dipandang
menciptakan teka- teki yang tidak mempunyai jawaban apa-apa.
Tudingan semacam ini dilontarkan oleh para filsuf analitik abad
keduapuluh, G.E.Moore, yang lebih mengandal-
kan common sense dalam memecahkan persoalan-persoalan,
hal ini dianalisis Moore dalam artikelnya “Proof of an
External World".9
Aktivitas filsafat melibatkan akal pikir manusia secara
utuh, konsisten dan bertanggungjawab. Dalam aktivitas akal
itu para filsuf mencoba mengungkap tentang realitas. Kegiatan
mengungkap realitas ini membutuhkan bahasa sebagai sarana
bagi pemahaman terhadap realitas tersebut. Dari sini
muncullah berbagai istilah teknis filsafati yang mengandung
makna khas, seperti: substansi, eksistensi, impresi, kategori.
Istilah-istilah teknis filsafati ini muncul dalam bidang-bidang
utama filsafat, yakni; metafisika, epistemologi, dan aksiologi.

7. Metafisika
Metafisika adalah filsafat pertama dan bidang filsafat
yang paling utama. Metafisika adalah cabang filsafat yang
8
membahas persoalan tentang keberadaan (being) atau
eksistensi (existence). Archie J. Bahm1'1 mengatakan bahwa
metafisika merupakan suatu penyelidikan pada masalah
perihal keberadaan. Dalam metafisika itu orang berupaya
menemukan bahwa keberadaan itu memiliki sesuatu yang
“kodrati”, yakni karakteristik umum, sehingga metafisika
menjadi suatu penyelidikan ke arah kodrat eksistensi. Seorang
metafisikus cenderung mengarahkan penyelidikan-
nva pada karakteristik eksistensi yang universal seperti: kategori.
Istilah metafisika itu sendiri berasal dari kata Yunani meta
ta physika yang dapat diartikan sesuatu vang ada di balik atau di
belakang benda-benda fisik. Kendatipun demikian Aristoteles
sendiri tidak memakai istilah metafisika, melainkan
protophilosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini memuat
uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik
seperti bergerak, berubah, hidup, mati. Metafisika dapat
didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang
terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.
Aristoteles menyebut beberapa istilah yang maknanya dapat
dikatakan setara dengan metafisika, yaitu: Filsafat Pertama (First
Philosophy), pengetahuan tentang sebab (knowledge of cause),
Studi tentang Ada sebagai Ada (the study of Being as Being),
Studi tentang Ousia (Being), studi tentang hal-hal abadi dan yang
tidak dapat digerakkan (the study of the eternal and immovable),
dan Theology.11
Christian Wolff mengklasifikasikan metafisika sebagai
berikut:
(1) Metafisika Umum (Ontologi), membicarakan tentang hal
“Ada” ( Being).
(2) Metafisika Khusus:
(a) Psikologi; membicarakan tentang hakikat manusia.
(b) Kosmologi; membicarakan tentang hakikat atau asal-
9
usul alam semesta.
(c) Theologi; membicarakan tentang hakikat keberadaan
Tuhan.
Metafisika berusaha memfokuskan diri pada prinsip dasar
yang terletak pada berbagai pertanyaan atau yang diasumsikan
melalui berbagai pendekatan intelektual. Setiap prinsip
dinamakan “pertama”, sebab prinsip-prinsip itu tidak dapat
dirumuskan ke dalam istilah lain atau melalui hal lain yang
mendahuluinya. Sebagai contoh; istilah Prinsip Pertama yang
dipergunakan Aristoteles merupakan penjelasan mengenai alam
semesta yakni “Penggerak yang tidak digerakkan”, dikatakan
menjadi sebab dari segala gerak tanpa dirinya digerakkan oleh hal
ada yang lain. Itu berarti istilah tersebut menjelaskan semua
gerak, tetapi ia sendiri tidak membutuhkan penjelasan tentang
dirinya sendiri.12 Persoalan yang timbul di seputar metafisika —
terutama di kalangan ilmuwan— yaitu; dapatkah metafisika
dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu?
Pertanyaan inilah yang paling banyak menghantui benak
para pemula di dalam mempelajari ilmu filsafat. Kebanyakan
mereka menyangsikan sifat keilmiahan metafisika ini, karena
sedemikian abstraknya objek yang dipelajari. Oleh karena itu
kalau ada pertanyaan: apakah metafisika itu ilmu? Maka minimal
ada dua jawaban yang akan diperoleh. Pertama, metafisika tidak
dapat dikatakan sebagai ilmu, manakala yang dimaksud dengan
ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat pasti {fixed) dan
final. Kedua, metafisika itu dapat dikatakan sebuah ilmu,
manakala yang dimaksud dengan ilmu itu adalah suatu penyeli-
dikan yang dikaitkan dengan sikap (attitude) dan metode tertentu.
Bah m13 menegaskan bahwa suatu kegiatan baru dapat
dikatakan sebuah ilmu manakala mencakup enam karakteristik:
(1) Problem (problems) (2) Sikap (attitude) (3) Metode (method).
(4) Aktivitas (activity) (5) Pemecahan (solutions) (6) Pengaruh
10
(effect).
Problem dalam arti bahwa suatu kegiatan ilmiah haruslah
bertitik tolak dari persoalan-persoalan tertentu yang menarik
perhatian seseorang. Tanpa suatu problem tak akan ada ilmu.
Sikap ilmiah melibatkan rasa ingin tahu (curiosity), keinginan
pada keyakinan yang tertunda sampai seluruh bukti diperoleh, dan
terus-menerus berhadapan dengan rintangan yang tak dapat begitu
saja diatasi.
Sikap dalam arti orang yang tertarik pada persoalan tertentu
harus memiliki sikap tertentu pula dalam menghadapi persoalan
itu tadi.
Metode dalam arti bahwa persoalan yang menarik perhatian
itu akan diselesaikan menurut cara-cara tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam

11
pandangan Popper, metode haruslah menyesuaikan diri
dengan objek material, bukan sebaliknya.
Aktivitas artinya seluruh proses yang terjadi dalam
menghadapi persoalan itu tadi merupakan suatu kegiatan
yang jelas dan terencana. Karena aktivitas ilmuwan
merupakan dasar untuk membangun ilmu; dan kemajuan
pengetahuan ilmiah sangat tergantung pada kemampuan
(ability), keterampilan (skills), usaha (efforts), dan kesadaran
moral (moral conscientiousness) sang ilmuwannya itu sendiri.
Pemecahan berangkat dari hipotesis atau teori yang
dibentuk sebagai prinsip umum atau hukum- hukum. Ketika
hipotesis tidak terbukti secara langsung, maka jalannya
hipotesis atau pemecahan tentatif merupakan sesuatu yang
dipostulasikan dan diujikan.
Pengaruh, pada akhirnya ini merupakan suatu bagian
dari suatu rangkaian ilmiah yang memperlihatkan
sejauhmana pengaruh ilmu terhadap kehidupan masyarakat,
dan jika tindakan masyarakat berbeda dari biasanya, karena
mereka percaya dan bertindak atas dasar kesimpulan yang
dikemukakan oleh para ilmuwan, maka setiap perbedaan
sikap itu merupakan konsekuensi praktis dari masing-
masing ilmu.
Berdasarkan karakteristik yang dikemukakan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa metafisika itu termasuk ke
dalam rumpun ilmu. Seorang metafisikus dapat membantu
ilmuwan untuk menunjukkan
/
asumsi-asumsi metafisis yang diperlukan bagi pengem-
bangan dan pembentukan teori atau paradigma ilmu
pengetahuan.
Beberapa peran metafisika dalam ilmu pengetahuan
yaitu:
Pertama, metafisika mengajarkan cara berpikir yang
12
cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Sebab seorang metafisikus selalu
mengembangkan pikirannya untuk menjawab persoalan-
persoalan yang bersifat enigmatik (teka- teki). Persoalan-
persoalan semacam itu menuntut alur berpikir yang serius
dan sungguh-sungguh.
Kedua, metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang
sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan. Artinya, seorang
metafisikus senantiasa berupaya menemukan hal-hal baru
yang belum pernah diungkap sebelumnya. Sikap semacam
ini menuntut kreativitas dan rasa ingin tahu yang besar
terhadap suatu permasalahan. Pematangan sikap semacam
ini akan mendidik seseorang untuk selalu berkiprah pada
lingkup penemuan (context of discovery), bukan lingkup pem-
benaran semata (context of justification).
Ketiga, metafisika memberikan bahan pertimbangan
yang matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama pada wilayah praanggapan-praang- gapan,
sehingga persoalan yang diajukan memiliki landasan
berpijak yang kuat.
Keempat, metafisika juga membuka peluang bagi
teijadinya perbedaan visi di dalam melihat realitas, karena
tidak ada kebenaran yang benar-benar absolut. Hal ini akan
menjadikan visi ilmu pengetahuan berkembang menurut
ramifikasi (percabangan) yang sangat kaya dan beraneka
ragam, sebagaimana yang terlihat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dewasa ini.

2. Epistemologi
Bidang kedua adalah epistemologi atau teori
pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani
“episteme” dan “logos”. “Episteme” artinya pengetahuan
13
(knowledge), “logos” artinya teori. Dengan demikian
epistemologi secara etimologis berarti teori pengetahuan.
Istilah-istilah lain yang setara dengan epistemologi adalah:
(a) Kriteriologi, yakni cabang filsafat yang membi-
carakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan.
(b) Kritik pengetahuan, yaitu pembahasan mengenai
pengetahuan secara kritis.
(c) Gnosiology, yaitu perbincangan mengenai pengetahuan
yang bersifat ilahiah (Gnosis).
(d) Logika Material, yaitu pembahasan logis dari segi
isinya, sedangkan logika formal lebih menekankan
pada segi bentuknya. 14
/
Objek material epistemologi adalah pengetahuan
sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan.
Setiap filsuf menawarkan aturan yang cermat dan terbatas
untuk menguji berbagai tuntutan lain vang menjadikan kita
dapat memiliki pengetahuan, tetapi setiap perangkat aturan
harus benar-benar mapan. Sebab definisi tentang
“kepercayaan”, “kebenaran" merupakan problem yang tetap
dan terus-menerus ada, sehingga teori pengetahuan tetap
merupakan suatu bidang utama dalam penyelidikan
filsafat. 1 ’ Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam
epistemologi berkisar pada masalah: asal-usul penge-
tahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan,
hubungan antara pengetahuan dengan kenis- cavaan,
hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran.
kemungkinan skeptisisme universal, dan bentuk-bentuk
perubahan pengetahuan yang berasal dari konseptualisasi
baru mengenai dunia. Semua persoalan tersebut di atas
terkait dengan persoalan- persoalan penting filsafat lainnva
seperti: kodrat kebenaran. kodrat pengalaman dan makna."’
Semua pengetahuan hanva dikenal dan ada di dalam
14
pikiran manusia, tanpa pikiran pengetahuan tak akan eksis.
Oleh karena itu keterkaitan antara pengetahuan dengan
pikiran merupakan sesuatu vang kodrati. Bahm 17
menyebutkan delapan hal penting yang berfungsi
membentuk struktur pikiran manusia, vaitu:
(1) Mengamati (observes); pikiran berperan
dalam mengamati objek-objek. Dalam melaksanakan peng-
amatan terhadap objek itu maka pikiran haruslah
mengandung kesadaran. Oleh karena itu di sini pikiran
merupakan suatu bentuk kesadaran. Kendatipun demikian
pikiran tidak melulu kesadaran, sehingga kita perlu juga
mempelajari berbagai bentuk pikiran seperti: pikiran bawah
sadar (subconscious mind), pikiran tanpa sadar (unconscious
mind) dan berbagai level kejiwaan lainnya. Kesadaran
adalah suatu karakteristik atau fungsi pikiran. Kesadaran
jiwa (consious- ness) ini melibatkan dua unsur penting yakni
kesadaran untuk mengetahui sesuatu (awareness) dan
penam- pakkan sesuatu objek (appearance). Kodrat
kesadaran untuk mengetahui sesuatu dan penampakan suatu
objek ini merupakan unsur yang hakiki dalam pengetahuan
intuisi. Intuisi senantiasa hadir dalam kesadaran. Sebuah
pikiran mengamati apa saja yang menampak. Hal-hal yang
diamati tadi dinamakan objek. Pengamatan acapkali timbul
dari rasa ketertarikan pada objek. Dengan demikian
pengamatan ini melibatkan pula fungsi-fungsi pikiran yang
lain.
(2) Menyelidiki (inquires); ketertarikan pada
objek dikondisikan olehjenis^jenis objek yang tampil.
Objek-objek secara kodrati merupakan suatu cara
penampakan, cara mereka dipersepsi, dikonsepsi, diingat,
diantisipasi, baik secara sederhana maupun secara
kompleks, dinamika atau statikanya, perubah-
15
/
an atau ketetapannya, keterhubungan pada antese- dennya,
konsekuennya, atau cara berkorelasi atau interelasi dengan
objek-objek yang lain. Cara tumbuh dan berkembangnya
objek-objek tersebut, cara kemungkinannya digunakan,
konotasi nilai-nilai yang dikandungnya dan berbagai
signifikansi khusus, serta apakah objek-objek itu
melibatkan ungkapan-ungkapan linguistik atau tidak.
Tenggang waktu atau durasi minat seseorang pada objek itu
sangat tergantung pada “daya tariknya”. Kehadiran dan
durasi suatu minat biasanya bersaing dengan minat-minat
lainnya, sehingga paling tidak seseorang memiliki banyak
minat pada perhatian yang terarah. Minat-minat ini ada
dalam banyak cara. Ada yang dikaitkan dengan kepentingan
jasmaniah, permintaan lingkungan, tuntutan masyarakat,
tujuan-tujuan pribadi, konsepsi diri, rasa tanggung jawab,
rasa kebebasan bertindak, dan lain-lain. Minat terhadap
objek cenderung melibatkan komitmen, kadangkala
komitmen ini hanya merupakan kelanjutan atau menyertai
pengamatan terhadap objek. Minatlah yang membimbing
seseorang secara alamiah untuk terlibat ke dalam pema-
haman pada objek-objek.
(3) Percaya (believes); manakala suatu objek muncul
dalam kesadaran, biasanya objek-objek itu diterima sebagai
objek yang menampak. Kata percaya biasanya dilawankan
dengan keraguan. Sikap menerima sesuatu yang menampak
sebagai pengertian yang memadai setelah keraguan,
dinamakan kepercayaan. Orang yang mengembangkan rasa
keraguan dalam menerima kebenaran suatu objek
dinamakan “skep- tikus'.
(4) Hasrat (desires); kodrat hasrat ini mencakup
kondisi-kondisi biologis dan psikologis dan interaksi
16
dialektik antara tubuh dan jiwa. Karena pikiran dibutuhkan
untuk aktualisasi hasrat, maka kita dapat mengatakannya
sebagai hasrat pikiran. Tanpa pikiran tak mungkin ada
hasrat. Beberapa hasrat muncul dari kebutuhanjasmaniah:
nafsu makan, minum, istirahat, tidur, dan lain-lain.
Beberapa hasrat bisa juga timbul dari pengertian yang lebih
tinggi seperti: hasrat diri, keinginan pada objek-objek, pada
orang lain, kesenangan pada binatang, tumbuh-tumbuhan,
dan proses interaktif. Beberapa hasratjuga timbul dari
ketertarikan pada tindakan, pengaruh, pengendalian.
Beberapa hasrat ini juga muncul dari ketertarikan pada
kesenangan (melalui makan, bermain, belajar, dan lain-
lain), dan dalam melupakan penderitaan (rasa perih, lapar,
ketertutupan, ketidaktahuan, dan lain-lain). Beberapa hasrat
itu dapat muncul dari ketertarikan pada kehormatan,
penghargaan, reputasi dan rasa keamanan.
Hasrat biasanya melibatkan beberapa perasaan puas,
dan frustrasi dan berbagai respons terhadap perasaan
tersebut.

17
(5) Maksud (intends)-, kendatipun seseorang me-
miliki maksud ketika akan mengobservasi, menyelidiki,
mempercayai dan berhasrat, namun sekaligus perasaannya
tidak berbeda atau bahkan terdorong ketika melakukannya.
Perubahan kehendak dari intensitas minimal ke maksimal,
dari keinginan menerima hal-hal yang menampak akan
menimbulkan pengaruh juga.
(6) Mengatur (organizes)', setiap pikiran adalah
suatu organisme yang teratur dalam diri seseorang. Pikiran
mengatur melalui kesadaran yang sudah menjadi.
Kesadaran adalah suatu kondisi dan fungsi mengetahui
secara bersama. Pikiran mengatur melalui intuisi yakni
melalui kesadaran penampakan dalam setiap kehadiran.
Pikiran mengatur manakala ia mengatasi setiap kehadiran
melalui gap ketidaktahuan dalam penampakkan untuk
menghasilkan kesadaran lebih lanjut seperti rasa bangun
tidur. Pikiran mengatur melalui panggilan untuk
memunculkan objek, dan berperan serta dalam
pembentukan objek- objek ini dari sesuatu yang mendorong
untuk diatur melalui otak. Pikiran mengatur melalui
pengingatan dan mendukung penampakan pada objek-objek
yang hadir, minat, dan proses. Pikiran mengatur melalui
pengantisipasian, peramalan, dan menjadikan kesadaran
terhadap objek-objek yang diramalkan. Pikiran mengatur
melalui proses generalisasi, yaitu dengan mencatat
kesamaan di antara berbagai objek dan menyatakan dengan
tegas tentang kesamaan itu.
(7) Menyesuaikan (adapts); menyesuaikan
pikiran-pikiran sekaligus melakukan pembatasan-
pembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi
keberadaan yang tercakup dalam otak dan tubuh di dalam
fisik, biologis, lingkungan sosial dan kultural dan
keuntungan vang terlihat pada tindakan, hasrat dan

18
kepuasan. Kehidupan terdiri atas kesiapan untuk
menghadapi persoalan secara terus-menerus dan mencoba
untuk memecahkannya. Beberapa solusi memperlihatkan
rasa kepuasan selama beberapa waktu. Akibatnya muncul
kebiasaan, adat, dan institusi dalam masyarakat. Beberapa
solusi mungkin hanya memuaskan sebagian, atau untuk
masa vang pendek, tetapi sebagian yang lain mungkin
dapat membuat frustrasi, atau untuk waktu vang lebih pan-
jang. Bahkan ada solusi vang keseluruhannya menimbulkan
frustrasi.
(8) Menikmati (enjoys); pikiran-pikiran menda-
tangkan keasyikan. Orang yang asyik dalam menekuni
suatu persoalan, maka ia akan menikmati itu dalam
pikirannva. Jenis kesenangan (juga kesusahan) bermacam-
macam, dan sangat rumit, sehingga tidak mungkin
diuraikan secara rinci di sini. Kebaikan secara intrinsik ada
dalam rasa senang, sedang keburukan secara intrinsik ada
dalam rasa susah.
Perbincangan penting dalam epistemologi juga terkait
dengan jenis-jenis pengetahuan. Paling tidak ada dua jenis
pengetahuan, yaitu pengetahuan ilmiah dan nir-ilmiah.
Pengetahuan ilmiah memiliki beberapa ciri pengenal
sebagai berikut. 18
(1) Berlaku umum, artinya jawaban atas pertanyaan
apakah sesuatu hal itu layak atau tidak layak, ter-
gantung pada faktor-faktor subjektif.
(2) Mempunyai kedudukan mandiri (otonomi), artinya
meskipun faktor-faktor di luar ilmu juga ikut
berpengaruh, tetapi harus diupayakan agar tidak
menghentikan pengembangan ilmu secara mandiri.
(3) Mempunyai dasar pembenaran, artinya cara keija
ilmiah diarahkan untuk memperoleh derajat kepastian
19
yang sebesar mungkin.
(4) Sistematik, artinya ada sistem dalam susunan
pengetahuan dan dalam cara memperolehnya.
(5) Intersubjektif, artinya kepastian pengetahuan ilmiah
tidaklah didasarkan atas intuisi-intuisi serta
pemahaman-pemahaman secara subjektif, melainkan
dijamin oleh sistemnya itu sendiri.
Pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan
untuk memperoleh kebenaran.
Pengetahuan dipandang dari jenis pengetahuan yang
dibangun dapat dibedakan sebagai berikut: 19
(1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge/ Common sense
knowledge). Pengetahuan seperti ini bersifat subjektif,
artinya amat terikat pada subjek yang mengenal.
Dengan demikian, pengetahuan jenis pertama ini
memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk
memperoleh pengetahuan itu bersifat normal atau tidak
ada penyimpangan.
(2) Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah
menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan
menerapkan pendekatan metodologis yang khas pula,
artinya metodologi yang telah mendapatkan
kesepakatan di antara para ahli yang sejenis.
Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah
bersifat relatif, karena kandungan kebenaran jenis
pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi dan
diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir.
Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah
selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil
penelitian yang paling akhir dan mendapatkan
persetujuan (agreement) oleh para ilmuwan sejenis.
(3) Pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang
20
pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati.
Sifat pengetahuan ini mendasar dan menyeluruh dengan
model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif.
Sifat kebenarannya adalah absolut-intersubjektif.
Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkandung pada
jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat
yang selalu melekat pada pandangan dari seorang filsuf
serta selalu mendapat pembenaran dari

filsuf kemudian yang menggunakan metodologi


pemikiran yang sama pula.
(4) Pengetahuan agama yaitujenis pengetahuan yang
didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertentu.
Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya
pernyataan dalam suatu agama selalu didasarkan pada
keyakinan yang telah tertentu, sehingga pernyataan-
pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki
nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang
digunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna
dari kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara
dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan
tetapi kandungan maksud dari ayat kitab suci itu tidak
dapat dirubah dan sifatnya absolut.
Pengetahuan dipandang atas dasar kriteria
karakteristiknya dapat dibedakan sebagai berikut: 20
(1) pengetahuan indrawi; yaitujenis pengetahuan yang
didasarkan atas sense (indera) atau pengalaman
manusia sehari-hari.
(2) pengetahuan akal budi; yaitujenis pengetahuan yang
didasarkan atas kekuatan rasio.
(3) pengetahuan intuitif; jenis pengetahuan yang memuat
pemahaman secara cepat. Intuisi, ujar Archie Bahm 21
21
adalah nama yang kita berikan pada cara pemahaman
kesadaran ketika pema

22
haman itu berujud penampakan langsung. Ia
menegaskan bahwa tidak ada pengintuisian tanpa
melibatkan kesadaran, demikian pula sebaliknya. (4)
pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif;
yaitujenis pengetahuan yang dibangun atas dasar
kredibilitas seorang tokoh atau sekelompok orang yang
dianggap profesional dalam bidangnya.

