Anda di halaman 1dari 46

PROPOSAL PENELITIAN

PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH UNTUK

MENINGKATKAN MUTU TENAGA PENDIDIK (STUDI MULITISITUS

DI UPT SD NEGERI KECAMATAN KRATON KAB PASURUAN)

PROPOSAL TESIS

AISATUL WIDAT
100

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN

UNIVERSITAS GRESIK

2020
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Konteks Penelitian.....................................................................................1
B. Fokus Penelitian........................................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................9
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................9
E. Orisinalitas Penelitian..............................................................................10
F. Batasan Istilah.............................................................................................15
G. Sistematika Pembahasan......................................................................... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................17
A. Manajemen Berbasis Sekolah................................................................. 17
1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah............................................17
2. Teori Tentang MBS.............................................................................19
3. Karakteristik MBS...............................................................................21
4. Ciri-ciri MBS.......................................................................................23
B. Mutu Tenaga Pendidik............................................................................ 25
1. Pengertian Mutu Tenaga Pendidik.......................................................25
2. Standar Mutu Tenaga Pendidik........................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 34
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian..............................................................34
B. Kehadiran Peneliti...................................................................................36
C. Latar Penelitian........................................................................................37
D. Data dan Sumber Data Penelitian............................................................37
E. Teknik Pengumpulan Data......................................................................38
F. Teknik Analisis Data...................................................................................42
G. Pengecekan Keabsahan Data...................................................................45
DAFTAR RUJUKAN............................................................................................48
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Penyelenggaraaan pendidikan di Indonesia yang pada mulanya bersifat sentralistik,
membuat proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tidak merata yang mana sebagian
besar SDM yang berkualitas hanya dimiliki atau berada di wilayah perkotaan. Keadaan
demikian menjadikan pemerintah mengambil kebijakan dengan mengubah sistem
pendidikan nasional yang awalnya sentralistik menjadi sistem desentralisasi untuk
memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia secara merata dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yakni undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis
Pembangunan Nasional tahun 2000-2004.
Disisi lain, dalam undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menegaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa1. Landasan normatif tersebut sebenarnya sudah cukup
menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan desentralisasi pendidikan. akan tetapi, perlu juga
adanya standarisasi dan pengendalian mutu secara nasional sebagai upaya membentuk
kesatuan “referensi” dalam mencapai pendidikan yang berkualitas.
Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di
sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai
komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di
sekolah. Dalam kerangka inilah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tampil sebagai
paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. Konsep MBS ini merupakan
pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesign pengelolaan sekolah dengan
memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada kepala sekolah untuk menata, mengatur dan
mengelola sekolah serta meningkatkan partisipasi masyarakat. 2 Dengan adanya MBS ini
diharapkan mampu untuk meningkatkan mutu pendidikan yang juga berorientasi pada proses
pelaksanaan pendidikan, bukan hanya berorientasi pada input yang selama ini banyak terjadi
pada sekolah di Indonesia.

1
Umiarso dan Imam Gojali, Manajemen, hlm. 395.
2
Edi Setiawan, Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMK Negeri 1 Bantul,
(Yogyakarta: Jurnal Manajemen Pendidikan Edisi ke 1, 2016)
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja
sekolah melalui pemberian wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah
yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan sekolah yang baik, yaitu
partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Kinerja sekolah meliputi peningkatan kualitas,
efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Kualitas merupakan gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa
yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan. 3 Dalam
konteks pendidikan, kualitas meliputi input, proses, dan output. Untuk output sekolah dapat
dikategorikan menjadi akademik seperti Nilai Ujian Akhir Nasional dan nonakademik
seperti kesenian dan olahraga. Mutu output sekolah dipengaruhi oleh kesiapan input dan
proses pendidikan. kuantitas input sekolah antara lain jumlah guru, modal sekolah, bahan,
dan energi. Kuantitas output sekolah antara lain terdiri atas jumlah siswa yang lulus setiap
tahun.
Sebagai contoh produktivitas, misalnya sebuah sekolah dapat meluluskan siswa
lebih banyak pada tahun ini daripada tahun sebelumnya dengan input yang sama (jumlah
guru, fasilitas, dsb), dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih produktif
daripada tahun sebelumnya. Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana tujuan
dapat dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil
yang diharapkan.4 Misalnya, Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) ideal adalah 60, namun
NUAN yang diperoleh siswa hanya 45, maka efektivitasnya adalah 45:60=75%.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi
eksternal. Efisienisi internal menunjukkan hubungan antara output sekolah dan input yang
digunakan untuk menghasilkan output sekolah5. Efisiensi internal sekolah biasanya diukur
dengan biaya efektivitas. Setiap penilaian biaya efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu
penilaian ekonomi untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran.
Misalnya, jika dengan biaya yang sama, tetapi NUAN tahun ini lebih baik daripada tahun
sebelumnya , dapat disimpulkan bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih efisien secara
internal daripada tahun lalu.

