Konseling Lintas Budaya
Konseling Lintas Budaya
KONSELING
LINTAS BUDAYA
2023
PROGRAM STUDI
BIMBINGAN Universitas
DAN KONSELING Islam
Assyafi'iyah
Daftar Isi
Pendahuluan 3
BAB I Konseling Integratif Model
A. Latar Belakang Sejarah Konseling Integratif 4
B. Definisi Konseling Integratif 4
C. Tujuan Konseling Integratif 5
D. Tahapan-tahapan Konseling Integratif 6
E. Teknik-teknik Konseling Integratif 7
F. Kelebihan dan Kelemahan Konseling Integratif 9
BAB II Konseling Pendekatan Universal
A. Pendahuluan 11
B. Pengertian Kebudayaan 11
C. Kesamaan di antara Populasi Khusus 12
D. Konseling Pendekatan Universal 14
E. Komponen Dalam Konseling Pendekatan Universal 17
F. Kesimpulan 19
BAB III Konseling Multikultural Pendekatan Emik
A. Pengertian Konseling Pendekatan Emik 21
B. Tujuan Konseling Pendekatan Emik 22
C. Konsep Dasar dan Hakikat Manusia 23
D. Metode Layanan Konseling Pendekatan Emik 25
E. Peran Konselor dalam Konseling Pendekatan Emik 25
F. Faktor-Faktor dalam Pendekatan Konseling Emik 26
G. Kritik Para Ahli Terhadap Konseling Pendekatan Emik 27
H. Contoh Kasus Isu Etik dan Emik 28
BAB IV Konseling Transkultural
A. Latar Belakang Sejarah Konseling Transkultural 30
B. Definisi Konseling Transkultural 31
C. Kebutuhan Konseling Transkultural 32
D. Pendekatan Konseling Lintas Budaya 33
E. Konteks Transkultural Dan Definisi Diri 34
F. Peran Identitas Gender Dalam Intervensi Konseling 35
G. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya 36
1
BAB V Konseling Culture Centered
A. Pendahuluan 38
B. Pengertian Budaya 39
C. Tahapan dalam berpusat pada budaya 40
D. Konseling Berpusat pada Budaya: Sadar Diri 41
E. Memahami Pandangan Dunia Konseli 43
F. Psikoterapi Berpusat Budaya 44
G. Kesimpulan 45
BAB VI Konseling Etnomedikal Model
A. Latar Belakang Konseling Etnomedikal Model 47
B. Definisi Konseling Etnomedikal Model 48
C. Jenis Konseling Etnomedikal Model 48
D. Macam-macam Pengobatan Pada Konseling 49
E. Fungsi Model Ethnomedical 50
F. Persyaratan Konselor 50
Daftar Pustaka 51
2
PENDAHULUAN
Pada situasi lintas budaya, konselor perlu memiliki kepekaan budaya dan
bisa terbebas dari bias budaya. Konselor juga perlu memahami dan
mengapresiasi keberagaman budaya, dan berbagai keterampilan yang
dibutuhkan. Konselor perlu memahami dirinya dan bias budaya dirinya
terlebih dahulu sebelum memahami konseli. Konselor juga perlu
memahami sejauh mana ia perlu intervensi budaya konseli. Dengan
demikian, diperlukan pengetahuan mengenai berbagai pendekatan atau
model konseling lintas budaya yang akan dijelaskan dalam buku ini.
3
BAB I
4
Menurut Palmer (2008) konseling integratif adalah menggambarkan
integrasi dua atau lebih terapis atau integrasi teknik-teknik konseling
(eklektisisme teknik), atau integrasi terapi. Konseling integratif tidak
terikat pada terapi tunggal karena para prakteknya mempunyai
pandangan bahwa tak ada pendekatan tunggal yang bisa bekerja untuk
setiap konseli dalam setiap situasi. Pendekatan terpadu atau integratif
adalah menggabungkan keterampilan-keterampilan dari berbagai
pendekatan terapis.