3. Aksiologi
Bidang utama ketiga adalah aksiologi, vang membahas
tentang masalah nilai. Istilah axiology berasal dari kata Was
dan logos. Axiosartinya nilai atau sesuatu yang berharga,
logos artinya akal, teori. Axiology arti- nya teori nilai,
penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik
dari nilai. Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai
nilai ini mengedepan dalam pemikiran Plato mengenai idea
tentang Kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan Summuin
Bonum (Kebaikan tertinggi).
Tokoh zaman pertengahan, Thomas Aquinas,
membangun pemikiran tentang nilai dengan meng-
identifikasi filsafat Aristoteles tentang nilai tertinggi
dengan penyebab final (causa prima) dalam diri Tuhan
sebagai keberadaan kehidupan, keabadian, dan kebaikan
tertinggi. Pemikir zaman modern, Spinoza, memandang
nilai sebagai didasarkan pada
metafisik, berbagai nilai diselidiki secara terpisah dari ilmu
pengetahuan. Tokoh Aujklarung, Kant, memperlihatkan
hubungan antara pengetahuan dengan moral, estetik, dan religius.
Dalam pandangan Hegel, moralitas, seni, agama, dan filsafat
dibentuk atas dasar proses dialektik.
Problem utama aksiologi ujar Runes22 berkaitan dengan
empat faktor penting sebagai berikut:

23
Pertama, kodrat nilai berupa problem mengenai: apakah
nilai itu berasal dari keinginan (voluntarisme: Spinoza),
kesenangan (Hedonisme: Epicurus, Bentham, Meinong),
kepentingan (Perry), preferensi (Martineau), keinginan rasio
murni (Kant), pemahaman mengenai kualitas tersier (Santayana),
pengalaman sinoptik kesatuan kepribadian (Personalisme:
Green), berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup
(Nietzsche), relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai
tujuan atau konsekuensi yang sungguh-sungguh dapat dijangkau
(Pragmatisme: Dewey).
Kedua, jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan
antara nilai intrinsik, ukuran untuk kebijaksanaan nilai itu sendiri,
nilai-nilai instrumental yang menjadi penyebab (baik barang-
barang ekonomis atau peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai
nilai-nilai intrinsik.
Ketiga, Kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai
yang dipengaruhi sekaligus oleh teori psiko-
logi dan logika. Penganut hedonist menemukan bahwa
ukuran nilai terletak pada sejumlah kenikmatan yang
dilakukan oleh seseorang (Aristippus) atau masyarakat
(Bentham). Penganut intuisionist menonjolkan suatu
wawasan yang paling akhir dalam keutamaan. Beberapa
penganut idealist mengakui sistem objektif norma-norma
rasional atau norma- norma ideal sebagai kriteria (Plato).
Seorang penganut naturalist menemukan keunggulan
biologis sebagai ukuran yang standar.
Keempat, status metafisik nilai mempersoalkan tentang
bagaimana hubungan antara nilai terhadap fakta-fakta yang
diselidiki melalui ilmu-ilmu kealaman (Koehler), kenyataan
terhadap keharusan (Lot/e) pengalaman manusia tentang
nilai pada realitas kebebasan manusia (Hegel). Ada tiga
jawaban penting yang diajukan dalam persoalan status
24
metafisika nilai ini yaitu: (1) Subjektivisme menganggap
bahwa nilai merupakan sesuatu yang terikat pada
pengalaman manusia, seperti halnya: hedonisme,
naturalisme, positivisme. (2) Objektivisme logis
menganggap bahwa nilai merupakan hakikat atau
subsistensi logis yang bebas dari keberadaannya yang
diketahui, tanpa status eksistensial atau tindakan dalam
realitas. (3) Objektivisme metafisik menganggap bahwa
nilai atau norma adalah integral, objektif dan unsur-unsur
aktif kenvataan metafisik, seperti yang dianut oleh: Theis-
me. absolutisme, realisme.
Salah satu cabang aksiologi yang banyak membahas
masalah nilai-baik atau buruk-adalah bidang etika. Etika
mengandung tiga pengertian:
(1) Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau
norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
(2) Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya
kode etik.
(3) Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang
buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-
kemungkinan etis (asas-asas dan nilai- nilai tentang
yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja
diterima dalam suatu masyarakat —seringkah tanpa
disadari— menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis. Etika dalam hal ini sama
dengan filsafat moral. 23
Secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani ethos
= watak. Sedang moral berasal dari kata Latin mos, bentuk
tunggal, sedangkan bentuk jamak mores = kebiasaan.
Istilah etika atau moral dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah

25
laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan
secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan
dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari
tingkah laku tersebut. Dengan demikian perbuatan yang
dilakukan secara tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat
dikenai penilaian bermoral atau tidak bermoral.
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah
laku moral dapat dihampiri berdasarkan atas tiga macam
pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan
Metaetika.
Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku
moral dalam arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan
tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan atau
tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat
pada individu, kebu- davaan atau sub-kultur tertentu. Oleh
karena itu etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian
apa pun, ia hanva memaparkan. Etika deskriptif lebih
bersifat netral. Misalnya: Penggambaran tentang adat
mengayau kepala pada suku primitif.
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma.
Ia dapat mempersoalkan norma yang diterima seseorang
atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan
apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti
sistem-sistem vang dimaksudkan untuk memberikan
petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang
menyangkut baik atau buruk. 24 Etika normatif ini dibagi
menjadi dua, yaitu:
(1) Etika Umum, yang menekankan pada tema-tema
umum seperti: Apa yang dimaksud norma etis?

26
Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana
hubungan antara tanggungjawab dengan kebebasan?
(2) Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip- prinsip
etika umum ke dalam perilaku manusia yang khusus.
Etika khusus juga dinamakan etika terapan. Kalau
diskemakan, maka etika itu dapat diklasifikasikan
sebagai berikut. 25

Etika —

Bagian lain etika adalah metaetika, yaitu kajian etika


27
yang ditujukan pada ungkapan-ungkapan etis. Bahasa etis
atau bahasa yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji
secara logis. Metaetika menganalisis logika perbuatan
dalam kaitan dengan “baik” atau “buruk”. Perkembangan
lebih lanjut dari metaetika ini adalah Filsafat Analitik.
Lorens Bagus 26 memerinci pandangan beberapa filsuf
mengenai teori etika antara lain:
(1) Socrates beranggapan bahwa menderita selalu lebih
baik daripada berbuatjahat. Ia mengajukan suatu
pandangan yang tidak melihat pada akibat- akibat,
melainkan pada prinsip batin.
(2) Plato memandang yang baik sebagai suatu forma
eternal yang harus direalisir dalam kehidupan manusia.
(3) Aristoteles, tujuan hidup manusia ialah kebahagiaan
atau eudaimonia (kesejahteraan, kesentosaan).
Kebajikan dapat ditemukan dengan mencari Jalan
Tengah Emas (Via Media Aura).
(4) Immanuel Kant membangun teori etikanva ber-
dasarkan prinsip yang muncul dari ide hukum dan
menuju imperatif kategoris dan praktis.
(5) Bentham memandang bahwa tujuan yang harus
dicapai adalah kebaikan terbesar untuk jumlah
terbesar. Hedonisme merupakan cara untuk memahami
yang baik.
(6) Nietzsche beranggapan bahwa tujuan kehidupan adalah
kehendak untuk berkuasa (Willezur macht) dan ini harus
diterjemahkan ke dalam kesempurnaan yang melebihi
dimensi-dimensi biasa dari kebaikan dan keburukan.

28
Etika tidak hanva berkutat pada hal-hal teoritis, namun
juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena itu
ada beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam
kaitannya dengan kehidupan konkret, yaitu:
(1) Perkembangan hidup masyarakat yang semakin
pluralistik menghadapkan manusia pada sekian banyak
pandangan moral yang bermacam- macam, sehingga
diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. Contoh:
Etika Medis tentang masalah abortus, bayi tabung,
Kloning, dan lain-lain.
(2) Gelombang modernisasi yang melanda di segala
bidang kehidupan masyarakat, sehingga cara berpikir
masyarakat pun ikut berubah. Misalnya: cara
berpakaian, kebutuhan fasilitas hidup modern, dan
lain-lain.
(3) Etika juga menjadikan kita sanggup menghadapi
ideologi-ideologi asing yang berebutan mempengaruhi
kehidupan kita, agar tidak mudah terpancing. Artinya
kita tidak boleh tergesa-gesa memeluk pandangan baru
yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa
menolak pandangan baru lantaran belum terbiasa.

29
/
(4) Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk
menemukan dasar kemantapan dalam iman dan
kepercayaan sekaligus memperluas wawasan terhadap
semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu
berubah.
Dengan demikian metafisika, epistemologi, dan
aksiologi (khususnya etika) merupakan cabang utama
filsafat yang terkait dengan realitas kehidupan manusia,
termasuk perkembangan ilmu pengetahuan. Manakala
ketiga bidang fundamental filsafat itu dikaitkan dengan
proses akal budi dan pengetahuan filsafati yang diperoleh,
maka akan diperoleh bagan sebagai berikut:

BAGAN HUBUNGAN ANTARA PERSOALAN, AKTIVITAS, DAN


PENGETAHUAN FILSAFATI (Dimodifikasi dari Bagan The Liang
Gie)27

Persoalan Filsafati Proses Akal Budi Pengetahuan Filsafati

1. Metafisis 1. Komprehensif,
Spekulatif 1. Pandangan Dunia
2. Epistemologis
2. Analisis, In- Sistem Pemikiran,
terpretasi kebenaran filsafat

3. Aksiologis Kearifan hidup


3. D e s k r i p s i ,
Preskripsi

F. Prinsip-prinsip dalam Berfilsafat


Berfilsafat selalu terkait dengan pengalaman umum
manusia. Oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa

30
orang yang berfilsafat itu melamun, tidak berpijak pada
kenyataan, atau tidak menginjak bumi. Memang kadangkala
aktivitas filsafat itu melampaui pengalaman-pengalaman
konkret, tetapi itu tidak berarti berfilsafat itu menjauhi
kenyataan- kenyataan yang ada di sekitar kita. Cara
berfilsafat yang baik justru bermula dari hal-hal yang
dialami sendiri oleh calon filsuf. Filsafat itu menurut
Aristoteles, dimulai dari suatu thauma (rasa kagum) vang
timbul dari suatu aporia, vakni problema yang sulit
dicarikan jalan keluarnya. Di sinilah dibutuhkan beberapa
prinsip atau asas-asas dalam berfilsafat. The Liang Gie ’ s
menengarai 5 prinsip penting dalam berfilsafat agar calon
filsuf itu mendapatkan hasil vang optimal.
Pertama, meniadakan kecongkakan maha tahu sendiri.
Seseorang yang ingin mulai berfilsafat harus mampu
mengendalikan dirinya, terutama sikap merasa diri sudah
tahu tentang hal yang akan dipelajari. Sikap yang demikian
hanya akan melahirkan solip- sisme, yakni menganggap
hanya pendapatnyalah yang paling benar. Kesulitan besar
akan muncul di saat dialog dengan orang lain. Komunikasi
yang diharapkan dapat menumbuhkan tukar-menukar
pandangan, akan berubah menjadi debat kusir, bertele-tele
tanpa
ada ujung pangkalnya, lantaran masing-masing meng-
anggap hanya pendapatnya yang paling benar.
Kedua, perlunya sikap mental berupa kesetiaan pada
kebenaran ia loyality to truth). Kesetiaan pada kebenaran
akan melahirkan keberanian untuk mempertahankan

31
kebenaran yang diperjuangkannya. Sebagai contoh ketika
Socrates dipenjara lantaran dituduh menghasut generasi
muda, ada beberapa muridnya yang bersedia
melepaskannya dari penjara, namun Socrates menolak,
karena tidak berani menanggung resiko atas perbuatannva
sendiri vang dianggapnya sebagai sikap pengecut dan tidak
memiliki kesetiaan pada kebenaran. Kesetiaan pada
kebenaran ini juga akan melahirkan kejujuran.
Ketiga, memahami secara sungguh-sungguh persoalan-
persoalan filsafati serta berusaha memikirkan jawabannya.
Dengan demikian ada upava untuk melatih pemikiran
secara serius (intellectual exercises). Melalui latihan
intelektual inilah akan diperoleh pengertian sejati tentang
realitas.
Keempat, latihan intelektual itu dilakukan secara aktif
dari waktu ke waktu dan diungkapkan baik secara lisan
maupun tertulis. Proses mempelajari filsafat itu mencakup
belajar memecahkan persoalan-persoalan filsafati oleh diri
kita sendiri. Misalnya: Bagaimana pemahaman kita tentang
keadilan? Apakah pengertian keadilan vang dipahami
secara hukum itu sudah cukup memuaskan pemikiran kita?
Kalau belum.
bagaimana pengertian sejati tentang keadilan itu
sesungguhnya?
Kelima, sikap keterbukaan diri, artinya orang yang
mempelajari filsafat sevogyanya tidak dihinggapi oleh
prasangka tertentu atau pandangan sempit yang tertuju ke
suatu arah saja, atau sudah lebih dahulu memihak pada

32
suatu pandangan tertentu. Sebab filsafat itu menyangkut
seluruh pengalaman dan menyentuh semua aspek
kehidupan manusia.

F. Penutup
Ketiga bidang utama filsafat, metafisika (khususnya
ontologi), epistemologi, dan aksiologis merupakan
landasan pengembangan ilmu pengetahuan. Landasan
ontologi ilmu berkaitan dengan hakikat ilmu, sebab secara
ontologis, ilmu mengkaji realitas sebagaimana adanya (das
Sein). Landasan epistemologis ilmu berkaitan dengan
aspek-aspek metodologis ilmu dan sarana berpikir ilmiah
lainnya seperti: bahasa, logika, matematika, statistika.
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu
bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di
sini ialah: apa manfaat ilmu bagi umat manusia? Untuk apa
ilmu itu digunakan? Apakah ilmu itu bebas nilai atau
tidak? Dalam hal ini nilai kegunaan ilmu menempati posisi
yang sangat penting. Dapatkah ilmu membantu manusia
untuk memecahkan masalah-

33
/
masalah yang dihadapinya sehari-hari atau justru seba-
liknya?
Pengembangan ketiga landasan ilmu pengetahuan ini
akan melahirkan sifat kebijaksanaan ilmuwan dalam
menerapkan ilmunya di masyarakat. Sebab apa pun halnya,
sulit bagi masyarakat untuk menerima kenyataan bahwa
produk ilmiah malah menyengsarakan dan merugikan
mereka. □

Catatan Kaki:
lilus. Smith &: Nolan, 1984. Persoalan-persoalan Filsafat. Alihbahasa:
H.Nl.Rasjidi. h. 11-15
■'Ali Mudholir. 1997. "Pengenalan Filsafat", dalam Filsafat Ihnu. h. 17-
18
‘Bertens. 1993. Tantangan Kemanusiaan Universal, li. 44-45. 'John
(Nottingham. 1996, Western Philosophy, h. 481.
Ibid., h. 498.
'Tocti M era iv. 1994. Dialog Filsafat dengan Ilmu-Ilmu Pengetahuan;
Suatu Pengantar Aleta-Metodologi. h. 14.
Wittgenstein. 1969. TractatusEogico-Pliilosophicus, h. 37. 49. 'Sontag,
1984. Elements of Philosophy, h. 9.
Schilpp. Paul Arthur (cd.), 1952, The Philosophy of (j.F. M no re. h.
397-398.
"Bahm, 1986. Metaphysics: An Introduction, h. 6.
Alan R. White. Methods of Metaphysics, h. 31.
-'Sontag. 1984. Elements of Philosophy, h. 11.
‘Bahm. Archie. 1986, Metaphysics: An Introduction, h. 6-7. ‘Socjono
Soemargono, 1987. Filsafat Pengetahuan, h. 5. Sontag. 1984. Elements
of Philosophy, h. 11.
"Blackburn, 1994. The Oxford Dictionary of Philosophy, h. 123.
‘'Bahm, 1995, Epistemology: Theory of Knowledge, h. 127-144.
ls
Beerling, dkk., 1986, Pengantar Filsafat Ilmu, Alihbahasa:

34
Soejono Soemargono, h. 5-7
"’Soejono Soemargono, 1987, Filsafat Pengetahuan, h. 10.
L
'"Soejono Soemargono, 1987, Filsafat Pengetahuan, h.12.
21
Bahm, 1995, h. 141.
"Runes, 1979, Dictionary of Philosophy, h.. 32-33.
-:1Bertens, 1993, Etika, h.6.
-’Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, h. 217.
- ’Dimodifikasi dari skema Etika Sosial, Magnis Suseno dkk.,
1991:7-8.
-hLorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, h. 217.
27
The Liang Gie, 1982, Dari Administrasi Ke Filsafat, h. 22.
-*Ibid., h. 48-49.

Sumber Acuan
Ali Mudhofir, 1997, “Pengenalan Filsafat”, dalam Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
Intan Pariwara, Klaten.
Bahm, Archie, J., 1986, Metaphysics: An Introduction, Harper
and Row Publishers, Albuquerque.
Bahm, Archie, J., 1995, Epistemology: Theoty of Knowledge,
Harper and Row Publishers, Albuquerque.
Bertens, Kees., 1993, Etika, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Blackburn, Simon., 1994, The Oxford Dictionary of Philo-
sophy, The Oxford University Press.
Cottingham,John, 1996, Western Philosophy, Blackwell,
Cambridge.
Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka

35
Utama, Jakarta.
Bertens, K. dalam Moedjanto, dkk, 1992, Tantangan
Kemanusiaan Universal, Cetakan ke-2, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Nlagnis-Suseno, dkk., 1991, Etika Sosial, Gramedia,
Jakarta.
Runes, D., 1979. Dictionary of Philosophy, Littlefield
Adams & Co, Totowa, New Jersey.
Schilpp. Paul Arthur (ed.), 1952, The Philosophy of G.E.
Moore.
Soejono Soemargono, 1984, Berpikir Secara Ktjilsa- fatan.
Nur Cahaya, Yogvakarta.
1987, Filsafat Pengetahuan, Nurcahava, Yogva-
karta.
Sontag, Frederick., 1984, Elements of Philosophy, Charles
Schribner's Son, New York.
Titus. Smith & Nolan, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat.
Alihbahasa: H.M.Rasjidi, Bulan Bintang,Jakarta.

The Liang Gie. 1982, Dari Administrasi ke Filsafat.


Cetakan ke-3, Penerbit Super Sukses, Yogyakarta.
Toeti Heraty, 1994, Dialog Filsafat dengan Ilmu-ilmu
Pengetahuan; Suatu Pengantar Meta-Metodologi, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, Jakarta.
White, Alan. R., 1987, Methods of Metaphysics, Croom Helm

36
Ltd, New York.
Wittgenstein, L., 1969, Tractatus Logico-Philosophicus,
Rotledge & Kegan Paul Ltd, London.
BAB II

Selintas tentang Filsafat


Ilmu

A. Pengantar
Perbincangan mengenai filsafat ilmu baru mulai
merebak di awal abad keduapuluh, namun Francis Bacon
dengan metode induksi yang ditampilkannva pada abad
kesembilanbelas dapat dikatakan sebagai peletak dasar
filsafat ilmu dalam khasanah bidang filsafat secara
umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa
perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat
ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Dalam hal ini ada semacam kekhawatiran di
kalangan para ilmuwan dan filsuf, termasukjuga
kalangan agamawan, bahwa kemajuan Iptek dapat
mengancam eksistensi umat manusia, bahkan alam

37
beserta isinya. Para filsuf terutama melihat ancaman
tersebut muncul lantaran pengembangan Iptek berjalan
terlepas dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya seperti
landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang
cenderung berjalan sendiri- sendiri. Untuk memahami
gerak perkembangan Iptek yang sedemikian itulah, maka
kehadiran filsafat ilmu sebagai upaya meletakkan
kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuan
semula, yakni mendasarkan diri dan concern terhadap
kebahagiaan umat manusia, sangat diperlukan. Inilah
beberapa pokok bahasan utama dalam pengenalan
terhadap filsafat ilmu, di samping objek dan pengertian
filsafat ilmu yang akan dikedepankan terlebih dahulu.

B. Objek Material dan Formal Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu sebagaimana halnya dengan bidang-
bidang ilmu yang lain, juga memiliki objek material dan
objek formal tersendiri. Objek material atau pokok
bahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu
sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara
sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Di
sini terlihatjelas perbedaan yang hakiki antara
pengetahuan dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan itu
lebih bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman
sehari-hari, sedangkan ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan yang bersifat khusus dengan ciri-ciri:
sistematis, metode ilmiah tertentu, serta dapat diuji
kebenarannya. Semua manusia terlibat dengan
pengetahuan sejauh ia hidup secara normal dengan
perangkat inderawi yang dimilikinya, namun tidak semua

38
orang terlibat dalam aktivitas ilmiah, karena ada
prasyarat yang harus dimiliki seorang ilmuwan.
Prasyarat-prasyarat itu meliputi antara lain: Pertama,
prosedur ilmiah yang harus dipenuhi agar hasil kerja
ilmiah itu diakui oleh para ilmuwan lainnya. Kedua,
metode ilmiah yang dipergunakan, sehingga kesimpulan
atau hasil temuan ilmiah itu bisa diterima —entah
sementara atau seterusnya— oleh para ilmuwan,
terutama bidang ilmu vang sejenis. Ketiga, diakui secara
akademis karena gelar atau pendidikan formal yang
ditempuhnya. Keempat, ilmuwan harus memiliki
kejujuran ilmiah sehingga tidak mengklaim hasil temuan
ilmuwan lain sebagai miliknya. Kelima, ilmuwan yang
baik juga harus mempunyai rasa ingin tahu (curiosity)
yang besar, sehingga senantiasa tertarik pada perkem-
bangan ilmu vang terbaru dalam rangka mendukung
profesionalitas keilmuannya.
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi)
ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh
perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu
pengetahuan seperti: apa hakikat ilmu itu sesungguhnya?
Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa
fungsi ilmu pengetahuan itu bagi manusia? Problem-
problem inilah yang dibicarakan dalam landasan
pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kalau
diskema'kan, maka landasan pengembangan ilmu
pengetahuan itu dapat digambarkan sebagai berikut. 1

39
Landasan ontologis pengembangan ilmu artinya
titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas
sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang
ilmuwan. Sikap atau pendirian filosofis secara garis
besar dapat dibedakan ke dalam dua mainstream, aliran
besar yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan, yaitu materialisme dan spiritualisme.
Materialisme adalah suatu pandangan metafisik yang
menganggap bahwa tidak ada hal yang nyata selain
materi. Bahkan pikiran dan kesadaran hanyalah
penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada
unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu hal yang
kelihatan, dapat diraba, berbentuk, menempati ruang.
40
Spiritualisme adalah suatu pandangan metafisika yang
menganggap kenyataan yang terdalam adalah roh yang
mengisi dan mendasari seluruh alam,- Pengembangan
ilmu berdasarkan pada materialisme cenderung pada
ilmu-ilmu kealaman (Xatuunvissenschaften) dan
menganggap bidang ilmunya sebagai induk bagi
pengembangan ilmu-ilmu lain. Dalam perkembangan
ilmu modern, aliran ini disuarakan oleh Positivisme.
Sedangkan spiritualisme cenderung pada ilmu-ilmu
kerohanian (Geisleswissen- srhaften) dan menganggap
bidang ilmunya sebagai wadah utama bagi titik tolak
pengembangan bidang- bidang ilmu lain. Jadi landasan
ontologis ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara
pandang ilmuwan terhadap realitas. Manakala realitas
yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada
ilmu-ilmu empiris. Manakala realitas vang dimaksud
adalah spirit atau roh. maka lebih terarah pada ilmu-ilmu
humaniora.
Landasan epistemologis pengembangan ilmu artinya
titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas
cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran. Dalam
hal ini yang dimaksud adalah metode ilmiah. Metode
ilmiah secara garis besar dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu siklus empirik untuk ilmu-ilmu
kealaman, dan metode linier untuk ilmu-ilmu sosial-
humaniora. Cara kerja metode siklus- empirik meliputi
observasi, penerapan metode induksi, melakukan
eksperimentasi (percobaan), verifikasi atau pengujian
ulang terhadap hipotesis yang diajukan, sehingga
melahirkan sebuah teori. Sedangkan cara keija metode
linier meliputi langkah-langkah antara lain: persepsi
yaitu penangkap irtderawi terhadap realitas yang
41
diamati, kemudian disusun sebuah pengertian (konsepsi),
akhirnya dilakukan prediksi atau peramalan tentang
kemungkinan- kemungkinan yang akan terjadi di masa
depan.
Landasan aksiologis pengembangan ilmu merupakan
sikap etis yang harus dikembangkan oleh seorang
ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya. Sehingga suatu aktivitas
ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercayaan,
ideologi yang dianut oleh masyarakat atau bangsa,
tempat ilmu itu dikembangkan.
C. Pengertian Filsafat Ilmu
Ada berbagai definisi filsafat ilmu yang dihimpun
oleh The Liang Gie,^ di sini hanya akan dikemukakan
empat pendapat yang dianggap paling representatif.
1. Robert Ackermann: Filsafat Ilmu adalah sebuah
tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah
dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-
pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.
2. Lewis White Beck: Filsafat ilmu itu mempertanya-
kan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah,
serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya
usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3. Cornelius Benjamin: Filsafat ilmu merupakan
cabang pengetahuan filsafati vang menelaah
sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-
metodenya. konsep-konsepnya, dan praanggapan-
praanggapannva, serta letaknya dalam kerangka
umum dari cabang pengetahuan intelektual.
4. May Brodbeck: Filsafat ilmu itu sebagai analisis
yang netral secara etis dan filsafati. pelukisan, dan
penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
42
Keempat definisi tersebut memperlihatkan ruang
lingkup atau cakupan yang dibahas di dalam filsafat
ilmu, meliputi antara lain: (1) komparasi kritis sejarah
perkembangan ilmu, (2) sifat dasar ilmu pengetahuan, (3)
metode ilmiah, (4) praanggapan-praang- gapan ilmiah.
(5) sikap etis dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Di antara faktor-faktor itu, yang paling
banyak dibicarakan terutama adalah sejarah perkembangan
ilmu, metode ilmiah dan sikap etis dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
Sejarah perkembangan ilmu memaparkan berbagai
wacana yang berkembang di seputar temuan-temu- an ilmiah
sesuai dengan periodesasi-periodesasi. Setiap periode
menampakkan kekhasannya masing- masing, sehingga
perbandingan secara kritis antara satu periode dengan periode
yang lain akan memperlihatkan kekayaan paradigma ilmiah
sepanjang sejarah perkembangan ilmu. Kuhn bahkan menegas-
kan terjadinya revolusi sains yang didukung oleh penemuan
paradigma baru dalam bidang ilmu tertentu, sehingga mampu
mengubah pola pikir masyarakat. Sebagai contoh: pada jaman
Yunani sampai abad pertengahan masyarakat masih berpegang
pada pandangan Geosentris, yakni bumi sebagai pusatjagat
raya. Namun setelah revolusi Copernicus, masyarakat
mempercayai bahwa bukan bumi sebagai pusatjagat raya,
melainkan matahari, sehingga terjadi pergeseran paradigmatis
dari geosentris ke heliosentris.
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup
berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara
teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau
memperkembangkan pengetahuan yang ada. Metode ilmiah
pada umumnya diartikan sebagai prosedur yang dipergunakan
oleh para ilmuwan
43
dalam pencarian sistematis terhadap pengetahuan baru
dan peninjauan kembali pengetahuan yang telah ada.4
Namun acapkali ilmuwan di dalam aktivitas ilmiahnya
itu terjebak ke dalam sikap pemujaan yang berlebihan
terhadap metode. Sikap yang demikian ini dinamakan
metodolatri, yaitu menganggap metode sebagai tujuan
yang hakiki dari sebuah proses ilmiah. Padahal metode
itu hanva sekadar sarana untuk mendapatkan kebenaran
ilmiah.
Sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan
merupakan salah satu isu penting dalam filsafat ilmu,
terutama untuk menjawab persoalan apakah ilmu itu
bebas nilai atau tidak. Dalam perkembangan ilmu
pengetahuan ada dua kubu vang saling berhadapan, di
satu pihak vang beranggapan bahwa ilmu itu harus bebas
nilai (misalnva: Positivisme), di pihak lain ada vang
beranggapan bahwa ilmu itu tidak mungkin bebas nilai,
karena selalu terkait dengan kepentingan sosial.

