Anda di halaman 1dari 55

DITA JUWITA ZURAIDA, AFRA HASNA, MARLIA TYAS ASIH

KONSELING
LINTAS BUDAYA

2023
PROGRAM STUDI
BIMBINGAN Universitas
DAN KONSELING Islam
Assyafi'iyah
Daftar Isi

Pendahuluan 3
BAB I Konseling Integratif Model
A. Latar Belakang Sejarah Konseling Integratif 4
B. Definisi Konseling Integratif 4
C. Tujuan Konseling Integratif 5
D. Tahapan-tahapan Konseling Integratif 6
E. Teknik-teknik Konseling Integratif 7
F. Kelebihan dan Kelemahan Konseling Integratif 9
BAB II Konseling Pendekatan Universal
A. Pendahuluan 11
B. Pengertian Kebudayaan 11
C. Kesamaan di antara Populasi Khusus 12
D. Konseling Pendekatan Universal 14
E. Komponen Dalam Konseling Pendekatan Universal 17
F. Kesimpulan 19
BAB III Konseling Multikultural Pendekatan Emik
A. Pengertian Konseling Pendekatan Emik 21
B. Tujuan Konseling Pendekatan Emik 22
C. Konsep Dasar dan Hakikat Manusia 23
D. Metode Layanan Konseling Pendekatan Emik 25
E. Peran Konselor dalam Konseling Pendekatan Emik 25
F. Faktor-Faktor dalam Pendekatan Konseling Emik 26
G. Kritik Para Ahli Terhadap Konseling Pendekatan Emik 27
H. Contoh Kasus Isu Etik dan Emik 28
BAB IV Konseling Transkultural
A. Latar Belakang Sejarah Konseling Transkultural 30
B. Definisi Konseling Transkultural 31
C. Kebutuhan Konseling Transkultural 32
D. Pendekatan Konseling Lintas Budaya 33
E. Konteks Transkultural Dan Definisi Diri 34
F. Peran Identitas Gender Dalam Intervensi Konseling 35
G. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya 36

1
BAB V Konseling Culture Centered
A. Pendahuluan 38
B. Pengertian Budaya 39
C. Tahapan dalam berpusat pada budaya 40
D. Konseling Berpusat pada Budaya: Sadar Diri 41
E. Memahami Pandangan Dunia Konseli 43
F. Psikoterapi Berpusat Budaya 44
G. Kesimpulan 45
BAB VI Konseling Etnomedikal Model
A. Latar Belakang Konseling Etnomedikal Model 47
B. Definisi Konseling Etnomedikal Model 48
C. Jenis Konseling Etnomedikal Model 48
D. Macam-macam Pengobatan Pada Konseling 49
E. Fungsi Model Ethnomedical 50
F. Persyaratan Konselor 50
Daftar Pustaka 51

2
PENDAHULUAN

Konseling lintas budaya adalah hubungan konseling yang melibatkan


para peserta yang berbeda etnik atau kelompok minoritas; atau hubungan
konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan
etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel
lain seperti gender, orientasi seksual, sosio-ekonomi, usia, dan
sebagainya (Atkinson, dkk., 1989).

Dalam konteks lintas budaya, konselor perlu dibekali mengenai teknik


konseling lintas budaya. Jika konselor belum memiliki keterampilan
tersebut, konselor bisa menemukan banyak bias budaya. Selain itu,
konselor bisa mengalami perilaku maladjustment atau “enkapsulasi
konselor”.

Beberapa bahaya dari enkapsulasi konselor adalah konselor berpikir dari


satu sudut pandang atau menganggap bahwa kenyataan ini monokultural,
atau percaya pada stereotip yang ada, ketidakpekaan konselor terhadap
keanekaragaman budaya. Konselor juga bisa dipenuhi oleh asumsi
pribadi dan menganggap bahwa dirinya lebih tahu dibanding konseli.
Selain itu, teknik konseling yang sangat berorientasi pada pemecahan
masalah, bukan pemahaman kepada konseli.

Pada situasi lintas budaya, konselor perlu memiliki kepekaan budaya dan
bisa terbebas dari bias budaya. Konselor juga perlu memahami dan
mengapresiasi keberagaman budaya, dan berbagai keterampilan yang
dibutuhkan. Konselor perlu memahami dirinya dan bias budaya dirinya
terlebih dahulu sebelum memahami konseli. Konselor juga perlu
memahami sejauh mana ia perlu intervensi budaya konseli. Dengan
demikian, diperlukan pengetahuan mengenai berbagai pendekatan atau
model konseling lintas budaya yang akan dijelaskan dalam buku ini.

3
BAB I

KONSELING INTEGRATIF MODEL

Ratna Upika Sari, Miftahul Zanah, Risky Millenia, Naura Fakhirah,


Cilvi Claodia Clorean, Annida Mutiara Rizqie

A. Latar Belakang Sejarah Konseling Integratif

Sejarah awal upaya integrasi disusun oleh Marvin Goldfried dan


Cory Newman pada tahun 1992, dan oleh Jerold Gold pada tahun 1993,
diidentifikasi memiliki kontribusi yang penting sejak 1933, ketika
Thomas French berpendapat bahwa konsep dari pembelajaran Pavlov
harus diintegrasikan dengan psikoanalisis. Pada tahun 1944 Robert Sears
menawarkan sebuah perpaduan dari teori belajar dan psikoanalisis
seperti yang dilakukan John Dollard dan Neal Miller pada tahun 1950
yang diterjemahkan dari konsep dan metode psikoanalisis ke dalam
bahasa dan kerangka prinsip-prinsip pembelajaran laboratorium.

Upaya awal klinis mengintegrasikan intervensi behavioral dan


psikoanalitik dalam kasus tunggal diperkenalkan oleh Bernard Weitzman
pada tahun 1967, pada tahun 1971 oleh Judd Marmor, dan pada tahun
1973 oleh Benjamin Feather dan John Rhodes. Upaya-upaya klinis ini
menunjukkan bahwa faktor ketidaksadaran pada pasien bisa diperbaiki
melalui metode behavioral bersama dengan eksplorasi dan interpretasi
psikodinamik tradisional. Dalam dua dekade terakhir sejumlah
pendekatan integratif penting untuk psikoterapi telah dikembangkan.

B. Definisi Konseling Integratif

Pendekatan Integratif dapat dimaknakan sebagai pendekatan yang


menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses. Konseling Integratif
adalah sebuah proses konseling yang dalam penerapannya konselor
melakukan pemilihan teori maupun metode dari berbagai teori konseling
dan secara kreatif dengan memadukan dan mengintegrasikan konselor
maupun teknik tersebut sesuai keunikan gaya konselor (Corey, 2009).

4
Menurut Palmer (2008) konseling integratif adalah menggambarkan
integrasi dua atau lebih terapis atau integrasi teknik-teknik konseling
(eklektisisme teknik), atau integrasi terapi. Konseling integratif tidak
terikat pada terapi tunggal karena para prakteknya mempunyai
pandangan bahwa tak ada pendekatan tunggal yang bisa bekerja untuk
setiap konseli dalam setiap situasi. Pendekatan terpadu atau integratif
adalah menggabungkan keterampilan-keterampilan dari berbagai
pendekatan terapis.

Pengertian konseling integratif adalah Menurut Khodijah (2015)


Konseling Integratif adalah menggambarkan integrasi dua atau lebih
terapis atau integrasi teknik teknik konseling (eklektisisme teknik), atau
integrasi terapi dan teknik. Konseling Integratif tidak terikat pada terapi
tunggal karena para prakteknya mempunyai pandangan bahwa tidak ada
pendekatan tunggal yang bisa bekerja untuk setiap konseli dalam situasi
apapun. Dalam Konseling Integratif sendiri tidak mempunyai teori yang
telah ditentukan sebelumnya yang bisa diterapkan, apapun masalah
konseli.

C. Tujuan Konseling Integratif

Pada saat konseling berlangsung konseli diminta untuk menceritakan


kisahnya dan mengidentifikasi, menggambarkan, dan mengklarifikasi
masalahnya. Masalah-masalah yang terjadi perlu dilihat dari perspektif
yang berbeda, karena konseli mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda. Sepanjang tahap awal ini, konselor akan mencari
keterampilan, kekuatan dan kelemahan konseli. konseli akan didorong,
dalam situasi multi-masalah untuk menentukan prioritas.

Tujuan konseling dalam psikoterapi integratif yaitu membantu


konseli mengembangkan integritasnya pada level tertinggi, yang ditandai
oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan. Untuk
mencapai tujuan yang ideal ini maka konseli perlu dibantu untuk
menyadari sepenuhnya situasi masalahnya, mengajarkan konseli secara
sadar dan intensif memiliki latihan pengendalian di atas masalah tingkah
laku.

5
Dapat disimpulkan tujuan utama dari konseling integratif yaitu
membantu konseli mengembangkan sejumlah kemungkinan untuk masa
depan yang lebih baik, untuk mengeksplorasi hal tersebut dan
menentukan pilihan-pilihan, mendorong konseli untuk bisa menolong
dirinya sendiri dan mengembangkan kemandiriannya, serta strategi.

D. Tahapan-tahapan Konseling Integratif

1. Tahap eksplorasi masalah

Konselor menciptakan hubungan konseli, membangun saling


kepercayaan, menggali pengalaman konseli pada perilaku lebih
dalam, mendengarkan apa yang menjadi perhatian konseli atau
menggali pengalaman-pengalaman konseli dan merespon isi dari
dibicarakan konseli.

2. Tahap Perumusan Masalah

Masalah konseli baik efeksi, kognisi maupun tingkah laku


diperhatikan oleh konselor setelah itu keduanya merumuskan dan
membuat kesepakatan masalah apa yang sedang dihadapi.

3. Tahap Identifikasi Alternatif

Konselor dengan konseli mengidentifikasi alternatif-alternatif


pemecahan dari rumusan masalah yang telah disepakati.
Konselor dapat membantu konseli menyusun alternatif alternatif
dan konseli memiliki kebebasan memilih alternatif yang ada.

4. Tahap Perencanaan

Setelah konseli menetapkan pilihan dari sejumlah alternatif,


selanjutnya menyusun rencana tindakan. Rencana yang baik jika
realistic, bertahap, tujuan setiap tahap juga jelas dan dapat
dipahami konseli (rencana bersifat tentatif).

6
5. Tahap Tindakan atau Komitmen

Tindakan berarti operasionalisasi rencana yang disusun. Usaha


konseli untuk melaksanakan rencana sangat penting bagi
keberhasilan konseling.

6. Tahap Penilaian Umpan balik

Konselor dan konseli perlu mendapatkan umpan balik dan


penilaian tentang keberhasilannya. Jika terdapat kegagalan perlu
dicari penyebabnya.dan mungkin diperlukan rencana rencana baru
yang lebih sesuai dengan keadaan konseli dan
perubahan-perubahan yang dihadapi konseli.