5
Dapat disimpulkan tujuan utama dari konseling integratif yaitu
membantu konseli mengembangkan sejumlah kemungkinan untuk masa
depan yang lebih baik, untuk mengeksplorasi hal tersebut dan
menentukan pilihan-pilihan, mendorong konseli untuk bisa menolong
dirinya sendiri dan mengembangkan kemandiriannya, serta strategi.
4. Tahap Perencanaan
6
5. Tahap Tindakan atau Komitmen
1. Eklektisisme (Eclecticism)
7
teoritis tersebut terapis mengembangkan model intervensi.
Dengan cara tertentu, terapis mengembangkan modelnya sendiri
berdasarkan memberikan sintesis konseptual yang kontribusi
terhadap model yang telah dikembangkan sebelumnya. Pada
permasalahan yang ada saat ini, terapis dengan konsisten dapat
mencari cara ketika sistem keluarga dan kognisi yang maladaptif
memberikan kontribusi terhadap stres pada konseli. Intervensi
yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa
kedua model secara bersamaan.
8
b. Konseling Non-direktif. Dalam metode ini konseli diberikan
peranan utama dalam bidang interaksi dalam bimbingan,
seorang pembimbing hanya menampung pembicaraan yang
berperan aktif adalah konseli itu sendiri
c. Konseling Eklektik. Metode yang mengkombinasikan
menurut keperluannya agar konseling berhasil secara efektif
dan efisien, tentu harus melihat konseli yang akan dibantu
atau dibimbing dan melihat masalah yang dihadapi konseli
dalam bimbingan tersebut.
1. Kelemahan
a. Pendekatan konseling integratif adalah teori konseling yang
tidak memiliki teori atau prinsip khusus tentang kepribadian.
b. Dibutuhkan konselor yang benar-benar profesional karena
menjadi mahir dalam penerapan satu pendekatan konseling
tertentu sudah cukup sulit bagi seorang konselor, apalagi
mengembangkan suatu pendekatan konseling yang
memadukan unsur-unsur dari berbagai pendekatan
konseling.
c. Konseli dapat merasa bingung bila konselor mengubah-ubah
siasatnya sesuai dengan keadaan konseli pada fase-fase
tertentu dalam proses konseling.
d. Masih diragukan apakah konselor mampu menentukan siasat
yang paling sesuai hanya berdasarkan reaksi dan tanggapan
konseli pada saat tertentu selama proses konseling
berlangsung.
2. Kelebihan
a. Dapat menciptakan suatu sistematika dalam memberikan
layanan konseling.
b. Proses konseling bersifat efektif karena
menetapkan/memadukan berbagai pendekatan dengan
menggunakan berbagai variasi prosedur dan teknik sehingga
9
dapat melayani konseli sesuai dengan kebutuhannya dan
sesuai dengan ciri khas masalah yang dihadapi.
c. Konselor dianggap lebih fleksibel karena dapat berada dalam
continue dari direktif dan nondirektif.
10
BAB II
A. Pendahuluan
11
dibantu, maka pentingnya wawasan seorang konselor guna
mengentaskan masalah konseli dengan optimal. Wawasan lintas budaya
merupakan suatu keharusan dan begitu penting untuk dimiliki konselor,
hal ini disebabkan konseli yang dijumpai hadir dengan latar belakang
budaya yang berbeda-beda. Berangkat dari hal tersebut, pentingnya
memahami lebih jauh konseling lintas budaya dan beberapa pendekatan
yang ada didalamnya.
B. Pengertian Kebudayaan
12
jenis kelamin, usia, orientasi seksual, keyakinan agama, etnis, ras, dan
status ekonomi semuanya membentuk realitas budaya seseorang. Semua
orang berpartisipasi dalam budaya, dan pengalaman budaya setiap orang
memiliki validitas. Tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk
dari yang lain (Ahia, 1984).
13
Banyak orang termasuk dalam kelompok budaya yang memiliki
kesamaan dengan “menjadi berbeda”; misalnya, pria gay dan lesbian,
penyandang disabilitas atau “difabel”, manula, dan orang miskin.
Anggota grup ini yang tidak sesuai dengan struktur kekuasaan budaya
dominan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, prasangka, atau
pengabaian.