D. Tujuan dan Implikasi Filsafat ilmu

I. Tujuan Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu sebagai cabang khusus filsafat yang
membicarakan tentang sejarah perkembangan ilmu,
metode-metode ilmiah, sikap etis yang harus dikem-
bangkan para ilmuwan secara umum mengandung tujuan-
tujuan sebagai berikut.
Pertama, filsafat ilmu sebagai sarana pengujian
penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap
kegiatan ilmiah. Maksudnya, seorang ilmuwan harus
memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri,
sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistik,

44
menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling
benar.
Kedua, filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi,
menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab
kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan
modern adalah menerapkan suatu metode ilmiah tanpa
memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri.
Satu sikap yang diperlukan di sini adalah menerapkan
metode ilmiah yang 'sesuai atau cocok dengan struktur
ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Metode hanya
sarana berpikir, bukan merupakan hakikat ilmu
pengetahuan.
Ketiga, filsafat ilmu memberikan pendasaran logis
terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang
dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan
secara logis-rasional, agar dapat dipahami dan
dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan
dan penggunaan metode ilmiah, maka semakin valid
metode tersebut, pembahasan mengenai hal ini
dibicarakan dalam metodologi, yaitu ilmu yang mem-
pelajari tentang cara-cara untuk memperoleh kebenaran.
2. Implikasi Mempelajari Filsafat Ilmu
a. Bagi seseorang yang mempelajari filsafat ilmu
diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang
ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, supaya
para ilmuwan memiliki landasan berpijak vang kuat.
Ini berarti ilmuwan sosial perlu mempelajari ilmu-
ilmu kealaman secara garis besar, demikian pula
seorang ahli ilmu kealaman perlu memahami dan
mengetahui secara garis besar tentang ilmu-ilmu
sosial. Sehingga antara ilmu yang satu dengan
lainnya saling menyapa, bahkan dimungkinkan
45
teijalinnya keija sama yang harmonis untuk
memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan.
b. Menyadarkan seorang ilmuwan agar tidak terjebak
ke dalam pola pikir “menara gading”, yakni hanya
berpikir murni dalam bidangnya tanpa
mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar
dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris
tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan
sosial-kemasyarakatan.

C. Penutup
Filsafat Ilmu diperlukan kehadirannya di tengah
perkembangan iptek yang ditandai semakin menajamnya
spesialisasi ilmu pengetahuan. Sebab dengan
mempelajari filsafat ilmu, maka para ilmuwan akan
menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap
ke dalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih
diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan
ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan
mengarahkan seluruh potensi keilmuan vang dimilikinya
untuk kepentingan umat manusia. □

Catatan Kaki:
'Like Wilardjo, 1998, Filsafat Ilmu Kealaman.
-Bakker, 1992, h. 27-28.
:,
The Liang Gie, 1996, h. 57-59.
A
Ibid., h. 110.

Sumber Acuan
Bakker, A., 1992, Ontologi atau Metafisika Umum,
Kanisius, Yogyakarta.
46
Liek Wilardjo, 1998, “Filsafat Ilmu Kealaman”, dalam
Internship Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM
Yogyakarta.
The Liang Gie, 1996, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty,
Yogyakarta.

- ♦♦ -

BAB III

Sejarah dan Peranan


Pemikiran Filsafat Barat
dalam Perkembangan Ilmu
Pengetahuan

A. Pengantar
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
teramat cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran
dan pengaruh pemikiran filsafat Barat. Pada awal
perkembangan pemikiran filsafat Barat pada zaman
Yunani Kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan,
artinya antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan
pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran
manusia pada waktu itu disebut filsafat. Pada abad
47
Pertengahan terjadi perubahan, filsafat pada zaman ini
identik dengan agama, artinya pemikiran filsafat pada
waktu itu menjadi satu dengan dogma Gereja (Agama).
Munculnya Renaissans pada abad ke-15 dan Aufklaerung
di abad ke-18 membawa perubahan pandangan terhadap
filsafat. Filsafat memisahkan diri dari agama, orang
mulai bebas mengeluarkan pendapat tanpa takut dihukum
oleh Gereja. Sebagai kelanjutan dari zaman renaissans,
filsafat pada zaman modern tetap sekuler, namun
sekarang filsafat ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan.
Artinya ilmu pengetahuan sebagai “anak-anak” filsafat
berdiri sendiri dan terpecah menjadi berbagai cabang.
Cabang-cabang ilmu berkembang dengan cepat, bahkan
memecah diri dalam berbagai spesialisasi dan dan sub-
spesialisasi pada Abad ke20.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dikem-
bangkan oleh bangsa Barat telah menyentuh segala aspek
kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan pada awalnya
adalah suatu sistem yang dikembangkan manusia untuk
mengetahui keadaannya dan lingkungannya, serta
menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya, atau
menyesuaikan lingkungannya dengan dirinya dalam
rangka strategi hidupnya. Ilmu pengetahuan pada
awalnya diciptakan dan dikembangkan untuk membuat
hidup manusia lebih mudah dan lebih nyaman untuk
dinikmati, artinya ilmu diciptakan dan dikembangkan
sebagai sarana untuk membantu manusia meringankan
beban kehidupannya. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, khususnya pada abad ke-20 dan menjelang
abad ke- 21, ilmu tidak lagi sekedar sarana kehidupan
bagi manusia, tetapi telah menjadi sesuatu yang
substantif yang “menguasai” kehidupan umat manusia
48
baik secara ekstensif maupun intensif. Berbagai
spesialisasi ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam
berbagai bentuk teknologi tinggi disamping
kemanfaatannya yang “luar biasa” juga telah
menimbulkan berbagai krisis kemanusiaan.
Berbagai krisis yang ditimbulkan oleh perkem-
bangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya
didorong oleh pemecahan masalah kemanusiaan yang
sektoral. Banyak orang mengira bahwa masalah- masalah
kemanusiaan akan dapat diselesaikan hanya oleh satu
displin ilmu, bahkan ada yang mengira hanya disiplin
ilmunyalah yang paling ampuh menyelesaikan berbagai
masalah kemanusiaan dewasa ini. Selain itu juga muncul
anggapan bahwa metodologi yang paling unggul dalam
penelitian untuk mencapai kebenaran adalah metodologi
yang dikembangkan dalam disiplin ilmunya, sedangkan
yang di luar disiplin itu tidak diakui bobot ilmiahnya.
Oleh karena itu agar perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sungguh dapat bermanfaat lebih banyak
bagi kehidupan manusia, pemikiran sempit itu sudah
saatnya ditinggalkan. Untuk memecahkan berbagai
persoalan kemanusiaan dewasa ini tidak mungkin lagi
dilakukan oleh ilmuwan dari satu disiplin ilmu saja,
melainkan harus ditangani bersama oleh berbagai
ilmuwan dalam bidang yang berbeda. Maka sudah
saatnya para ilmuwan untuk kembali bertanya dan minta
“petunjuk” kepada “Ibu” yang telah melahirkannya
bagaimana seharusnya kita menyelesaikan masalah-
masalah kemanusiaan yang semakin rumit dan kompleks.
Salah satu upaya untuk itu adalah dengan mempelajari
perkembangan pemikiran filsafat, dalam hal ini adalah
filsafat Barat.
49
Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana
tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan
kearifan tersendiri; karena kita akan dapat melacak segi-
segi positifnya yang harus kita tiru dan meniadakan segi-
segi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Pemikiran Barat yang dijiwai oleh semangat Re-
naissance dan Aufklaerung merupakan tradisi yang
hingga dewasa ini merupakan “paradigma” bagi
pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang
sangat luas dan mendalam dalam semua segi dan
kehidupan. 1
Perkembangan sejarah filsafat Barat dapat dibagi
dalam empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas
ciri pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama,
adalah zaman Yunani Kuno, ciri pemikiran filsafati pada
zaman ini disebut kosmosentris. Para filosof pada masa
ini mempertanyakan asal-usul alam semesta dan jagad
raya. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri
pemikiran pada zaman ini disebut teosentris. Para filosof
pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk
memperkuat dogma-dogma agama Kristiani. Ketiga,
adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini
menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat,
sehingga lazim disebut dengan corak antroposentrisme.
Keempat, adalah Abad Kontemporer, ciri pokok
pemikiran jaman ini ialah logo- sentris, artinya teks
menjadi tema sentral diskursus para filosof.
Tulisan ini akan mencoba menguraikan secara
ringkas perkembangan pemikiran sejarah filsafat Barat
sejak zaman Yunani Kuno sampai dengan Abad ke-
20/Kontemporer. Pertama-tama dikemukakan secara
singkat latar belakang kelahiran masing-masing zaman,
50
kemudian ciri-ciri pokok pemikiran pada zaman tersebut
beserta filosof-filosof yang berpengaruh dominan,
akhirnya diberikan suatu catatan tentang pengaruh
masing-masing zaman terhadap perkembangan pemikiran
kemanusiaan pada umumnya. Khusus untuk pemikiran
filsafat Barat modern dan kontemporer dibicarakan
dalam kerangka aliran- aliran.

B. Perkembangan Pemikiran Filsafat Barat

7. Zaman Yunani Kuno (Abad 6 SM - 6 M)


Kelahiran pemikiran filsafat Barat diawali pada
abad ke-6 sebelum masehi yang ditandai oleh runtuhnya
mite-mite dan dongeng-dongeng yang selama ini menjadi
pembenaran terhadap setiap gejala alam. Manusia pada
waktu melalui mite-mite mencari keterangan tentang
asal-usul alam semesta dan tentang kejadian yang
berlangsung di dalamnya. Ada dua bentuk mite yang
berkembang pada waktu itu, yaitu mite kosmogonis, yang
mencari tentang asal usul alam semesta, dan mite
kosmologis, berusaha mencari keterangan tentang asal
usul serta sifat kejadian alam semesta.2 Mitologi Yunani
meskipun memberikan jawaban terhadap pertanyaan-
perta- nyaan tentang alam semesta, sayangnya jawaban-
jawaban tersebut diberikan dalam bentuk mite yang lolos
dari kontrol akal (rasio). Cara berpikir seperti ini
berlangsung sampai abad ke-6 sebelum masehi.
Sedangkan sejak abad ke-6 sebelum masehi orang mulai
mencari jawaban-jawaban rasional tentang asal usul dan
kejadian alam semesta.
Ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno di
51
awal kelahirannya adalah ditujukannya perhatian
terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik
sebagai ikhtiar guna menemukan sesuatu asas-mula
(arche) yang merupakan unsur awal terjadinya segala
gejala. 3 Thales (640-550 SM) menyimpulkan bahwa air
merupakan arche (asas -mula) dari segala sesuatu,
pendapatnya ini didukung oleh kenyataan bahwa air
meresapi seluruh benda-benda di jagad raya ini.
Anaximander (611-545 SM) meyakini bahwa asas- mula
dari segala sesuatu adalah apeiron yaitu sesuatu yang
tidak terbatas. Anaximenes (588-524 SM) mengatakan
bahwa asas-mula segala sesuatu itu adalah udara,
keyakinannya ini didukung oleh kenyataan bahwa udara
merupakan unsur vital kehidupan. Pythagoras (580-500
SM) mengatakan bahwa asas segala sesuatu dapat
diterangkan atas dasar bilangan- bilangan, ia terkenal
karena dalil tentang segi tiga siku-siku yang
dikemukakannya dan masih berlaku sampai saat ini.
Diskusi kefilsafatan pada jaman Yunani menjadi
semakin semarak dengan tampilnya dua filosof
(pemikir), yaitu Herakleitos (540-475 SM) dan
Parmenides (540-475 SM). Pertanyaan kedua filosof ini
tidak lagi tentang apakah asal-usul dan kejadian alam
semesta, tetapi apakah realitas itu berubah, tidak sesuatu
yang tetap. Ungkapannya yang terkenal adalah panta rhei
khai uden menei, semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu
pun yang tinggal mantap. 4 Parmenides berpandangan
sebaliknya, ia menegaskan bahwa realitas itu tetap, tidak
berubah. Arti penting Parmenides adalah gagasannya
tentang “ada”, ia merupakan filsuf pertama yang
mempraktekkan cabang filsafat yang dikenal di
kemudian hari dengan “metafisika”. Pernyataannya yang
52
berkaitan dengan metafisika itu yaitu: “yang-ada itu ada,
dan yang-tidak- ada itu tidak ada”. 5 Kedua tokoh ini
dalam sejarah filsafat menjadi cikal-bakal debat
metafisika tentang “pluralisme” dan “monisme”, dalam
bidang episto- mologi antara “empirisisme” dan
“rasionalisme”. Herakleitos mewakili pluralisme dan
empirisisme, sedangkan Parmenides adalah wakil dari
monisme dan rasionalisme.
Pemikir Yunani lain yang penting dalam rangka
perkembangan ilmu pengetahuan adalah Demokritos
(460-370 SM). Ia menegaskan bahwa realitas terdiri dari
banyak unsur yang disebutnya dengan atom (atomos, dari
a = tidak, dan tomos = terbagi). Atom- atom itu sama
sekali tidak mempunyai kualitas dan jumlahnya tidak
berhingga. 5 Pandangan Demokritos ini merupakan cikal-
bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi.
Filsafat Yunani yang telah berhasil mematahkan
berbagai mitos tentang kejadian dan asal-usul alam
semesta, dan itu berarti dimulainya tahap rasionalisasi
pemikiran manusia tentang alam semesta. Filosof yang
mengembangkan filsafat pada jaman Yunani yang begitu
ramai dipersoalkan sepanjang sejarah filsafat adalah
Socrates. Socrates (470 SM-399 SM) tidak memberikan
suatu ajaran yang sistematis, ia langsung menerapkan
metode filsafat langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Metode berfilsafat yang diuraikannya disebut
“dialektika” (Yunani: dialegrsihai) yang berarti bercakap-
cakap, disebut demikian karena dialog atau wawancara
mempunyai peranan hakiki dalam filsafat Socrates. 7
Socrates sendiri menyebut metodenya itu “maieutike
tekhne” (seni kebidanan), artinya fungsi filosof hanya
membidani lahirnya pengetahuan. Socrates sendiri tidak
53
menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-
pertanyaan nya ia membidani pengetahuan yang terdapat
dalam jiwa orang lain. Dan dengan pertanyaan lebih
lanjut ia menguji nilai pikiran-pikiran yang sudah
dilahirkan.
Plato (428 SM-348 SM) adalah murid Socrates yang
meneruskan tradisi dialog dalam berfilsafat. Plato
meneruskan keaktifan Socrates dengan mengarang
dialog-dialog, seperti gurunya, ia tidak mengenal lelah
dalam mengadakan dialog dengan lawan bicaranya. Plato
memilih dialog karena ia berkeyakinan bahwa filsafat
pada intinya tidak lain daripada suatu dialog. Berfilsafat
berarti mencari kebijaksanaan atau kebenaran, dan oleh
karena itu dapat dimengerti bahwa mencari kebenaran itu
sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam suatu dialog.
Plato dikenal sebagai filosof dualisme, artinya ia
mengakui adanya dua kenyataan yang terpisah dan
berdiri sendiri, yaitu dunia ide dan dunia bayangan
(inderawi). Dunia ide adalah dunia yang tetap dan abadi,
di dalamnya tidak ada perubahan, sedangkan dunia
bayangan (inderawi) adalah dunia yang berubah, yang
mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada
indera. Bertitik tolak dari pandangannya ini, Plato
mengajarkan adanya dua bentuk pengenalan. Di satu
pihak ada pengenalan Idea-idea yang merupakan
pengenalan dalam arti yang sebenarnya. Pengenalan ini
mempunyai sifat-sifat yang sama seperti objek-objek
yang menjadi arah pengenalan yang sifatnya teguh, jelas,
dan tidak berubah. Di pihak lain ada pengenalan tentang
benda-benda jasmani. Pengenalan ini mempunyai sifat-
sifat tidak tetap, selalu berubah. 8
Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada
54
murid Plato yang bernama Aristoteles (384 SM- 322
SM). Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu
pengetahuan ialah mencari penyebab-penyebab objek
yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof sebe-
lumnya yang sudah menyelidiki alam adalah bahwa
mereka tidak memeriksa semua penyebab. Aristoteles
berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat
sebab yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak
memahami proses kejadian segala sesuatu. Keempat
penyebab itu menurut Aristoteles adalah:
a. Penyebab material (material cause): inilah bahan
dari mana benda dibikin. Misalnya kursi dibuat dari
kayu.
b. Penyebab formal {formal cause): inilah bentuk yang
menyusun bahan. Misalnya bentuk kursi ditambah
pada kayu, sehingga kayu menjadi sebuah kursi.
c. Penyebab efisien (efficient cause): inilah sumber
kejadian: inilah faktor yang menjalankan kejadian.
Misalnya, tukang kayu yang membikin sebuah kursi.
d. Penyebab final {final cause): inilah tujuan yang
menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi
dibikin supaya orang dapat duduk di atasnya. 9
Ajaran metafisika Aristoteles menyelidiki tentang
hakikat ada, ia membedakan ada yang primer dan
sekunder. Ada yang primer disebutnya “substansi” yaitu
suatu ada yang berdiri sendiri, tidak memerlukan sesuatu
yang lain. Ada yang sekunder disebutnya “aksiden-
aksiden”, yaitu suatu hal yang tidak berdiri sendiri, tetapi
hanya dapat dikenakan kepada sesuatu yang lain yang
berdiri sendiri. Aksiden-aksiden hanya dapat berada
dalam suatu substansi dan tidak pernah lepas
55
daripadanya."’ Realitas menurut Aristoteles tersusun atas
satu substansi dan sembilan aksidensi yang terkenal nama
sepuluh kategori. Sembilan aksidensi itu antara lain:
kualitas, kuantitas, relasi, tempat (ruang), waktu, aksi,
passi.
Sama halnya dengan Plato, Aristoteles juga
mengemukakan tentang adanya dua pengetahuan, yaitu
pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali.
Pengetahuan inderawi merupakan hasil tangkapan
keadaan yang konkret benda tertentu; pengetahuan akali
merupakan hasil tangkapan hakikat, jenis benda tertentu.
Pengetahuan inderawi mengarah kepada ilmu
pengetahuan, namun ia sendiri bukan ilmu pengetahuan,
ilmu pengetahuan hanya terdiri dari pengetahuan akali.
Itulah sebabnya baik menurut Aristoteles maupun
menurut Plato, tidak mungkin terdapat ilmu pengetahuan
mengenai hal-hal yang konkret, melainkan yang ada
hanyalah ilmu pengetahuan mengenai hal-hal yang
umum. Jalan untuk sampai pada ilmu pengetahuan ialah
jalan abstraksi. Akal tidaklah mengandung idea-idea
bawaan, melainkan mengabstraksikan idea-idea yang
dipunyainya, yaitu bentuk yang dipunyai benda-benda,
berdasarkan hasil tangkapan inderawi. 11 Sumbangan
Aristoteles dalam perkembangan ilmu pengetahuan
adalah pemikirannya tentang sillogisme. Sillogisme
adalah suatu cara menarik kesimpulan dari premis-premis
sebelumnya. Pasca Aristoteles filsafat Yunani mengalami
“kemunduran” dalam arti filsafat cenderung untuk
memasuki dunia praktis bahkan berlanjut mengarah
kedunia mistik sebagaimana dikembangkan oleh faham
Stoisisme, Epucurisme dan Neo-Plato- nisme.

56
2. Zaman Pertengahan (6 - 16 M)
Zaman Pertengahan di Eropa adalah zaman ke-
emasan bagi kekristenan. Abad pertengahan selalu
dibahas sebagai zaman yang khas, karena dalam abad-
abad itu perkembangan alam pikiran Eropa sangat
terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan

57
ajaran agama. Filsafat zaman pertengahan biasanya
dipandang terlampau seragam, dan lebih dari itu
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah
pemikiran sebenarnya. Bila kita hendak memahami
perkembangan pemikiran kefilsafatan, maka pendapat
semacam itu hendaknya ditinjau kembali. Apa yang
terungkap pada masa Renaissans dan pada filsafat abad
ke-17, tidak mungkin dipahami, manakala kita
mengabaikan permainan pendahuluan tentang hal-hal
tersebut yang terjadi pada abad pertengahan. 12 Filosof
Yunani yang berpengaruh pada abad pertengahan adalah
Plato dan Aristoteles, Plato menampakkan pengaruhnya
pada Agustinus sedangkan Aristoteles pada Thomas
Aquinas.
Filsafat Agustinus (354-430) merupakan filsafat
mengenai keadaan ikut ambil bagian, suatu bentuk
Platonisme yang sangat khas. Dengan pengetahuannya
mengenai kebenaran-kebenaran abadi yang disertakan
sejak lahir dalam ingatan dan yang menjadi sadar karena
manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut ambil bagian
dalam idea-idea Tuhan, yang mendahului ciptaan dunia.
Ciptaan merupakan keadaan yang ikut ambil bagian
dalam idea-idea Tuhan, tetapi manusia adalah ciptaan
yang unik, ia bukan keadaan yang ambil bagian yang
pasif melainkan diwujudkan secara aktif dalam suatu
pengetahuan yang penuh kasih. 13 Secara demikian
manusia melalui penciptaan dapat mendaki sampai pada
pengakuan yang penuh
kasih akan Tuhan. Dalam arti tertentu keadaan ikut ambil
bagian ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua
perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih. Demikianlah
menurut Agustinus berpikir dan mengasihi berhubungan secara
58
selaras dan tak terceraikan. Tuhan adalah ada sebagai ada,
yang bersifat pribadi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh
jagad raya secara bebas, dan tidak dengan jalan emanasio yang
niscaya terjadi, seperti dikatakan oleh Plotinos.
Pemikiran filsafat Aristoteles direnungkan secara
mendalam oleh Thomas Aquinas (1125-1274), tanpa ragu-ragu
ia mengambil pemikiran filsafat Aristot eles sebagai dasar
dalam berfilsafat. Namun demikian pemikiran filsafat Thomas
tidak semata-mata merupakan pengulangan dari filsafat
Aristoteles. Ia membuang hal-hal yang tidak pas dengan ajaran
Kristiani dan menambahkan hal-hal baru, sehingga filsafatnya
melahirkan suatu aliran yang bercorak Thomisme, yang
menjadi ciri khas filsafat zaman Pertengahan yang dikenal
dengan predikat “Ancilla Theologiae”.
Thomas dalam hal terjadinya alam semesta menganut
teori penciptaan, artinya Tuhan menciptakan alam semesta.
Dengan tindakan mencipta, Tuhan menghasilkan ciptaan dari
ketiadaan. Tuhan mencipta dari ketiadaan pada awal mulanya
tidak terdapat dualisme antara Tuhan (kebaikan) dengan
materia (keburukan). Karena segala sesuatu timbul oleh
penciptaan dari Tuhan maka segala sesuatujuga ambil bagian
dalam kebaikan Tuhan; berarti bahwa juga alam material
mempunyai bentuk kebaikan sendiri. Selanjutnya penciptaan
itu bukan merupakan tindakan pada suatu saat tertentu, yang
sesudah itu ciptaan tersebut untuk seterusnya dibiarkan
mengadu nasibnya. Mencipta berarti secara terus-menerus
menghasilkan serta memelihara ciptaan.14Tuhan mencipta alam
semesta serta waktu dari keabadian, gagasan penciptaan tidak
bertentangan dengan alam abadi. Kitab suci mengajarkan
bahwa alam semesta berawal mula, tetapi filsafat tidak
membuktikan hal itu, seperti halnya filsafat juga tidak dapat
membuktikan bahwa alam semesta tidak berawal mula.