3
Rohiat, Manajemen Sekolah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 49.
4
Rohiat, Manajemen Sekolah, hlm. 49.
5
Rohiat, Manajemen , hlm. 50.
Efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk
menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial, ekonomi dan
nonekonomi) yang didapat diluar sekolah setelah kurun waktu yang cukup panjang. 6 Untuk
mengukur efisiensi eksternal, alat yang digunakan adalah analisis biaya. Misalnya, SD 1 dan
SD 2 menggunakan biaya yang sama setiap tahunnya, tetapi lulusan SD 1 mendapatkan upah
yang lebih besar daripada SD 2 setelah mereka bekerja. Dengan hasil tersebut, maka dapat
disimpulkan SD 1 lebih efisien secara eksternal daripada SD 2.
Merubah paradigma manajemen pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi
tentu bukan hal yang mudah. Perubahan sistem yang digunakan membutuhkan adaptasi pada
tiap-tiap lembaga pendidikan sesuai dengan kondisi sosial culture lingkungan dan SDM
yang ada. Jika sebelumnya sekolah hanya menjalankan perintah dari pemerintah yang
berkuasa, maka pada saat ini sekolah diberi kebebasan dan wewenang dalam mengelola
lembaganya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat serta persaingan dalam era
globalisasi. Apakah dengan dibebaskannya sekolah dalam mengatur kebijakan mereka dapat
meningkatkan kualitas pendidikan? apakah sekolah dapat meningkatkan kualitas, efektivitas,
efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan dengan sistem baru tersebut?
Permasalahan yang muncul untuk meningkatkan kualitas pendidikan bukan hanya
terletak pada manajemen. SDM yang ada pada sebuah lembaga juga menentukan bagaimana
pendidikan dapat maju dan berkembang. Guru sebagai seorang tenaga pendidik dituntut
untuk profesional sehingga apa yang menjadi visi dan misi sebuah lembaga pendidikan
dapat terlaksana.
Menjadi seorang tenaga pendidik profesional yang bertujuan untuk mencerdaskan
bangsa bukan hal yang mudah. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya kasus kekerasan
yang dilakukan oleh oknum guru pada anak didiknya di sekolah. Kasus seperti ini tentu saja
mengusik kesadaran kita karena guru secara sosial menempati posisi yang sangat mulia di
masyarakat. Jangankan mencederai peserta didik, guru terlibat dalam jual-beli buku, nyambi
sebagai tukang ojek atau les privat pun – meski secara hukum tidak dilarang – biasanya tetap
dianggap kurang “etis” karena mencederai martabat seorang guru. Karena itu, bagaimanapun
posisi seorang guru dari segi ekonomis kurang menjanjikan tapi secara sosial tetap
terhormat.