14
Christensen (1989) memberikan gambaran tentang proses
pengembangan identitas bagi anggota kelompok mayoritas dan
minoritas. Dia menyatakan bahwa “tugas perkembangan utama untuk
semua melibatkan penemuan dan integrase makna pribadi dan sosial
politik dari etnis, budaya, dan ras seseorang karena ini mempengaruhi
diri sendiri dan orang lain”. Penting untuk diketahui bahwa proses
kesadaran budaya ini adalah jalan dua arah; konselor dalam pelatihan
harus terlibat dalam pengetahuan diri serta memiliki pemahaman tentang
pengalaman budaya minoritas.
Tak sedikit para ahli dan praktisi lintas budaya berbeda paham
dalam menggunakan pendekatan universal atau etik ini, Fukuyama
(1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa
pendekatan inklusif disebut pula konseling “transkultural” yang
menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh
literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan
Teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki
perbedaan budaya dominan.
15
Bidang konseling multikultural berada pada tahap awal
konseptualisasi konseling dalam perspektif transkultural. Satu dari
pelopor dalam bidang konseling untuk mengambil pendekatan universal
adalah Clemmons Vontress (1979, 1985, 1988). Vontress (2988)
mengadopsi kerangka kerja eksistensial yang menekankan kemanusiaan
bersama dari keberadaan. Pengalaman manusia digambarkan dengan
konsep “unwell” (lingkungan fisik), “mitwelt” (dunia interpersonal), dan
“eigenwelt” (dunia batin seseorang). Dunia yang saling terkait ini
menyediakan premis dimana konselor dapat menilai “mode keberadaan”
konseli mereka dan efektivitas mereka dalam hidup.
16
pemanfaatan penolong asli, dan penyelesaian masalah sesuai dengan
kriteria konseli. Penolong professional diidentifikasi sebagai milik
subkultur yang terpisah. Green (1982) merekomendasikan agar penolong
professional menyadari keterbatasan budaya mereka sendiri, terbuka
terhadap perbedaan budaya, fleksibel, menggunakan sistem bantuan
alami konseli, dan mempelajari kompetensi multikultural melalui
penggunaan panduan budaya dan observasi partisipan.
17
kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan,
bahasa verbal maupun non-verbal dan termasuk bias-bias yang
dibawa dari budayanya. Dapat diasumsikan bahwa semakin
banyak kesesuaian (congruence) antara konselor dengan konseli
dalam hal-hal tersebut (baik psikologis maupun sosial-budaya),
maka akan semakin besar kemungkinan konseling akan berjalan
efektif; dan demikian sebaliknya
2. Pengetahuan Konselor tentang pengetahuan budaya
konsumennya, yaitu unsur keberwawasan budaya dalam
merancang dan mengimplementasikan program bimbingan dan
konseling. Perlunya, terlebih dahulu dilakukan pengkajian dalam
rangka menjawab tantangan utama bagi seorang konselor,
Pengkajian dapat dilakukan baik dalam bentuk studi literatur,
pengamatan intensif, maupun secara partisipasi dalam pergaulan
dengan khalayak konselital. Pengkajian yang dimaksud terutama
difokuskan atau untuk menjawab tantangan, bahwa konselor yang
bekerja dengan individu yang berbeda dengan latar belakang
budayanya, hendaknya mampu dan sanggup mendemonstrasikan
pemahaman dan apresiasinya terhadap perbedaan budaya.
Supriatna, (2011:177).
3. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan
pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya
konseli. Konselor perlu memiliki kompetensi minimum dalam
melakukan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya
konseli, diantaranya yaitu:
18
b. Pengetahuan Konselor yang efektif secara multikultural: Yaitu,
konselor paham tentang dampak konsep penindasan dan
rasial pada Kesehatan mental dalam kehidupan pribadi dan
profesional konseli, mengerti hambatan institusional, yaitu
setiap kelompok minoritas berhak mendapat pelayanan
psikologi secara penuh di masyarakat. Selain itu, konselor
paham ciri dasar dari konseling lintas budaya, berwawasan
budaya dan mempengaruhi proses konseling.