59
3. Zaman Renaisans (14-16 M)
Peralihan dari zaman pertengahan ke zaman modern
ditandai oleh suatu era yang disebut dengan ’renaissans’.
Renaissans adalah suatu zaman yang sangat menaruh perhatian
dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra,
filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi.15 Pada zaman ini
berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad
pertengahan yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu
perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan
membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat .lfl Zaman
renaissans terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan
manusia dalam berpikir. Renaissans adalah zaman atau gerakan
yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang
bebas. Manusia bebas yang dimaksudkan dan didambakan
adalah manusia bebas seperti yang ada dalam zaman Yunani
Kuno. Pada zaman renaissans ini manusia Barat mulai berpikir
secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari
otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah “mengung-
kung” kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan
ilmu pengetahuan.
Pemikir renaissans yang dapat dikemukakan dalam tulisan
ini antara lain: Nicolaus Copernicus (1473-1543) dan Francis
Bacon (1561-1626). Copernicus adalah seorang tokoh gerejani
yang ortodoks, ia menemukan bahwa matahari berada di
pusatjagad raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu:
perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan
mengelilingi matahari. Teorinya ini disebut “heliosentrisme” di
mana matahari adalah pusatjagad raya, bukan bumi
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ptolomeus yang
diperkuat oleh Gereja. Teori Ptolomeus ini disebut
“geosentrisme”, bumi adalah pusatjagad raya. Teori
Copernicus ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam
60
semesta, terutama astronomi. Bacon adalah pemikir yang
seolah-olah meloncat keluar dari jamannya dengan menjadi pe-
rintis filsafat ilmu pengetahuan. Ungkapan Bacon

61
yang terkenal adalah knowledge is power “pengetahuan
adalah kekuasaan”. Ada tiga contoh yang dapat membuktikan
pernyataan ini, yaitu: (1) mesiu menghasilkan kemenangan dan
perang modern; (2) kompas memungkinkan manusia
mengarungi lautan; (3) percetakan yang mempercepat
penyebaran ilmu pengetahuan.17

4. Zaman Modern (17-19 M)


Filsafat Barat modern yang kelahirannya didahului oleh
suatu periode yang disebut dengan ‘renaissans’ dan
dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung di abad ke-18 itu, di
dalamnya mengandung dua hal yang sangat penting. Pertama,
semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin
bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.18 Pengaruh dari
gerakan renaissans dan Aufklaerung itu telah menyebabkan
peradaban dan kebudayaan Barat modern berkembang dengan
pesat, dan semakin bebas dari pengaruh otoritas dogma-dogma
Gereja. Terbebasnya manusia Barat dari otoritas Gereja
dampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman renaissans dan
Aufklaerung perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
tidak lagi didasarkan pada otoritas dogma- dogma Gereja,
melainkan didasarkan atas kesesuaiannya dengan akal. Sejak
itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas
kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang
kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan
dan pemikiran yang dapat diuji. Kebenaran yang dihasilkan
tidak bersifat tetap, tetapi dapat berubah dan dikoreksi
sepanjang waktu. Kebenaran merupakan never ending process',
bukan sesuatu yang mandeg, selesai dalam kebekuan normatif
atau dogmatis.
62
Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak
yang berbeda dengan periode filsafat Abad Pertengahan.
Perbedaan itu terletak terutama pada otoritas kekuasaan politik
dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas
kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-
dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu
terletak kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada
zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun,
kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri.
Kekuatan yang mengikat itu ialah Agama dengan Gerejanya,
serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
Para filosof modern pertama-tama menegaskan bahwa
pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma
Gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feodal, melainkan
dari diri manusia sendiri.19 Sebagai ahli waris zaman
renaissans, filsafat zaman modern itu bercorak
“antroposentris”, artinya manusia menjadi pusat perhatian
penyelidikan filsafati. Semua filsuf pada zaman ini menyelidiki
segi-segi subjek manusiawi; “aku” sebagai pusat pemikiran,
pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat
kehendak, dan pusat perasaan.20
Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman
modern, khususnya dalam abad ke-17, adalah persoalan
epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi
adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan
apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai
pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan
kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang bercorak epistemologis ini, maka dalam filsafat abad ke-
17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban
berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut
ialah rasionalisme dan empirisisme.

63
a. Rasionalisme
Usaha manusia untuk memberi kepada akal suatu
kedudukan yang ‘berdiri sendiri’, sebagaimana yang telah
dirintis oleh para pemikir ‘renaissans’ berlanjut terus sampai
abad ke-17. Abad ke-17 adalah abad dimulainya pemikiran-
pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin
lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar
terhadap kemampuan akal, sehingga tampaklah adanya keya-
kinan bahwa dengan kemampuan akal itu pasti dapat
diterangkan segala macam persoalan, dapat dipahami segala
macam permasalahan, dan dapat dipecahkannya segala macam
masalah kemanusiaan.
Akibat dari keyakinan yang berlebihan terhadap
kemampuan akal itu, dinyatakanlah perang terhadap mereka
yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan
yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada Abad
Pertengahan, terhadap tata-susila yang bersifat tradisi, terhadap
apa saja yang tidak masuk akal, dan terhadap keyakinan-
keyakinan dan anggapan-anggapan yang tidak masuk akal.21
Dengan berkuasanya akal ini, orang mengharapkan akan
lahirnya suatu dunia baru yang'lebih sempurna, suatu dunia
baru yang dipimpin oleh akal manusia yang sehat.
Kepercayaan terhadap akal ini terutama terlihat dalam
lapangan filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk
menyusun secara ‘a priori’ suatu sistem keputusan akal yang
luas dan bertingkat tinggi. Corak berpikir dengan melulu
mengandalkan atau berdasarkan atas kemampuan akal (rasio),
dalam filsafat dikenal dengan nama aliran ‘rasionalisme’.
Aliran filsafat rasionalisme ini berpendapat, bahwa
sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya
adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui
akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum
64
dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh semua
pengetahuan ilmiah.
Sedangkan pengalaman hanya dapat dipakai untuk
mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah diperoleh
melalui akal. Menurut aliran ini akal tidak memerlukan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar,
karena akal dapat menurunkan kebenaran itu dari dirinya
sendiri. Metode yang diterapkan oleh para filsuf rasionalisme
ialah metode deduktif, seperti yang berlaku pada ilmu pasti.
Secara ringkas dapatlah dikemukakan dua hal pokok yang
merupakan ciri dari setiap bentuk rasionalisme, yaitu:
1) Adanya pendirian bahwa kebenaran-kebenaran yang
hakiki itu secara langsung dapat diperoleh dengan
menggunakan akal sebagai sarananya.
2) Adanya suatu penjabaran secara logik atau deduksi yang
dimaksudkan untuk memberikan pembuktian seketat
mungkin mengenai lain-lain segi dari seluruh sisa bidang
pengetahuan berdasarkan atas apa yang dianggap sebagai
kebenaran- kebenaran hakiki tersebut di atas.22
Tokoh-tokoh aliran filsafat rasionalisme ini ialah
Descartes, Spinoza, dan Leibniz, dari ketiga tokoh ini yang
dibicarakan dalam rangka aliran ini adalah Descartes.
Tokoh penting aliran filsafat rasionalisme adalah Rene
Descartes (1598-1650) yang juga adalah pendiri filsafat
modern. Ia pantas untuk mendapat keduduk- an itu dengan
alasan, pertama, karena usaha mencari satu-satunya metode
dalam seluruh cabang penyelidikan manusia; kedua, karena dia
memperkenalkan dalam filsafat, terutama tentang penelitian
dan konsep dalam filsafat yang menjadi prinsip dasar dalam
perkembangan filsafat modern.23 Metode Descartes
dimaksudkan bukan saja sebagai metode penelitian ilmiah,
ataupun penelitian filsafat, melainkan sebagai metode

65
penelitian rasional mana saja, sebab akal budi manusia selalu
sama.24
Descartes memulai metodenya dengan meragu- ragukan
segala macam pernyataan kecuali pada satu pernyataan saja,
yaitu bahwa ia sedang melakukan keragu-raguan25 sendiri
menegaskan bahwa ia dapat saja meragukan segala hal, namun
satu hal yang tidak mungkin diragukan adalah kegiatan
meragu-ragukan itu sendiri. Maka ia sampai pada kebenaran
yang tak terbantahkan, yakni: saya berpikir, jadi saya ada
(Cogito ergo sum). Pernyataan ini begitu kokoh dan meyakin-
kan, sehingga anggapan kaum skeptik yang paling ekstrim pun
tidak akan mampu menggoyahkannya. Cogito ergo sum ini
oleh Descartes diterima sebagai prinsip pertama dari filsafat.
Bagi Descartes pernyataan “saya berpikir, jadi saya ada”
adalah terang dan jelas, segala sesuatu yang bersifat terang dan
jelas bagi akal pikiran manusia dapatlah dipakai sebagai dasar
yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya untuk
melakukan penjabaran

66
terhadap pernyataan-pernyataan yang lain.26 Segenap
ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-
kepastian yang tidak dapat diragukan lagi akan kebenarannya
yang secara langsung dilihat oleh akal pikiran manusia.
Metode semacam ini dinamakan juga metode ’apriori’ yang
secara harafiah berarti berdasarkan atas hal-hal yang adanya
mendahului. Dengan mengunakan metode a priori ini kita
seakan-akan sudah mengetahui segala gejala secara pasti,
meskipun kita belum mempunyai pengalaman inderawi
mengenai hal-hal yang kemudian tampak sebagai gejala-gejala
itu.
Sistem filsafat yang dikembangkan Descartes tak dapat
dipisahkan dari sikap kritik yang berkembang dalam
pergolakan Renaissans, kebangkitan budaya yang sekaligus
membawa suatu skeptisisme terhadap dogma agama dan
praktek politik yang sampai saat itu menjamin ketahanan status
gereja dan negara. Skeptisisme ini meluas menjiwai Descartes
yang dengan konsekuen meragukan pengetahuan yang kita
peroleh secara inderawi. Tetapi kemudian metode keraguan ini
akhirnya dapat menumbangkan skeptisisme yang berkelanjutan
(ekstrim), karena menemukan suatu landasan kebenaran baru.27

b. Empirisisme
Para penganut aliran empirisisme dalam berfilsafat
bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme.
Mereka menentang pendapat- pendapat para penganut
rasionalisme yang berdasarkan atas kepastian-kepastian yang
bersifat a priori. Menurut penganut empirisisme metode ilmu
pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi a posteriori.
Yang dimaksud dengan metode a posteriori ialah metode yang
berdasarkan atas hal-hal yang datang atau terjadinya atau
adanya kemudian.

67
Bagi penganut empirisisme sumber pengetahuan yang
memadai itu ialah pengalaman, yang dimaksud dengan
pengalaman di sini ialah pengalaman lahir yang menyangkut
dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi
manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan
bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data
yang diperoleh melalui pengalaman. Oleh karena itu para
penganut aliran empirisisme berkeyakinan bahwa manusia
tidak mempunyai ide-ide bawaan atau innate ideas. Bagi
mereka manusia itu ibarat kertas putih yang belum terisi oleh
apa-apa, dan baru terisi melalui pengalaman- pengalaman, baik
pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.
Aliran empirisisme pertama kali berkembang di Inggris
pada abad ke-15 dengan Francis Bacon sebagai pelopornya.
Bacon memperkenalkan metode eksperimen dalam
penyelidikan atau penelitian. Menurut Bacon, manusia melalui
pengalaman dapat mengetahui benda-benda dan hukum-hukum
relasi antara benda-benda. Iajuga memberikan sejumlah
petunjuk agar seorang ilmuwan berhati-hati terhadap idola-
idola, yaitu: (1) idola tribus yaitu menarik kesimpulan secara
terburu-buru); (2) idola specus yaitu menarik kesimpulan
sesuai dengan seleranya; (3) idola fori yaitu menarik
kesimpulan berdasarkan pendapat orang banyak; (4) idola
theatri yaitu menarik kesimpulan berdasar pendapat ilmuwan
sebelumnya. Filosof empiris lainnya adalah Thomas Hobbes,
iajuga meyakini bahwa pengenalan atau pengetahuan itu
diperoleh dari pengalaman. Berbeda dari pendahulunya, John
Locke lebih terdorong untuk mengemukakan tentang asal mula
gagasan manusia, kemudian menentukan fakta-fakta, menguji
kepastian pengetahuan dan memeriksa batas-batas
pengetahuan manusia.
Paham empirisisme ini kemudian dikembangkan oleh
68
David Hume (1611-1776), ia menegaskan bahwa sumber satu-
satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman,
dan ia sangat menentang kaum rasionalisme yang berlandaskan
pada prinsip a priori, yang bertitik tolak dari ide-ide bawaan. Ia
mengajarkan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan
bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah
pengamatan, melalui pengamatan ini manusia memperoleh dua
hal yaitu: kesan-kesan (impresion) dan pengertian-pengertian
(ideas) .28 Kesan-kesan (impressions) adalah pengamatan
langsung yang diterima
dari pengalaman, baik lahiriah maupun batiniah. Kesan-kesan ini
menampakkan diri dengan jelas hidup dan kuat terhadap
pengamat. Pengertian- pengertian {ideas) merupakan gambaran
tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar yang
diperoleh dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam
kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui pengamatan
langsung.
Pada hakikatnya pemikiran Hume bersifat analitis, kritis dan
skeptis. Ia berpangkal pada suatu keyakinan bahwa hanya kesan-
kesanlah yang pasti, jelas dan tidak dapat diragukan. Berdasarkan
pendapatnya ini, Hume sampai pada kesimpulan bahwa “akuv ter-
masuk dalam dunia khayalan. Sebab bagi Hume dunia hanya
terdiri dari kesan-kesan yang terpisah-pisah, yang tidak dapat
disusun secara objektif sistematis, karena tidak ada hubungan
sebab akibat di antara kesan-kesan.
Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa pengetahuan yang
bersifat a priori terdiri dari proposisi ana- litik, yakni proposisi
yang predikatnya sudah tercakup dalam subyek. Sebagai contoh,
semua angsa putih, semua jejaka itu laki-laki, es itu dingin,
lingkaran itu bulat dan lain-lain. Dan pendapat ini merupakan ciri
khas pemikiran yang bercorak rasionalistik. Sebaliknya ciri khas
dari empiristik adalah a posteriori, dan proposisinya adalah
69
sintetik, yakni yang tak dapat diuji kebenarannya dengan cara
menganalisis pernyataan, tetapi harus diuji kebenarannya secara
empiris. Misal: rumah mahal, motor baru, dan lain-lain.

c. Kritisisme
Seorang filsuf besar Jerman yang bernama Immanuel Kant
(1724-1804) telah melakukan usaha untuk menjembatani
pandangan-pandangan yang saling bertentangan, yaitu antara
rasionalisme dan empirisisme. Kekurangan-kekurangan yang
ditunjukkan oleh masing-masing pandangan tersebut di atas
hendak digantinya dengan pandangan yang memberikan
keleluasaan bagi adanya bahan-bahan yang bersifat pengalaman
inderawi dan juga bagi adanya subyek yang mengetahui yang
secara aktif mengelola bahan-bahan yang bersifat pengalaman
inderawi tersebut. Sebagaimana telah disebutkan paham
empirisisme secara berat sebelah memberikan titik berat pada
pengalaman inderawi yang bersifat langsung sedangkan paham
rasionalisme memberikan peranan yang terlalu besar kepada
pikiran manusia, artinya memberikan titik berat atau pengutamaan
pada penglihatan yang bersifat akali dan penjabaran yang bersifat
logik.29
Filsafat Immanuel Kant, yang disebut dengan aliran filsafat
kritisisme. Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang
berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dalam filsafat
rasionalisme dan empirisisme dalam suatu hubungan yang seim-
bang, yang satu tidak terpisahkan dari yang lain. Menurut Kant
pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan
70
adanya kerja sama di antara dua komponen, yaitu di satu pihak
berupa bahan- bahan yang bersifat pengalaman inderawi, dan di
lain pihak cara mengolah kesan-kesan yang bersangkutan
sedemikian rupa sehingga terdapat suatu hubungan antara sebab
dan akibatnya.30 Sesungguhnya relasi- relasi antara sebab dan
akibat tidaklah terdapat di dalam dunia seperti yang terhampar di
depan kita yang adanya tidak tergantung pada kita, melainkan
merupakan bentuk-bentuk penafsiran manusia yang gunanya ialah
agar gejala-gejala yang begitu beraneka ragam yang kita hadapi,
dapatlah dijadikan sesuatu yang dapat kita pahami dan kalau dapat
kita pergunakan untuk kepentingan kita.
Kant yang mencoba untuk mempersatukan rasionalisme dan
empirisisme, mengatakan bahwa dengan hanya mementingkan
salah satu dari kedua aspek sumber pengetahuan (rasio dan
empiri) tidak akan diperoleh pengetahuan yang kebenarannya
bersifat universal sekaligus dapat memberikan informasi baru.
Pengetahuan yang rasional adalah pengetahuan yang analitis a
priori, di sini predikat sudah termuat dalam subyek. Sedangkan
pengetahuan yang empiris adalah pengetahuan yang sintetis a
posteriori, di sini predikat dihubungkan dengan subyek yang
berdasarkan peng- alaman inderawi. Masing-masing mempuyai
kekuatan dan kelemahan. Pengetahuan rasional (analitis a priori)
adalah pengetahuan yang bersifat universal, tapi tidak
memberikan informasi baru. Sebaliknya pengetahuan empiris
(sintetis a posteriori) dapat memberikan informasi baru, tetapi
kebenarannya tidak universal.
Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan antara
rasionalisme dan empirisisme ini, Kant mengemukakan bahwa
71
pengetahuan itu seharusnya sintetis a priori. Yang dimaksud
dengan pengetahuan yang sintetis a priori ini ialah; pengetahuan
bersumber dari rasio dan empiri yang sekaligus bersifat a priori
dan a posteriori.31 Di sini akal budi dan pengalaman inderawi
dibutuhkan serentak. Selanjutnya Kant mengatakan bahwa
pengetahuan selalu bersifat sintetis. Pengetahuan inderawi
misalnya merupakan sintetis hal-hal dari luar dan dari bentuk-
bentuk ruang dan waktu di dalam saya. Sedangkan pengetahuan
dari akal merupakan sintetis dari data inderawi dan sumbangan
dari kategori-kategori.
Dengan filsafat kritisnya Immanuel Kant telah menunjukkan
jasanya yang besar, karena berdasarkan atas penglihatannya yang
begitu jelas mengenai keadaan yang saling mempengaruhi di
antara subyek pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ia telah mem-
berikan pembetulan terhadap sikap berat sebelah yang
dikemukakan oleh penganut rasionalisme dan empirisisme.
Sehingga ia telah membuka jalan bagi perkembangan filsafat di
kemudian hari.

d. Idealisme
Permulaan pemikiran idealisme dalam sejarah filsafat Barat
biasanya selalu dihubungkan dengan Plato (427-347 SM). Akan
tetapi istilah idealisme untuk menunjukkan suatu aliran filsafat,
baru dipakai pada abad-ke-19.32 Aliran filsafat idealisme dalam
abad ke- 19 merupakan kelanjutan dari pemikiran filsafat
rasionalisme pada abad ke-17. Para pengikut aliran idealisme ini
pada umumnya filsafatnya bersumber dari filsafat kritismenya
72
Immanuel Kant. Fichte (1762- 1814) yang dijuluki sebagai
penganut idealisme subyektif adalah merupakan murid Kant.
Demikian juga dengan Scelling yang filsafatnya disebut dengan
idealisme obyektif. Kemudian kedua idealisme ini (subyektif dan
obyektif) disintesiskan dalam filsafat idealisme mutlaknya Hegel
(1770-1831).
Bagi Hegel pikiran adalah essensi dari alam dan alam adalah
keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Alam adalah proses
pemikiran yang memudar, yang adalah juga akal yang mutlak
(absolute Reason) yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk
luar. Oleh karena itu menurut Hegel hukum-hukum pikiran
merupakan hukum-hukum realitas. Sejarah adalah cara zat yang
mutlak (Absolut) itu menjelma dalam waktu dan pengalaman
manusia. Oleh karena alam itu satu, dan bersifat mempunyai
maksud serta berpikir, maka alam itu berwatak pikiran. Jika kita
memikirkan keseluruhan tata tertib yang mencakup in-orga- nik,
organik, tahap-tahap keberadaan spiritual dalam suatu tata-tertib
yang mencakup segala-galanya, pada waktu itulah kita
membicarakan tentang yang mutlak, jiwa yang mutlak atau
Tuhan.33
Dari uraian di atas Hegel secara sepintas tampaknya
mengingkari adanya realitas luar atau realitas obyektif. Akan tetapi
sebenarnya ia tidak mengingkari adanya realitas luar atau realitas
obyektif tersebut. Hegel hanya percaya bahwa sikapnya adalah
satu-satunya sikap yang bersifat adil kepada segi obyektif peng-
alaman. Hal ini karena ia menemukan dalam alam prinsip-prinsip
akal dan maksud yang sama seperti yang ditemukan manusia
dalam dirinya sendiri. Dalam diri manusia terdapat suatu akal yang
73
memiliki maksud di dalam alam. Hegel percaya bahwa hal ini
ditemukan bukan sekedar difahami dalam alam. Alam menurut
Hegel telah ada sebelum manusia ada. tetapi adanya arti dalam
dunia, mengandung arti bahwa ada sesuatu seperti akal atau
pikiran di tengah-tengah idealitas. Tata-tertib realitas yang sangat
berarti itu diberikan kepada manusia agar ia memikirkan dan
berpartisipasi di dalamnya. Keyakinan terhadap arti dan pemikiran
dalam struktur dunia merupakan intuisi dasar yang menjadi asas
idealisme.

74
Setelah era Hegel telah muncul beberapa filsuf yang
menyebut dirinya sebagai penganut aliran idealisme. Di antaranya
ialah F.H. Bradley dari Inggris, dan aliran filsafatnya kadang-
kadang disebut juga neo- Hegelianisme Inggris. Filsafat Idealisme
F.H. Bradley ini sangat berpengaruh terhadap munculnya filsafat
analitik pada abad ke-20.

e. Positivisme
Pendiri dan sekaligus tokoh terpenting dari aliran filsafat
positivisme adalah Auguste Comte (1798- 1857). Filsafat Comte
anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan
secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan
yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang
terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap
untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala
dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya ia dapat
meramalkan apa yang akan terjadi.34 Semenjak Hegel dan karena
Hegel muncul “mode” di kalangan para filsuf untuk
“meramalkan” perkembangan dunia sebagaimana dikembangkan
oleh Auguste Comte, Karl Marx, Emille Durkheim, Talcot Parson,
Amitai Etzioni, van Peursen, Alvin Toffler, John Naisbitt dan lain-
lain.33
Filsafat positivisme Comte disebut juga faham empirisisme-
kritis, bahwa pengamatan dengan teori
berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin
dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori
dan pengamatanjuga tidak mungkin dilakukan secara
“terisolasi”, dalam arti harus di- „ kaitkan dengan suatu teori.3,1

75
Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandangannya
pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.
Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakikat
atau asal-mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala,
melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan
gejala yang lain.
Filsafat Auguste Comte terutama penting sebagai
pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep, prinsip dan
metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi, berasal dari
Comte. Comte membagi masyarakat atas “statika sosial” dan
“dinamika sosial”, statika sosial adalah teori tentang susunan
masyarakat, sedangkan dinamika sosial adalah teori tentang
perkembangan dan kemajuan. Sosiologi ini sekaligus suatu
“filsafat sejarah”, karena Comte memberikan tempat kepada
fakta-fakta individual sejarah dalam suatu teori umum,
sehingga teijadi sintesis yang menerangkan fakta-fakta itu.
Fakta-fakta itu dapat bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi
juga falsafi, religius, atau kultural.37

f. Marxisme
Sampai dengan dekade 1990-an tidak kurang sepertiga
penduduk dunia terpengaruh oleh filsafat
Marxisme, sekurang-kurangnya menjadi simpatisannya. Pendiri
aliran filsafat ini adalah Karl Marx (1818- 1883). Filsafat Marx
adalah perpaduan antara metode dialektika Hegel dan filsafat
materialisme Feuerbach. Marx terutama mengkritik Hegel yang
menurutnya berjalan atas kepalanya, oleh karena itu filsafat ini
harus diputarbalikkan. Filsafat abstrak harus ditinggalkan, karena
76
teori, interpretasi, spekulasi dan sebagai- nya tidak menghasilkan
perubahan dalam masyarakat.38 Sama halnya dengan Hegel, Marx
mengajarkan bahwa sejarah dijalankan oleh suatu logika
tersendiri, namun ia tidak sependapat dengan Hegel yang me-
ngatakan bahwa “motor” sejarah adalah “ide” atau “roh” yang
sedang berkembang. Bagi Manx motor sejarah terdiri dari hukum-
hukum sosial ekonomis dan hukum ini tidak merupakan sesuatu
yang “transenden” yang mengatasi manusia dan dunia, melainkan
justru merupakan hasil kerja dan perjuangan manusia sendiri.
Pemikiran Marx menghubungkan dengan sangat erat
ekonomi dengan filsafat. Bagi Marx masalah filsafat bukan hanya
masalah pengetahuan dan masalah kehendak murni yang utama,
melainkan masalah tindakan. Para filosof menurut Marx selama
ini hanya sekedar menafsirkan dunia dengan berbagai cara, namun
menurutnya yang terpenting adalah mengubahnya.39 Hal yang
perlu diubah itu ialah keadaan masvarakat yang tertindas oleh
kaum borjuis dan kapitalis yang menghisap kaum proletar. Oleh
karena itu menurut Marx kaum proletar harus merebut peranan
kaum Boijuis dan Kapitalis itu melalui revolusi.
Di samping berkembangnya aliran-aliran epistemologi,
filsafat modern juga mengantarkan lahirnya revolusi industri di
abad ke-18 dan negara-negara ke- bangsaan, serta ideologi-
ideologi dunia seperti Liberalisme/Kapitalisme dan
Sosialisme/Komunisme.