E. Teknik-teknik Konseling Integratif

Goldfried dan Norcross berpendapat bahwa dalam psikoterapi


integratif terdapat tiga teknik terapi, yaitu:

1. Eklektisisme (Eclecticism)

Merupakan pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai


sistem metode, teori, atau doktrin, yang dimaksudkan untuk
memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang
tepat. Pendekatan ini berusaha untuk mempelajari teori-teori yang
ada dan menerapkannya dalam situasi yang dipandang tepat.
Teknik ini dapat pula disebut dengan pendekatan konseling
integratif. Pendekatan konseling eklektik berarti konseling yang
didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu
pendekatan secara eksklusif. Eklektisisme berpandangan bahwa
sebuah teori memiliki keterbatasan konsep, prosedur, dan teknik.

2. Integrasi teoritis (Theoretical integration)

Teknik ini melibatkan formulasi pendekatan psikoterapi yang


memberikan model yang berbeda-beda dan memberikan dasar
yang konsisten dalam pekerjaan klinis seseorang. Misal, terapis
secara konsisten dapat memilih dua dasar teoritis, seperti sistem
keluarga dan perilaku kognitif yang kemudian dari kedua dasar

7
teoritis tersebut terapis mengembangkan model intervensi.
Dengan cara tertentu, terapis mengembangkan modelnya sendiri
berdasarkan memberikan sintesis konseptual yang kontribusi
terhadap model yang telah dikembangkan sebelumnya. Pada
permasalahan yang ada saat ini, terapis dengan konsisten dapat
mencari cara ketika sistem keluarga dan kognisi yang maladaptif
memberikan kontribusi terhadap stres pada konseli. Intervensi
yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa
kedua model secara bersamaan.

3. Faktor umum (Common factor approach)

Pada integrasi, terapis mengembangkan strategi dengan


mempelajari kesamaan inti unsur dari berbagai macam terapi dan
memilih komponen yang selama beberapa waktu memperlihatkan
sebagai kontributor yang sangat efektif dalam memberikan hasil
yang positif dari psikoterapi. Wampold dalam (Halgin, R.P &
Whitbourne, S.K, 2010)

menyimpulkan bahwa faktor umum jika dibandingkan dengan


teknik yang spesifik merupakan faktor yang dapat membuat
psikoterapi bekerja.

Ada pula metode dalam konseling integratif yang digunakan


untuk mengatasi gangguan konsentrasi belajar dapat digunakan
melalui metode bimbingan individual, metode individual ini
merupakan konseling individu dalam bentuk bantuan yang
diberikan kepada seseorang secara langsung. Menurut (Tohirin,
2007) ada beberapa metode dalam bimbingan individual
diantaranya :

a. Konseling Direktif. Konseling yang menggunakan metode


ini, dalam prosesnya yang paling berperan adalah Konselor,
dalam prakteknya Konselor berusaha mengarahkan konseli
sesuai dengan masalahnya. Selain itu Konselor juga
memberikan saran, anjuran, dan motivasi kepada konseli

8
b. Konseling Non-direktif. Dalam metode ini konseli diberikan
peranan utama dalam bidang interaksi dalam bimbingan,
seorang pembimbing hanya menampung pembicaraan yang
berperan aktif adalah konseli itu sendiri
c. Konseling Eklektik. Metode yang mengkombinasikan
menurut keperluannya agar konseling berhasil secara efektif
dan efisien, tentu harus melihat konseli yang akan dibantu
atau dibimbing dan melihat masalah yang dihadapi konseli
dalam bimbingan tersebut.

F. Kelebihan dan Kelemahan Konseling Integratif

1. Kelemahan
a. Pendekatan konseling integratif adalah teori konseling yang
tidak memiliki teori atau prinsip khusus tentang kepribadian.
b. Dibutuhkan konselor yang benar-benar profesional karena
menjadi mahir dalam penerapan satu pendekatan konseling
tertentu sudah cukup sulit bagi seorang konselor, apalagi
mengembangkan suatu pendekatan konseling yang
memadukan unsur-unsur dari berbagai pendekatan
konseling.
c. Konseli dapat merasa bingung bila konselor mengubah-ubah
siasatnya sesuai dengan keadaan konseli pada fase-fase
tertentu dalam proses konseling.
d. Masih diragukan apakah konselor mampu menentukan siasat
yang paling sesuai hanya berdasarkan reaksi dan tanggapan
konseli pada saat tertentu selama proses konseling
berlangsung.
2. Kelebihan
a. Dapat menciptakan suatu sistematika dalam memberikan
layanan konseling.
b. Proses konseling bersifat efektif karena
menetapkan/memadukan berbagai pendekatan dengan
menggunakan berbagai variasi prosedur dan teknik sehingga

9
dapat melayani konseli sesuai dengan kebutuhannya dan
sesuai dengan ciri khas masalah yang dihadapi.
c. Konselor dianggap lebih fleksibel karena dapat berada dalam
continue dari direktif dan nondirektif.

10
BAB II

KONSELING PENDEKATAN UNIVERSAL

Sutrisno, Miftahul Rizky, Atiqah Maula, Chindy Regita,


Salva Wahyuni, Ummi Fikroh

A. Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering melihat, mendengar,


membicarakan tentang kebudayaan. Setiap hari orang mempergunakan
bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan. Kata kebudayaan pertama
kali didefinisikan oleh Edward Burnett Tylor pada tahun 1871, dalam
sebuah karya bukunya yang berjudul Primitive Culture, yang dikutip
oleh Liliweri (2013), menjelaskan bahwa kebudayaan adalah kompleks,
dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh
manusia sebagai anggota suatu masyarakat.

Beberapa para pendukung multikultural ini pelatihan menekankan


pentingnya mempelajari budaya tertentu (pendekatan emik) dan
mengadaptasi teknik yang bekerja dengan konseli dari kelompok.
Literatur konseling penuh dengan artikel budaya tertentu. Spesialis
multikultural lainnya telah menganjurkan bahwa konselor mengadopsi
pendekatan universal (etik) untuk konseling dengan mengidentifikasi
prinsip-prinsip umum dalam hubungan membantu. Kedua pendekatan
tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Selagi
literatur konseling multikultural yang ada telah dibangun di atas studi
budaya etnis dan internasional, beberapa penulis dalam bidang konseling
multikultural telah mengakui bahwa “semua konseling mencakup
multikultural” dan bahwa konseling multikultural berlaku untuk setiap
hubungan di mana ada perbedaan nilai.

Konseling adalah sebuah layanan yang difungsikan mengentaskan


masalah konseli dengan beragam masalah dari berbagai latar belakang,
sehingga, dengan keberagaman problem itu seorang konselor dituntut
mampu menguasai berbagai kemampuan memahami setiap masalah.
Khususnya menyangkut tentang latar belakang konseli yang akan

11
dibantu, maka pentingnya wawasan seorang konselor guna
mengentaskan masalah konseli dengan optimal. Wawasan lintas budaya
merupakan suatu keharusan dan begitu penting untuk dimiliki konselor,
hal ini disebabkan konseli yang dijumpai hadir dengan latar belakang
budaya yang berbeda-beda. Berangkat dari hal tersebut, pentingnya
memahami lebih jauh konseling lintas budaya dan beberapa pendekatan
yang ada didalamnya.

Konseling lintas budaya adalah berbagai hubungan konseling


yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau
kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang
melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi
memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain
seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia
(Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37). Dengan banyaknya
variable-variabel tersebut, tidak heran kalau terkadang proses konseling
tidak berjalan efektif dikarenakan terjadinya bias-bias budaya pada
konselor yang diakibatkan ketidakpahaman terhadap perbedaan budaya.

Oleh karena itu, sangat efektif manakala seorang konselor


memiliki kepekaan terhadap budaya dan melepaskan diri dari bias-bias
budaya, juga mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, serta
memiliki keterampilan yang responsif secara kultural. Atau, dengan kata
lain, konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
encounter) antara konselor dan konseli.

B. Pengertian Kebudayaan

Secara etimologis kata budaya atau kebudayaan, berasal dalam Bahasa


Sansekerta, yaitu buddhayah, yang merupakan suatu bentuk jamak kata
“buddhi” yang berarti budi atau akal. Sehingga kebudayaan diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.

Menurut CMstensen (1989), budaya terdiri dari kesamaan di


sekitar di mana orang telah mengembangkan nilai, norma, gaya hidup
keluarga, peran sosial, dan perilaku dalam menanggapi realitas, sejarah,
politik, ekonomi, dan sosial.” Menggunakan definisi ini, variabel seperti

12
jenis kelamin, usia, orientasi seksual, keyakinan agama, etnis, ras, dan
status ekonomi semuanya membentuk realitas budaya seseorang. Semua
orang berpartisipasi dalam budaya, dan pengalaman budaya setiap orang
memiliki validitas. Tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk
dari yang lain (Ahia, 1984).

Bidang konseling multikultural terus berkembang, dan Bahasa


yang digunakan untuk menggambarkan proses konseling ini juga terus
berubah, bahkan definisi interaksi multikultural masih menjadi
perdebatan di kalangan professional. Istilah multikultural yang digunakan
dalam artikel ini untuk menekankan inklusivitas sebagai variabel yang
membentuk keragaman budaya. Definisi lain dari konseling multikultural
atau lintas budaya sama-sama inklusif. Atkinson, Morten, dan Sue
(1989) mengidentifikasi konseling multikultural sebagai setiap hubungan
konseling dimana para peserta mewakili kelompok etnis atau minoritas
yang berbeda atau di mana “konselor dan konseli memiliki kesamaan ras
dan etnis tetapi memiliki kelompok budaya yang berbeda karena variabel
lain seperti jenis kelamin, orientasi seksual, faktor sosial ekonomi, dan
usia”. Vontress (1988) mendefinisikan konseling lintas budaya dari
persepsi perbedaan dan persamaan budaya; “jika konselor dan konseli
merasakan kesamaan budaya yang sama, meskipun dalam kenyataannya
mereka berbeda secara budaya, interaksi tersebut tidak boleh disebut
konseling lintas budaya. Demikian pula, seorang konselor dan konseli
yang secara budaya serupa atau benar benar sama namun dalam
kenyataannya menganggap diri mereka berbeda satu sama lain, yang
akan membentuk interaksi lintas budaya.”

C. Kesamaan di antara Populasi Khusus

Banyak buku teks konseling multikultural sekarang


menggambarkan karakteristik, nilai, dan teknik untuk bekerja dengan
kelompok etnis minoritas yang terlihat. Selain perbedaan budaya etnis,
ada tema umum di antara “populasi khusus” lainnya sebagai hasil dari
“berbeda” dari budaya dominan (yaitu putih, kelas menengah,
heteroseksual, berbadan sehat dan bias remaja).

13
Banyak orang termasuk dalam kelompok budaya yang memiliki
kesamaan dengan “menjadi berbeda”; misalnya, pria gay dan lesbian,
penyandang disabilitas atau “difabel”, manula, dan orang miskin.
Anggota grup ini yang tidak sesuai dengan struktur kekuasaan budaya
dominan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, prasangka, atau
pengabaian.