F. Kesimpulan
19
Hal di atas menggambarkan bagaimana banyaknya aspek yang
mempengaruhi suatu layanan konseling dapat berjalan secara efektif.
20
BAB III
21
Secara sangat sederhana emik mengacu pada pandangan
warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada
pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam hal ini memang
menawarkan sesuatu yang lebih objektif. Karena tingkah laku
kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut
pandangan orang yang dikaji itu sendiri berupa definisi yang
diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri.
Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan
dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji
dan bukan dipaksakan secara etnosentrik. Emik mengacu pada
kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific). Karena
implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik
dan etik merupakan konsep-konsep yang kuat (powerful).
22
lebih baik dan menghasilkan hasil yang mendukung adaptasi
dalam budaya konseli daripada pendekatan etik murni (Ridley et
al., 1994). Menurut Nwachukwu dan Ivey (1991), konseling
spesifik budaya meminta pertanyaan seperti "Bagaimana budaya
tertentu memandang hubungan membantu?", dan "Bagaimana
budaya tertentu memecahkan masalah secara tradisional?" (hal.
107). Tujuan dari konseling budaya khusus adalah untuk
mengurangi stereotip negatif dan, pada gilirannya menghasilkan a
pemahaman yang lebih kompleks tentang budaya lain. Ridley
dkk. (1994)' menambahkan bahwa pendekatan emik ini juga
dapat mengurangi kemungkinan konselor memaksakan etika
kultural nilai-nilai pada konseli dan bahwa konselor terlatih
dalam tradisi emik mungkin kurang rentan terhadap secara tidak
sengaja melanggengkan penindasan budaya yang terkait dengan
penggunaan pendekatan konseling.
23
etik. Artinya, orang dari budaya yang berbeda memang
menemukan cara yang berbeda-beda dalam kebanyakan aspek
perilaku manusia. Akan tetapi, Setiap budaya berevolusi dengan
cara khasnya masing-masing untuk “menangani” perilaku
manusia dengan gaya yang paling efisien dan sesuai agar sukses
bertahan hidup. Cara-cara ini akan berbeda tergantung pada
kepadatan penduduk, ketersedian makanan dan sumber-sumber
lain, dan seterusnya. Karena pasti menghadapi kebutuhan yang
berbeda dalam lingkungannya, setiap kebudayaan akan
mengembangkan perbedaan-perbedaan yang kemudian
berdampak pada orang-orang dalam kebudayaan tersebut.
24
D. Metode Layanan Konseling Pendekatan Emik
1. Relasi terapeutik.
2. Saling berbagi cara pandang antara konseli dengan konselor.
3. Ekspektasi konseli untuk perubahan yang positif.
4. Intervensi yang dipercaya baik oleh konseli maupun konselor
sebagai alat untuk sembuh.
25
minoritas yang tumbuh di tingkat yang stabil dan meningkat.
Hasil dari sensus Kanada tahun 1991 menggambarkan bahwa di
Selain orang-orang Aborigin dan kelompok pendiri Inggris dan
Prancis, ada berbagai macam kelompok etnis yang mewakili
populasi Kanada (Esses & Gardner, 1996). Orang Jerman, Italia,
Belanda, Ukraina, Cina, dan Indo-Pakistan hanya sedikit dari
kelompok-kelompok yang membangun komposisi etnis Kanada.
Kompetensi konseling multikultural dan deskripsi dari empat
domain biasanya diteliti (kesadaran, keterampilan, pengetahuan,
dan hubungan konseling). Bagian ini akan diakhiri dengan
pengenalan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi tingkat
kompetensi multikultural.
26
G. Kritik Para Ahli Terhadap Konseling Pendekatan Emik
27
menempatkan konseli mereka pada risiko. Keyakinan kemudian
dapat tumbuh dalam diri konselor ketika menentukan bagaimana
menilai dan memenuhi kebutuhan konseli mereka. Selain itu,
stereotip dan bias dalam konselor mungkin muncul.
(Januszkowski, 2000)
28
kebudayaan konseli, sedangkan etik mengacu pada pandangan
konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses
konseling.