5. Zaman Kontemporer (Abad ke-20 dan


seterusnya
Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke-2077
ini
adalah pemikiran tentang bahasa. Sebagian besar pemikir abad ke-
20 pernah menulis tentang bahasa.4" Ungkapan filsafat yang
membingungkan. Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-
pernyataan tentang sesuatu yang khusus —sebagaimana yang
diperbuat para filsuf sebelumnya— melainkan memecahkan
persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa
logika.41
Russell dan Wittgenstein melangkah lebih jauh ke dalam
metode analisa bahasa ini sebagai sikap atau keyakinan ontologis
memilih alternatif terbaik bagi aktivitas berfilsafat. Menurut
Wittgenstein, apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat bukan
melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat
ungkapan-ungkapan itu menjadi jelas. Tujuan filsafat adalah
penjelasan logis terhadap pemikiran- pemikiran. Filsafat bukanlah
doktrin, melainkan aktivitas. Sebuah karya filsafat pada hakikatnya
terdiri atas penjelasan (elucidations).42
Dengan demikian jelaslah apa yang diperbuat oleh para filsuf
analitik ini tidak lain sebagai reaksi atau respons terhadap aktivitas
filsafat yang dilakukan oleh para penganut aliran filsafat
idealisme. Sebab aliran filsafat idealisme lebih menekankan pada
upaya mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati. Padahal
ungkapan-ungkapan filsafati yang diintrodusir oleh penganut
idealisme itu menurut filsuf analitik - kebanyakan bermakna
ganda, kabur dan tidak terpahami oleh akal sehat. Hal-hal
semacam itulah yang perlu diatasi dengan analisis bahasa.
f

Perkembangan filsafat abad ke-20 juga ditandai oleh


munculnya berbagai aliran filsafat, dan kebanyakan dari aliran itu
merupakan kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang telah
78
berkembang pada abad modern, seperti: neo-thomisme, neo-
kantianisme neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme
dan sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat yang
baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali, seperti;
fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan
yang paling mutakhir adalah aliran postmodernisme. Pada bagian
ini hanya dibicarakan beberapa aliran dan tokoh yang paling ber-
pengaruh pada abad ke-20.

79
Tokoh pertama adalah Edmund Husserl (1859- 1938), selaku
pendiri aliran fenomenologi, ia telah mempengaruhi pemikiran
filsafat abad ke-20 ini secara amat mendalam. Fenomenologi
adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak
(phainomenon). Fenomenologi dengan demikian adalah ilmu yang
mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri
atau fenomenon.13 Bagi Husserl fenomen ialah realitas sendiri
yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan
subjek dengan realitas, realitas itu sendiri yang tampak bagi
subjek. Dengan pandangan tentang fenomen ini Husserl
mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Sejak
Descartes, kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup
atau cogito tertutup, artinya, kesadaran mengenal diri sendiri dan
hanya melalui jalan itu mengenal realitas. Sebaliknya Husserl
berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas, “kesadaran
bersifat intensional” sebetulnya sama artinya dengan mengatakan
realitas menampakkan diri.
Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan
yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan
terhadap metode-metode dan pandangan-pandangan filsafat Barat.
Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat se-
cara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang besar
antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang
sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada para
penganutnya.44 mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme
sebagai berikut:
a. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap
rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap

80
idealisme Hegel.
b. Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis
terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari
kehidupan konkret.
c. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap
alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman
industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
Masyarakat industri cenderung untuk menundukkan orang
seorang'kepada mesin.
d. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-
gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang
cenderung menghancurkan atau menenggelamkan
perorangan di dalam kolektif atau massa.
e. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek
(harapan) manusia di dunia.
f. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan
pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan
langsung.
Salah seorang tokoh eksistensialisme yang populer adalah Jean
Paul Sartre (1905-1980), ia membedakan rasio dialektis dengan
rasio analitis. Rasio analitis dijalankan dalam ilmu pengetahuan.
Rasio dialektis harus digunakan, jika kita berpikir tentang
manusia, sejarah, dan kehidupan sosial. Rasio terakhir ini bersifat
dialektis, karena terdapat identitas dialektis antara Ada dan
pengetahuan. Di sini ada tidak dilahap oleh pengetahuan (seperti
halnya idealisme), tetapi pengetahuan termasuk Ada, artinya
pengetahuan merupakan suatu proses yang berlangsung dalam
81
Ada. Rasio ini dialektis karena objek yang diselidikinya bersifat
dialektis dan juga karena ia sendiri ditentukan oleh tempatnya
dalam sejarah.45
Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat
pada pertengahan abad ke-20 mendapat reaksi dari aliran
strukturalisme. Jika eksistensialisme menekankan pada peranan
individu, maka strukturalisme justru melihat manusia “terkung-
kung” dalam berbagai struktur dalam kehidupannya. Secara garis
besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan
strukturalisme sebagai aliran filsafat. Pertama, strukturalisme
adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk
mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari
prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure.
Di sini ilmu-ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu
yang dalam terminologi Dilthev disebut Geisteswissenschaften
yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam atau
Naturwissenschaf- ten. Kedua, strukturalisme merupakan aliran
filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam
sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk
membahas tentang manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan
antara kebudayaan dan alam, yaitu dengan membuka secara
sistematik struktur- struktur kekerabatan dan struktur-struktur
yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam pola-pola psiko-
logik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.46
Para strukturalis filosofis yang menerapkan prin- sip-prinsip
strukturalisme linguistik dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran
filsafat Fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia
dari sudut pandangan yang subjektif. Para penganut aliran filsafat

82
strukturalisme ini memiliki corak yang beragam, namun demikian
mereka memiliki kesamaan, yaitu: penolakan terhadap prioritas
kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat
yang otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem melainkan
takluk pada sistem.
Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme
adalah Michel Foucault (1926-1984). Kesudahan “manusia”
sudah dekat, itulah pendirian Foucault yang sudah terkenal
tentang “kematian” manusia. Maksud Foucault bukannya bahwa
nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang
konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa

83
dalam pemikiran kita.47 Manusia akan kehilangan tempatnya
yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur
seluruhnya.
Pada abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam
dunia praksis cukup besar, yaitu aliran filsafat Pragmatisme.
Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang menjadi
terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat ini merupakan
suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat
praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran.48 Kelompok pragmatis bersikap kritis
terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk-bentuk
aliran materialisme, idealisme dan realisme. Mereka mengatakan
bahwa pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari hal-hal
mudak, yang ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang
tetap dan sistem kelompok empiris, dunia yang berubah serta
problema-pro- blemanya, dan alam sebagai sesuatu dan manusia
tidak dapat melangkah keluar daripadanya.
Salah seorang tokoh pragmatisme adalah William James
(1842-1910), ia memandang pemikirannya sendiri sebagai
kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan
merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta-
fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua
macam bentuk pengetahuan, pertama, pengetahuan yang langsung
diperoleh dengan jalan pengamatan, kedua, merupakan
pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan melalui
pengertian.49 Kebenaran itu suatu proses, suatu ide dapat menjadi
benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai akibat
atau buah dari ide itu. Oleh karena kebenaran itu hanya suatu yang
84
potensial, baru setelah verifikasi praktis (berdasarkan hasil/buah
pemikiran), kebenaran potensial menjadi real.
Postmodernisme sebagai trend dari suatu pemikiran yang
sangat populer pada penghujung abad ke- 20 ini merambah ke
berbagai bidang dan disiplin filsafat dan ilmu pengetahuan. Istilah
“Postmodern” telah digunakan dalam demikian banyak bidang
dengan meriah dan hiruk-pikuk. Kemeriahan ini menyebabkan
setiap referensi kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut
mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong.
Pada awalnya postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap
kegagalan modernisme. Dalam modernisme, filsafat memang
berpusat pada Epistemologi yang bersandar pada gagasan tentang
subjektivitas dan objektivitas murni yang satu sama lain terpisah
tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari fondasi
segala pengetahuan (Fondasionalis- me), dan tugas pokok subjek
adalah merepresentasikan kenyataan objektif
(Representasionalisme). Dengan demikian maka klaim-klaim dari
kaum postmodernis tentang “berakhirnya Modernisme” biasanya
dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan modern
tentang “subjek” dan “dunia objektif’ tadi.50
Wacana postmodern menjadi populer setelah Francois
Lyotard (1924-) menerbitkan bukunya The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge (1979). Modernitas menurut Lyotard
ditandai oleh kisah- kisah besar yang mempunyai fungsi
mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern, mirip dengan
mitos-mitos yang mendasari masyarakat primitif dulu. Seperti
halnya dengan mitos dalam masyarakat primitif, kisah-kisah besar
pun melegitimasi institusi- institusi serta praktek-praktek sosial
85
politik, sistem hukum serta moral, dan seluruh cara berpikir.
Tetapi berbeda dengan mitos-mitos, kisah-kisah besar itu tidak
mencari legitimitas dalam suatu peristiwa yang teijadi pada awal
mula (seperti penciptaan oleh dewa- dewa), melainkan dalam
suatu masa depan, dalam suatu Ide yang harus diwujudkan.51
Salah satu contoh kisah besar yang berusaha mewujudkan Ide
seperti itu adalah emansipasi progresif dari rasio dan kebebasan
dalam liberalisme politik.

C. Penutup
Berdasarkan paparan singkat perkembangan sejarah filsafat
Barat sejak kelahirannya pada zaman Yunani Kuno sampai dengan
Abad ke-20 atau zaman
Kontemporer, maka secara singkat dapat ditegaskan bahwa
pemikiran filsafat Barat berkembang sebagai reaksi terhadap mitos
dan sikap dogmatis. Reaksi terhadap mitos dan sikap dogmatis ini
melahirkan pemikiran rasional, artinya suatu pendapat yang di-
mitoskan dan telah menjadi dogma yang beku dilawan, ditentang
dan dikoreksi berdasarkan asumsi- asumsi ilmiah yang baru. Di
sini ciri utama filsafat spekulatif menjadi lebih dominan, artinya
ada keberanian untuk menemukan hal-hal baru, walaupun manusia
padajamannya mungkin belum dapat menerima ide-ide tersebut
pada masa itu, sebagaimana halnya Copernicus, Galileo Galilei
yang pandangan Heliosentrisnya belum dapat diterima oleh,umat
pada zamannya, namun akhirnya pandangan mereka tetap diakui
kebenarannya pada era-era sesudahnya.
Kelahiran filsafat pada zaman Yunani Kuno merupakan
86
reaksi terhadap mitos-mitos yang berkembang pada waktu itu
mengenai asal-usul dan kejadian alam semesta. Para filosof
Yunani menerangkan asal-usul dan kejadian alam semesta
berdasarkan analisis pemikiran rasional, padahal manusia pada
zaman itu belum mampu melepaskan diri mereka dari belenggu
mitos. Terobosan yang dilakukan oleh para filsuf pada masa itu
mungkin tak terpahami pada zamannya, namun akhirnya manusia
mengakui pentingnya peran akal dalam memahami alam semesta.
Demikian juga halnya dengan kelahiran filsafat Modern —
yang dirintis sejak Renaissance dan Aufklaerung— merupakan
reaksi terhadap pemikiran filsafat Abad Pertengahan yang bersifat
teologis dogmatis. Gereja sebagai institusi pada waktu menjadi
satu-satunya otoritas yang mengakui kebenaran dan keabsahan
pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Padahal perkembangan
ilmu pengetahuan di luar kontrol Gereja sudah berjalan sangat
pesat, terutama bidang Astronomi. Sehingga upaya mengontrol
perkembangan ilmu pengetahuan ke dalam sekat-sekat agama
mengalami kegagalan. Terjadilah sekularisasi ilmu, yakni
pemisahan antara aktivitas ilmiah dengan aktivitas keagamaan.
Pada abad ke-20 kelahiran postmodernisme juga sebagai
reaksi terhadap pemikiran modern yangjuga telah berubah menjadi
mitos baru. Filsafat modern yang lahir sebagai reaksi terhadap
sikap dogmatis Abad Pertengahan, menurut kaum postmodernis
telah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos
itu ialah suatu keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu
pengetahuan, dan aplikasinya dalam teknologi, segala persoalan
kemanusiaan dapat diselesaikan. Padahal kenyataannya banyak
agenda kemanusiaan yang masih membutuhkan pemikiran-
87
pemikiran baru. Di sinilah postmodernisme “menggugat”
modernisme yang telah mandeg dan berubah menjadi mitos baru.
Berdasarkan aksi dan reaksi yang muncul dalam sejarah
perkembangan pemikiran Filsafat Barat ini, maka ada beberapa
butir kesimpulan vang dapat ditarik sebagai berikut:
1. Filsafat dapat dipandang sebagai sikap kritis yang
mempersoalkan segala sesuatu yang menurut kacamata awam
tidak perlu dipersoalkan.
2. Filsafat memiliki daya dobrak yang tinggi terhadap
kemapanan yang diciptakan oleh manusia dalam peradaban
dan kebudayaannya.
3. Filsafat bukan merupakan dogma, melainkan suatu aktivitas
yang menuntut kreativitas pikir secara terus-menerus,
sehingga merupakan sebuah proses panjang dalam sejarah
pemikiran umat manusia.
4. Peran filsafat yang terpenting dalam abad ke-21 adalah peran
untuk mengembangkan pendekatan interdisipliner. Filsafat
sebagai “Ibu” ilmu pengetahuan diharapkan dapat kembali
mengarahkan “anak-cucunya” sebagai “mitra dialog” dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan aktual manusia masa kini
dan masa datang yang semakin kompleks ruang lingkupnya.

Catatan Kaki:
'Koento Wibisono, 1985, h. 2-3 ’Bertens,
1975, h. 12 *Fuad Hasan, 1996, h. 14.
4
Bertens, 1991, h. 45 'Ibid., h. 47.
*Ibid., h. 62 'Bertens, 1975, h. 87.
H
Ibid., h. 108-109.
'’Bertens, 1975, h. 144.
88
'°Ibid., h. 156-157.
"Delfgaauw, 1992, h. 32-33. ‘-
Delfgaauw, 1992, h. 63.
"Ibid., h. 58.
l4
Delfgaauw, 1992, h. 86-87. ’’Lucas,
1960, h. 3.
'"Patterson, 1971, h. 2.
17
Verhaak, 1996, h. 4.
IK
Russell, 1957, h. 511.
'“Nico Syukur Diester, 1992, h. 55. -
"Ilammersma, 1983, h. 3-4. -'Epping
dkk., 1977, h. 229. ‘--Nuchelmans, 1984,
h. 104. -''Scruton, 1986, h. 31.
24
Bakker, 1984, h. 71-72. -’’Descartes,
1995, h. 34. 2hNuchelmans, 1984, h. 105.
'-’'Toeti Herati, 1984, h. 41. “Harun
Hadiwijono, 1980, h. 52. 2!’Nuchelmans,
1984, h. 109.
Ibid.,1984, h. 109-110. ’’Hamersma, 1983,
h. 29.
,2
Titus dkk., 1984, h. 321.
“Titus dkk., 1984, h. 322.
M
Hammersma, 1983, h. 54-55. sr’Koento
Wibisono, 1983, h. 74-95.
*6Ibid., 1983, h. 48.
,7
Hammersma, 1983, h. 56-57.
“Hammersma, 1983, h. 70. s"Delfgaa\v,
1992, h. 150-151.
4ll
Bertens, 1981, h. 17.
41
Charlesworth, 1959, h. 2.
42
Wittgenstein, 1963, h. 49.
4:,
Bertens, 1981, h. 100.
44
Titus dkk., 1984, h. 382.
4
"’Bertens, 1996, h. 111.

89
4B
Kurzwell, 1980, h. vi-x.
47
Bertens, 1996, h. 217.
4s
Titus, dkk., 1984, h. 340.
4
"Delfgaauw, 1988, h. 62.
’’"Bainbang Sugiharto, 1996, h. 33.
51
Bertens, 1966, h. 348.

Sumber Acuan
Bambang-Sugiharto, I., 1996, Postmodernisme: Tantangan
Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Bertens, K., 1975, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke
Aristoteles, Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
Bertens, K, 1981, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid I, PT
Gramedia, Jakarta.
Bertens, K., 1996, Filsafat Barat Abad XX, Prancis, jilid II, PT
Gramedia, Jakarta.
Charlesworth, 1959, Philosophy An Linguistic Analysis,
Duquesne University, Pittsburgh.
Delfgaauw, B., 1988, Filsafat Abad 20, Alih bahasa: Soejono
Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Delfgaauw, B., 1992, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Alih
bahasa: Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Descartes, R., 1995, Risalah Tentang Metode, Alih bahasa: Ida
Sundari Husen & Rahayu S. Hidayat, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Epping 8c Stockum, 1977, Filsafat E.N.S.I.E., Jenmars, Bandung.
Fuad-Hassan, 1966, Pengantar Filsafat Barat, Pustaka Jaya,

90
Jakarta.
Hammersma, H., 1983, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, PT.
Gramedia, Jakarta.
Jones, W.T., 1969, A History Of Western Philosophy: The
Medieval Mind, Harcourt, Brace 8c World, Inc., New
York.
Koento-Wibisono, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Koento-Wibisono, 1995, IlmuFilsafat dan Aktualitasnya
dalam Pembangunan Nasional, Gadjah Mada Uni-
versity Press, Yogyakarta.
Lowith, K., 1965, From Hegel To Nietzsche: The Revolution
In Nineteenth-Century Thougth, Translated from the
German by David E. Green, Holt, Rinehart and
Winston, New York.
Kurzwell, E., 1980, The Age of Structuralism, Columbia
University Press, New York.
Lucas, H.S., 1960, The Renaissance And The Reformation,
Harper & Row Publishers, New York.
Nico-Syukur-Diester, 1992, “Descartes, Hume, Dan Kant:
Tiga Tonggak Filsafat Modern”, dalam: Fx. Mudji
Sutrisno & F. Budi Hardiman (eds), Para Filsuf Penentu
Gerak Zaman, Kanisius, Yogyakarta.
Nuchelsmans, G., 1984, “Filsafat Pengetahuan”, dalam
Berpikir Secara Kefilsafatan, Editor dan Alih bahasa:
Soejono Soemargono, Nur Cahaya, Yogyakarta.

91
Patterson, C.H., 1971b, Western Philosophy: Since 1600, vol.
II, Cliffs Notes, Inc, Nebraska.
Russell, B., 1957, History of Western Philosophy, George
Allen & Unwin Ltd., London.
Scruton, R., 1986, Sejarah Singkat Filsafat Modem: Dari
Descartes Sampai Wittgenstein, Alih bahasa: Zainal
Arifin Tanjung, PT Pantja Simpati, Jakarta.
Titus, et.al., 1983, Persoalan-persoalan Filsafat, terjemahan:
H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta.
Toeti-Heraty, 1984, Aku dalam Budaya, Pustaka Jaya, Jakarta.
Wittgenstein, L., 1963, Tractatus Logico-Philosophicus,
Routledge & Kegan Paul LTD., London.

- ♦♦ -
'

92
BABIY

Prinsip-prinsip Metodologi

A. Pengantar
Metodologi merupakan bagian epistemologi yang
mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh
supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah.
Metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika
yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat.1 Manakala kita
membicarakan metodologi, maka hal yang tak kalah
pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi
berbagai metode yang dipergunakan dalam aktivitas ilmiah.
Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap
yang akan dikembangkan para ilmuwan di dalam kegiatan
ilmiah mereka. Filsuf-filsuf yang paling banyak menaruh
perhatian terhadap persoalan penting di balik metodologis atau
prinsip-prinsip metodologi, yaitu Descartes, Ayer, dan Popper.
Ketiga pandangan filsuf inilah yang akan dikemukakan dalam
bagian ini.

93
B. Beberapa Pandangan tentang
Prinsip Metodologis

I. Rene Descartes
Salah satu filsuf yang menaruh perhatian sangat besar
terhadap asumsi-asumsi tersebut adalah Rene Descartes yang
mengusulkan suatu metode umum yang memiliki kebenaran
yang pasti. Dalam karyanya yang termashur, Discourse on
Method, Risalah tentang metode, diajukan enam bagian
penting sebagai berikut.2
a. Membicarakan masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan
menyebutkan akal sehat (common-sense) yang pada
umumnya dimiliki semua orang. Menurut Descartes, akal
sehat ada yang kurang, ada pula yang lebih banyak
memilikinya, namun yang terpenting adalah
penerapannya dalam aktivitas ilmiah. Metode yang ia
coba temukan itu merupakan upaya untuk mengarahkan
nalarnya sendiri secara optimal. Descartes menandaskan
bahwa pengetahuan budaya itu tetap kabur, pengetahuan
bahasa memang berguna, puisi itu memang indah tetapi
memerlukan bakat. Ia lebih concern pada bidang
matematika yang dianggapnya belum dimanfaatkan
secara optimal kemungkinannya yang cemerlang. Filsafat
bagi Descartes rancu dengan gagasan yang acapkali
saling ber

94
tentangan, oleh karena itu perlu dibenahi. Satu hal yang
diperlukan dalam menuntut ilmu ialah melepaskan diri
dari cengkeraman otoritas kaum guru atau dosen,
mengerahkan diri untuk belajar dari “buku alam raya”
dan mempelajari dirinya sendiri.
b. Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang
akan dipergunakan dalam aktivitas ilmiah. Bagi Descartes
sesuatu yang dikerjakan oleh satu orang lebih sempurna
daripada yang dikerjakan oleh sekelompok orang secara
patungan. Descartes mengajukan empat langkah atau
aturan yang dapat mendukung metode yang dimaksud
sebagai berikut.3
Pertama, janganlah pernah menerima baik apa saja
sebagai benar, jika anda tidak mempunyai pengetahuan yang
jelas mengenai kebenarannya. Artinya, dengan cermat hindari
kesimpulan-kesimpulan dan prakonsepsi yang terburu-buru,
dan janganlah memasukkan apa pun ke dalam pertimbangan
anda lebih daripada yang terpapar dengan begitu jelas,
sehingga tidak perlu diragukan lagi.
Kedua, pecahkanlah tiap kesulitan anda menjadi sebanyak
mungkin bagian dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk
mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.
Ketiga, arahkan pemikiran anda secara tertib, mulai dari
objek yang paling sederhana dan paling mudah diketahui, lalu
meningkat sedikit-demi sedikit, setahap demi setahap, ke
pengetahuan yang paling kompleks, dan dengan mengandaikan
sesuatu urutan bahkan di antara objek yang sebelum itu tidak
mempunyai ketertiban kodrati.
Keempat, buatlah penomoran untuk seluruh permasalahan
selengkap mungkin, dan tinjauan ulang secara menyeluruh
sehingga anda dapat merasa pasti tidak sesuatu pun yang
ketinggalan.
Keempat, langkah yang dikemukakan Descartes ini
menggambarkan suatu sikap skeptis-metodis dalam upaya
memperoleh kebenaran yang pasti. Descartes mengaitkan
aktivitas ilmiah dengan metode skeptis dalam skema berikut.4

96
/

Prinsip Pertama

COGITO ERGO SUM

Opini Ilmu Pengetahuan

97
c. Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi
landasan bagi penerapan metode sebagai berikut.5
1) Mematuhi undang-undang dan adat-istiadat negeri,
sambil berpegang pada agama yang diajarkan sejak
masa kanak-kanak.
2) Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat
yang paling meyakinkan maupun yang paling
meragukan.
3) Berusaha lebih mengubah diri sendiri daripada
merombak tatanan dunia.
d. Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acapkali
terkecoh oleh indera. Kita memang dapat membayangkan
diri kita tidak .bertubuh, namun kita tidak dapat
membayangkan diri kita tidak bereksistensi, karena
terbukti kita dapat menyangsikan kebenaran pendapat
lain. Oleh karena itu, ujar Descartes, kita dapat saja
meragukan segala sesuatu, namun kita tidak mungkin
meragukan kita sendiri yang sedang dalam keadaan ragu-
ragu, Cogito ergo sum.
e. Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia, yang
terdiri atas dua substansi, yaitu res cogitans (jiwa
bernalar) dan res extensa (jasmani yang meluas). Tubuh
(res Extensa) diibaratkan dengan mesin, yang tentunya
karena ciptaan Tuhan maka tertata lebih baik. Ada
ketergantung- an antara dua kodrat ialah jiwa bernalar dan
kodrat jasmani, jiwa secara kodrati tidak mungkin mati
bersama dengan tubuh. Jiwa manusia itu abadi.
f. Dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan spekulatif dan
pengetahuan praktis. Pengetahuan praktis terkait dengan
objek-objek konkret seperti: api, air, udara, planet, dan

98
lain-lain sedang pengetahuan spekulatif menyangkut hal-
hal yang bersifat filosofis. Berkat kedua pengetahuan ini-
lah manusia menjadi penguasa alam.fi

2. Alfred Jules Ayer


Pemikiran Ayer yang termuat dalam bukunya yang
berjudul Language, Truth and Logic tersebut. Ajaran terpenting
yang terkait dengan masalah metodologis adalah prinsip
Verifikasi. Pada mulanya perbincangan mengenai prinsip
verifikasi ini mengacu pada metode ilmiah yang diterapkan
dalam bidang Fisika Modern, atau kritik terhadap metode
Fisika Klasik Isaac Newton. Teori “Relativitas” Einstein yang
termasyhur itu telah memperlihatkan secara jelas bahwa konsep
“Ruang dan waktu yang absolut” dari Fisika Klasik yang
diajukan oleh Newton, hanya bermakna manakala seseorang
dapat merinci apakah pelaksanaan terhadap percobaan yang
dilakukan itu dapat ditasdikan.7 Kritik yang dilancarkan
Einstein terhadap konsep Newton mengenai “Ruang dan Waktu
yang bersifat absolut” itu telah mengilhami tokoh-tokoh
Positivisme Logik, seperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnapp
yang pada dasarnya mempunyai latar-belakang pendidikan
sains yang cukup kuat. Kemudian mereka menerapkan prinsip
verifikasi yang semula dipergunakan dalam bidang fisika itu ke
dalam teknik analisis bahasa. Cara yang demikian itu
membawa perubahan yang cukup besar terhadap tolok ukur
untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu pernyataan.
Sebab bagi Positivisme Logik “sesuatu yang tidak dapat diukur
(ditasdikan) itu tidak mempunyai makna. Dengan demikian
makna sebuah proposisi tergantung apakah kita dapat