Margolis dan Rungta (1986) mengidentifikasi tema umum berikut


yang relevan dengan konseLing populasi khusus: diskriminasi dan
penindasan dalam masyarakat, pengembangan identitas, harga diri,
kebutuhan untuk validasi pengalaman pribadi, dan kebutuhan untuk
pemberdayaan. Pardis (1981) menemukan delapan tema berikut melalui
program pelatihan kesadaran budaya dengan psikoterapi (terutama
wanita): mendefinisikan budaya secara luas, stereotip, bahasa, kesetiaan
dan kebanggaan dalam budaya sendiri dan ikatan keluarga, akulturasi
dan penindasan, peran seks, hubungan, dan implikasi untuk psikoterapi.
Masalah seperti ini perlu ditangani dalam program pendidikan konselor,
baik melalui kursus terpisah atau dengan memasukkan konsep-konsep
ini ke dalam kurikulum inti.

Bidang pengembangan identitas telah mendapat perhatian yang


cukup besar dalam literatur penelitian dan dapat menjadi contoh
bagaimana kesamaan yang ada di antara kelompok minoritas. Berawal
dari perkembangan identitas kulit hitam, pentingnya membentuk sikap
positif identitas budaya telah diterapkan pada wanita, gay dan lesbian,
etnis kulit putih. Model pengembangan identitas ini umumnya mengalir
dari posisi ketidaksadaran atau identifikasi dengan budaya dominan ke
kesadaran penindasan dan validasi pengalaman yang ditemukan dalam
subkultur minoritas danke posisi penerimaan, sintesis, dan komitmen
pribadi terhadap keragaman budaya (American College Personil
Asosiasi, 19881). Proses ini nonlinier dan dapat dulang untuk diri sendiri
berkali-kali. Ini mungkin benar terutama untuk orang-orang yang
termasuk dalam lebih dari satu kelompok minoritas (misalnya; etnis
gay).

14
Christensen (1989) memberikan gambaran tentang proses
pengembangan identitas bagi anggota kelompok mayoritas dan
minoritas. Dia menyatakan bahwa “tugas perkembangan utama untuk
semua melibatkan penemuan dan integrase makna pribadi dan sosial
politik dari etnis, budaya, dan ras seseorang karena ini mempengaruhi
diri sendiri dan orang lain”. Penting untuk diketahui bahwa proses
kesadaran budaya ini adalah jalan dua arah; konselor dalam pelatihan
harus terlibat dalam pengetahuan diri serta memiliki pemahaman tentang
pengalaman budaya minoritas.

D. Konseling Pendekatan Universal

Pendekatan dalam konseling lintas budaya sedikitnya ada 3,


Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas,
komunalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan
emik (kekhususan budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik
khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling
khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural (
Supriyatna, 2011:169 ).

Tak sedikit para ahli dan praktisi lintas budaya berbeda paham
dalam menggunakan pendekatan universal atau etik ini, Fukuyama
(1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa
pendekatan inklusif disebut pula konseling “transkultural” yang
menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh
literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan
Teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki
perbedaan budaya dominan.

Konseling lintas budaya merupakan perpaduan para individu yang


berbeda etnik atau kelompok minoritas, atau dapat pula disebut
hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara
rasial dan etnik sama, tetapi tetapi memiliki perbedaan budaya yang
dikarenakan variable-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor
sosioekonomik, dan usia seperti yang penulis jelaskan pada pendahuluan.

15
Bidang konseling multikultural berada pada tahap awal
konseptualisasi konseling dalam perspektif transkultural. Satu dari
pelopor dalam bidang konseling untuk mengambil pendekatan universal
adalah Clemmons Vontress (1979, 1985, 1988). Vontress (2988)
mengadopsi kerangka kerja eksistensial yang menekankan kemanusiaan
bersama dari keberadaan. Pengalaman manusia digambarkan dengan
konsep “unwell” (lingkungan fisik), “mitwelt” (dunia interpersonal), dan
“eigenwelt” (dunia batin seseorang). Dunia yang saling terkait ini
menyediakan premis dimana konselor dapat menilai “mode keberadaan”
konseli mereka dan efektivitas mereka dalam hidup.

Sue dan Zane (1987) mengidentifikasi dua komponen dari


hubungan membantu sebagai pendekatan universal penting untuk
pengembangan awal dari hubungan konseling. Ini adalah kredibilitas
penolong dan pemberian konseli beberapa manfaat atau kelegaan dari
pertemuan konseling. Tseng dan Mc Dermott (1975) menyarankan
bahwa elemen universal dalam psikoterapi adalah (a) orientasi pada
sistem penyembuhan, (b) kepribadian dan kualitas konselor, dan (c)
pemandangan untuk operasi terapeutik.

Ponterotto dan Benesch (1988) menyarankan bahwa konseling


multikultural pertama-tam dikonseptualisasikan dengan model bantuan
transkultural yang diadopsi dari Torrey (1986), yang kemudian dapat
dielaborasi melalui pengetahuan khusus budaya. Mereka mengusulkan
bahwa komponen universal dari proses terapeutik meliputi (a) penamaan
masalah, (b) kualitas konselor, (c) pemenuhan harapan konseli, (d)
membangun kredibilitas konselor, dan (e) teknik konseling. Model
serupa untuk membantu telah dijelaskan oleh Erank (1971). Faktor
umum dalam terapi diidentifikasi oleh (a) hubungan yang intens, (b) alas
an atau mitos tentang masalah dan cara menghilangkannya, (c)
penyediaan informasi baru, (d) penguatan harapan konseli untuk
konseling, (e) pengalaman sukses, dan (f) stimulasi gairah emosional.

Green (1982) menggambarkan model “Perilaku Mencari


Bantuan”, yang mengidentifikasi komponen penting berikut dalam
budaya konseli; pengenalan masalah konseli, pelabelan dan diagnosis,

16
pemanfaatan penolong asli, dan penyelesaian masalah sesuai dengan
kriteria konseli. Penolong professional diidentifikasi sebagai milik
subkultur yang terpisah. Green (1982) merekomendasikan agar penolong
professional menyadari keterbatasan budaya mereka sendiri, terbuka
terhadap perbedaan budaya, fleksibel, menggunakan sistem bantuan
alami konseli, dan mempelajari kompetensi multikultural melalui
penggunaan panduan budaya dan observasi partisipan.

Area lain yang umumnya ditekankan dalam karya multikultural


adalah pentingnya memahami “pandangan dunia” konseli. Ibrahim dan
Kahn (1987) telah mengembangkan sebuah bentuk penilaian untuk
mengukur pandangan dunia sebagaimana didefinisikan oleh lima dimensi
nilai utama: (a) sifat manusia (baik, buruk, tidak berubah, atau berubah);
(b) hubungan manusia (lineal, kolateral, individualistis); (c) hubungan
manusia dengan alam (harmoni, penaklukan, penguasaan); (d) orientasi
(masa lalu, sekarang, masa depan); dan (e) aktivitas manusia
(melakukan, wujud, menjadi,). Sue (1978, 1981) telah membahas
perbedaan pandangan dunia dari perspektif locus of control dan locus of
responsibility seperti yang terlihat oleh konseli dan konselor, dengan
implikasi untuk jenis konseling intervensi.

Komponen universal komunikasi mencakup pola penguraian pesan yaitu,


persepsi dan pemikiran (Gudykunst & Kim, 1984). Selain itu, variabel
seperti proksemik, ruang, hubungan sosial, kepercayaan, nilai dan
temporalitas mempengaruhi proses komunikasi antar budaya.

E. Komponen Dalam Konseling Pendekatan Universal

Adapun pendekatan konseling universal atau transcultural


mencakup 4 komponen yaitu:

1. Konselor peka terhadap variasi-variasi dan bias budaya dalam


pendekatan konseling yang digunakannya, hendaknya konselor
memahami bahwa ada pengaruh budaya dalam diri konseli yang
membuat individu dapat berkembang secara baik disadari maupun
tidak. Atau dengan kata lain, nilai-nilai budaya yang melekat dan
diturunkan dari generasi ke generasi. Misalnya, etnik, afiliasi

17
kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan,
bahasa verbal maupun non-verbal dan termasuk bias-bias yang
dibawa dari budayanya. Dapat diasumsikan bahwa semakin
banyak kesesuaian (congruence) antara konselor dengan konseli
dalam hal-hal tersebut (baik psikologis maupun sosial-budaya),
maka akan semakin besar kemungkinan konseling akan berjalan
efektif; dan demikian sebaliknya
2. Pengetahuan Konselor tentang pengetahuan budaya
konsumennya, yaitu unsur keberwawasan budaya dalam
merancang dan mengimplementasikan program bimbingan dan
konseling. Perlunya, terlebih dahulu dilakukan pengkajian dalam
rangka menjawab tantangan utama bagi seorang konselor,
Pengkajian dapat dilakukan baik dalam bentuk studi literatur,
pengamatan intensif, maupun secara partisipasi dalam pergaulan
dengan khalayak konselital. Pengkajian yang dimaksud terutama
difokuskan atau untuk menjawab tantangan, bahwa konselor yang
bekerja dengan individu yang berbeda dengan latar belakang
budayanya, hendaknya mampu dan sanggup mendemonstrasikan
pemahaman dan apresiasinya terhadap perbedaan budaya.
Supriatna, (2011:177).
3. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan
pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya
konseli. Konselor perlu memiliki kompetensi minimum dalam
melakukan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya
konseli, diantaranya yaitu:

a. Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural:


Yaitu, konselor sadar akan sistem nilai, sikap dan bias
budaya. Menghargai kebhinekaan budaya, dan konselor
percaya bahwa integrasi berbagai sistem nilai dapat memberi
sumbangan baik terhadap pertumbuhan terapis konseli. Selain
itu, konselor memiliki kapasitas untuk berbagi pandangan
dengan konselinya secara universal, lalu konselor peka
terhadap keadaan (seperti bias personal dan keadaan identitas
etnik) yang menuntut adanya acuan konseli pada kelompok
ras atau budaya masing-masing.

18
b. Pengetahuan Konselor yang efektif secara multikultural: Yaitu,
konselor paham tentang dampak konsep penindasan dan
rasial pada Kesehatan mental dalam kehidupan pribadi dan
profesional konseli, mengerti hambatan institusional, yaitu
setiap kelompok minoritas berhak mendapat pelayanan
psikologi secara penuh di masyarakat. Selain itu, konselor
paham ciri dasar dari konseling lintas budaya, berwawasan
budaya dan mempengaruhi proses konseling.

c. Keterampilan konselor yang efektif secara kultural : Konselor


mampu menggunakan gaya konseling yang luas yang sesuai
dengan sistem nilai dari kelompok minoritas yang berbeda,
dapat memodifikasi dan mengadaptasi pendekatan
konvensional pada konseling dan psikoterapi , serta mampu
menyampaikan dan menerima pesan baik verbal maupun non
verbal secara akurat dan sesuai.

4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan


kompleksitas lintas budaya, yaitu konselor dengan segala
kemampuan senantiasa meningkatkan atau mengupgrade terhadap
wawasan kebudayaan yang kini semakin berkembang dan
beragam.

F. Kesimpulan

Pada dasarnya konselor perlu dipersenjatai dengan kemampuan


yang tinggi dalam melakukan konseling khususnya lintas budaya. Dalam
sebuah Relasi konseling digambarkan tentang variable-variabel yang
terlibat dan mempengaruhi proses konseling.