6
Rohiat, Manajemen. hlm. 50.
Regulasi tentang rambu-rambu atau syarat untuk menjadi tenaga pendidik
sebenarnya sudah cukup jelas. Dalam pasal 40 ayat (2) UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) misalnya, dijelaskan bahwa pendidik dan tenaga
kependidikan wajib memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Demikian juga dalam PP 19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) maupun PP 74/2008 bahwa seorang guru minimal harus
memiliki empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial. Ini berarti seorang guru tidak hanya dituntut terampil dalam segi teknis-akademis
semata tapi juga harus menjadi pribadi yang hangat, menyenangkan dan berwibawa.
Tapi mengapa kekerasan terjadi? Tentu ada banyak faktor penyebabnya. Salah
satunya adalah rendahnya mutu guru. E Mulayasa mengatakan, ada empat faktor yang
menyebabkan rendahnya mutu guru. (1) Masih banyak guru yang belum menekuni
profesinya secara utuh disebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan; (2) belum adanya
standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan
adanya pergurua tinggi swasta yang mencetak guru asal jadi, atau setengah jadi, tanpa
memperhitungkan outputnya kelak di lapangan; dan (4) kurangnya motivasi guru dalam
meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana doseni di
perguruan tinggi.7
Dengan demikian penyebab rendahnya mutu tenaga pendidik bersifat struktural dan
kultural8. Secara struktural, akar penyebab sebagian masalah rendahnya mutu guru adalah
dampak dari kebijakan yang menganggap pendidikan hanya sebagai “catatan kaki” dari
ground design dan paradigma pembangunan nasional kita selama ini. Sedangkan secara
kultural, peningkatan mutu guru berhadapan dengan budaya masyarakat yang cenderung
pragmatis dan instan.
Sejatinya upaya memberdayakan kinerja tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
dalam kontek MBS adalah untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik dan kependikan
selain melalui koordinasi dan komunikasi. Koordinasi yang dilakukan kepala sekolah
dengan tenaga pendidik dan masyarakat dapat secara vertikal, horisontal, fungsional dan
diagonal. Koordinasi juga dapat dilakukan secara internal dan eksternal dan secara terus
menerus sebagai langkah konsolidasi dalam memperkuat Kelembagaan Pendidikan untuk
7
E Mulayasa. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. (Bandung: Rosda Karya, 2008) hlm. 10.
8
Fitriani. “Problema Peningkatan Guru di Indonesia”, Pendidikan Islam, 1, (Tb, Tt).
mencapai suatu tujuan. Contohnya mengadakan pertemuan informal dengan para pejabat,
mengadakan rapat, baik rapat koordinasi antar Kepala Sekolah, Sekolah dengan Guru,
dengan komite maupun dengan orang tua siswa.
Menjawab pertanyaan tersebut memerlukan sebuah telaah yang mendalam.
Terlepas dari sistem manajemen yang digunakan, Sekolah sebagai sebuah lembaga
pendidikan mempunyai tanggung jawab besar dalam mencetak masa depan bangsa, dengan
cara apapun dituntut untuk berkembang dan melahirkan inovasi baru dalam dunia
pendidikan serta mencetak generasi yang lebih baik dan menjadikan Negara kita dapat
berdiri sejajar dengan Negara maju lainnya.
Untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana peran Manajemen Berbasis Sekolah dalam
meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan meneliti secara langsung bagaimana
penerapan MBS. SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten
Pasuruan merupakan dua lembaga pendidikan yang peneliti pilih untuk meneliti bagaimana
penerapan manajemen sekolah yang penerapannya “dibebaskan” oleh pemerintah.
SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan
merupakan dua sekolah yang ada di Kabupaten Pasuruan.. Kemajuan yang dicapai oleh
kedua lembaga tersebut tidak lepas dari peran kepala sekolah sebagai manajer dalam
mengatur manajemen sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan anak
mereka di dua lembaga tersebut. Begitu juga dengan kuailtas tenaga pendidik yang mereka
miliki, hamper semua tenaga pendidik yang ada mengenyam pendidikan strata 2 (S2).
Dibalik kesuksesan SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasuruan dalam mengambil kepercayaan masyarakat sebagai lembaga yang
maju, selain terus meningkatkan kualitas tenaga pendidik juga melibatkan masyarakat untuk
mengambil bagian dalam memajukan kualitas mereka. Bapak Basuki menuturkan “selain
top-down, kami juga menerima masukan dari masyarakat. Masyarakat kami wadahi dalam
Ikatan Alumni (IKA) dan komite sekolah. Jadi begitu ada permasalahan kami tidak serta
merta mengambil keputusan sepihak, tetapi kami juga melibatkan masyarakat dalam
mengambil keputusan. Sedangkan mengenai peningkatan mutu tenaga pendidik, kami
mempunyai beberapa strategi; pertama, peningkatan mutu guru yang merupakan program
pemerintah. Kedua, peningkatan mutu guru yang berkaitan dengan lembaga. Ketiga,
peningkatan mutu guru dengan menggunakan media lintas lembaga”. 9 Begitu juga dengan
SMA Negeri 1 Malang, ketika peneliti menanyakan tentang peran masyarakat dalam
lembaga , Ibu Dewi Endahsari mengatakan “kalau ditanya mengenai peran masyarakat, tentu
masyarakat berperan besar dalam sekolah. Sebagai contoh, biasanya ada pihak luar seperti
kepolisian memberikan materi kepada siswa, kadang dari kedokteran, dan kadang dari PMII.
Masyarakat juga membantu kami dalam menngkatkan kualitas tenaga pendidik, seperti
memberikan sumbangan kepada kami baik berupa materi maupun fikiran, dan ini kami
wadahi dalam komite. Sedangkan mengenai peningkatan mutu tenaga pendidik, kami
mempunyai dua strategi yaitu akademik dan non-akademik. Jalur akademik contohnya
seperti kami menyekolahkan guru yang dirasa memang perlu untuk disekolahkan.
Sedangkan jalur non-akademik seperti adanya pelatihan membuat soal berbasis IT, membuat
PTK, membuat media pembelajaran, dan sebagainya”.10
Bertitik tolak dari uraian di atas, penulis terdorong untuk mengkaji lebih dalam lagi
kemudian diangkat menjadi tema dengan judul “Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga Pendidik (Studi Multisitus di SDN Tambaksari
dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan)”.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, supaya penelitian ini menjadi lebih terarah
dan mengkrucut, maka penulis akan memfokuskan penelitian ini pada lingkup penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu tenaga pendidik di SDN
Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan. Untuk
perinciannya terwakili dalam tiga poin di bawah ini.
1. Bagaimana konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam peningkatkan mutu tenaga
pendidik di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten
Pasuruan?
2. Bagaimana keterlibatan stakeholder dalam peningkatkan mutu tenaga pendidik sebagai
perwujudan dari manajemen berbasis sekolah di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo
Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan?

9
Wawancara dengan bapak Drs. Basuki Agus Priyana Putra pada hari, kamis 07 Mei 2015 pukul 09.30 WIB.
10
Wawancara dengan Ibu Dewi Endahsari M. Pd, pada hari, kamis 07 Mei 2015 pukul 10.30 WIB.
3. Bagaimana dampak keterlibatan stakeholder dalam peningkatan mutu tenaga pendidik di
SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan
poin-poin yang ada pada fokus penelitian di atas, yaitu untuk memahami secara mendalam
mengenai dua poin di bawah ini.
1. Untuk menjelaskan konsep Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu
tenaga pendidik di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasuruan.
2. Untuk mendeskripsikan keterlibatan masyarakat/stakeholder dalam peningkatan mutu
tenaga pendidik sebagai perwujudan dari manajemen berbasis sekolah di SDN
Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
3. Untuk mendeskripsikan dampak keterlibatan masyarakat/stakeholder dalam peningkatan
mutu tenaga pendidik di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasuruan.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para peneliti dari dua sisi,
yaitu pada tataran teoretis dan juga praktis. Penelitian ini pada tataran teoretis diharapkan
bisa menjadi tambahan pengetahuan dalam pengembangan ilmu manajemen pendidikan
Islam khususnya bidang manajemen berbasis sekolah, hasil penelitian ini juga diharapkan
bisa menjadi rujukan bagi penelitian setelahnya terkait tema yang sama. Adapun manfaat
praktis yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah;
1. Memberikan kontribusi pemikiran baru terhadap praktisi pendidikan dalam bidang
pengembangan manajemen berbasis sekolah,
2. Sebagai bahan pertimbangan pimpinan lembaga dan semua civitas akademika SDN
Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan dalam
membuat kebijakan untuk mengembangkan mutu tenaga pendidik,
3. Memberikan kontribusi moril bagi para penanggung jawab dan SDM yang ada sehingga
mampu melakukan pekerjaannya secara lebih baik lagi, dan
4. Menjadi bahan analisis dan kajian lebih lanjut bagi para peneliti selanjutnya dengan
permasalahan yang bisa jadi sama namum objek penelitian yang berbeda atau bahkan
sebaliknya.