99
melakukan verifikasi terhadap proposisi yang bersangkutan.8
Kendati tokoh Positivisme Logik secara umum menerima
prinsip verifikasi itu sebagai tolok-ukur untuk menentukan
konsep tentang makna, namun mereka membuat rincian yang
cukup berbeda mengenai prinsip verifikasi itu sendiri. Tokoh
pemula Positivisme Logik, seperti Moritz Schlick misalnya,
menafsirkan “verifikasi” ini dalam pengertian pengamatan
empirik secara langsung bahwa hanya proposisi yang
mengandung istilah yang diangkat langsung dari objek yang
diamati (ini dinamakan kalimat Protokol) itulah yang benar-
benar mengandung makna.9 Bagi Schlick, jelas bahwa salah-
satu cara pengetahuan itu dimulai dengan pengamatan
peristiwa. Peristiwa semacam itu terlihat dalam kalimat
protokol dan inilah yang menjadi permulaan bagi ilmu.10 Akan
tetapi tafsiran Schlick mengenai prinsip verifikasi ini menim-
bulkan perdebatan di antara kaum positivisme Logik itu
sendiri —terutama penganut Positivisme Logik yang muncul
kemudian. Sebab dengan meletakkan prinsip verifikasi hanya
pada peristiwa yang dapat dialami secara langsung, berarti
Schlick telah menafikan bidang sejarah —sebagai produk
masa lampau— dan prediksi (ramalan) ilmiah— sebagai
produk bagi masa yang akan datang.
Ayer, salah seorang penganut Positivisme Logik yang
muncul kemudian, atau dapat dikatakan sebagai generasi
penerus tradisi Positivisme Logik, menyadari pula kelemahan
yang terkandung dalam prinsip pentasdikan yang diajukan
Schlick itu. Oleh karena itu Ayer memperluas prinsip verifikasi
dalam pengertian berikut: “Prinsip verifikasi itu merupakan
pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui
kriteria tersebut dapat ditentukan apakah suatu kalimat

100
mengandung makna atau tidak”.11 Melalui prinsip verifikasi ini
tidak hanya kalimat yang teruji secara empirik saja yang dapat
dianggap bermakna, tetapi juga kalimat yang dapat dianalisis.
Hal ini ditegaskan Ayer dalam pernyataan berikut: “Suatu cara
yang sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan
mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung makna,jika dan
hanyajika proposisi yang diung

101
kapkan itu dapat dianalisis atau dapat diverifikasi secara
empirik”.12 Penafsiran yang diajukan Aver terhadap prinsip
verifikasi ini berhasil mengatasi kelemahan yang terdapat
dalam pandangan tokoh Positivisme Logik sebelumnya, yang
hanya menerima proposisi yang dapat diverifikasi secara
empirik. Hal mana terlihatjelas dalam pandangan Moritz
Schlick, yang mengaitkan prinsip verifikasi itu dengan kalimat
protokol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau salahnya
melalui pengamatan empirik secara langsung. Menurut
pandangan Ayer, prinsip verifikasi seperti yang diajukan
Schlick itu merupakan verifiable dalam arti yang ketat (Ayer
menambahkan pengertian verifiable dalam arti yang longgar
atau lunak). Kedua macam pengertian verifiable ini dijelaskan
oleh Aver sebagai berikut: “ Verifiable dalam arti yang ketat (st
rong verifiable) yaitu, sejauh kebenaran suatu proposisi itu
didukung pengalaman secara meyakinkan. Sedangkan
verifiable dalam arti yang lunak, yaitu jika suatu proposisi itu
mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan
pengalaman yang memungkinkan”.13
Melalui kedua macam pengertian verifiable ini Ayer —
terutama verifiable dalam arti yang lunak— telah membuka
kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang
sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa
depan) sebagai pernyataan yang mengandung makna. Namun
Ayer menampik kehadiran metafisika dalam dunia ilmiah,
karena pernyataan-pernyataan metafisika (termasuk, etika,
theologi) merupakan pernyataan yang meaningless (tidak
bermakna.) lantaran tidak dapat dilakukan verifikasi apa pun.
102
3. Karl Raimund Popper
Popper seorang filsuf kontemporer yang melihat
kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat pembenaran
{justification) terhadap teori yang telah ada. Ia mengajukan
prinsip falsifikasi yang dapat diurai sebagai berikut.
Pertama, Popper menolak anggapan umum bahwa suatu
teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui
prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum
positivistik. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotetis (dugaan
sementara), tak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu
terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat.
Kedua, cara kerja metode induksi yang secara sistematis
dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala yang
sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan
memperlihatkan adanya ciri- ciri umum yang dirumuskan
menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan
cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat
mendukungnya . Hipotesa yang berhasil dibenarkan
(justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper menolak
cara kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa
sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-
bukti pengamatan empiris.
Ketiga, Popper menawarkan pemecahan baru dengan
mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah
pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah
hipotesa, hukum, ataukah teori kebenarannya hanya bersifat
sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang
ada di dalamnya. Jika ada pernyataan “semua angsa itu berbulu
putih”, melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan
seekor angsa yang berbulu selain putih (entah hitam, kuning,

103
hijau, dan lain-lain), maka runtuhlah pernyataan semula. Bagi
Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala
suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat
digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan
lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan
salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain, sehingga
hipotesa telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu
hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan,
maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).u

C. Penutup
Prinsip metodologis dalam hal ini bukan dimaksud
sebagai langkah-langkah metodis, melainkan
asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah
metode. Metodologis sangat terkait erat dengan epistemologi,
karena asumsi-asumsi yang diajukan oleh para filsuf memasuki
wilayah a priori, dugaan mendahului pengalaman. Di sini kita
melihat ketiga filsuf, yakni Descartes, Ayer, dan Popper
memiliki keistimewaan tersendiri dalam mengajukan prinsip
metodologis. Descartes lebih bertitik tolak pada prinsip
keraguan metodis (skeptis-metodis), Ayer memilih prinsip
verifikasi sebagai sarana untuk menguji bermakna atau
tidaknya sebuah pernyataan, sedangkan Popper memandang
prinsip falsifiabilitas justeru dapat memperkokoh
(corroboration) sebuah hipotesa. □

Catatan Kaki:
'Toeti Heraty, 1994, h. 2.
2
Ibid., h. 3-6.
’Sorell, Tom., 1991, h. 57-58.

104
4
Milton D. Hunnex, 1986, h. 41.
’Toety Heraty, 1994, h. 6.
H
Ibid.
'Charlesworth, 1959, h. 130.
H
Ibid.
"Ibid., h. 13.
"'Beerling, h. 107.
"Ayer, 1952, h. 5.
'-Ibid
"Ibid., h. 37.
14
Sastrapratedja, 1982, h. 87-88.
Sumber Acuan
Ayer, A.J., 1952, Language, Truth, and Logic, Dover
Publications, New York.
Charlesworth, MJ, 1959, Philosophy And Linguistic Analysis,
Duguesne University, Pittsburgh.
Hunnex, Milton, D. , 1986, Chronological Charts of Phi-
losophies.
Sastrapratedja, M., (Editor), 1982, Manusia Multi Di-
mensional: Sebuah Renungan Filsafat, Gramedia,
Jakarta.
Sorell, Tom., 1991, Descartes; Say a Berpikir Maka Saya Ada,
Terjemahan dari judul asli': Descartes, Penerjemah:
A.Hadyana, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Toeti Heraty., 1994, Dialog Filsafat Dengan Ilmu-ilmu
Pengetahuan: Suatu Pengantar Meta-Metodo- logi,
Universitas Indonesia, Jakarta.

- ♦♦ -

105
BABV

Perkembangan, Pengertian, dan


Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

A. Pengantar
Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan
perkembangan kebudayaan manusia yang berlangsung secara
bertahap, evolutif. Oleh karena untuk memahami strategi
pengembangan ilmu, maka kita perlu mengetahui secara global
sejarah perkembangan ilmu. Karena melalui sejarah
perkembangan ilmu, kita dapat memahami makna kehadiran
ilmu bagi umat manusia. Sejarah perkembangan ilmu itu sen-
diri merupakan suatu tahapan yang terjadi secara periodik.
Setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Comte menunjukkan tiga
stadia perkembangan kebudayaan pada umumnya, ilmu
pengetahuan pada khususnya sebagai berikut. Tahap pertama
adalah theolo- gis yang menampakkan dominasi kekuatan
adikodrati atas diri manusia, sehingga peran subjek tenggelam
dalam kekuatan alam atau Tuhan. Tahap kedua adalah
metafisik yang menampakkan langkah kemajuan dalam diri
manusia sebagai subjek. Di sini manusia sudah mempersoalkan
tentang keberadaan dirinya, namun belum mampu

106
merealisasikan kekuatan dirinya secara maksimal bagi
keperluan-keperluan yang lebih konkret. Tahap ketiga adalah
positivistik yang memperlihatkan suatu sikap ilmiah yang
paling jelas dengan segala ukuran yang jelas dan pasti,
sehingga bisa dipertanggungjawabkan keasliannya. Tokoh lain
yang senada dengan Comte adalah van Peursen yang juga
menunjukkan tiga tahap perkembangan budaya (termasuk ilmu)
yakni, tahap mitis yang memperlihatkan penguasaan objek
(kekuatan alam) atas diri manusia (subjek). Tahap ontologis
memperlihatkan kemampuan manusia mengambil jarak
terhadap alam, namun belum memfungsikan alam secara
maksimal. Tahap ketiga adalah Fungsional di mana manusia
sudah mampu memfungsikan alam bagi kepentingan dirinya.
Perbedaan antara kedua tokoh itu terletak pada saling
berkelindannya ketiga tahap tersebut. Comte tidak
menunjukkan ketiga tahap itu sebagai hal yang saling
berkelindan, sedangkan van Peursen justru sangat menekankan
hal itu.
Sejarah perkembangan ilmu dalam kebudayaan umat manusia
ditengarai tidaklah terpusat di satu
tempat tertentu. Penemuan-penemuan empirik yang kelak
melahirkan temuan-temuan ilmiah itu justru menyebar dari
Babylonia, Mesir, Cina, India, Yunani, baru ke daratan Eropah.
Oleh karena itu kalau manusia sekarang melihat Eropa sebagai
gudang ilmu pengetahuan, maka pendapat yang demikian itu
sangat ahistoris. Sejarah perkembangan ilmu menampakkan
sumbangsih besar dunia Timur bagi kemajuan ilmu
pengetahuan hingga seperti sekarang ini. Banyak penemuan
yang terjadi di dunia Timur yang baru dikembangkan
belakangan di dunia Barat. Namun perkembangan pemikiran

107
secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani.
Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu yang disusun
di sini dimulai dari peradaban Yunani, kemudian diakhiri pada
penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. Kesemuannya
itu merupakan rangkaian panjang sejarah peradaban umat
manusia, yang dengan kemampuan akal pikirnya selalu
melangkah maju. Salah satu dorongan untuk membuat manusia
melangkah ke arah kemajuan ilmiah adalah rasa ingin tahu
(curiosity). Revolusi Sains, ujar Kuhn1 dalam Pengantar
bukunya Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, mengubah
perspektif historis masyarakat yang mengalaminya, dan
perubahan itu ikut pula mempengaruhi struktur buku-buku teks
dan publikasi-publikasi riset pascarevolusi. Contoh yang paling
jelas adalah revolusi Copernicus tentang Heliosentris. Kuhl
sendiri

108
sangat menaruh perhatian terhadap sejarah sains, karena data-
data historis yang diperoleh dapat merupakan sumber orientasi
yang lengkap dan sumber sebagian struktur masalah yang
dapat dikembangkan dalam studi lebih lanjut, terutama
pemahamannya tentang konsep paradigma.
Mohammad Hatta2 menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
itu lahir karena manusia dihadapkan pada dua masalah, yaitu
alam luaran (kosmos) dan soal sikap hidup (etik). Ilmu-ilmu
alam senantiasa memandang alam dari satu jurusan melalui
ukuran atau metode dan saran tertentu dan peninjauan yang
tertentu pula. Ilmu alam mencari keterangan mengenai alam
yang bertubuh atau benda-benda di alam yang dapat diketahui
dengan pancaindera (alat tertentu yang membantu fungsi
pancaindera agar bekerja lebih sempurna, Pen.). Cabang-
cabang ilmu alam vang muncul pertama kali adalah ilmu
perbintangan (astronomi) disusul matematik yang merupakan
sarana berpikir. Kemudian disusul ilmu fisika, kimia, botani
Zoologi, ilmu Bumi, dan lain-lainnya. Pada awalnya ilmu-ilmu
alam itu hanya bersifat teoritik, manusia semata-mata ingin
mengetahui sifat-sifat benda dan kodrat alam. Ketika manusia
menerapkannya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam
kehidupannya, maka timbullah ilmu-ilmu praktik seperti:
teknik, agraria, kedokteran, dan lain-lain. Ilmu sosial timbul
karena manusia menyadari akan adanya masalah dalam
hubungan manusia dalam masyarakat. Berbagai macam segi
kehidupan sosial dipelajari, sehingga melahirkan ilmu
ekonomi, hukum, sosiologi, dan lain-lain. Ilmu sosial juga ada
yang bersifat teoritik dan praktik. Ilmu teoritik se- mata-mata
bertujuan untuk mendapat pengertian tentang kedudukan sifat-
sifat sosial. Ilmu praktik bertujuan merancangjalan untuk

109
mencapai beberapa tujuan hidup misalnya: manajemen, ilmu
pemerin tahan, pedagogik (ilmu mendidik).
Perbedaan ilmu teoritik dengan ilmu prakdk, ujar Hatta,
ilmu teoritik memandang ke belakang karena memikirkan
keadaan masalah-masalah yang sudah berlaku dengan
menyatakan hubungan sebab-akibat. Ilmu praktik memandang
ke depan, karena mempergunakan ilmu yang ada untuk
memperoleh jalan baru yang mesti ditempuh untuk mencapai
satu perbaikan keadaan dan syarat hidup yang lebih sempurna.
Dengan demikian pada awalnya tujuan pokok lahirnya ilmu itu
adalah untuk meningkatkan tarap hidup kemanusiaan, bukan
sebaliknya. Namun yang terjadi belakangan ini, terutama ilmu-
ilmu kealaman lebih banyak dipergunakan untuk hal-hal yang
mengancam kehidupan manusia seperti: pembuatan senjata
nuklir.
Oleh karena itu strategi pengembangan ilmu yang perlu
dilakukan dewasa ini, terutama di Indonesia, harus belajar
banyak pada sejarah perkembangan ilmu di satu pihak. Di
pihak lain tidak mengulangi kesalahan yang sama, terutama
dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu terapan yang dapat
diibaratkan pisau bermata dua. Di satu sisi ia mengandung
kemaslahatan bagi umat manusia, di sisi lain ia mengandung
risiko merusak kehidupan manusia.

B. Periodesasi Perkembangan Ilmu


Perkembangan ilmu dapat diidentifikasi ke dalam
beberapa periode berikut:

7. Periode pra-Yunani Kuno

110
Yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, Know how dalam kehidupan sehari-hari yang
didasarkan pada pengalaman.
Kedua, Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu
diterima sebagai fakta dengan sikap receptive mind,
keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magis.
Ketiga, Kemampuan menemukan abjad dan sistem
bilangan alam sudah menampakkan perkembangan
pemikiran manusia ke tingkat abstraksi.
Keempat, kemampuan menulis, berhitung, menyusun
kalender yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil
abstraksi yang dilakukan.
Kelima, kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas
dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi.
Misalnya: gerhana bulan dan matahari.

2. Zaman Yunani Kuno


Zaman yang dipandang sebagai zaman keemasan Filsafat
ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama: pada masa
ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-
ide pendapatnya. Kedua: masyarakat pada masa ini tidak
lagi mempercayai mitologi-mitologi, yang dianggap seba-
gai suatu bentuk pseudo-rasional.
Ketiga: masyarakat tidak dapat menerima pengalaman
yang didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap
menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan sikap an
inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki
sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang
menjadi cikal-bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan mo-
dern. Sikap kritis inilah yang menjadikan bangsa Yunani

111
tampil sebagai ahli pikir-ahli pikir terkenal sepanjang
masa.

3. Zaman Pertengahan (Middle Age)


Era Pertengahan ini ditandai dengan tampilnya
para theolog di lapangan ilmu pengetahuan di belahan
dunia Eropa. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah
para Theolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas
keagamaan. Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan
untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan yang berlaku
bagi ilmvi pada masa ini adalah Ancilla l'heologia, abdi agama.
Namun di Timur terutama negara-negara Islam justru terjadi
perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa
pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada masalah-masalah
keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan
penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof
Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.
Peradaban dunia Islam, terutama pada Bani Umayyah
telah menemukan suatu cara pengamatan astronomi pada abad
7 Masehi, 8 abad sebelum Galileo Galilei dan Copernicus.
Sedangkan kebudayaan Islam yang menaklukkan Persia pada
abad 8 Masehi telah mendirikan sekolah Kedokteran dan
Astronomi di Jundishapur. Pada zaman keemasan kebudayaan
Islam, dilakukan peneijemahan berbagai karya Yunani, dan
bahkan Khalifah Al-makmun telah mendirikan Rumah
Kebijaksanaan (House of Wisdom) pada abad 9 Masehi.
Sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga bidang, yaitu:
1. Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan
menyebarluaskannya sedemikian rupa, sehingga

112
dapat dikenal dunia Barat seperti sekarang ini.
2. Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu
kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu
bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
3. Menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.
Pada jaman abad tengah, ketika manusia Eropa berada
dalam masa tidur panjang akibat pengaruh dogma-dogma
agama, maka kebudayaan Islam di jaman dinasti Abbasiyah
berada pada puncak keemasannya. Ali Kettanis menengarai
kemajuan umat Islam pada masa itu lantaran didukung oleh
semangat sebagai berikut:
(1) Universalism
(2) Tolerance
(3) International character of the market
(4) Respect for science and scientist
(5) The Islamic nature of both the ends and means of sci-
ence.
Universalisme artinya pengembangan Iptek mengatasi
sekat-sekat kesukuan, kebangsaan, bahkan keagamaan.
Toleransi artinya sikap tenggangrasa dalam pengembangan
Iptek dimaksudkan untuk membuka cakrawala di kalangan
para ilmuwan, sehingga perbedaan pendapat dipandang
sebagai pemacu ke arah kemajuan, bukan sebagai penghalang.
Di zaman dinasti Abbasiyah perpustakaan Darul
Hikmah membuka pintu terhadap para ilmuwan non muslim
untuk memanfaatkan dan mempelajari berbagai literatur yang
ada di dalamnya. Pemasaran terhadap hasil-hasil lptek
merupakan suatu wahana untuk menjamin kontinyuitas
aktivitas ilmiah itu sendiri, karena itu pasar yang bersifat
internasional sangatlah dibutuhkan. Penghargaan yang tinggi

113
dalam arti, setiap temuan dihargai secara layak dan memadai
sebagai hasil jerih-payah atau usaha seseorang atau
sekelompok orang. Akhirnya, sarana dan tujuan lptek haruslah
terkait dengan nilai-nilai agama artinya, setiap kegiatan ilmiah
tidak boleh bebas nilai, apalagi nilai agama. Sebab ilmuwan
yang melepaskan diri dari nilai-nilai agama akan terperangkap
pada arogansi intelektual, dan menjadikan perkembangan lptek
yang depersonalisasi dan dehumanisasi.
Zaman keemasan Islam (Golden Age) itu ditandai dengan
kemajuan pesat ilmu matematika yang membangun mode
matematika baru dengan memperkenalkan sistem desimal.
Filsuf muslim Al-Khawarizmi yang mengembangkan
trigonometri dengan memperkenalkan teori sinus dan cosinus,
tangent dan cotangent. Ilmu Fisika menampilkan Fisikus asal
Bagdad Musa Ibn Sakir dan putranya Muhammad, Ahmad, dan
Hasan yang mengarang Kitab Al-Hiyal, yang menggambarkan
hukum-hukum mekanika dan problem stabilitas. Ibn Al-
Haytham (965-1039) yang mengarang Kitab Al-Manadhir,
yang membuktikan hukum

114
refraksi cahaya. Bidang astronomi pada awalnya me-
/
nerjemahkan karya-karya di bidang astronomi klasik
padajaman Bani Umayah dan dilanjutkan pada jaman
Abbasiyah awal. Ibn Habib Al-Fazari (777) merupakan
ilmuwan Muslim pertama yang menerjemahkan karya Ptolemy
yang berjudul Almagest. Bidang ilmu Kimia menampilkan
Jabir Ibn Hayyan Al-Kufi dari Kufah yang memiliki
laboratorium dekat Bawabah Damaskus yang melakukan
percobaan pada pancaindera, penggunaan metalik, dan lain-
lain. Jabir menggambarkan eksperimen yang dilakukannya
dalam kalimat berikut: “Pertama kali saya mengetahui sesuatu
dengan tangan dan otak saya, dan saya menyelidiki sesuatu itu
sampai menjadi benar, dan mencari kesalahan-kesalahan yang
ada di dalamnya
Bidang ilmu kedokteran di dunia Islam sebenarnya sudah
dirintis sejak Rasulullah mendirikan rumah sakit di Madinah,
termasuk rumah sakit untuk angkatan Perang Islam. Ar-Razi
merupakan ahli medis muslim pertama yang mempimpin
Rumah Sakit Rayy dekat Teheran, kemudian iajuga memimpin
Rumah sakit Bagdad. Ar-Razi juga menulis buku tentang Diet,
Farmakologi dan lain-lain. Buku medis lainnya ditulis oleh ’Ali
Ibn Abbas Al-Ahwazi (940), Al Kitab Al- Malaki tentang teori
dan praktek medis. Salah seorang tokoh jenius dalam bidang
kedokteran adalah Ibn Siena yang mengarang buku teks dalam
bidang medis yang berjudul Al-Qanun, yang menjadi buku
standar selama 500 tahun di dunia Islam dan Eropa. Ibn Siena
juga meneliti tentang masalah anatomi, kesehatan anak,
Gynaecology.
Dalam bidang geografi, para ilmuwan muslim me-
ngembangkan jarum magnetik untuk dipergunakan dalam
115
navigasi dan penemuan kompas, sehingga mereka berjasa
dalam penemuan pulau-pulau baru dan rute laut lingkar Asia,
Afrika, dan Eropa. Mereka membangun kapal di pabrik-pabrik
yang disebut dar al-sina’ah (arsenal; gudang senjata) dan
setiap kapal memiliki ahlinya yang dinamakan an amir al-bahr
(admiral; laksamana). Ilmuwan muslim memakai metode baru
untuk menemukan rute perjalanan mereka melalui tata letak
bintang-bintang dan peta perjalanan laut. Para petualang
muslim menjelajahi Cina, Jepang, India, Asia Tenggara, dan
samudera India, Eropa, termasuk Skandinavia, Irlandia,
Jerman, Perancis, dan Rusia. Pada abad kesembilan ahli
geografi muslim, Ahmad Ibn Ya’kub Al-Ya’kubi
menggambarkan perjalanannya dalam Kitab Al-Buldan, dan
’Ubayd-Allah Ibn ’Abd-Allah Ibn Khurd Dhabah (825-912)
yang mempublikasikan bukunya Al-Masalik wa Al-Mamalik
(Garis Edar dan Kerajaan).