29
BAB IV
KONSELING TRANSKULTURAL
Laras Kinasih Syahrir, Siti Salfira, Alfiah Sarah Zainida, Arrum Rufaedhatul MM, Nur
Oktaviani, Putri Permata Hati, Sania Yulianti
30
mis. Perspektif "Eurosentris", tetapi menganalisis setiap
fenomena dari yang berbeda, mis. “subaltern”, sudut pandang
dengan tujuan mengungkap dan mewakili secara memadai
kompleksitas hubungan manusia dan persepsi terkait.sepenuhnya
mengungkapkan dan mengungkapkan kompleksitas hubungan
manusia dan persepsi yang terkait dengannya.
31
tertentu menjadi bermakna (Ibrahim, 1991). Tanpa pandangan
dunia sebagai variabel mediasi, baik pengetahuan tentang budaya
tertentu dan teknik budaya tertentu dapat menjadi disalahgunakan,
yang mengarah pada tuduhan pelanggaran etika dan penindasan
budaya.
32
dan bias yang dimiliki konselor, dan ketidakmampuan terapis
untuk memberikan bentuk pengobatan yang responsif secara
budaya. Ketidakcukupan ini dikaitkan dengan model pelatihan
yang telah dikembangkan untuk kelompok mayoritas di Amerika
Serikat (Ibrahim, Stadler, Arredondo, & McFadden, 1986;
Ponterotto & Casas, 1987).
33
Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transkultural
sebagai berikut:
34
adalah yang utama, pikiran dan tubuh dianggap sebagai dualistik,
dan moralitas ditentukan oleh orientasi hak (Landrine, 1992).
35
G. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya
2. Sikap Konselor
Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling
akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu terhadap diri
konseli, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses
konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap
konseli, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan lain
sebagainya.
36
tidak mempengaruhi kepercayaan konseli tetapi membantunya
untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai
kebudayaan yang diyakininya.
37
BAB V
A. Pendahuluan
38
Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model) ini
menekankan adanya pemahaman yang utuh dan benar dari kedua
belah pihak, konselor dan konseli, dalam memandang budaya
mereka masing-masing. Model ini menekankan konselor dan
konseli untuk introspeksi dan mengevaluasi budaya mereka,
sehingga terjadi kekerasan serta pemahaman akan penilaian
terhadap budaya masing-masing.
B. Pengertian Budaya
39
Budaya adalah kebutuhan yang rumit dan inklusif, setiap
upaya untuk mengurangi budaya ke bentuk yang sederhana
menghasilkan penilaian stereotip tentang seseorang menurut
etnis, usia, jenis kelamin, agama, atau aspek lain yang
mengabaikan karakteristik dalam kelompok. Misalnya, gender
mungkin menjadi paling menonjol faktornya pada masalah
keuangan, status sosial ekonomi, mungkin lebih menonjol
daripada etnis atau kebangsaan.
40
akurat tentang budaya. Konselor yang berpusat pada
budaya dipaksa untuk mengandalkan tentang harapan
konseli.
3. Tahap 3, mencapai keterampilan yang efektif,
pengembangan keterampilan multikultural membuhkan
repertoar respon yang luas dan berbeda secara budaya
untuk masing-masing keterampilan konseling. Fungsi dari
keterampilan konseling berpusat pada budaya adalah
untuk menafsirkan masalah penyajian individu dalam
konteks budayanya. Oleh karena itu, konseling yang
berpusat pada budaya adalah interaksi tiga arah antara
konselor, konseli, dan masalah dari konteks budaya
konseli. Ketika konselor dan konseli berkomunikasi, tiga
percakapan terjadi saat bersamaan diantaranya yaitu:
a. Percakapan pertama, pertukaran pesan verbal dan
nonverbal yang dilihat dan didengar oleh konselor
dan konseli.
b. Percakapan kedua, terjadi di dalam pikiran
konselor saat dia memproses pesan dan
mengamati konseli.
c. Percakapan ketiga, konselor dapat dengan mudah
memantau pertukaran verbal dan nonverbal dan
dialog internalnya sendiri.