E. Orisinalitas Penelitian
Demi pendalaman pemahaman terhadap penelitian ini, diperlukan adanya kajian
terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Hal ini diperlukan untuk mengetahui posisi
penelitian yang akan peneliti lakukan, sehingga terlihat perbedaan dan persamaannya
dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Sejauh penelaahan peneliti mengenai penelitian
yang menurut peneliti memiliki kemiripan dan relevansi dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, Penelitian yang dilakukan oleh Tety Yuliana tentang Kemampuan Kepala
Sekolah dalam Implementasi MPMBS; Studi Kasus di SMP Negeri 2 Brebes. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kemampuan kepala sekolah SMP Negeri 2 Brebes dalam
Implementasi MPMBS dengan fokus penelitian; Sejauh manakah kemampuan kepala
sekolah dalam mengimplementasikan MPMBS. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif
field research.11
Kedua, Gatot Kuncoro melakukan penelitian tentang Peran Kepala Sekolah dalam
Implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan mendeskripsikan peran kepala sekolah dalam implementasi MBS di MTs
Negeri Piyungan Yogyakarta dengan fokus penelitian, (1) Bagaimana implementasi MBS di
MTs Negeri Piyungan Yogyakarta, (2) Bagaimana peran kepala madrasah dalam
implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta, dan (3) Faktor apa yang menjadi
pendukung dan penghambat peran kepala madrasah dalam implementasi MBS di MTs
Negeri Piyungan Yogyakarta. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif, dengan metode
pengumpulan data observasi, interview, dan dokumentasi. 12
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Susilawaty, Cut Zahri Harun dan
Khairuddin tentang Manajemen Berbasis Sekolah dalam Pengelolaan Pembiayaan Sekolah
di SD Negeri 4 Kota Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan
11
Tety Yuliana, Manajemen Pendidikan. Kemampuan Kepala Sekolah dalam Implementasi MPMBS; Studi
Kasus di SMP Negeri 2 Brebes, (Semarang: Tesis Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, 2013)
12
Gatot Kuncoro, Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi MBS di MTs Negeri Piyungan Yogyakarta,
(Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008)
menganalisa pengelolaan pembiayaan pada SD Negeri 4 kota Banda Aceh. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Perencanaan pembiayaan di SD Negeri 4 Banda Aceh disusun berdasarkan pada
rencana pengembangan sekolah dan merupakan bagian dari rencana operasional tahunan.
Pelaksanaan atau pemanfaatan anggaran diawali dengan serangkaian kegiatan pemeriksaan
dan persetujuan untuk memastikan bahwa dana dibelanjakan sesuai rencana, dilakukan
dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, dan dana tidak dihabiskan untuk
kegiatan-kegiatan yang tidak disetujui atau diberikan kepada pihak penerima tanpa
persetujuan. Pengevaluasian dilakukan setiap triwulan atau per semester. Dana yang
digunakan dipertanggungjawabkan kepada sumber dana baik pemerintah kota, provinsi,
pusat maupun orang tua/wali dan masyarakat.13
Terakhir, Jurnal yang ditulis oleh Nurdin Mansur tentang Meningkatan Mutu
Pendidikan Melalui Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) yang memiliki karakteristik pemberdayaan dalam berbagai hal, seperti: (1)
Penyusunan kelompok kecil. (2) Pengalihan tanggung jawab. (3) Pimpinan oleh para
partisipan. (4) Guru sebagai fasilitator. (5) Proses bersifat demokratis dan hubungan kinerja
yang luwes. Segala sesuatu dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dirundingkan
bersama dalam kedudukan yang sederajat dan diputuskan melalui jalan demokratis.Maka
melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diharapkan para kepala sekolah, guru dan
personalia serta masyarakat mampu melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan,
perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan tuntutan dunia pendidikan global.14
Tabel di bawah memaparkan posisi penelitian ini dalam deretan dengan penelitian
maupun tulisan setema sebelumnya:
Tabel 1.1 State Of The Arts
Peneliti Pendeka
Tema dan
dan Variabel tan dan
No Tempat Temuan Penelitian
Tahun Penelitian Lingkup
Penelitian
Terbit Penelitian
1 2 3 4 5 6
1. Tety Kemampuan Kemampuan Kualitatif Implementasi
13
Susilawaty, Cut Zahri Harun dan Khairuddin, Manajemen Berbasis Sekolah dalam Pengelolaan
Pembiayaan Sekolah di SD Negeri 4 Kota Banda Aceh, (Aceh: Jurnal Administrasi Pendidikan Universitas Syiah
Kuala Vol. 1, No. 2, 2012)
14
Nurdin Mansur, Meningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah, (Aceh:
Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. XIV, No. 1, 2013)
MPMBS, yang
dilaksanakan oleh
Kepala SMP Negeri 2
Brebes meliputi:
1). Proses Belajar
Mengajar;
2). Perencanaan
Kepala
Program Sekolah;
Sekolah
3). Pengelolaan
dalam
Kurikulum;
Implementasi Kepala
4). Pengelolaan
Yuliana MPMBS; Sekolah dan
Ketenagaan;
(2013) Studi Kasus Implementasi
5). Pengelolaan
di SMP MPMBS
Peralatan dan
Negeri 2
Perlengkapan;
Brebes
6). Pengelolaan
(Tesis)
Keuangan;
7). Pelayanan Siswa;
8) Hubungan Sekolah
Masyarakat;
9). Pengelolaan Iklim
Sekolah adalah cukup
memadai.
Implementasi MBS di
MTs. Negeri Piyungan
dapat dikategorikan
Peran Kepala masih dalam periode
Sekolah jangka pendek. Pada
dalam tahap ini kepala
Peran Kepala
Gatot Implementasi sekolah mengajak
Sekolah dan
2. Kuncoro MBS di MTs Kualitatif seluruh staf dan
Implementasi
(2008) Negeri komite sekolah untuk
MBS
Piyungan merumuskan visi dan
Yogyakarta misi madrasah dan
(Tesis) bertanggung jawab
terhadap kemajuan
madarasah secara
bersama-sama.
3. Susilawaty Manajemen Manajemen Kualitatif Perencanaan
, Cut Zahri Berbasis Berbasis pembiayaan di SD
Harun dan Sekolah Sekolah dan Negeri 4 Banda Aceh
Khairuddi dalam Pengelolaan disusun berdasarkan
n (2012) Pengelolaan Pembiayaan pada rencana
Pembiayaan pengembangan
Sekolah di sekolah dan
SD Negeri 4 merupakan bagian dari
rencana operasional
tahunan.
Pelaksanaan atau
pemanfaatan anggaran
diawali dengan
serangkaian kegiatan
pemeriksaan dan
persetujuan untuk
memastikan bahwa
dana dibelanjakan
sesuai rencana,
dilakukan dengan
Kota Banda
memanfaatkan sumber
Aceh (Jurnal)
daya yang tersedia,
dan dana tidak
dihabiskan untuk
kegiatan-kegiatan
yang tidak disetujui
atau diberikan kepada
pihak penerima tanpa
persetujuan.
Pengevaluasian
dilakukan setiap
triwulan atau per
semester.
Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) yang
memiliki karakteristik
pemberdayaan dalam
Meningkatan berbagai hal, seperti:
Mutu Mutu (1) Penyusunan
Pendidikan Pendidikan kelompok kecil.
Nurdin Melalui dan (2) Pengalihan
4. Mansur Penerapan Penerapan Kualitatif tanggung jawab.
(2013) Manajemen Manajemen (3) Pimpinan oleh para
Berbasis Berbasis partisipan.
Sekolah Sekolah (4) Guru sebagai
(Jurnal) fasilitator.
(5) Proses bersifat
demokratis dan
hubungan kinerja yang
luwes.