19
Hal di atas menggambarkan bagaimana banyaknya aspek yang
mempengaruhi suatu layanan konseling dapat berjalan secara efektif.

Konseling dengan pendekatan universal adalah konseling yang


memperhatikan aspek budaya pada konseli. Budaya sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap pelaksanaan konseling, bahkan, latar belakang
budaya yang melekat pada diri konseli merefleksikan cara pandang
konseli terhadap masalah dan tingkah laku aktual dalam menghadapi
masalah.

20
BAB III

KONSELING MULTIKULTURAL PENDEKATAN EMIK


Dafina Damayanty Dewi, Dewi Nurwanti, Nanda Putriatna, Listia Rahayu Ningtias,
Alfina Dwiandriani, Febriati Indifiani, Shofiy Rodhiyah

A. Pengertian Konseling Pendekatan Emik

Menurut pendapat (Supriadi, 2001). Konseling lintas


budaya (cross-cultural counseling) adalah konseling yang
melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda. Selain ditinjau dari subjek/pelaku proses
konseling, Mengutip pendapat Wohl (dalam Saputro, 2011)
konseling lintas budaya meliputi isu atau kondisi dimana
penerapan dan implikasi teori-teori, pendekatan dan prinsip
konseling yang berasal dari suatu konteks budaya tertentu ke
dalam konteks budaya lain.

Emik adalah suatu kebenaran yang hanya diterima dan


diakui oleh masyarakat setempat dan tidak berlaku bagi orang
yang berasal dari budaya yang berbeda. Emik dalam hal ini
menawarkan sesuatu yang lebih objektif. Emik sebagai titik
pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem Budaya
Tersebut (Segal,1990).

Sedangkan, pengertian Konseling Pendekatan Emik


mengacu pada pandangan kepada warga masyarakat yang bisa
dikaji, artinya emik memang menawarkan sesuatu yang lebih
objektif. Hal itu dikarenakan tingkah laku kebudayaan memang
sebaiknya dikaji serta dikategorikan menurut pandangan orang
yang mengkaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh
masyarakat yang telah mengalami peristiwa itu sendiri.
Pengkonsepan seperti ini perlu dilakukan dan ditemukan dengan
cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan
bukan paksaan secara etnosentrik, yang hanya menurut
pandangan peneliti.

21
Secara sangat sederhana emik mengacu pada pandangan
warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada
pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam hal ini memang
menawarkan sesuatu yang lebih objektif. Karena tingkah laku
kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut
pandangan orang yang dikaji itu sendiri berupa definisi yang
diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri.
Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan
dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji
dan bukan dipaksakan secara etnosentrik. Emik mengacu pada
kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific). Karena
implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik
dan etik merupakan konsep-konsep yang kuat (powerful).

Emik dapat didefinisikan sebagai pandangan orang dalam


atau pandangan dari penduduk asli tentang adat dan kepercayaan
mereka sendiri. Ini terjadi ketika seorang anggota kelompok
memiliki interpretasi mereka sendiri tentang kelompok mereka
yang bertentangan dengan interpretasi orang luar (emic). Dalam
istilah konseling adalah berpikir bahwa konseli adalah "khusus
secara budaya" (Sue & Sue, 2003).

Pendekatan emic cenderung spesifik budaya dan


diterapkan pada satu budaya atau bahasa pada suatu waktu atau
selama periode waktu yang berkelanjutan. Dalam pendekatan ini,
konsep ditemukan daripada diprediksi dan dilihat berdasarkan
kriteria yang relevan dengan fungsi internal sistem. Pandangan
emic memandang setiap komponen sebagai saling berhubungan
dan berfungsi dalam pengaturan struktural yang lebih besar. Hal
ini memungkinkan pemahaman budaya secara keseluruhan
daripada serangkaian bagian yang terputus.

B. Tujuan Konseling Pendekatan Emik

Pendekatan emic untuk konseling pendekatan


multikultural dipromosikan sebagai lebih relevan dan akrab bagi
konseli dan diharapkan dapat memfasilitasi komunikasi dengan

22
lebih baik dan menghasilkan hasil yang mendukung adaptasi
dalam budaya konseli daripada pendekatan etik murni (Ridley et
al., 1994). Menurut Nwachukwu dan Ivey (1991), konseling
spesifik budaya meminta pertanyaan seperti "Bagaimana budaya
tertentu memandang hubungan membantu?", dan "Bagaimana
budaya tertentu memecahkan masalah secara tradisional?" (hal.
107). Tujuan dari konseling budaya khusus adalah untuk
mengurangi stereotip negatif dan, pada gilirannya menghasilkan a
pemahaman yang lebih kompleks tentang budaya lain. Ridley
dkk. (1994)' menambahkan bahwa pendekatan emik ini juga
dapat mengurangi kemungkinan konselor memaksakan etika
kultural nilai-nilai pada konseli dan bahwa konselor terlatih
dalam tradisi emik mungkin kurang rentan terhadap secara tidak
sengaja melanggengkan penindasan budaya yang terkait dengan
penggunaan pendekatan konseling.

C. Konsep Dasar dan Hakikat Manusia menurut Konseling


Pendekatan Emik

Mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk


budaya yang berbeda menjelaskan bahwa emik mengandung
yang bersifat khas-budaya (culture spesific). Misalnya saja
tentang perilaku manusia dan yang kita anggap sebagai
kebenaran tetapi ternyata adalah suatu emik alias bersifat khas
budaya, maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum
tentu merupakan kebenaran bagi orang lain dengan budaya
tertentu. Contohnya adalah ritual suku Indian Amerika untuk
mengambil kulit kepala (scalp) dari musuhnya yang telah mati
adalah satu perilaku emik yang khas dan hanya ada pada budaya
tersebut saja. Contoh lain adalah perbedaan kelahiran,
pernikahan, atau kematian yang setiap budaya memiliki
pandangan dan ritual yang berbeda-beda. Hal ini merupakan
contoh emik bagaimana setiap budaya memiliki kekhasan atau
sesuatu yang unik yang hanya ada pada budaya tersebut. Secara
umum, Sebagian besar ahli psikologi lintas budaya sepakat bahwa
jumlah emik sama dengan, atau bahkan lebih banyak daripada,

23
etik. Artinya, orang dari budaya yang berbeda memang
menemukan cara yang berbeda-beda dalam kebanyakan aspek
perilaku manusia. Akan tetapi, Setiap budaya berevolusi dengan
cara khasnya masing-masing untuk “menangani” perilaku
manusia dengan gaya yang paling efisien dan sesuai agar sukses
bertahan hidup. Cara-cara ini akan berbeda tergantung pada
kepadatan penduduk, ketersedian makanan dan sumber-sumber
lain, dan seterusnya. Karena pasti menghadapi kebutuhan yang
berbeda dalam lingkungannya, setiap kebudayaan akan
mengembangkan perbedaan-perbedaan yang kemudian
berdampak pada orang-orang dalam kebudayaan tersebut.

Adanya banyak emik, atau perbedaan kultural, bukan


sesuatu yang problematis pada dan dalam dirinya sendiri. Namun
demikian, permasalahan secara potensial akan muncul ketika kita
mencoba menafsirkan alasan yang mendasari atau yang
menyebabkan adanya berbagai perbedaan itu. Karena kita semua
berada di dalam budaya kita masing-masing, dengan latar
belakang kultural kita sendiri, kita cenderung melihat sesuatu
dari kacamata latar belakang tersebut. Dengan kata lain, budaya
bertindak sebagai suatu filter (Penyaring), tidak hanya ketika kita
akan mempersepsi sesuatu, tapi juga ketika kita berpikir tentang
dan menafsirkan suatu kejadian. Kita bisa menafsirkan perilaku
orang lain dari latar belakang kultural kita sendiri dan menarik
beberapa kesimpulan tentang perilaku tersebut berdasarkan
keyakinan kita tentang budaya dan perilaku. Tapi penafsiran kita
bisa perilaku yang sedang kita nilai berasal dari suatu orientasi
kultural yang berbeda dari budaya kita.

Sebagai tanggapan, pendukung pendekatan emic percaya


bahwa konseli harus dilihat sebagai individu dalam konteks
budaya mereka. Dari sudut pandang emik, tujuan pendekatan dan
kriteria hasil adalah budaya-spesifik, tertanam dalam konteks
budaya, dan tidak diharapkan untuk dapat diterapkan secara
universal atau dapat dialihkan kepada anggota konseling
kelompok budaya lain.

24
D. Metode Layanan Konseling Pendekatan Emik

Menurut (Gladding 2012) bahwa, “ Pendekatan etik bisa


dikritisi tidak menganggap perbedaan budaya sebagai sesuatu
yang penting. Pendekatan emik bisa dikritisi karena terlalu
memberikan penekanan pada teknik spesifik sebagai sarana
untuk konseli bisa berubah”. Beberapa profesional telah mencoba
mencari elemen persamaan di antara kedua pendekatan ini
sebagai contoh, Fisher dkk, 1998 (dalam Gladding, 2012)
menawarkan empat kondisi umum dalam semua layanan
konseling:

1. Relasi terapeutik.
2. Saling berbagi cara pandang antara konseli dengan konselor.
3. Ekspektasi konseli untuk perubahan yang positif.
4. Intervensi yang dipercaya baik oleh konseli maupun konselor
sebagai alat untuk sembuh.

E. Peran Konselor dalam Konseling Pendekatan Emik

Menurut Markus dan Kitayama (dalam Ahmad, 2016)


Dalam konseling pendekatan emik, seorang konselor menguji
dan membandingkan sendiri antara kebudayaan dan struktur
kebudayaan yang berbeda beda. Maksudnya, konselor sebagai
pembimbing konseli bertugas untuk menganalisis ataupun
membandingkan antara kebudayaan dari sudut pandang konseli
dengan sudut pandang kebudayaan umum yang berbeda-beda.
Peranan Konselor dalam pendekatan konseling emik ini adalah
menjadikan dirinya bagian dari kebudayaan konseli, sehingga hal
tersebut akan memudahkan konselor untuk menjadikan konseli
berkemampuan: mempotensikan diri, mengekspresikan
kekhasannya secara independen dan interdependensi.

Agar kita benar-benar memahami konseli, konselor juga


harus menyadari bahwa orang yang duduk di depannya, adalah
makhluk yang sangat kompleks dan beragam. Sebagai contoh
Kanada adalah negara multikultural dengan populasi etnis

25
minoritas yang tumbuh di tingkat yang stabil dan meningkat.
Hasil dari sensus Kanada tahun 1991 menggambarkan bahwa di
Selain orang-orang Aborigin dan kelompok pendiri Inggris dan
Prancis, ada berbagai macam kelompok etnis yang mewakili
populasi Kanada (Esses & Gardner, 1996). Orang Jerman, Italia,
Belanda, Ukraina, Cina, dan Indo-Pakistan hanya sedikit dari
kelompok-kelompok yang membangun komposisi etnis Kanada.
Kompetensi konseling multikultural dan deskripsi dari empat
domain biasanya diteliti (kesadaran, keterampilan, pengetahuan,
dan hubungan konseling). Bagian ini akan diakhiri dengan
pengenalan faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi tingkat
kompetensi multikultural.