41
Konselor, yang meminimalkan perbedaan budaya,
cenderung memaksakan pandangan dunia pada konseli mereka.
Di sisi lain, terlalu menekankan perbedaan budaya dapat
mengakibatkan posisi terpolarisasi antara konselor dan konseli,
mengakibatkan kesulitan menemukan landasan bersama untuk
membangun konseling.
42
layanan kepada kelompok-kelompok budaya yang beragam. Misal
seperti Darou (1987) menegaskan bahwa ada bukti bahwa struktur
psikologis, emosional, make-up, sikap dan keyakinan dan
nilai-nilai orang Pribumi berbeda dari mereka yang bukan
Pribumi. Penduduk asli sangat menghargai komunikasi dengan
tidak sadar, cenderung tidak mengungkapkan kemarahan, sangat
bergantung pada non-verbal komunikasi dan mungkin
memandang pertanyaan sebagai gangguan.
43
Konselor perlu memahami bagaimana diskriminasi dapat
mempengaruhi kesejahteraan psikologis dari kelompok budaya
yang berbeda dan hambatan yang membatasi ketersediaan layanan
kesehatan mental bagi mereka. Tanpa informasi budaya, konselor
mungkin terlibat dalam pemrosesan informasi yang salah yang
dapat membatasi konseli dengan warisan kelompok non-dominan
dari akses ke berbagai layanan konseling (Diller, 1999). Sebagai
ilustrasi, banyak orang Asia generasi pertama di Amerika Utara
cenderung menunjukkan sedikit atau tidak ada pengaruh dalam
wawancara konseling, dan mungkin mengekspresikan kesulitan
emosional dengan menekankan gejala seperti sakit kepala, atau
lainnya kesulitan fisiologis (Lecca, Querval, Nunes, & Gonzales,
1998).
44
Menurut Ebigbo dan Ihezue (1981), ada tiga jenis konseli
(di Afrika) - tipe tradisional, campuran, dan berorientasi barat.
Tipe tradisional tumbuh dan menghabiskan sebagian besar
tahun-tahun pembentukannya di daerah pedesaan. Citra dunia
mereka analogis, hal-hal gaib, dan bergambar. Mereka selalu pergi
ke dukun jika ada masalah kesehatan. Jenis campuran antara lahir
atau dibesarkan di daerah pedesaan tetapi pindah ke kota untuk
bekerja dan hidup sebagai orang dewasa atau dibesarkan di kota
tetapi terus memiliki ikatan yang sangat kuat dengan daerah
pedesaan dan adat istiadat mereka. Tipe ini merupakan
kompendium dari dua sistem budaya (tradisional dan berorientasi
barat), karena ia memiliki kecenderungan untuk menggunakan
dua metode budaya penyembuhan secara bersamaan. Beberapa
dari mereka juga berkonsultasi dengan dukun. Sebagian besar tipe
konseli berorientasi barat lahir dan dibesarkan di kota. Mereka
berpendidikan, kebanyakan Kristen atau Islam, mereka berasal
dari keluarga monogami dan orang tuanya juga berpendidikan.
Sejak kecil, mereka selalu dirawat di rumah sakit dan tidak pernah
terpikir untuk berobat ke dukun. Bentuk-bentuk psikoterapi barat
akan menarik bagi kelompok konseli ini. Psikoterapi Berpusat
pada Budaya juga akan menarik bagi banyak dari mereka.
G. Kesimpulan
45
Budaya-budaya barat menekankan individualisme,
kognitivisme, bebas, dan materialisme sedangkan budaya timur
menekankan komunalisme, nasionalisme, determinisme, dan
spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak
dikotomus. Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan
pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya
konselor dan konseli.
46
BAB VI
KONSELING ETNOMEDIKAL MODEL
Miftahussaadah, Indri Wulandari, Wiwied Widya Amalia,
Shabrinah Tsania Azzahra, Alamanda
47
tradisional pada suatu kelompok etnik yang secara khusus
dipengaruhi oleh lokasi dimana mereka tinggal (Northridge, Mack,
2002).
48
3. Kriteria sehat (wellbeing criteria). Pribadi yang sehat adalah
seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan
alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara
penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam
komunitasnya.