Tabel 1.2 Posisi Penelitian


Peneliti
dan Tema dan
Variabel Pendekatan
No Tahun Tempat Temuan Penelitian
Penelitian Penelitian
Penelitia Penelitian
n
1. Konsep
Manajemen
Berbasis Sekolah
Penerapan dalam
Manajemen peningkatkan
Berbasis mutu tenaga
Sekolah Untuk pendidik
Meningkatkan 2. Keterlibatan
Manajemen
Abu Mutu Tenaga Stakeholder
Berbasis
Hasan Pendidik dalam
5. Sekolah dan Kualitatif
Suyuti (Studi peningkatkan
Mutu Tenaga
(2016) Multisitus di mutu tenaga
Pendidik
SMA Negeri 1 pendidik
Malang dan 3. Dampak
SMA Negeri 3 keterlibatan
Malang) stakeholder
(Tesis) dalam
peningkatan
mutu tenaga
pendidik

Demikian beberapa hasil pelacakan terhadap berbagai kajian yang bertema


Manajemen Berbasis Sekolah. Dari sekian laporan hasil kajian-kajian tersebut mayoritas
mengungkap implementasi Manajemen Berbasis Sekolah, namun sejauh ini tidak satupun
dari kajian-kajian tersebut yang mengungkap dan melakukan penelitian tentang Penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga Pendidik (Studi Multisitus
di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan). Jika
dilihat dari sisi Manajemen Pendidikan Islam (MPI), implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah merupakan salah satu aspek penting dalam manajemen pengelolaan lembaga
pendidikan.
Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian ini difokuskan pada Penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu Tenaga Pendidik. Pertama, karena
perubahan paradigma pendidikan dari manajemen konvensional menuju MBS perlu dikaji
labih lanjut terkait dengan sejauh kualitas guru yang dihasilkan. Kedua, MBS sebagai
sebuah sistem manajemen pendidikan yang melibatkan peran serta masyarakat tentu
mempunyai dampak dari keterlibatan masyarakat itu sendiri. Peneliti berusaha menemukan
apa saja dampak dari sistem manajemen pendidikan ini.
F. Batasan Istilah
Supaya dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka peneliti perlu
menjelaskan dan menegaskan arti beberapa istilah penting sebagai berikut:
1. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah yang selanjutnya disebut dengan MBS
adalah penerapan bagaimana sekolah dalam hal ini adalah SDN Tambaksari dan SDN
Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan menerapkan sistem manajemen
yang berbasis pada sekolah sebagai penyelenggaranya.
2. Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik adalah langkah yang dilakukan lembaga pendidikan
untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik dalam hal ini adalah guru SDN Tambaksari
dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
3. Konsep MBS adalah representasi umum tentang manajemen berbasis sekolah yang
dipergunakan oleh sekolah untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik.
4. Keterlibatan Stakeholder berasal dari dua kata yaitu keterlibatan dan stakeholder.
Stakeholder merupakan kelompok/individu yang dapat mempengaruhi dan atau
dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan. Jadi keterlibatan stakeholder adalah
keterlibatan kelompok atau individu dalam peningkatan mutu tenaga pendidik dalam
mewujudkan manajemen berbasis sekolah.