4. Zaman Renaissance (14-17 M)


Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan
kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama.
Renaissance ialah zaman peralihan ketika kebudayaan abad
Tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern.
Manusia pada zaman Renaissance adalah manusia yang
merindukan pemikiran yang bebas, seperti pada zaman Yunani
Kuno. Pada zaman Renaissance manusia disebut sebagai
animal rationale, karena pada masa ini pemikiran manusia
mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai
kemajuan (progress) atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan
atas campur tangan ilahi.
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sudah

116
mulai dirintis pada zaman Renaissance.
Ilmu pengetahuan yang berkembang maju pada masa ini
adalah bidang astronomi Tokoh-tokohnya yang terkenal
seperti: Copernicus, Kepler, Galileo Galilei. Langkah-langkah
vang dilakukan oleh Galileo dalam bidang ini menanamkan
pengaruh yang kuat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
modern, karena menunjukkan beberapa hal seperti:
pengamatan (observation), penyingkiran (elimination) segala
hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati,
idealisasi, penyusunan teori secara spekulatif atas peristiwa
tersebut, peramalan (prediction), pengukuran (measurement),
dan percobaan (experiment) untuk menguji teori vang
didasarkan pada ramalan matema- tik.
5. Zaman Modern (17 - 19 M)
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan
dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada
zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman
Renaissance, yaitu permulaan abad XIV. Benua Eropa
dipandang sebagai basis perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini menurut
Slamet Iman Santoso4 sebenarnya mempunyai tiga sumber,
yaitu:
a. Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia
dengan negara-negara Perancis. Para Pendeta di Perancis
banyak yang belajar di Spanyol, kemudian mereka inilah
yang menyebarkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya
itu di lembaga- lembaga pendidikan di Perancis.
b. Perang Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak enam
kali tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun
juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang

117
berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan
negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan
pengalaman mereka itu sekembalinya di negara-negara
masing- masing.
c. Pada tahun 1453 Istambuljatuh ke tangan Bangsa Turki,
sehingga para pendeta atau sarjana mengungsi ke Itali
atau negara-negara lain. Mereka ini menjadi pionir-pionir
bagi perkembangan ilmu di Eropa.
Tokoh yang dikenal sebagai bapak filsafat Modem Rene
Descartes. Ia telah mewariskan suatu metode berpikir yang
menjadi landasan berpikir dalam ilmu pengetahuan modern.
Langkah-langkah berpikir menurut Descartes adalah sebagai
berikut:
a. Tidak menerima apa pun sebagai hal yang benar, kecuali
kalau diyakini sendiri bahwa itu memang benar.
b. Memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil
untuk mempermudah penyelesaian.
c. Berpikir runtut dengan mulai dari hal yang sederhana
sedikit demi sedikit untuk sampai ke hal yang paling
rumit.
d. Perincian yang lengkap dan pemeriksaan menyeluruh
diperlukan supaya tidak ada yang terlupakan.5

6. Zaman Kontemporer
(abad 20 - dan seterusnya)
Di antara ilmu-ilmu khusus yang dibicarakan oleh para
filsuf, maka bidang Fisika menempati kedudukan yang paling
tinggi. Menurut Trout ,5 Fisika dipandang sebagai dasar ilmu
pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur
fundamental yang membentuk alam semesta. Iajuga

118
menunjukkan bahwa secara historis hubungan antara fisika
dengan filsafat terlihat dalam dua cara. Pertama, diskusi
filosofis mengenai metode-metode fisika, dan dalam interaksi
antara pandangan substansial tentang fisika (misalnya: tentang
materi, kuasa, konsep ruang dan waktu). Kedua, ajaran filsafat
tradisional yang menjawab fenomena tentang materi, kuasa,
ruang dan waktu. Dengan demikian sejak semula sudah ada
hubungan yang erat antara filsafat dan fisika.
Fisikawan termashur abad keduapuluh adalah Albert
Einstein. Ia menyatakan bahwa alam itu tak berhingga
besarnya dan tak berbatas, tetapi juga tak berubah status
totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein
percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta
itu bersifat kekal, atau dengan kata lain, tidak mengakui
adanya penciptaan alam. Namun pada tahun 1929 seorang
fisikawan lain Hubble yang mempergunakan teropong bintang
terbesar di dunia melihat galaksi-galaksi di sekeliling kita
tampak menjauh galaksi kita dengan kelajuan yang sebanding
dengan jaraknya dari bumi. Observasi ini menunjukkan bahwa
alam semesta itu tidak statis, melainkan dinamis, sehingga
meruntuhkan pendapat Einstein tentang teori kekekalan materi
dan alam semesta yang statis. Jagad raya ternyata berekspansi.
Berdasarkan perhitungan mengenai perbandingan jarak dan
kelajuan gerak masing-masing galaksi yang teramati, para
fisikawan kontemporer (Gamovv, Alpher, Herman) menarik
kesimpulan bahwa semua galaksi di jagad raya ini semula
bersatu padu dengan galaksi kita, Bimasakti, kira-kira 15
Milyar tahun yang lalu. Pada saat itu teijadi ledakan yang
maha dahsyat yang melemparkan materi ke seluruh jagad raya
ke semua arah, yang kemudian membentuk bintang-bintang

119
dan galaksi. Dentuman besar (Big Bang) itu terjadi ketika
seluruh materi kosmos terlempar dengan kecepatan sangat
tinggi keluar dari keberadaannya dalam volume yang sangat
kecil.7
Di samping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan
lain-lain, maka zaman kontemporer ini ditandai dengan
penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi
dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan
sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit
komunikasi, internet, dan lain sebagainya. Manusia dewasa ini
memiliki mobilitas yang sangat tinggi, karena pengaruh
teknologi komunikasi dan informasi.
Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat,
sehingga terjadi spesialisasi-spesialisasi ilmu yang semakin
tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit
tetapi secara mendalam. Ilmu kedokteran semakin menajam
dalam spesialis dan sub- spesialis atau super-spesialis,
demikian pula bidang- bidang ilmu lain. Di samping
kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah
sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainnya, sehingga
dihasilkannya bidang ilmu baru seperti: bioteknologi vang
dewasa ini dikenal dengan teknologi kloning.

C. Pengertian Ilmu
Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai
pengetahuan tentang sebab-akibat atau asal- usul. Istilah
pengetahuan (knowledge) biasanya dilawankan dengan
pengertian opini, sedang istilah sebab (causa) diambil dari kata
Yunani “aitia", yakni prinsip pertama.8

120
Setiap aktivitas ilmiah tentu bertolak dari konsep, karena
konsep merupakan sebuah struktur pemikiran. Sontag9
menyatakan bahwa setiap pembentukan konsep selalu terkait
dengan empat komponen, yaitu, kenyataan (reality), teori
(theory), kata-kata (words), dan pemikiran (thought).
Kenyataan (reality) hanya akan merupakan sebuah misteri
manakala tidak diungkapkan ke dalam bahasa. Teori
merupakan tingkat pengertian tentang sesuatu yang sudah
teruji, sehingga dapat dipakai sebagai titik tolak bagi pema-
haman hal lain. Kata-kata merupakan cerminan ide- ide yang
sudah diverbalisasikan. Pemikiran merupakan produk akal
manusia yang diekspresikan ke dalam bahasa. Kesemuanya itu
akan membentuk pengertian pada diri manusia, pengertian ini
dinamakan konsep. Bagan pembentukan konsep adalah sebagai
berikut:

Gaston Bachelard1" menyatakan bahwa ilmu pengetahuan


adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus

121
menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia
luar. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan mengandung
dua aspek, yaitu subjektif dan objektif, sekaligus memerlukan
kesamaan di antara keduanya; oleh karena itu sesungguhnya
manusia tidak mungkin mengubah hukum-hukum pemikiran
dengan mengubah hukum-hukum alam semesta. Bachelard
menengarai bahwa adanya dua aspek tersebut-subjektif dan
objektif-melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam
epistemologi. Pertama, pandangan rasionalisme yang
memandang bahwa hukum alam itu direfleksikan ke dalam
hukum- hukum pemikiran, lebih memihak pada sikap subjek-
tif. Hal ini dapat dikatakan senada dengan pernyataan Hegel
yang berbunyi “semua yang rasional adalah real”. Kedua,
pandangan realisme universal yang memandang bahwa
hukum-hukum pemikiran secara mutlak mencontoh hukum-
hukum pemikiran.
Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengertian ilmu
mengacu pada tiga hal, yaitu- produk-produk, proses,
masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu
pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenarannya
oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini
terbatas pada kenyataan- kenyataan yang mengandung
kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji
dan dibantah oleh seseorang.
Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya kegiatan
kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan
pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan
sebagaimana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas
dipakai dalam proses ini adalah analisis- rasional, objektif,
sejauh mungkin “impersonal” dari masalah-masalah yang

122
didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati. Bagi
Thomas Kuhn “normal science” adalah ilmu pengetahuan
dalam artian proses.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia
pergaulan yang tindak-tanduknya, perilaku dan sikap serta
tutur katanya diatur oleh empat ketent uan (imperative) yaitu
universalisme, komunalisme, tanpa

123
pamrih (disinterstedness), dan skeptisisme yang teratur. 11
/
Van Melsen12 mengemukakan beberapa ciri yang
menandai ilmu, yaitu: (1) Ilmu pengetahuan secara metodis
harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren.
Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode) maupun
harus (susunan logis).
(2) Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat
kaitannya dengan tanggung jawab ilmuwan. (3) Universalitas
ilmu pengetahuan. (4) Objektivitas, artinya setiap ilmu
terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-
prasangka subjektif (5) Ilmu pengetahuan harus dapat
diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan,
karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan. (6)
Progresivitas artinya suatu jawaban ilmiah baru bersifat ilmiah
sungguh-sungguh, bila mengandung pertanyaan-pertanyaan
baru dan menimbulkan problem- problem baru lagi. (7) Kritis,
artinya tidak ada teori ilmiah yang difmitif, setiap teori terbuka
bagi suatu peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
(8) Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai
perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis.
Aktivitas ilmiah tergantung pada sarana ilmiah berupa
bahasa, pernyataan ilmiah. Lyotard mengajukan beberapa
argumentasi yang disyaratkan bagi sebuah pernyataan ilmiah,
yaitu Pertama, diakuinya aturan-aturan yang telah ditentvikan
alat argumentasi, yakni fleksibilitas sarana itu berupa pluralitas
bahasannya. Kedua\ karakternya sebagai bentuk permainan
pragmatis yakni diakuinya “gerak” yang berlangsung
tergantung pada suatu rangkaian kontrak di antara para
ilmuwan sebagai partner dialog. Akibatnya ada dua jenis
kemajuan yang berbeda dalam pengetahuan: pertama,
124
kesesuaian pada suatu gerak baru (argumen baru) di dalam
aturan-aturan yang pasti; kedua, menemukan aturan-aturan
baru yakni perubahan pada suatu permainan baru.13
Rickert sebagaimana dikutip oleh Hatta14 menyebutkan
bahwa dalam aktivitas ilmiah sangat ditentukan oleh metode
yang dipilih. Metode untuk menyelidiki dunia lahir ada dua,
yaitu metode abstraksi untuk mengetahui hukum-hukum
umum dinamakan metode ilmu kealaman (Windelband
menamakannya dengan istilah Nomothetisch). Metode untuk
mengetahui hal-hal khusus atau yang satu-satunya dinamakan
metode historika (Ideographisch).
Metode abstraksi (Nomothetisch) ini dimaksudkan untuk
menentukan hukum-hukum umum yang berlaku dalam segala
kenyataan dan keadaan bagi sesuatu, sehingga merupakan
metode induktif yang berupaya membuat generalisasi.
Misalnya: hukum umum tentangjatuhnya benda-benda karena
pengaruh daya tarik bumi (gravitasi). Hatta15 menyebutkan
bahwa ada tigajalan untuk mengetahui pengertian atau sifat
hukum yang umum, yaitu: Pertama, dengan jalan
memperbandingkan. Kedua, dengan jalan eksperimen, yaitu
mengadakan percobaan seperti yang biasa dikerjakan oleh ilmu
fisika. Pengetahuan bahwa uap adalah suatu tenaga (energi)
didapat karena pengalaman dan percobaan. Ketiga,
denganjalan memperhatikan. Jalan ini lazim dipakai dalam
ilmu sosial yang bekerja dengan metode abstraksi.
Metode historika (Ideographisch) dipakai untuk
menerangkan keadaan yang teijadi di masa lalu, yang tidak
terulang kembali untuk mencari atau menemukan hubungan
sebab-akibatnya. Masih ada metode lain yang merupakan
gabungan metode abstraksi dan historika, yaitu metode

125
sosiologi. Metode sosiologi ini mempertalikan hukum dengan
sejarah. Metode ini menyatakan hukum mana yang menguasai
perubahan persekutuan hidvip dari satu tingkat tertentu ke
tingkat yang lebih tinggi menurut garis tertentu.

D. Beberapa Pandangan tentang Klasifikasi Ilmu


Pengetahuan
Klasifikasi atau penggolongan ilmu pengetahuan
mengalami perkembangan atau perubahan sesuai dengan
semangat zaman. Ada beberapa pandangan yang terkait dengan
klasifikasi ilmu pengetahuan sebagai berikut.
J. Christian Wolff (1679- 1754)
Wolff lebih dikenal sebagai pembela setia ajaran- ajaran
Leibnitz, namun di samping itu iajuga cukup gigih
mengembangkan logika-matematik sistem filsafat yang terkait
dengan berbagai lapangan pengetahuan dengan
mempergunakan sarana metode deduktif seperti yang dipakai
dalam matematik. Wolff mengklasifikasi ilmu pengetahuan ke
dalam tiga kelompok besar, yaitu ilmu pengetahuan empiris,
matematika, dan filsafat. Wolff menjelaskan pokok- pokok
pikirannya mengenai klasifikasi ilmu pengetahuan itu sebagai
berikut:16
a. Dengan mempelajari kodrat pemikiran rasional, kita
dapat menemukan sifat yang benar dari alam semesta.
Semua yang ada di dunia ini terletak di luar pemikiran
kita yang direfleksikan dalam proses berpikir rasional.
Sebab alam semesta ini merupakan suatu sistem rasional
yang isinya dapat diketahui dengan menyusun cara
deduksi dari hukum-hukum berpikir.
b. Pengetahuan kemanusiaan terdiri atas ilmu-ilmu murni

126
dan filsafat praktis. Ilmu-ilmu murni adalah theologi
rasional yang terkait dengan pengetahuan tentang Tuhan;
psikologi rasional yang terkait dengan masalah-masalah
jiwa; dan kosmologi rasional yang terkait dengan kodrat
dunia fisik. Filsafat praktis mencakup etika sebagai ilmu
tentang tingkah laku manusia; politik atau ilmu pemerin-
tahan; ekonomi sebagai bidang ilmu apa yang harus
dilakukan seseorang untuk mencapai kemakmuran.
c. Ilmu-ilmu murni dan filsafat praktis sekaligus merupakan
produk metode berpikir deduktif. Ilmu-ilmu teoritis
dijabarkan dari hukum tak bertentangan yang menyatakan
bahwa sesuatu itu tak dapat ada dan tidak ada dalam
waktu yang bersamaan. Apa yang sanggup kita ketahui
tentang dunia fisik diturunkan dari hukum alasan yang
mencukupi (sufficien reason) yang menyatakan bahwa ada
suatu alasan yang niscaya bagi keberadaan segala sesuatu.
d. Seluruh kebenaran pengetahuan diturunkan dari hukum-
hukum berpikir. Apa yang dikatakannya tentang moral
dan religi adalah suatu kodrat yang abstrak dan formal
secara niscaya. Etika dalam pandangannya tidak lebih
daripada seperangkat aturan yang kaku dan harus diikuti,
sesuatu yang tidak terjawab yang hanya hadir dalam
kasus-kasus tertentu saja. Agamajuga demikian,
diformalkan ke dalam seperangkat kepercayaan tentang
Tuhan dan jiwa manusia. Unsur-unsur emosi yang
bermain secara normal masing-masing berperan penting di
dalam wilayah pengalaman yang sangat minim.

127
c. Jiwa manusia dalam pandangan Wolff dibagi menjadi tiga,
yaitu mengetahui, menghendaki, dan merasakan. Ketiga
aspek jiwa manusia ini akan mempengaruhi pandangan
Immanuel Kant tentang tiga kritiknya yang terkenal, yaitu,
Kritik atas Rasio Murni, Kritik atas Rasio Praktis. Kritik
atas Daya Pertimbangan.
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Wolff ini dapat
diskemakan sebagai berikut.
2. Auguste Comte (1791-1857)

129
Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang
dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu
pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala
dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih
dahulu. Kemudian disusul dengan gejala-gejala pengetahuan yang
semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin konkret.
Oleh karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu
pengetahuan, Auguste Comte memulai dengan mengamati gejala-
gejala yang paling sederhana, yaitu gejala-gejala yang letaknya pa-
ling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Urutan dalam
penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte sebagai berikut.17

a. Ilmu pasti (matematika)


Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan,
karena sifatnya yang tetap, abstrak dan pasti. Dengan metode-
metode yang dipergunakan, melalui ilmu pasti, kita akan
memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang sebenarnya, yaitu
hukum ilmu pengetahuan dalam tingkat “kesederhanaan dan
ketetapan” yang tertinggi, sebagaimana abstraksi yang dapat
dilakukan akal manusia.
b. Ilmu perbintangan (astronomi)
Dengan didasari rumus-rumus ilmu pasti, maka ilmu
perbintangan dapat menyusun hukum-hukum yang bersangkutan
dengan gejala-gejala benda langit. Ilmu perbintangan menerangkan
bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta gerak benda langit
seperti bintang, bumi, bulan, matahari, atau planet-planet lainnya.

c. Ilmu alam (fisika)


Ilmu alam merupakan ilmu vang lebih tinggi daripada ilmu
perbintangan, maka pengetahuan mengenai benda-benda langit

130
merupakan dasar bagi pemahaman gejala-gejala dunia anorganik.
Gejala-gejala dalam ilmu alam lebih kompleks, yang tidak akan
.dapat difahami, tanpa terlebih dahulu memahami hukum-hukum
astronomi. Melalui pemahaman gejala-gejala fisika dan hukum
fisika, maka akan dapat diramalkan dengan tepat semua gejala yang
ditunjukkan oleh suatu benda, yang berada pada suatu tatanan atau
keadaan tertantu.

d. Ilmu kimia (chemistry)


Gejala-gejala dalam ilmu kimia lebih kompleks dari pada
ilmu alam, dan ilmu kimia mempunyai kaitan dengan ilmu hayat
(biologi) bahkan juga dengan sosiologi. Pendekatan yang
dipergunakan dalam ilmu kimia ini tidak hanya melalui
pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan
juga dengan perbandingan (komparasi).

e. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)


Ilmu hayat (biologi) merupakan ilmu yang kompleks dan
berhadapan dengan gejala-gejala kehidupan. Gejala-gejala dalam
ilmu hayat ini mengalami perubahan yang cepat dan
perkembangannya belum sampai pada tahap positif. Ini berbeda
dengan ilmu- ilmu sebelumnya seperti ilmu pasti, ilmu perbintang-
an, ilmu alam, dan ilmu kimia yang telah berada pada tahap positif.
Karena sifatnya yang kompleks, maka cara pendekatannya
membutuhkan alat yang lebih lengkap.

f. Fisika sosial (sosiologi)


Fisika sosial (sosiologi) merupakan urutan tertinggi dalam
penggolongan ilmu pengetahuan. Fisika sosial sebagai ilmu
berhadapan dengan gejala-gejala yang paling kompleks, paling

131
konkret dan khusus, yaitu gejala yang berkaitan dengan kehidupan
umat manusia dalam berkelompok.
Klasifikasi Ilmu pengetahuan menurut Auguste Comte secara
garis besar dapat diskemakan sebagai berikut:

3. Karl Raimund Popper


Popper mengemukakan bahwa sistem ilmu
pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam
tiga Dunia (World), yaitu Dunia 1, Dunia 2, dan Dunia
318. Popper menyatakan bahwa Dunia 1 (World I)
merupakan kenyataan fisis dunia, sedangkan Dunia 2
(World II) adalah kejadian dan kenyataan psikis dalam

132
diri manusia, dan Dunia 3 (World III), yaitu segala
hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil
kerjasama antara Dunia 1 dan Dunia 2, serta seluruh
bidang kebudayaan, seni, metafisik,
agama, dan lain sebagainya. Menurut Popper Dunia 3 itu hanya ada
selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi
yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang
mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang
mengandaikan adanya suatu kerangka. Sesudah penghayatan itu,
semuanya langsung “mengendap” dalam bentuk fisik alat-alat ilmiah,
buku-buku, karya seni, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan
bagian dari Dunia 1. Dalam pergaulan manusia dengan sisa dunia 3
dalam Dunia 1 itu, maka Dunia 2-lah yang membuat manusia bisa
membangkitkan kembali dan mengembangkan Dunia 3 tersebut.
Menurut Popper Dunia 3 itu mempunyai kedudukannya sendiri. Dunia
3 berdaulat (autonomous), artinya tidak semata-mata begitu saja terikat
pada Dunia 1, tetapi sekaligus tidak terikat juga pada subjek tertentu.
Maksudnya Dunia 3 tidak terikat pada Dunia 2, yaitu pada orang
tertentu, pada suatu lingkungan masyarakat maupun pada periode
sejarah tertentu. Dunia 3 inilah yang merupakan dunia ilmiah yang
harus mendapat perhatian para ilmuwan dan filsuf. Kalau
diskematisasikan, maka hubungan antara ketiga Dunia (World)
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

133
Dunia 1 Dunia 2

Hipotesa, Hukum, Teori (Ciptaan Manusia)

Dunia 3

3. Thomas S. Kuhn
Pandangan Kuhn merespons pendapat Popper yang
terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui
jalan hipotesa untuk kemudian

134
diberlakukan prinsip falsifikasi. Sejarah ilmu pengetahuan
hanya dipergunakan Popper sebagai “bukti” untuk
mempertahankan pendapatnya.19 Kuhn justru lebih
mementingkan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikan.
Filsafat Ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga
dapat memahami kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah yang
sesungguhnya. Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau
kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan kumulatif
sebagaimana anggapan sebelumnya. Revolusi ilmiah itu
pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara
pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau
praktek ilmiah konkret. Menurut Kuhn cara kerja paradigma
dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan ke dalam
tahap-tahap sebagai berikut.2"
Tahap pertama, paradigma ini membimbing dan
mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal
(normal science). Di sini para ilmuwan berkesempatan
menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model
ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam
tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap
paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama
menjalankan aktivitas ilmiah itu para ilmuwan menjumpai
berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan para-
digma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan
aktivitas ilmiahnya itu, ini dinamakan anomali.
Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya
ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan

135
paradigma yang dipakai.
Tahap kedua, Menumpuknya anomali menimbulkan
krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma.
Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan
mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-
cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan
mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang
bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah
berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke
paradigma baru inilah vang dinamakan revolusi ilmiah.
Revolusi ilmiah menurut pandangan Thomas Kuhn dapat
digambarkan dalam skema sebagai berikut.

136
4. Jurgen Habermas
Pandangan Jurgen Habermas tentang klasifikasi ilmu
pengetahuan sangat terkait dengan sifat dan jenis ilmu,
pengetahuan yang dihasilkan, akses kepada realitas, dan tujuan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam hal im Ignas Kleden21
menunjukkan tiga jenis metode ilmiah berdasarkan sifat dan jenis
ilmu seperti terlihat dalam bagan berikut:

IKHTISAR EPISTEMOLOGI HERD ASAR ATAS SIFAT DAN JENIS


ILMU

Sifat Ilmu Jenis Ilmu Tujuan


Pengetahuan Akses
van
o kep.ida
dihasilkan Realitas
Informasi Observasi
Empiris- Ilmu alam dan Penguasaan
emiris sosial empii is teknik

Histoiis- Humaniora Interpretasi


hermeneutis Pengem
Pemahaman
bangan
arti via
inter
bahasa
subjektif

Sosial-kritis Ekonomi, Analisis Self-


sosiologi Reflexion
politik Pembebasan
kesadaran
11011 reflektif

Ignas Kleden22 menunjukan pandangan Habermas tentang

138
ada tiga kegiatan utama yang langsung mempengaruhi dan
menentukan bentuk tindakan dan bentuk pengetahuan manusia,
yaitu kerja, komunikasi, dan kekuasaan. Kerja dibimbing oleh
kepentingan vang bersifat teknis, interaksi dibimbing oleh kepen-
tingan vang bersifat praktis, sedangkan kekuasaan dibimbing oleh
kepentingan yang bersifat emansi- patoris. Ketiga kepentingan ini
mempengaruhi pula proses terbentuknya ilmu pengetahuan, yaitu
ilmu- ilmu empiris-analisis, ilmu historis-hermeneutis, dan ilmu
sosial kritis (ekonomi, sosiologi, dan politik).
Ilmu empiris-analitis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki satu sistem referensi vang sama, yang menentukan
arti proposisi-proposisi empiris, peraturan untuk
membangun suatu teori dan peraturan tentang pengujian
empiris yang akan dikenakan pada teori vang bersangkutan
(nomo- logis).
2. Ilmu empiris-analitis menghasilkan teori-teori vang muncul
kemudian dengan bantuan metode deduksi, dan
memungkinkan diturunkannya hipotesa-hipotesa yang lebih
banyak kandungan empirisnya.
3. Hipotesa-hipotesa ini merupakan proposisi tentang korelasi
antar variabel (kovarians) dalam suatu objek yang diamati,
yang kemudian dapat pula menghasilkan ramalan (prognose)
tertentu.
4. Arti tiap prognose terdapat dalam manfaat teknisnya,
sebagaimana yang ditentukan oleh aturan- aturan tentang
aplikasi suatu teori.
5. Kenyataan yang hendak disingkapkan oleh teori- teori
empiris-analitis adalah kenyataan yang dipengaruhi oleh
kepentingan untuk memperoleh informasi, yang diperlukan

139
untuk mengembangkan kemampuan teknis manusia dengan
bantuan suatu model feed back monitoring (suatu test empi-
ris akan mentransfer-balik konfirmasi atau falsi- fikasi
kepada hipotesa).
Pada akhirnya ilmu empiris-analitis ini akan menghasilkan
informasi-informasi, yang akan memperbesar penguasaan teknis
pada manusia.
Ilmu-ilmu historis-hermeneutis memiliki ciri-ciri berikut:
1. Jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti.
2. Ujian terhadap salah-benarnya pemahaman tersebut
dilakukan melalui interpretasi. Interpretasi yang benar akan
meningkatkan intersubjek- tivitas, sedang interpretasi yang
salah akan mendatangkan sanksi (contoh: senyum basa-basi
yang diinterpretasikan jatuh cinta!).
3. Pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman
berdasarkan pra-pengertian. Pemahaman situasi orang lain
hanya mungkin tercapai
melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih
dahulu. Pemahaman berarti mencipta- kan komunikasi
antara kedua situasi tersebut.
4. Komunikasi tersebut akan menjadi semakin intensif
apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang
hendak memahaminya diaplikasikan kepada dirinya
sendiri.
5. Kepentingan yang ada di sini adalah kepentingan untuk
mempertahankan dan memperluas inter- subjektivitas
dalam komunikasi, yang dijamin dan diawasi oleh
pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati.