F. Faktor-Faktor dalam Pendekatan Konseling Emik

Seorang konselor yang mengambil perspektif emik


percaya bahwa banyak faktor yang berperan ketika mendiagnosis
dan merawat konseli terutama yang berkaitan dengan budaya
mereka. Beberapa faktor dapat mencakup nilai budaya, moral, dan
gaya hidup. konseli harus dilihat sebagai individu, bukan secara
keseluruhan dari "sudut pandang Eropa-Amerika". (Sue & Sue,
2003) Budaya yang berbeda memiliki cara hidup yang berbeda
dan setiap faktor harus dipertimbangkan ketika merawat dan
mendiagnosa konseli multikultural.

Pendekatan emic menunjukkan bahwa ada perbedaan


mendasar antara budaya yang berbeda dan bahwa konseli harus
dilihat sebagai budaya tertentu. Dalam hal ini, konseling emik
menekankan bahwa perbedaan budaya adalah dasar untuk proses
dan teknik dalam konseling (Ibrahim, 1991 ; Pedersen, 1981 ;
Sue, 1981, 1989). Psikologi tradisional banyak ditentang karena
tidak mempertimbangkan konteks sosialisasi budaya, etnis,
pandangan dunia, identitas ras, dan identitas etnis (Sodowosky,
Kuo Jackson, & Loya, 1997).

26
G. Kritik Para Ahli Terhadap Konseling Pendekatan Emik

Hays (1996) menyatakan bahwa pendekatan emic dalam


konseling tidak hanya menggarisbawahi pentingnya kesadaran
konselor, tetapi meningkatkan pengetahuan budaya setiap konseli
minoritas. Namun, Fukuyama (1990) dan Lloyd (1987) mencatat
bahwa dalam praktiknya, fokus pada perbedaan budaya dapat
mengakibatkan konselor tidak melihat konseli sebagai individu
yang unik tetapi melihat mereka semata-mata sebagai ditentukan
secara budaya. Mereka juga mencatat bahwa budaya-spesifik atau
fokus emic dapat mengakibatkan stereotip dan penggunaan
standar terpisah untuk anggota kelompok tertentu. Yang lain
mengkritik pendekatan ernic yang ketat dengan berargumen
bahwa ada juga banyak kelompok budaya, masing-masing dengan
berbagai variasi dalam kelompok untuk konselor untuk dilatih
secara efektif (Ridley et al., 1994). Misalnya, untuk lebih dari
110 perkiraan kelompok non-dominan di Amerika Serikat saja,
tugas memahami budaya karakteristik dan menerapkan strategi
membantu khusus untuk kelompok budaya ini akan luar biasa
dan hampir tidak mungkin.

Akhirnya, posisi emic juga telah dikritik sebagai


pendekatan "buku masak" multikultural untuk pelatihan dan
pemahaman multikulturalisme. Secara khusus, beberapa ahli teori
melihat buku masak ini penuh dengan resep untuk setiap
kelompok budaya menguraikan karakteristik normatif dan
intervensi kelompok strategi yang dianggap efektif untuk
digunakan dengan populasi budaya tertentu, seringkali sulit
untuk membedakan dari stereotip (misalnya, Lloyd, 1987).
Singkatnya, ada bukti yang mendukung tidak hanya
budaya-spesifik pendekatan konseling, tetapi juga penekanan
universal pada populasi manusia yang menjangkau semua budaya.
Apa yang penting untuk dikenali dalam debat ini adalah
perbedaan tidak hanya dalam cara mendekati konseling
multikultural, tetapi juga definisinya itu. Konselor tanpa pelatihan
yang tepat dan konseptualisasi budaya yang jelas pengaruh

27
menempatkan konseli mereka pada risiko. Keyakinan kemudian
dapat tumbuh dalam diri konselor ketika menentukan bagaimana
menilai dan memenuhi kebutuhan konseli mereka. Selain itu,
stereotip dan bias dalam konselor mungkin muncul.
(Januszkowski, 2000)

H. Contoh Kasus Isu Etik dan Emik dalam Konseling


Multibudaya

Contoh dalam kasus ini adalah suatu fenomena yang


terdapat di dalam masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku
pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah
keniscayaan. Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah
masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani,
manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dan
sebagainya. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir,
melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis
untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu,
bukan pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya
sendiri.

Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau


fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor
kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik.
Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi
pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka,
melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi,
atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang
memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan
dan alami sendiri.

Jika yang kita ketahui tentang perilaku manusia dan yang


kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik
(alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap
kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang
dari budaya lain. Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan
bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap

28
kebudayaan konseli, sedangkan etik mengacu pada pandangan
konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses
konseling.

29
BAB IV

KONSELING TRANSKULTURAL
Laras Kinasih Syahrir, Siti Salfira, Alfiah Sarah Zainida, Arrum Rufaedhatul MM, Nur
Oktaviani, Putri Permata Hati, Sania Yulianti

A. Latar Belakang Sejarah Konseling Transkultural

Pendekatan transkultural berasal dari istilah konseptual


transculturación, yang diciptakan oleh Fernando Ortiz dalam
studinya tentang proses rekonfigurasi budaya di Kuba modern
awal, pertama kali diterbitkan pada tahun 1940. Tujuan Ortiz
adalah menemukan alternatif konseptual untuk istilah "akulturasi"
yang, Menurutnya, proses interaksi antar kelompok yang berbeda
asal budaya tidak hanya mengakibatkan proses transmisi,
penerimaan, adaptasi, dan asimilasi, tetapi juga mengarah pada
transformasi dan penggabungan unsur-unsur budaya yang
sebelumnya berbeda dalam budaya baru.

Pada saat yang sama, sarjana humaniora dan ilmu sosial


menjadi semakin sadar bahwa mendefinisikan budaya sebagai
sistem tertutup pada dasarnya bermasalah. Hal ini dapat
disaksikan dalam karya-karya para pendukung, misalnya, studi
pasca-kolonial seperti Homi Bhabha, dan mengakibatkan
munculnya definisi yang dimodifikasi dari istilah "transkultural”.
Sejak akhir abad kedua puluh, dan terutama sejak dekade kedua
dari dua puluh satu, jumlah publikasi yang menggunakan
paradigma yang dimodifikasi ini, dan dengan demikian
menganalisis sejumlah besar tema dan bidang penelitian dari
perspektif transkultural, telah meningkat secara signifikan.
Perlahan tapi pasti, pendekatan metodologis mulai berkembang,
yang secara tematis berfokus pada proses interaktif dan dengan
demikian mengikuti tradisi Ortiz dan profesi yang diuraikan di
atas. Namun secara metodologis, pendekatan ini mendukung
sejumlah prinsip dari studi pasca kolonial, yaitu perlunya
memandang fenomena interaksi budaya tidak hanya dari satu,

30
mis. Perspektif "Eurosentris", tetapi menganalisis setiap
fenomena dari yang berbeda, mis. “subaltern”, sudut pandang
dengan tujuan mengungkap dan mewakili secara memadai
kompleksitas hubungan manusia dan persepsi terkait.sepenuhnya
mengungkapkan dan mengungkapkan kompleksitas hubungan
manusia dan persepsi yang terkait dengannya.

B. Definisi Konseling Transkultural

Konseling transkultural mengasumsikan sikap bahwa


konseling dan usaha membantu lainnya dapat terjadi lintas
budaya, bangsa, dan benua. Untuk mengambil sikap ambisius
seperti itu, seseorang harus membahas praktik konseling dari
banyak perspektif. Itu tidak dapat didorong oleh satu teori,
pandangan dunia, atau sistem kepercayaan. konseli tidak datang
dalam paket berlabel rapi yang memberi tahu konselor atau
terapis pendekatan apa yang paling berhasil. Pendekatan yang
dibahas di sini menggabungkan teori pandangan dunia
eksistensial, bersama dengan penggunaan Skala untuk Menilai
Pandangan Dunia dan konsep identitas budaya sebagai mediator
untuk konseling khusus budaya. dan psikoterapi (Ibrahim, 1991).

Definisi konseling transkultural ini sangat luas. Setiap


pertemuan yang melibatkan individu dari dua ras, budaya, gender,
generasi, tahapan kehidupan, orientasi seksual, atau agama yang
berbeda dianggap sebagai pertemuan transkultural (Ibrahim,
1985a). Dalam konseling transkultural, pandangan dunia dan
identitas budaya merupakan variabel mediasi yang digunakan
untuk memahami identitas budaya dan gender konseli (Ibrahim,
1991; Ibrahim et al., 1994). Pandangan dunia merupakan
kontribusi yang signifikan dari literatur konseling multikultural ke
bidang generik konseling, pendidikan, pelatihan, dan
pengembangan (Ibrahim, 1984b, 1985a, 1985b, 1991; D. W. Sue,
1978; D. W. Sue & Sue, 1991). Ini adalah variabel mediasi yang
membuat pengetahuan tentang kelompok budaya tertentu dan
pengetahuan tentang budaya yang konsisten dan teknik budaya

31
tertentu menjadi bermakna (Ibrahim, 1991). Tanpa pandangan
dunia sebagai variabel mediasi, baik pengetahuan tentang budaya
tertentu dan teknik budaya tertentu dapat menjadi disalahgunakan,
yang mengarah pada tuduhan pelanggaran etika dan penindasan
budaya.

C. Kebutuhan Konseling Transkultural

Selama lebih dari dua dekade, literatur konseling telah


mengungkapkan keprihatinan mengenai kelangsungan model
konseling yang tersedia, khususnya karena ini bertumpu pada
nilai-nilai dan sistem kepercayaan dari sudut pandang mayoritas.
Amerika Serikat, sebagai pemimpin dunia dalam psikologi
konseling, mengekspor filosofi arus utama Amerika mengenai
konseling dan psikoterapi ke Afrika, Asia, Eropa Timur, Amerika
Selatan, dan negara-negara Lingkar Pasifik. Model arus utama ini
secara sistematis menyangkal realitas sistem pemikiran non-Barat.
Di Amerika Serikat, model-model ini melanggar imigran, etnis
minoritas, perempuan, dan penyandang disabilitas dan gaya hidup
yang berbeda (American Association for Counseling and
Development, 1987; Castillo, 1997; lbrahim, 1986,1991; lbrahim
& Arredondo, 1986,1990; Pedersen, 1986).