4. Body function beliefs. Perspektif budaya berkembang dalam
kerangka pikir pebih bermakna, Sosial dan okupasi konseli
semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari, Muncul
intrapsikis yang efektif pada diri konseli
5. Health practice efficacy beliefs. Ini merupakan implemetasi
pemecahan masalah dengan pengarahan atas
keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli. Model
konseling lintas budaya, dapat dijadikan sebagai pedoman
konselor dalam mengimplementasikan konseling pada
populasi yang beragam secara kebudayaan.
49
1. Pengobatan modern memandang penyakit hanya sebagai
suatu kondisi biologis yang ditandai dengan kelainan pada
fungsi atau struktur organ-organ tertentu atau seluruh sistem
organ.
2. Pengobatan tradisional menganggap penyakit lebih dari itu
selain biologis mereka juga melibatkan aspek spiritual,
psikologis dan sosial tertentu dari orang yang terkena.
F. Persyaratan Konselor
50
DAFTAR PUSTAKA
51
Klinis Pada Gangguan Psikologi). Jakarta: Salemba Humanika.
Irawanto, B. (2007). 2007. Riset Etnografi Metode Penelitian
Komunikasi Kualitatif, 7 (1).
Januszkowski, T. (2000). The Multicultural Counseling Competencies of
Canadian Counselors. Degree of Master of Science Department
of Educational Psychology Calgary. Thesis.
Khotijah, L. N. (2015). Skripsi Konseling Integratif dalam Menangani
Gangguan Konsentrasi Belajar pada Anak ADHD (Attention
Deficit Hyperativity Disorder): Studi Kasus Kumbang di SLB
Yapenas Pringwulung Yogyakarta. Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Masutomo, D. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Pustaka
Belajar.
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A
Multicultural Society. London : Sage Publisher.
Saputro. (2011). Piil Pesenggiri: Etos dan Semangat Kelampungan.
Bandar Lampung: Jung Foundation Lampung Heritage dan Dinas
Pendidikan Lampung.
Sarwono, W. (2004). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Raja Grafindo.
Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory
And Practice. New York John Wiley And Sons, Inc
Sue, D. (2015). Terapi Multikultural. International Encyclopedia of the
Social & Behavioral Sciences .
Sue, S., & Zane, N. (1987). The role of culture techniques in
psychotherapy. A critique and reformulation. American
Psychology, 42, 37-45.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-Isu dan Relevansi Di
Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Supriyatna, M. (2011). Bimbingan dan Konseling Berbasis
Kompetensi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Stephen, P. (n.d.). Konseling dan Psikoterapi.
52
Tohirin. (2007). Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah
(Berbasis Integrasi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Triningtyas, D. A. (2019). Konseling Lintas Budaya. Magetan: CV. AE
Media Grafika.
Vontress , C. E. (1979). Cross-cultural counseling: An existential
approach. The Personnel and Guidance Journal, 58, 117-122.
53
KONSELING
LINTAS BUDAYA
Tim Penyusun
Ratna Upika Sari, Miftahul Zanah, Risky Millenia, Naura Fakhirah, Cilvi Claodia
Clorean, Annida Mutiara Rizqie, Sutrisno, Miftahul Rizky, Atiqah Maula, Chindy
Regita, Salva Wahyuni, Ummi Fikroh, Dafina Damayanty Dewi, Dewi Nurwanti,
Nanda Putriatna, Listia Rahayu Ningtias, Alfina Dwiandriani, Febriati Indifiani,
Shofiy Rodhiyah,Laras Kinasih Syahrir, Siti Salfira, Alfiah Sarah Zainida, Arrum
Rufaedhatul MM, Nur Oktaviani, Putri Permata Hati, Sania Yulianti, Bella Ningsih,
Fatimah Nuryanti, Indri Astari, Rizky Mulyanti, Sefti Miftahul Jannah, Sri Suyanti,
Miftahussaadah, Indri Wulandari, Wiwied Widya Amalia, Shabrinah Tsania Azzahra,
Alamanda
Universitas
Islam
Assyafi'iyah