140
Ilmu-ilmu historis-hermeneutis akan menghasilkan
interpretasi-interpretasi yang memungkinkan adanya suatu
orientasi bagi tindakan manusia dalam kehidupan bersama.
Ilmu-ilmu sosial-kritis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menghasilkan pengetahuan nomologis (laws of nature)
yang diturunkan dari suatu sistem referensi yang sama.
2. Meneliti apakah teori-teori yang ada (khususnya theories
of action) benar-benar menangkap korelasi tetap yang
sungguh ada dalam social action, bukan hanya
menunjukkan suatu korelasi semu yang dipaksakan secara
ideologis.
3. Tujuan yang hendak dicapai ialah mengguncang kembali
lapisan kesadaran yang sudah malas (non-

141
reflective) yang menjadi kondisi yang sangat cocok bagi
munculnya hubungan-hubungan yang bersifat
ketergantungan.
4. Tujuan tersebut dicapai melalui self-reflection.
Ilmu sosial-kritis akan menghasilkan analisis yang
membebaskan kesadaran manusia dari kungkungan kepercayaan
yang didikte oleh ketergantungan kepada kekuasaan ataupun
ketergantungan struktural. Ketiga kelompok ilmu ini, Ignas
Kleden, mempunyai hubungan kritis yang bersifat timbal-balik.
Pertama, ilmu empiris-analitis mencegah kelompok historis-
hermeneutis dari subjektivisme yang ditandai oleh interprestasi
sewenang-wenang; sebaliknya ilmu historis-hermeneutis
mencegah kelompok empiris- analitis supaya tidak terjebak ke
dalam determinisme buta. Kedua, ilmu sosial-kritis mencegah
kelompok ilmu enpiris-analitis dari pengelabuhan kesadaran
hukum ilmiah dan objektivisme, dan memberi perspektif kepada
ilmu historis-hermeneutis bahwa dunia kesadaran subjektif dan
dunia sosial adalah dua dunia yang berbeda; sebaliknya ilmu
empiris-analitis mencegah ilmu sosial-kritis dari penciptaan mitos
karena sosio-analisis yang terlampau politis.

E. Penutup
Perkembangan ilmu pengetahuan yang dirunut sejak zaman
Yunani hingga ke zaman kontemporer menunjukkan bahwa terjadi
perkembangan dalam tubuh ilmu pengetahuan (body of
knowledge) itu sendiri di satu pihak. Namun di pihak lain
spesialisasi ilmu vang semakin menajam menampakkan

142
disharmoni hubungan antara disiplin ilmu yang satu dengan disi-
plin ilmu yang lain. Keadaan semacam inilah yang perlu diatasi
melalui strategi pengembangan ilmu yang akan dipaparkan dalam
Bab berikutnya. Klasifikasi atau pengelompokkan ilmu yang
dilakukan oleh para filsuf sebagaimana dikemukakan di atas,
membuka cakrawala pengetahuan kita bahwa ilmu bukanlah
“barangjadi” yang hanya selesai dalam satu kali proses, melainkan
merupakan sebuah perjalanan panjang yang harus terus-menerus
dilihat dan di- tinjau-ulang kembali. Dengan demikian para
ilmuwan dan filsuf melibatkan diri dalam sebuah proses vang
menuntut sikap kritis dan kreatif, agar ilmu pengetahuan benar-
benar dapat menjawab tantangan zaman dan senantiasa up to date.

Catatan Kaki:
'Kuhn, 1989, h. xi.
-Hatta, 1979, h. 17-23.
'Ali Kettani, 1984, h. 85.
4
Slamet Iman Santoso, 1997, 65.
’Toeti Heraty, 1997, h.6 "Trout 1993,
h. 463.
Baiquni, 1994, h. 14. sRunes, 1979, h.
196.
"Sontag, 1987, h. 141.
"'Gaston Bachelard, 1984, h. 2.
"Daoed Joesoef, 1987, h. 25-26. '-Van
Melsen, 1985, h. 65-66. '’Lyotard,
1979, h. 43.
14
Hatta, 1979, h. 29.
' 'Hatta. 1979, h. 32.
'hPatterson, 1971, h. 53-54. '"Koento
Wibisono, 1983, 24-25. IKVerhaak,
dkk., 1995, h. 162. '"Verhaak, dkk.,
1995, h. 164. -"Ibid, h. 165.
’'Ignas Kleden, 1987, h. 36. --Ibid, h.
32-35.
Sumber Acuan
Bahm, Archie, J., 1986, Metaphysics: An Introduction. Harper
and Row Publishers, Albuquerque.
Bahm, Archie,J., 1995, Epistemology: Theory of Knowledge,
Harper and Row Publishers, Albuquerque.
Bakker, Anton, tt, Filsafat Sejarah Sistematik, Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bakker, Anton, 1992, Ontologi: Metafisika Umum, Kanisius,
Yogyakarta.

Bertens, K., 1992, “Mengajar Filsafat Apa Gunanya?”, dalam


Moedjanto, dkk., Tantangan Kemanusiaan Universal,
Cetakan ke-2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Bertens, Kees, 1993, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Blackburn, Simon, 1994, The Oxford Dictionary of Philosophy, The

144
Oxford University Press.
%
Daoed Joesoef, 1987, “Pancasila Kebudayaan, dan Ilmu
Pengetahuan”, dalam Pancasila Sebagai Orientasi
Pengembangan Ilmu, Editor: Soeroso Prawirohardjo,
dkk., PT Badan Penerbit Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta.

Habermas, Jurgen, 1979, Communication and the Evolution of


Society, Beacon Press, Boston.
Ignas-Kleden, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES,
Jakarta.
Koento Wibisono, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press.
Kuhn, Thomas, S., 1989, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,
Penerjemah: Tjun Suijaman, Remadja Karya, Bandung.
Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Milton D. Hunnex, 1986, Chionologicaland Thematic Charts
ofPhilosophies and Philosophers.
Mohammad-Hatta, 1979, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan,
Cetakan Keenam, Penerbit Mutiara, Jakarta.
Patterson, Charles H., 1971, Western Philosophy, Volume II, Cliff s
Notes Inc., Nebraska.

Runes, D., 1979, Dictionary of Philosophy, Littlefield Adams dan Co,


Totowa, Newjersey.

Root, Michael, 1993, Philosophy of Social Science, Blackwell


Publishers, Cambridge.

145
Situmorang,Joseph, MMT., 1996, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai”,
dalam Majalah Filsafat DRIYARKARA, Th. XXII No. 4, Jakarta.
Slamet-Imam-Santoso, 1977, Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan,
Sastra Hudaya, Jakarta. Soejono Soemargono, 1984, Berpikir
Secara Kefilsafatan, Nurcahaya, Yogyakarta.
Soejono Soemargono, 1987, Filsafat Pengetahuan, Nurcahaya,
Yogvakarta.
Sontag, Frederick, 1984, Elements of Philosophy, Charles Schribner’s
Son, New York.
The Liang Gie, 1982, Dari Administrasi ke Filsafat, Cetakan ke-3,
Penerbit Super Sukses, Yogya- karta.Toeti Heraty, 1994, Dialog
Filsafat dengan Ilmu-ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar Meta-
Metodologi, Universitas Indonesia, Jakarta.

Verhaak, C. & Haryono Imam, 1995, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah


Keija Atas Keija Ilmu-ilmu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
White, Alan, R., 1987, Methods of Metaphysics, Croom Helm Ltd, New
York.
BABVI

Strategi Pengembangan Ilmu

A. Pengantar
Setiap kali berbicara tentang strategi pengembangan ilmu, maka
146
pertanyaan pertama yang muncul di benak kita yaitu: apakah ilmu itu
bebas nilai atau tidak? Sebab kedua cara pandang yang berbeda itu
membawa implikasi yang berbeda pula dalam strategi pengembangan
ilmu yang dipilih. Kadangkala orang mengaitkan pilihan antara bebas
atau tidak bebas nilai itu dengan jenis ilmu yang dikembangkan. Artinya,
ilmu-ilmu sosial dipandang lebih banyak terkait dengan masalah-masalah
sosial, sehingga lebih kuat keterkaitannya dengan masalah nilai.
Sedangkan ilmu-ilmu eksak, nyaris terlepas dari intervensi sosial,
sehingga dipandang lebih bebas nilai. Apakah pendapat yang demikian
itu dapat diterima atau tidak, tentu pembuktian di lapangan sangat
menentukan bahwa ilmu-ilmu eksak sekalipun tidak kalis terhadap
kepentingan sosial, sehingga sedikit banyak terikat pula dengan nilai-
nilai.

A. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak?


Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Descartes dengan sikap
skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang
sedang ragu- ragu, Cogito Ergo Sum. Sikap ini berlanjut pada masa
Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai
pemahaman rasional tentang dirinya dan alam. Aufklarung, ujar Alex
Lanur, mewarisi pandangan Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan,
pada hakikatnya ilmu pengetahuan itu harus berdaya- guna, operasional;
karena pengetahuan itu bukan demi pengetahuan itu sendiri. Kebenaran
bukanlah kontemplasi melainkan operation, to do business. Kebenaran
berdaya-guna hanya berhasil dalam proses eksperimentasi.1 Sikap ini
melahirkan pragmatisme dalam dunia ilmiah, yakni perkembangan ilmu
dianggap berhasil manakala memiliki konsekuensi-konsekuensi
pragmatis. Keadaan ini menggiring ilmuwan pada sikap menjaga jarak
terhadap problem nilai secara langsung.
147
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas
nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi
nilai yang i ele- van (value-relevant). Weber tidak yakin ketika para
ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis
mengenai bidang ilmu sosial itu mereka tidak terpengaruh oleh
kepentingan-kepen- tingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai itu harus
diimplikasikan bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktek itu
mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan
segelintir orang, budaya, moral atau politik yang mengatasi hal-hal
lainnya, maka ilmuwan sosial tidak beralasan mengajarkan atau
menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak
mempunyai hubungan objektivitas ilmiah.2 Weber sendiri mengatakan-
seba- gaimana yang disitir Michael Root sebagai berikut.3
“Persoalan-persoalan disiplin ilmu empirik adalah bahwa ia
dipecahkan, bukan secara evaluatif. Mereka bukanlah persoalan evaluasi,
tetapi persoalan- persoalan ilmu-ilmu sosial dipilih atau ditentukan
melalui nilai yang relevan dari fenomena yang ditampilkan. Ungkapan
‘relevansi pada nilai-nilai’ (relevance to values) mengacu pada
interpretasi filosofis dari kepentingan ilmiah yang bersifat khusus,
kepentingan- kepentingan tersebut menentukan pilihan dari pokok
masalah dan persoalan-persoalan analisis empiris yang diajukan".
Istilah “relevansi pada nilai-nilai” yang diajukan oleh Weber
mengacu pada nilai-nilai yang diajukan para ilmuwan sosial sebagai
suatu alasan untuk mendukung suatu persoalan atau studi guna mengatasi
hal lainnya; tetapi nilai-nilai itu sendiri tidak diperlukan oleh para
ilmuwan itu sendiri. Sebagai contoh: beberapa psikolog di Universitas
Minnesota mempelajari hubungan antar intelegensi dan faktor gen, tetapi
tidak mempunyai kepentingan dengan bidang eugenetika. Di pihak lain
perdana menteri Singapura berkepentingan dan sangat mendukung studi

148
tersebut, karena ia percaya bahwa temuan para pakar psikologi itu sangat
relevan dengan rencananya untuk mempromosikan mengenai bidang
eugenetika di negaranya.
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas
nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas
merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedang di pihak lain subjek
yang mengembangkan ilmu (ilmuwan) dihadapkan pada nilai-nilai yang
ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang
dibuatnya. Oleh karena itu perlu dirumuskan terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan bebas nilai (valuefree) itu.Josep Situmorang4
menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan
ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu
pengetahuan menolak campurtangan faktor eksternal yang tidak secara
hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga
faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu:
Pertama, ilmu harus bebas dari pengandaian- pengandaian yakni
bebas dari pengaruh eksternal seperti: faktor politis, ideologi, agama,
budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya. Kedua, perlunya kebebasan
usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri. Ketiga,
penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding
menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat
universal.
Indikator pertama dan kedua menunjukkan upava para ilmuwan
untuk menjaga objektivitas ilmiah, sedangkan indikator kedua
menunjukkan adanya faktor X yang tak terhindarkan dalam perkem-
bangan ilmu, yaitu pertimbangan etis (ethical Judgement). Hampir dapat
dipastikan bahwa mustahil bagi para ilmuwan untuk menafikan
pertimbangan etis ini, karena setiap ilmuwan memiliki hati nurani
sebagai institusi moral terkecil yang ada dalam dirinya sendiri.
149
Indikator lain yang dicoba hindari oleh kebanyakan ilmuwan,
namun kehadirannva sulit untuk ditolak adalah kekuasaan. Kekuasaan
memainkan peran besar dalam perkembangan ilmu —baik secara lang-
sung maupun tidak — karena para ilmuwan sulit untuk memancangkan
bendera otonomi ilmiah di dalam suatu negara vang meletakkan
kekuasaan sebagai faktor yang dominan dalam mengambil suatu kebi-
jakan. Kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara kedua belah
pihak-ilmuwan dengan klaim kebenaran (truth claimrnya.) sedang
penguasa dengan klaim kewenangan (authority claim) berpeluang besar
untuk terjadi. Di negara-negara yang sedang berkembang konflik itu
hampir dapat dipastikan dimenangkan oleh pemegang kekuasaan, karena
para otoritas ilmuwan hanya sebatas lingkup akademik yang terletak
dalam lingkup yang lebih besar, yakni kekuasaan (otoritas politik).
Habermas berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah
bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl
yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan
sebagai kenyataan yang sudah jadi (scientisme). Fakta atau objek itu
sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan primordial dalam
pengalaman sehari- hari, dalam Lebenswelt atau dunia sebagaimana di-
hayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswt'lt itu s<
jumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan-
kepentingan praktis. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu
pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan-kepentingan
teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas
sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu sejarah dan hermeneu- tika
juga ditentukan oleh kepentingan-kepentingan praktis kendati dengan
cara yang berbeda. Kepentingannya ialah memelihara serta memperluas
bidang saling pengertian antar manusia dan perbaikan komunikasi.
Setiap kegiatan teoritis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu
mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga
150
bidang, yaitu: (1) pekerjaan, (2) bahasa dan, (3) otoritas. Pekerjaan
merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam; bahasa merupakan
kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika; sedang otoritas merupakan
kepentingan ilmu sosial.5

B. Strategi Pengembangan Ilmu di Indonesia


Model pengembangan ilmu sangat terkait dengan pembangunan,
sebab ilmu merupakan prasyarat bagi pembangunan. Ilmu membimbing
aktivitas manusia dalam pembangunan, baik pembangunan fisik maupun
nir-fisik. Oleh karena itu strategi pengembangan ilmu di Indonesia
merupakan faktor yang sangat penting.
Beberapa syarat yang dibutuhkan bagi strategi pengembangan ilmu
di Indonesia yaitu:
Pertama, terbentuknya masyarakat ilmiah yang memiliki kekuatan
tawar-menawar (Bargainingpower), baik dengan pemerintah maupun
dengan perusahaan-perusahaan besar. Di sinilah letak pentingnya Ilmu
pengetahuan sebagai masyarakat sebagaimana yang ditengarai oleh
Daoed Joesoef. Salah seorang tokoh
Postmodernisme, Jean Francois Lyotard,6 sangat memperhatikan
persoalan ini. Ia menegaskan bahwa transformasi ilmu pengetahuan
akan memperhatikan akibat pada kekuatan publik yang ada, kekuatan
mereka ini, terutama civil society, akan dipertimbangkan kembali
dalam hubungan (baik de jure maupun de facto) dengan perusahaan-
perusahaan besar. Muhammad A.S. Hikam7 mengatakan bahwa istilah
civil society (masyarakat madani) dalam tradisi Eropa sampai abad ke-
18 mengacu pada pengertian suatu kelompok/kekuatan yang
mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Istilah civil society
pernah dipahami secara radikal, yaitu sebagai kelompok yang
menekankan aspek kemandirian dan perbedaan posisinya sedemikian
151
rupa sehingga menempatkan posisinya sebagai antitesa dari negara.
Bagi Marx, yang dimaksud civil society adalah kelas borjuasi. Dalam
pengertian ini civil society didefinisikan sebagai wilayah-wilayah
kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan: kesukarelaan
(voluntary), keswasem- badaan (self-generation), dan
keswasembadaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan
dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai
hukum yang diikuti warganya. Akar civil society di Indonesia bisa
dirunut secara historis pada tokoh-tokoh pergerakan nasional yang
membentuk organisasi sosial modern di awal abad ke-20. Sedangkan
dewasa ini yang dimaksud civil society lebih
mengacu pada LSM yang jumlahnya mencapai lebih dari 10.000, namun
kedudukan mereka masih lemah manakala dihadapkan dengan kekuatan
negara. Kelompok cendekiawan yang diharap dapat berperan sebagai
aktor pelopor perkembangan civil society di Indonesiajuga masih lemah,
karena minimnya pemikiran-pemikiran alternatif yang mereka tawarkan,
mereka justru lebih dekat dengan pusat kekuasaan, karena tidak hendak
memikul resiko menentang kebijakan pemerintah. Cendekiawan yang
berumah di atas angin (meminjam istilah Rendra) tidak begitu besar
perannya dalam menentukan kebijakan pembangunan di Indonesia.
Mereka nyaris tidak memiliki bargaining power dengan pemerintah.
Namun ketika arus reformasi berhasil mendobrak kekuasaan yang terlalu
mendominir kehidupan masyarakat hingga ke dunia akademik, maka arus
perubahan itu telah berhasil menciptakan kemandirian yang tinggi di
kalangan akademik.
Kendatipun demikian masih ada sebagian kecil kelompok
masyarakat ilmiah justru berada pada pusat- pusat kekuasaan pemerintah
di Indonesia, mengingat para birokrat di pemerintahan sekaligus adalah
ilmuwan atau yang biasa dikenal dengan istilah kelompok elit. Dalam hal

152
kelompok elit ini Saafroedin Bahar mengutip pendapat Robert D Punam
yang menyebutkan tiga cara untuk mengenal apakah seseorang itu
termasuk ke dalam kelompok elit atau tidak, yaitu (1) analisis posisi
formal, kedudukan resminya dalam pemerintahan; (2) analisis reputasi,
peranannya yang bersifat informal dalam masyarakat; (3) analisis kepu-
tusan, peranan yang dimainkannya dalam pembuatan atau penentangan
terhadap keputusan politik.8
Kedua, pengembangan ilmu di Indonesia tidak bebas nilai (value-
free), melainkan harus memperlihatkan landasan metafisis,
epistemologis, dan aksiologis dari pandangan hidup bangsa Indonesia.
Van Melsen9 menekankan pentingnya hubungan antara ilmu
pengetahuan dengan pandangan hidup, karena ilmu pengetahuan tidak
pernah dapat memberikan penyelesaian terakhir dan menentukan,
lantaran tidak ada ilmu yang mendasarkan dirinya sendiri secara absolut.
Di sinilah perlunya pandangan hidup, terutama peletakan landasan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi ilmu pengetahuan,
sehingga teijadi harmoni antara rasionalitas dengan kearifan.
Ketiga, pengembangan ilmu di Indonesia haruslah memperhatikan
relasi antar ilmu tanpa mengorbankan otonomi antara masing-masing
disiplin ilmu. Di sini diperlukan filsafat sebagai mediator, terutama
bidang Filsafat Ilmu. Dalam hal ini Gaston Bachelard10 menegaskan
perlunya hubungan yang erat antara ilmu dengan filsafat. Filsafat,
ujarnya, harus mampu memodifikasi bahasa teknisnya agar dapat
memahami perkembangan ilmu dewasa ini. Sebaliknya ilmu
pengetahuan harus dapat memanfaatkan kreativitas filsafat. Di sinilah
diperlukan filsafat ilmu, sebab filsafat ilmu mendorong upaya ke arah
pemahaman disiplin ilmu lain, interdisipliner sistem.
Keempat, pengembangan ilmu di Indonesia harus memperhatikan
dimensi religiusitas, karena masyarakat Indonesia masih sangat kental
dengan nuansa religiusitasnya. Walaupun bisa terjadi kendala pe-
153
ngembangan ilmu yang disebabkan oleh agama dalam arti eksoteris
(lembaga atau pranata keagamaannya), bukan dalam arti esoteris (hakikat
keagamaan itu sendiri). Oleh karena itu dimensi esoteris keagamaan perlu
digali agar masyarakat ilmiah dapat memadukan dimensi ilmu
pengetahuan dengan nilai-nilai religius atau mengembangkan sinyal-
sinyal yang terkandung secara implisit dalam ajaran agama tentang
manfaat ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

C. Penutup
Uraian yang dikemukakan di atas merupakan kilas balik dari
perkembangan ilmu pengetahuan yang memerlukan interpretasi secara
terus-menerus. Strategi pengembangan ilmu di masa mendatang tidak
boleh mengulangi kesalahan yang pernah di perbuat di Barat, terutama
pandangan yang menganggap ilmu itu bebas nilai, sejak tokoh-tokoh
pada zaman Renaissance merasa tidak perlu lagi berhubungan dengan
agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Di pihak lain, intervensi
nilai yang berlebihan ke dalam pengembangan ilmu hanya akan
menjadikan ilmu sebagai wadah berbagai kepentingan, terutama
kepentingan yang semata-mata ideologis, sehingga para ilmuwan menjadi
terpasung dalam kungkungan ideologis atau kepentingan politis semata.
Pengembangan ilmu di Indonesia memang tidak boleh tercerabut
dari akar budaya bangsa Indonesia sendiri, terutama nilai-nilai Pancasila.
Namun Pancasila seyogyanya lebih berperan sebagai rambu-rambu yang
dapat memelihara nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Demokratis, dan Keadilan; tanpa mengurangi otonomi dan kreativitas
ilmu itu sendiri. Pengembangan ilmu di Indonesia seyogyanya tidak
berorientasi pada tujuan, melainkan lebih berorientasi pada pengabdian
umat manusia. Rasionalitas ilmiah tidak boleh mengorbankan nilai-nilai
spiritualitas keagamaan, nilai kemanusiaan, wawasan kebang- saan,
154
demokratisasi, dan cita-rasa keadilan; sebab tidak semua masalah bisa
diselesaikan dengan rasionalitas. Masih ada beberapa faktor lain di
samping ilmu pengetahuan, yang menggiring manusia untuk mencapai
kebahagiaan, antara lain: agama, seni, hubungan kemasyarakatan. Oleh
karena itu strategi pengembangan ilmu yang baik adalah gerak rasionali-
sasi yang beriringan dengan spiritualisasi, ekspresi keindahan, dan
sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan.
Sumber Acuan
Alex Lanur, 1997, “Mazhab Frankfurt”, dalam Majalah Filsafat
DRIYARKARA, Th. XXIII No. 1, Jakarta.
Bachelard, Gaston, 1984, The New Scientific Spirit, Beacon Press,
Boston.
Lyotard, Jean-Francois,1979, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, Mancheester University Press.
Muhammad AS Hikam, 1997, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES,
Jakarta.
Saafroedin Bahar, 1997, “Elit dan Etnik serta Negara- Nasional”, dalam
PRISMA, LP3ES, Jakarta.
Situmorang, Joseph, MMT, 1996, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai”,
dalam Majalah Filsafat DRIYARKARA, Th. XXII No. 4, Jakarta.
Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita,
Diterjemahkan oleh: Bertens, Gramedia, Jakarta.

- ♦♦ -

155
Drs. Rizal Mustansyir M.Hum.
Lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, 24 Agustus 1954. Pendidikan
51- nya ditempuh di Fakultas Filsafat UGM, selesai tahun 1985 dan
52- nva, Filsafat UGM, selesai tahun 1995. Dosen Filsafat Ilmu di
Fakultas Filsafat UGM ini pernah menjabat sebagai Pimpinan
Redaksijurnal Filsafat (1990-1996) dan Pimpinan Redaksi Jurnal Pusat
Studi Pancasila (1997 - 2000). Karyanya yang pernah dipublikasikan
adalah Filsafat Analitik, Rajawali Press, Jakarta,
tahun 1987; Filsafat Bahasa, Prima Karya,
Jakarta, tahun 1988.

Drs. Misnal Munir M.Hum.


Lahir di Solok, Sumatra Barat, pada 8 Oktober
1958. Ia menvele- saikan pendidikan SI Filsafat
UGM, tahun 1985, dan S2 Filsafat di perguruan
yang sama. Hingga sekarang ia tercatat sebagai
Staf Pengajar di Fakultas Filsafat UGM,
Yogyakarta. □

156

Anda mungkin juga menyukai