Pedersen, Fukuyama, dan Heath (1989) mencatat bahwa


penelitian tentang konseli, konselor, dan variabel kontekstual
menghasilkan hasil yang beragam. Rekomendasi yang mendorong
terapis untuk peka terhadap budaya dan mengetahui budaya
konseli juga tidak terbukti sangat efektif (S. Sue & Zane, 1987).
Lebih jauh lagi, teknik-teknik khusus budaya yang diterapkan
pada konseli lintas budaya, tanpa memperhatikan ketepatan teknik
untuk konseli tertentu, menimbulkan ancaman penindasan
budaya. S. Sue (1988) mencatat bahwa faktor budaya dalam
pengobatan konseli etnis minoritas telah menerima perhatian
terbesar di antara terapis, namun layanan kepada konseli minoritas
atau budaya yang berbeda tetap tidak memadai. Hal ini
disebabkan kurangnya konselor bilingual dan bikultural, stereotip

32
dan bias yang dimiliki konselor, dan ketidakmampuan terapis
untuk memberikan bentuk pengobatan yang responsif secara
budaya. Ketidakcukupan ini dikaitkan dengan model pelatihan
yang telah dikembangkan untuk kelompok mayoritas di Amerika
Serikat (Ibrahim, Stadler, Arredondo, & McFadden, 1986;
Ponterotto & Casas, 1987).

D. Pendekatan Konseling Lintas Budaya

Setidaknya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas


budaya: Pertama, pendekatan universal atau etis yang
menekankan inklusi, universalitas komunitas atau kelompok.
Kedua, pendekatan emik (khusus budaya) menyoroti ciri khas
kelompok populasi tertentu dan kebutuhan konseling khusus
mereka. Dan Mahtani (1989). berjudul Intercultural Action
Advice. Mereka menggunakan istilah ekstasi daripada konseling
antar budaya atau lintas budaya untuk menekankan bahwa
berpartisipasi dalam konseling adalah proses yang positif dan
timbal balik (Palmer dan Laungani, 2008:156). Namun,
Fukuyama (1990), yang memiliki pandangan yang sama juga
menunjukkan bahwa pendekatan inklusif yang juga dikenal
sebagai konseling "multikultural" menggunakan pendekatan emic;
karena digitalisasi menunjukkan bahwa isi dokumen
menggambarkan karakteristik, nilai, dan teknik untuk bekerja
dengan populasi tertentu di mana perbedaan budaya berlaku.

Pendekatan konseling transkultural mencakup komponen


berikut.

1. Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya


dari pendekatan konseling yang digunakannya.
2. Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan
pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya
konseli.
4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan
kompleksitas lintas budaya.

33
Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transkultural
sebagai berikut:

1. Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan


kebenaran untuk kepentingan konseling;
2. Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari
budaya lain;
3. Kelas dan gender berinteraksi dengan budaya dan
berpengaruh terhadap outcome konseling.

E. Konteks Transkultural Dan Definisi Diri

Para antropolog memiliki minat jangka panjang pada


penyakit mental (Marsella, 1993), namun antropologi tidak
berdampak langsung pada teori psikologi sampai tahun 1980
(Castillo, 1997). Penelitian dalam antropologi menunjukkan bahwa
budaya dunia dan budaya Amerika Serikat dapat dikategorikan ke
dalam dua kutub yang berlawanan dalam hal bagaimana diri
didefinisikan, dikonseptualisasikan, dan diartikulasikan (Bateson &
Mead, 1942; Gaines, 1982; Geertz, 1973; Shweder & Miller, 1985).
Kedua jenis konteks budaya ini adalah (a) relasional (Cohen, 1969)
dan (b) kontekstual atau analitik (Geertz, 1973; Shweder & Miller,
1985). Kedua budaya ini berbeda dalam definisi gagasan tentang diri
dan bentuk. diri individu menurut kerangka budaya ini. Sistem
budaya relasional atau analitis memiliki asumsi yang berbeda
mengenai gagasan diri, otonomi, konsep waktu, konstruksi kontrol
pribadi, pemahaman pikiran dan tubuh, dan konstruksi moralitas
(Landrine, 1992).

Dalam sistem budaya relasional, diri adalah indeksikal,


otonomi ditentukan oleh konteks keluarga/kelompok, waktu adalah
polikronik, kontrol pribadi adalah sekunder, pikiran dan tubuh dilihat
secara holistik, dan moralitas ditentukan oleh tugas. Dalam sistem
budaya analitis, diri adalah referensial, otonomi dicontohkan oleh
asumsi individualistis, waktu adalah monokronis, kontrol pribadi

34
adalah yang utama, pikiran dan tubuh dianggap sebagai dualistik,
dan moralitas ditentukan oleh orientasi hak (Landrine, 1992).

F. Peran Identitas Gender Dalam Intervensi Konseling

Hansen dan Gama (1996) mengkritik teori dan proposisi


konseling multikultural dan mencatat bahwa gender telah diabaikan
dalam domain ini. Gender membatasi pengalaman laki-laki dan
perempuan dalam konteks budaya apapun. Castillo (1997)
mendefinisikan masyarakat unik yang diadopsi oleh Homo sapiens
sebagai "dominan laki-laki yang kooperatif". Sistem ini ditandai
dengan tingginya tingkat kerjasama antara laki-laki untuk
mendominasi perempuan dan mengontrol seksualitas perempuan.
Patriarki dan sistem sosial yang menempatkan laki-laki lebih tinggi
dalam konteks sosial menciptakan dua dunia yang berbeda bagi
laki-laki dan perempuan.

Gender adalah konstruksi sosial, dan peran gender dianggap


berasal dari berbagai budaya. Dunia pria dan wanita memiliki
persamaan dan perbedaan. Hansen dan Gama (1996) mencatat bahwa
penelitian (Arredondo, Psalti, & Cella, 1993; Comas-Diaz & Greene,
1994; lhrahim, 1992a, 1992c; Ibrahim et al., 1994; P. T. Reid & Kelly,
1994; Russo & Dabul , 1994; Wore11 & Etaugh, 1994) telah memulai
integrasi budaya dan isu gender dalam konseling dan psikoterapi.
Model-model baru yang muncul menekankan persimpangan ras,
budaya, jenis kelamin, kelas, orientasi seksual, usia, dan tahap
kehidupan (Pope-Davis & Coleman, dalam pers). Pertimbangan
semua aspek kehidupan individu ini membuat konseling transkultural
menjadi proses yang kompleks untuk dilakukan. Pengetahuan dan
kesadaran tentang proses yang mendasari dimensi-dimensi ini dan
bagaimana mereka digabungkan dalam dunia setiap individu menjadi
penting untuk proses konseling dan psikoterapi.

35
G. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya

1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor


Khusus dalam menghadapi konseli yang berbeda budaya,
konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday,
M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa
konselor profesional hendaknya selalu meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling
lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang


kelompok yang dihadapi
b. Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di
negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan
perlakukan terhadap kelompok tersebut.
c. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit
tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
d. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
e. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan
bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada
konseli yang berbeda.

2. Sikap Konselor
Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling
akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu terhadap diri
konseli, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses
konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap
konseli, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan lain
sebagainya.

Menurut Rao (1992) berpendapat bahwa jika konseli


memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat
diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka
konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus,
tetapi apabila kepercayaan konseli berkaitan dengan dasar
filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat
atau agama konseli, maka konselor harus bersikap netral, yaitu

36
tidak mempengaruhi kepercayaan konseli tetapi membantunya
untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai
kebudayaan yang diyakininya.

37
BAB V

CULTURE CENTERED MODEL

Bella Ningsih, Fatimah Nuryanti, Indri Astari, Rizky Mulyanti,


Sefti Miftahul Jannah, Sri Suyanti

A. Pendahuluan

Menurut pendapat (Palmer, 2008) bahwa budaya-budaya


barat menekankan individualisme, kognitivisme, bebas, dan
materialisme sedangkan budaya timur menekankan
komunalisme, nasionalisme, determinisme, dan spiritualisme.
Konsep konsep ini bersifat kontinum tidak dichotomus.
Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu
kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan
konseli. diyakini sering kali terjadi ketidak sejalanan antara
asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang
budaya, bahkan dalam budayanya sendiri.

Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang


fundamental konselornya demikian pula, konselor tidak
memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya atau bahkan
keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan
keyakinan budaya mereka. Oleh sebab itu, pada model ini budaya
menjadi pusat perhatian artinya fokus utama model ini adalah
pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi
keyakinan dan menjadi pola perilaku individu.

Konseling lintas budaya (cross-cultural counseling) adalah


konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda. konseling lintas budaya
meliputi isu atau kondisi dimana penerapan dan implikasi
teori-teori, pendekatan dan prinsip konseling yang berasal dari
suatu konteks budaya tertentu ke dalam konteks budaya lain.

38
Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model) ini
menekankan adanya pemahaman yang utuh dan benar dari kedua
belah pihak, konselor dan konseli, dalam memandang budaya
mereka masing-masing. Model ini menekankan konselor dan
konseli untuk introspeksi dan mengevaluasi budaya mereka,
sehingga terjadi kekerasan serta pemahaman akan penilaian
terhadap budaya masing-masing.

Palmer dan Laungani berpendapat bahwa budaya-budaya


barat menekankan individualisme, kognitivisme, bebas, dan
materialisme, sedangkan budaya timur menekankan
komunalisme, nasionalisme, determinisme, dan spiritualisme.
Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikotomus. Pengajuan
model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir
(framework) korespondensi budaya konselor dan konseli.
Diyakini, sering kali terjadi ketidak sejalanan antara asumsi
konselor dengan kelompok kelompok konseli tentang budaya,
bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti
keyakinan keyakinan budaya yang fundamental konselornya
demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan
budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan
tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.

B. Pengertian Budaya

Budaya adalah yang terinternalisasi, dipelajari perspektif


yang menggabungkan ajaran dari setiap signifikan kelompok,
orang, atau gagasan yang masing-masing telah dialami, baca,
didengar atau menjadi sadar dalam beberapa hal. Setiap orang
memiliki banyak budaya yang berbeda oleh karena itu walaupun
budayanya tidak sama pentingnya dalam setiap situasi. Setiap
budaya perlu peran penting dalam hal berdasarkan etnografi
(etnis, kebangsaan, bahasa), demografis (usia, jenis kelamin,
tempat tinggal), status (sosial, pendidikan, ekonomi), atau aspek
afiliasi (formal atau informal) dari individu identitas budaya.

39
Budaya adalah kebutuhan yang rumit dan inklusif, setiap
upaya untuk mengurangi budaya ke bentuk yang sederhana
menghasilkan penilaian stereotip tentang seseorang menurut
etnis, usia, jenis kelamin, agama, atau aspek lain yang
mengabaikan karakteristik dalam kelompok. Misalnya, gender
mungkin menjadi paling menonjol faktornya pada masalah
keuangan, status sosial ekonomi, mungkin lebih menonjol
daripada etnis atau kebangsaan.