G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan ditulis dalam enam bab, dan pada masing-masing bab memuat
beberapa sub bab yang disusun secara sistematis sesuai dengan tema pokok dalam penelitian
ini.
Bab Satu, Pendahuluan. Memuat sub bab, yaitu: Konteks Penelitian, Fokus
Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Orisinalitas Penelitian, dan Difinisi Istlah.
Secara keseluruhan isi Bab Satu berisi gambaran umum tentang proses penelitian yang akan
di lakukan dan membahas tentang mengapa penelitian tersebut penting untuk dilakukan.
Bab Dua, Kajian Pustaka. Membahas tentang beberapa teori yang berkaitan dengan
Manajemen Berbasis Sekolah dan peningkatan mutu tenaga pendidik. Telaah teori ini
nantinya akan menjadi pijakan bagi peneliti dalam menelaah upaya peningkatan mutu tenaga
pendidik SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
BAB Tiga, Metode Penelitian. Pada bagian ini mengurai proses penelitian yang
akan dilakukan mulai dari sifat dan pendekatan penelitian, sampai dengan strategi
pengmbilan dan analisi data, kemudian dilanjutkan dengan metode pelaporan atau penyajian
data
Bab Empat. Paparan Data dan Hasil Penelitian. Pada bagain ini akan diuran
beberapa data yang ditemukan saat proses penelitian untuk memberikan gambaran utuh
(objektif) mengenai proses pengembangan mutu yang dilakukan oleh kepala sekolah SDN
Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
Bab Lima. Pembahasan. Di Bab Lima ini peneliti akan melakukan “telaah” atau
kajian mendalam terhadap data yang ditemukan saat penelitian untuk kemudian dirumuskan
dalam sebuah model peningkatan mutu tenaga pendidik yang dilakukan oleh SDN
Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
Bab Enam. Kesimpulan. Ia merupakan bagian terkhir dalam penelitian ini.
Karenanya, akan diurai beberapa poin-poin penting tentang beberapa hal yang ditemukan
oleh peneliti sejak awal penelitian ini dirumuskan. Beberapa poin itu juga yang akan
menjawab tiga fokus penelitian yang telah peneliti cantumkan di awal penelitian ini.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Manajemen Berbasis Sekolah
1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah berasalah dari tiga kata yaitu, manajemen,
berbasis, dan sekolah. Manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengelola.
Pengelolaan dilakukan melalui proses dan dikelola berdasarkan urutan dan fungsi-fungsi
manajemen itu sendiri. Manajemen adalah melakukan pengelolaan sumberdaya yang
dimiliki oleh sekolah/organisasi yang dilakukan dengan sistematis dalam suatu proses. 15
Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga
untuk belajar mengajar serta tempat untuk menerima dan memberi pelajaran.
Berdasarkan makna leksial tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan
sumber daya yang berdasarkan pada sekolah itu sendiri dalam proses belajar atau
mengajar.16
Di pandang dari asal-usul peristilahan, MBS merupakan terjemahan langsung
dari School Based Managemen (SBM). Istilah ini pada mulanya muncul di Amerika
Serikat pada tahun 1970-an sebagai suatu sistem alternatif untuk mereformasi
pengelolaan sekolah. Reformasi itu dirasa penting karena selama puluhan tahun sekolah
tidak dapat menunjukkan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan
lingkungan sekolah17.
Dalam konteks manajemen pendidikan, manajemen berbasis sekolah berbeda
dengan manajemen pendidikan sebelumnya yang diatur oleh pemerintah pusat secara
rinci. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya
yang ada dalam sekolah tersebut. Dengan demikian akan muncul paradigma baru yang
semula diatur oleh birokrasi di luar sekolah menjadi pengelolaan yang berbasis pada
potensi internal sekolah dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.
MBS adalah suatu ide tentang pengambilan keputusan yang diletakkan pada
posisi yag paling dekat dengan kegiatan belajar mengajar, yakni sekolah. Pemberdayaan
sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap

15
Rohiat. Manajemen. hlm 14
16
Nurkolis. Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2003), hlm. 1
17
Nurkolis. Manajemen, hlm. 2
tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan
efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Penekanan aspek tersebut sifatnya
situasional dan kondisional sesuai dengan masalah yang dihadapi dan politik yang
dianut.18
MBS didefinisikan sebagai desentralisasi otoritas pengambilan keputusan pada
tingkat sekolah yang pada umumnya menyangkut tiga bidang, yaitu anggaran, kurikulum,
dan personel.19 Dalam sistem MBS otoritas bisa ditransfer dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah, dari pemerintah daerah ke pengawas sekolah, dari pengawas sekolah
ke dewan sekolah, dari dewan sekolah ke kepala sekolah, guru, administrator, konselor,
pengembang kurikulum, dan orang tua.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan dan program sekolah ditetapkan oleh komite
sekolah dan dewan pendidikan. Badan ini merupakan lembaga yang ditetapkan
berdasarkan musyawarah dari pejabat daerah setempat, komisi pendidikan pada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pejabat pendidikan daerah, kepala sekolah, tenaga
kependidikan, perwakilan orang tua peserta didik, dan tokoh masyarakat. Lembaga inilah
yang menetapkan segala kebijakan sekolah berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang
pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, komite sekolah perlu merumuskan dan
menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah dengan berbagai implikasinya terhadap
program-program kegiatan operasional untuk mencapai tujuan sekolah.
2. Teori Tentang MBS
Teori yang digunakan MBS dalam mengelola sekolah didasarkan pada empat
prinsip, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip sistem pengelolaan
mandiri, dan Prinsip inisiatif sumber daya manusia.20
1) Prinsip Ekuafinalitas
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa
terdapat cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan
fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi
mereka masing-masing. Karena kompleksnya kebutuhan sekolah saat ini dan adanya
18
Mulyasa. Menajadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm.
34
19
Nurkolis, Manajemen, hlm. 7
20
Yin Cheong Cheng. School Effectiveness & School based Management: A Mechanism for
Development. (Washington D.C: The Falmer Press, 1996), hlm. 44-45
perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan sekolah lain, misalnya
perbedaan tingkat akademik siswa, perbedaan sumberdaya yang ada, sekolah tidak
dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi
negara.
Pendidikan sebagai entitas yang terbuka terhadap berbagai pengaruh
eksternal. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan sekolah akan mendapatkan
berbagai permasalahan yang kompleks seperti halnya institusi lain. Pada zaman yang
lingkungannya semakin kompleks seperti saat ini sekolah akan semakin mendapatkan
tantangan permasalahan. Kenakalan remaja, penggunaan obat-obatan terlarang oleh
pelajar, tawuran antar pelajar, dan lain sebagainya. Dengan munculnya permasalahan
yang berbeda dalam tiap sekolah, solusi dan pemecahan harus berbeda antara sekolah
satu dengan sekolah lain sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi dan
kondisi lingkungan. Walaupun sekolah berbeda mempunyai masalah yang sama, cara
penanganannya akan berlainan antara sekolah satu dengan yang lain.
2) Prinsip Desentralisasi
Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah
dan aktivitas pengajaran tidak dapat dilepaskan dari kesulitan dan permasalahan.
Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan
desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Prinsip ekuafinalitas yang dikemukakan sebelumnya mendorong adanya
desentralisasi kekuasaan dengan mempersilahkan sekolah memiliki ruang yang
lebih luas untuk bergerak, berkembang, dan bekerja menurut strategi-strategi unik
mereka untuk menjalani dan mengelola sekolah secara efektif.
Oleh karena itu sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk
memecahkan masalah secara efektif. Dengan kata lain, tujuan dari prinsip
desentralisasi adalah efesiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari
masalah. Dengan sistem manajemen sekolah yang mengacu pada MBS, maka
sekolah harus mampu menemukan masalah, memecahkannya tepat waktu dan
memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektifitas aktifitas pengajaran dan
pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan kepada sekolah, maka
sekolah tidak dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisien.
3) Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri
MBS tidak mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan-tujuan
berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai cara
yang dapat dilakukan dalam mencapainya. Sekolah memiliki otonomi tertentu
untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi sumber
daya, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka
masing-masing. Karena sekolah dikelola secara mandiri maka mereka lebih
memiliki inisiatif dan tanggung jawab.
Prinsip ini berkaitan dengan dua prinsip sebelumnya, yaitu prinsip
ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi permasalahan
maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan
masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang dan birokrasi di atasnya ke
tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah
dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.
4) Prinsip Inisiatif
Sejalan dengan perkembangan pergerakan hubungan antar manusia dan
pergerakan ilmu perilaku pada manajemen modern, orang mulai menaruh perhatian
serius pada pengaruh penting factor manusia pada efektifitas organisasi. Prinsip ini
mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis.
Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan
kemudian dikembangkan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak dapat lagi menggunakan istilah
staffing yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis.
Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human resource development
yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di
sekolah sebagai asset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus
dikembangkan.
3. Karakteristik MBS
Karakteristik MBS dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat
mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar,
profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan.
Mulyasa mengutip pendapat Saud (2002) mengatakan bahwa karakteristik dasar MBS
berdasarkan pelaksanaannya di negara maju adalah pemberian otonomi yang luas kepada
sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan
kepala sekolah yang demokratis dan profesional, serta adanya team work yang tinggi dan
profesional.21
a. Pemberian Otonomi Luas Kepada Sekolah
MBS memberikan otonomi luas kepada sekolah, disertai seperangkat
tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab dalam
pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat,
sekolah lebih dapat memberdayakan tenaga kependidikan agar lebih berkonsentrasi
pada tugas utamanya mengajar. Sekolah diberikan wewenang yang luas untuk
mengembangkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi lingkungan,
keadaan peserta didik, serta tuntutan masyarakat. Untuk mendukung keberhasilan
program tersebut, sekolah memiliki kekuasaan dan kewenangan mengelola dan
memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia di masyarakat dan lingkungan
sekitar. Selain itu, sekolah juga diberikan wewenang untuk menggali dan mengelola
sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan. Melalui otonomi yang luas, sekolah
dapat meningkatkan kinerja tenaga kependidikan dengan menawarkan partsipasi aktif
mereka dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab bersama dalam
pelaksanaan keputusan yang diambil secara profesional.
b. Partisipasi Masyarakat dan Orang Tua
Dalam MBS masyarakat dan orang tua ikut berpartisipasi mendukung
program-program yang direncanakan sekolah. Orang tua peserta didik dan
masyarakat tidak hanya ikut membantu sekolah dalam bantuan keuangan, tetapi
melalui komite sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta mengembangkan
program-program yang dapat meningkatkan kualiltas sekolah. Masyarakat dan orang
tua menjalin kerja sama untuk membantu sekolah sebagai nara sumber berbagai
kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
c. Kepemimpinan Demokratis