Perilaku individual ini berbeda dari berpusat pada orang,


pendekatan ini menganggap bahwa individu memutuskan dan
berfungsi secara independen dari konteks yang didefinisikan
secara budaya dan mungkin tidak mengenali pengalaman budaya
yang mendefinisikan. Berpusat pada perilaku seseorang
merupakan data tanpa mengacu pada harapan yang dipelajari
secara budaya dan nilai-nilai yang mengendalikan perilaku
tersebut sedangkan pendekatan situation centered menjelaskan
dunia melalui transaksi dan interaksi kelompok tanpa
memperhatikan individu identitas budaya terlepas dari sistem
budaya tertentu atau kelompok

C. Tahapan dalam berpusat pada budaya

1. Tahap 1, menyadari asumsi pertama dalam


mengembangkan konseling yang berpusat pada budaya
membutuhkan kesadaran yang akan diasumsikan dan
dipelajari secara budaya, harapan, dan nilai-nilai yang
mengendalikan perilaku dan memberikan pengalaman
bagi setiap orang atau kelompok. Setiap orang dilahirkan
dengan warna kulit tertentu yang perbedaan individu.
perilaku seseorang menjadi informasi yang bermakna jika
terhubung dengan asumsi yang dipelajari secara budaya
di perilaku tersebut.
2. Tahap 2, mengumpulkan pengetahuan yang akurat dalam
mengembangkan keterampilan yang berpusat pada
budaya adalah untuk meningkatkan pengetahuan yang

40
akurat tentang budaya. Konselor yang berpusat pada
budaya dipaksa untuk mengandalkan tentang harapan
konseli.
3. Tahap 3, mencapai keterampilan yang efektif,
pengembangan keterampilan multikultural membuhkan
repertoar respon yang luas dan berbeda secara budaya
untuk masing-masing keterampilan konseling. Fungsi dari
keterampilan konseling berpusat pada budaya adalah
untuk menafsirkan masalah penyajian individu dalam
konteks budayanya. Oleh karena itu, konseling yang
berpusat pada budaya adalah interaksi tiga arah antara
konselor, konseli, dan masalah dari konteks budaya
konseli. Ketika konselor dan konseli berkomunikasi, tiga
percakapan terjadi saat bersamaan diantaranya yaitu:
a. Percakapan pertama, pertukaran pesan verbal dan
nonverbal yang dilihat dan didengar oleh konselor
dan konseli.
b. Percakapan kedua, terjadi di dalam pikiran
konselor saat dia memproses pesan dan
mengamati konseli.
c. Percakapan ketiga, konselor dapat dengan mudah
memantau pertukaran verbal dan nonverbal dan
dialog internalnya sendiri.

D. Konseling Berpusat pada Budaya: Sadar Diri

Konselor harus mengembangkan sikap yang menunjukkan


rasa hormat dan kenyamanan dengan beragam kelompok dalam
masyarakat. Mereka harus memahami pribadi mereka latar
belakang budaya dan sejauh mana pandangan dunia ini tercermin
dalam pendidikan profesional. Untuk mencapai kompetensi ini,
konselor perlu menyadari kompleksitas budaya (Matsumoto,
1996; Pedersen & Ivey,1993). Konselor harus menyadari latar
belakang budaya mereka dan sosialisasi serta pemahaman tentang
bagaimana warisan mereka mungkin ada mempengaruhi
kelompok lain dalam masyarakat yang pluralistik secara budaya.

41
Konselor, yang meminimalkan perbedaan budaya,
cenderung memaksakan pandangan dunia pada konseli mereka.
Di sisi lain, terlalu menekankan perbedaan budaya dapat
mengakibatkan posisi terpolarisasi antara konselor dan konseli,
mengakibatkan kesulitan menemukan landasan bersama untuk
membangun konseling.

Hubungan yang ideal adalah menjaga keseimbangan


antara mengakui pentingnya persamaan dan perbedaan dan
berusaha memahaminya untuk mempertahankannya komunikasi
fasilitatif dalam hubungan konseling (Pedersen, 1994). Konselor
perlu memahami bagaimana sejarah warisan mereka telah
membantu untuk membentuk keyakinan mereka tentang fungsi
manusia dan konsep normal. Di Selain itu, konselor perlu
memahami dampak sosial mereka pada orang lain. Ridley dan
rekan (Ridley, 1995; Ridley, Mendoza, Kanitz, Angermeier, &
Zenk, 1994) telah menyarankan bahwa kepekaan budaya konselor
terkait dengan persepsi skema yang dikembangkan melalui
pengkondisian budaya. konselor mungkin memiliki
kecenderungan transferensi budaya yang disebabkan oleh
identifikasi berlebihan dengan kelompok yang tidak dominan.

Ketika tidak menyadari kecenderungan ini, konselor dapat


memproyeksikan perasaan ke konseli dari kelompok
non-dominan. Selain itu, konselor harus menyadari
kecenderungan mereka untuk menggunakan norma mayoritas
sebagai ukuran perilaku normal, terlalu menghargai
individualisme dan kemandirian, dan terlalu mengandalkan gaya
berpikir linier. Konselor harus menyadari bahwa keefektifan
mereka sebagian tergantung pada kesadaran mereka tentang
"budaya dalam" pribadi mereka dan bagaimana budaya itu
berbeda dari konseli dari kelompok non-dominan, yaitu idiografik
perspektif (Ridley, 1995).

Konselor memiliki tanggung jawab untuk mencari


informasi yang meningkatkan kompetensi untuk memberikan

42
layanan kepada kelompok-kelompok budaya yang beragam. Misal
seperti Darou (1987) menegaskan bahwa ada bukti bahwa struktur
psikologis, emosional, make-up, sikap dan keyakinan dan
nilai-nilai orang Pribumi berbeda dari mereka yang bukan
Pribumi. Penduduk asli sangat menghargai komunikasi dengan
tidak sadar, cenderung tidak mengungkapkan kemarahan, sangat
bergantung pada non-verbal komunikasi dan mungkin
memandang pertanyaan sebagai gangguan.

E. Memahami Pandangan Dunia konseli yang Berbeda Budaya

Kultural pengetahuan mencakup informasi tentang akar


budaya konseli, nilai-nilai, masalah yang dirasakan dan intervensi
yang disukai, serta setiap perbedaan signifikan dalam kelompok,
termasuk perbedaan tingkat status sosial ekonomi, akulturasi dan
komitmen identitas rasial. Pengaruh ini memainkan peran penting
dalam membentuk pandangan dunia individu (McCormick &
Amundson, 1997).

Konselor yang memahami pandangan dunia konseli


mereka mampu membangun hubungan berdasarkan pemahaman
bersama tentang persepsi konseli kerangka kerja dan mampu
secara tepat menanggapi tingkat kebutuhan konseli untuk
penyuluhan. Ketika konselor memahami perkembangan politik,
ekonomi, sejarah, sosial dan psikologis khusus untuk kelompok
budaya tertentu, mereka memiliki skema konseptual yang sesuai
di mana untuk memahami konseli dari kelompok non-dominan.
Dalam hubungan konseling, konselor tidak boleh mengandalkan
konseli untuk menjelaskan budaya mereka. Konselor perlu
menyadari tingkat akulturasi konseli dari kelompok non-dominan
telah diadopsi. Konflik antargenerasi, sumber yang sama stres
antara anak-anak kelompok budaya non-dominan dan orang tua
mereka, adalah terutama karena proses akulturasi (Sodowsky,
Kuo-Jackson, & Loya, 1997).

43
Konselor perlu memahami bagaimana diskriminasi dapat
mempengaruhi kesejahteraan psikologis dari kelompok budaya
yang berbeda dan hambatan yang membatasi ketersediaan layanan
kesehatan mental bagi mereka. Tanpa informasi budaya, konselor
mungkin terlibat dalam pemrosesan informasi yang salah yang
dapat membatasi konseli dengan warisan kelompok non-dominan
dari akses ke berbagai layanan konseling (Diller, 1999). Sebagai
ilustrasi, banyak orang Asia generasi pertama di Amerika Utara
cenderung menunjukkan sedikit atau tidak ada pengaruh dalam
wawancara konseling, dan mungkin mengekspresikan kesulitan
emosional dengan menekankan gejala seperti sakit kepala, atau
lainnya kesulitan fisiologis (Lecca, Querval, Nunes, & Gonzales,
1998).

Konselor sebaiknya terlibat dalam acara multikultural di


dalam komunitas mereka. Keterlibatan semacam itu memiliki
hubungan intrapersonal dan interpersonal manfaat (Rungta,
Margolis, & Westwood, 1993). Ini memberikan konselor dan
pemahaman pengalaman kelompok budaya, dan, juga, membantu
untuk membangun menjembatani antara kelompok dominan dan
non-dominan dalam komunitas mereka (Diler, 1999).

F. Psikoterapi Berpusat Budaya

Budaya dalam konteks psikoterapi, dapat digambarkan


sebagai cara hidup sekelompok orang tertentu, yang biasanya
mereka gunakan untuk mengekspresikan emosi. Ini dapat dilihat,
misalnya, dari sudut pandang idiom, kosa kata dan kekhususan
bahasa, kebiasaan, cara, dan karakteristiknya. Oleh karena itu,
diasumsikan bahwa budaya bersifat kontekstual dan dinamis
(Libben & Lindner, 1996). Dunia pada umumnya memiliki
banyak budaya dan oleh karena itu, harus memiliki banyak dan
beragam bentuk psikoterapi. Jadi, yang dimaksud dengan
psikoterapi “berpusat pada budaya” adalah psikoterapi semacam
itu yang tertanam atau berakar dalam budaya konseli, dengan
kesadaran penuh, namun budaya itu tidak statis tetapi dinamis.

44
Menurut Ebigbo dan Ihezue (1981), ada tiga jenis konseli
(di Afrika) - tipe tradisional, campuran, dan berorientasi barat.
Tipe tradisional tumbuh dan menghabiskan sebagian besar
tahun-tahun pembentukannya di daerah pedesaan. Citra dunia
mereka analogis, hal-hal gaib, dan bergambar. Mereka selalu pergi
ke dukun jika ada masalah kesehatan. Jenis campuran antara lahir
atau dibesarkan di daerah pedesaan tetapi pindah ke kota untuk
bekerja dan hidup sebagai orang dewasa atau dibesarkan di kota
tetapi terus memiliki ikatan yang sangat kuat dengan daerah
pedesaan dan adat istiadat mereka. Tipe ini merupakan
kompendium dari dua sistem budaya (tradisional dan berorientasi
barat), karena ia memiliki kecenderungan untuk menggunakan
dua metode budaya penyembuhan secara bersamaan. Beberapa
dari mereka juga berkonsultasi dengan dukun. Sebagian besar tipe
konseli berorientasi barat lahir dan dibesarkan di kota. Mereka
berpendidikan, kebanyakan Kristen atau Islam, mereka berasal
dari keluarga monogami dan orang tuanya juga berpendidikan.
Sejak kecil, mereka selalu dirawat di rumah sakit dan tidak pernah
terpikir untuk berobat ke dukun. Bentuk-bentuk psikoterapi barat
akan menarik bagi kelompok konseli ini. Psikoterapi Berpusat
pada Budaya juga akan menarik bagi banyak dari mereka.

G. Kesimpulan

Budaya adalah yang terinternalisasi, dipelajari perspektif


yang menggabungkan ajaran dari setiap signifikan kelompok,
orang, atau gagasan yang masing-masing telah dialami, baca,
didengar atau menjadi sadar dalam beberapa hal. Setiap orang
memiliki banyak budaya yang berbeda oleh karena itu walaupun
budayanya tidak sama pentingnya dalam setiap situasi. Setiap
budaya perlu peran penting dalam hal berdasarkan etnografi
(etnis, kebangsaan, bahasa), demografis (usia, jenis kelamin,
tempat tinggal), status (sosial, pendidikan, ekonomi), atau aspek
afiliasi (formal atau informal) dari individu identitas budaya.

45
Budaya-budaya barat menekankan individualisme,
kognitivisme, bebas, dan materialisme sedangkan budaya timur
menekankan komunalisme, nasionalisme, determinisme, dan
spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak
dikotomus. Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan
pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya
konselor dan konseli.

Setiap negara memiliki banyak budaya, bahkan dalam satu


negarapun memiliki macam budaya, ketika melakukan konseling
sudah dipastikan budaya konselor dengan kelompok konseli pasti
memiliki latar budaya yang berbeda beda. Oleh sebab itu pada
model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama
model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya
yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu.
Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan
konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan
cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga
terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang
masing-masing.

46
BAB VI
KONSELING ETNOMEDIKAL MODEL
Miftahussaadah, Indri Wulandari, Wiwied Widya Amalia,
Shabrinah Tsania Azzahra, Alamanda

A. Latar Belakang Konseling Etnomedikal Model

Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan


Fraser (1979) yang dalam pengembangannya dilanjutkan oleh
Alladin (1993). Model etnomedikal merupakan alat konseling
transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog
terapeutik dan peningkatan sensitivitas transcultural. Pada model ini
menempatkan individu dalam konsep sakit dalam budaya dengan
sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pengobatan


tradisional sering disebut juga etnomedisin didefinisikan sebagai
kumpulan pengetahuan, keterampilan dan praktik berdasarkan pada
teori, keyakinan dan pengalaman adat budaya yang digunakan dalam
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit dan peningkatan
performa fisik dan mental, yang telah digunakan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya (WHO, 2000;
Choi, 2008).

Etnomedisin adalah cabang antropologi medis yang membahas


asal mula penyakit, sebab-sebab dan cara pengobatan menurut
kelompok masyarakat tertentu. Etnomedisin adalah aspek yang
muncul seiring perkembangan kebudayaan manusia di bidang
antropologi medis, etnomedisin memunculkan anggapan yang
beragam. Cabang ini sering disebut pengobatan tradisional,
pengobatan primitif, tetapi etnomedisin terasa lebih netral (Foster
dan Anderson, 1986).

Pengobatan alternatif atau yang biasa disebut sebagai


ethnomedicine dalam perspektif antropologi adalah pengobatan

47
tradisional pada suatu kelompok etnik yang secara khusus
dipengaruhi oleh lokasi dimana mereka tinggal (Northridge, Mack,
2002).

B. Definisi Konseling Etnomedikal Model

Etnomedisin secara etimologi berasal dari kata Ethno (Etnis)


dan Medicine (Obat). Hal ini menunjukan bahwa Etnomedisin
sedikitnya berhubungan dengan dua hal yaitu etnis dan obat.
Etnomedisin merupakan praktek medis tradisional yang tidak berasal
dari medis modern. Etnomedisin tumbuh berkembang dari
keanekaragaman suku bangsa dan budaya yang membawa
konsekuensi pada beragamnya sistem medis (tradisional maupun
modern) di masyarakat.

Sistem medis merupakan unsur universal dari suatu


kebudayaan sehingga sistem medis adalah bagian integral dari
kebudayaan. Oleh karena itu, masing-masing sistem medis memiliki
konsep sehat sakit yang berbeda, demikian juga upaya
pengobatannya. Klasifikasi penyebab penyakit ada yang dianggap
berasal dari sistem naturalistik (kekuatan alam, ketidakseimbangan
diri individu, tidak mengenai orang tertentu) maupun personalistik
(intervensi dari suatu agen baik supernatural maupun manusia).

C. Jenis Konseling Etnomedikal Model

1. Konsepsi sakit (sickness conception). Seseorang dikatakan


sakit apabila melakukan penyimpangan norma-norma
budaya, Melanggar batas-batas keyakinan agama dan
berdosa, Melakukan pelanggaran hukum, Mengalami
masalah interpersonal.
2. Causal/healing belief. Menjelaskan model healing yang
dilakukan dalam konseling, Mengembangkan pendekatan
yang cocok dengan keyakinan konseli, Menjadikan
keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor,
Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu
berbagi (share) tentang keyakinan yang sama.

48
3. Kriteria sehat (wellbeing criteria). Pribadi yang sehat adalah
seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan
alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara
penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam
komunitasnya.
4. Body function beliefs. Perspektif budaya berkembang dalam
kerangka pikir pebih bermakna, Sosial dan okupasi konseli
semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari, Muncul
intrapsikis yang efektif pada diri konseli
5. Health practice efficacy beliefs. Ini merupakan implemetasi
pemecahan masalah dengan pengarahan atas
keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli. Model
konseling lintas budaya, dapat dijadikan sebagai pedoman
konselor dalam mengimplementasikan konseling pada
populasi yang beragam secara kebudayaan.

Adapun menurut Anderson dan Foster membagi jenis


etnomedisin menjadi dua jenis yaitu:

1. Sistem personalistik merupakan suatu sistem dimana


penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu gen
yang aktif. Gen yang aktif yang dimaksud berupa makhluk
supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan
manusia (seperti hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun
makhluk manusia (tukang sihir atau tukang tenung).
2. Sistem naturalistik, mengakui adanya model keseimbangan
dalam tubuh manusia. Sehat terjadi jika unsur-unsur yang
ada dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh, yin dan
yang, berada dalam keadaan seimbang (Anderson dan Foster,
1986).

D. Macam-macam Pengobatan Pada Konseling Etnomedikal


Model

Berikut ini terdapat berbagai macam cara pengobatan pada


teori etnomedikal.

49
1. Pengobatan modern memandang penyakit hanya sebagai
suatu kondisi biologis yang ditandai dengan kelainan pada
fungsi atau struktur organ-organ tertentu atau seluruh sistem
organ.
2. Pengobatan tradisional menganggap penyakit lebih dari itu
selain biologis mereka juga melibatkan aspek spiritual,
psikologis dan sosial tertentu dari orang yang terkena.

E. Fungsi Model Ethnomedical

1. Mampu menentukan sehat dan sakit


2. Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
3. Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
4. Menyadari dan memahami budayanya sendiri

F. Persyaratan Konselor

Menurut Lorion dan Parron (1985) mengemukakan


persyaratan konselor, yaitu :

1. Konselor harus berlatih secara khusus dalam perspektif


multibudaya, baik akademik maupun pengalaman
2. Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap
situasi-situasi khusus konseli
3. Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji

50
DAFTAR PUSTAKA

Abu, A., & Ahmad, R. (1991). Bimbingan dan Konseling di Sekolah .


Jakarta: Rineka Cipta.
Ahia, C. E. (1984). Cross-cultural counseling concerns. The Personnel
and Guidance Journal, 62, 339-341. Alo, L. M. (2013).
Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya . Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ahmad, U. (2016). Konseling Lintas Budaya Perspektif Abdurrahman
Wahid. Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 7 (1).
Atkinson, D. R., Morten, G., & Sue, D. W. (1989). Counseling
American minorities: A Cross-cultural perspective.
Dubuque: IA:Brown.
Corey, G. (1991). Theory And Practice Of Group Counseling. California.
Brooks/Cole Publishing Company.
Corey, G. (2009). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
Bandung: Refika Aditama.
Dayakisni, T. (2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: Umm Press.
Dedi, S. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan relevansinya di
Indonesia. Bandung: UPI.
Elistiani, T. (2017). Meningkatkan Minat Belajar Siswa Melalui
Konseling Eklektik Dengan Menggunakan Media Superhero pada
Siswa Kelas VIII-6 SMP Negeri 5 Sibolga. Jurnal Psikologi
Konseling , 11 (2), 1-13.
Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To
Multicultural Counseling”. Counselor Education And Supervision,
30, 6-17.
Geldard, & Kathryn. (2011). Keterampilan Praktik Konseling:
Pendekatan Integratif terj. Practical Counseling Skills An
Integratif . Yogyakarta: Palgrave Macmillan .
Halgin, R.P, & Whitbourne, S.K. (2010). Psikologi Abnormal (Perspektif

51
Klinis Pada Gangguan Psikologi). Jakarta: Salemba Humanika.
Irawanto, B. (2007). 2007. Riset Etnografi Metode Penelitian
Komunikasi Kualitatif, 7 (1).
Januszkowski, T. (2000). The Multicultural Counseling Competencies of
Canadian Counselors. Degree of Master of Science Department
of Educational Psychology Calgary. Thesis.
Khotijah, L. N. (2015). Skripsi Konseling Integratif dalam Menangani
Gangguan Konsentrasi Belajar pada Anak ADHD (Attention
Deficit Hyperativity Disorder): Studi Kasus Kumbang di SLB
Yapenas Pringwulung Yogyakarta. Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Masutomo, D. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Pustaka
Belajar.
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A
Multicultural Society. London : Sage Publisher.
Saputro. (2011). Piil Pesenggiri: Etos dan Semangat Kelampungan.
Bandar Lampung: Jung Foundation Lampung Heritage dan Dinas
Pendidikan Lampung.
Sarwono, W. (2004). Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: Raja Grafindo.
Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory
And Practice. New York John Wiley And Sons, Inc
Sue, D. (2015). Terapi Multikultural. International Encyclopedia of the
Social & Behavioral Sciences .
Sue, S., & Zane, N. (1987). The role of culture techniques in
psychotherapy. A critique and reformulation. American
Psychology, 42, 37-45.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-Isu dan Relevansi Di
Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Supriyatna, M. (2011). Bimbingan dan Konseling Berbasis
Kompetensi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Stephen, P. (n.d.). Konseling dan Psikoterapi.

52
Tohirin. (2007). Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah
(Berbasis Integrasi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Triningtyas, D. A. (2019). Konseling Lintas Budaya. Magetan: CV. AE
Media Grafika.
Vontress , C. E. (1979). Cross-cultural counseling: An existential
approach. The Personnel and Guidance Journal, 58, 117-122.

53
KONSELING
LINTAS BUDAYA

Tim Penyusun
Ratna Upika Sari, Miftahul Zanah, Risky Millenia, Naura Fakhirah, Cilvi Claodia
Clorean, Annida Mutiara Rizqie, Sutrisno, Miftahul Rizky, Atiqah Maula, Chindy
Regita, Salva Wahyuni, Ummi Fikroh, Dafina Damayanty Dewi, Dewi Nurwanti,
Nanda Putriatna, Listia Rahayu Ningtias, Alfina Dwiandriani, Febriati Indifiani,
Shofiy Rodhiyah,Laras Kinasih Syahrir, Siti Salfira, Alfiah Sarah Zainida, Arrum
Rufaedhatul MM, Nur Oktaviani, Putri Permata Hati, Sania Yulianti, Bella Ningsih,
Fatimah Nuryanti, Indri Astari, Rizky Mulyanti, Sefti Miftahul Jannah, Sri Suyanti,
Miftahussaadah, Indri Wulandari, Wiwied Widya Amalia, Shabrinah Tsania Azzahra,
Alamanda

Universitas
Islam
Assyafi'iyah

Anda mungkin juga menyukai