21
Mulyasa, Menjadi, hlm. 36.
Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh adanya
kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis dan profesional. Kepala sekolah dan
guru-guru sebagai tenaga pelaksana inti program sekolah merupakan orang-orang
yang memiliki kemampuan dan integritas profesional. Kepala sekolah merupakan
manajer pendidikan yang direkrut oleh komite sekolah untuk mengelola kegiatan
sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan. Guru-guru yang direkrut oleh sekolah
merupakan pendidik profesional dalam bidangnya masing-masing, sehingga mereka
bekerja berdasarkan pola kinerja profesional yang disepakati bersama untuk memberi
kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajaran peserta didik. Dalam
pengambilan keputusan, kepala sekolah mengimplementasikan proses “bottom-up”
secara demokratis sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap
keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya.
d. Team-Work Kompak dan Transparan
Dalam MBS, keberhasilan program-program sekolah didukung oleh kinerja
team-work yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam
pendidikan di sekolah. Dalam dewan pendidikan dan komite sekolah misalnya, pihak-
pihak yang terlibat bekerja sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-
masing untuk mewujudkan suatu “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua
pihak. Dalam konsep MBS, kekuasaan yang dimiliki sekolah, mencakup pengambilan
keputusan tentang manajemen kurikulum dan pembelajaran; rekrutmen dan
manajemen tenaga kependidikan; serta manajemen sekolah
4. Ciri-ciri MBS
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) peran serta masyarakat sangat
penting, tidak seperti manajemen sebelumnya yang hanya terbatas memobilisasi
sumbangan uang dan sejenisnya. Keterlibatan masyarakat sangat menentukan setiap
pengambilan keputusan. Misalnya, untuk menggunakan buku pelengkap, sekolah dan
masyarakat bersama-sama mengadakan musyawarah. Tidak semata-mata mengandalkan
buku dari pusat yang sebenarnya merupakan pembunuhan potensi daerah.
Dalam pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar, MBS menekankan pada
pembelajaran aktif, efektif dan menyenangkan. Dengan demkian siswa betah berada di
kelas karena guru berperan sebagai fasilitator belajar siswa yang kreatif dan dinamik.
Peran guru sebagai fasilitator, diharapkan untuk menggunakan pendekatan dan strategi
pembelajaran atau manajemen kelas yang bervariasi, mengatur kelas dalam suasana yang
menyenagkan dan pada setiap pembelajaran selalu berupaya untuk menyiapkan dan
menggunakan alat peraga dan penunjang pembelajaran lainnya sehingga pembelajaran
benar-benar menyenangkan.
Dengan semangat belajar yang tinggi, serta mendapat dukungan dari masyarakat
dan orang tua siswa akan mengurangi bahkan menghabiskan masalah putus sekolah.
Masalah putus sekolah, bukan hanya disebabkan faktor ekonomi, akan tetapi iklim
belajar yang tidak kondusif juga ikut andil dalam semakin tingginya angka putus sekolah.
Supriono mengutip pendapatnya S. Bellen mengatakan ciri MBS antara lain22:
a. Ada upaya peningkatan peran serta BP3 dan masyarakat untuk mendukung kinerja
sekolah.
b. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan
proses belajar mengajar, bukan kepentingan administratif.
c. Menerapkan prinsip efektifitas dan efesiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah.
d. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan
kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
e. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat, selain
kepada pemerintah atau yayasan.
f. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
g. Meningkatkan kemandirian sekolah di segala bidang.
h. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah,
pelaksanaan sampai dengan evaluasi.
i. Adanya eterbukaan dalam pengelolaan pendidikan sekolah, baik yang menyangkut
program, anggaran, ketenagaan, prestasi sampai dengan pelaporan.
j. Pertanggung jawaban sekolah dilakukan baik terhadap pemerintah, yayasan, maupun
masyarakat.

22
Supriono S dan Achmad Sapari. Manajemen Berbasis Sekolah. (Anggota IKAPI Cabang Jatim, 2001), hlm.
8.
B. Mutu Tenaga Pendidik
1. Pengertian Mutu Tenaga Pendidik
Mutu tenaga pendidik terdiri atas dua rangkaian kata yaitu “mutu” dan “tenaga
pendidik”. Menurut Syaiful Sagala, mutu berkenaan dengan penilaian bagaimana suatu
prodok memenuhi kreteria, standar atau rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan,
standar ini menurut Depdiknas dapat dirumuskan melalui hasil belajar mata pelajaran
skolastik yang dapat diukur secara kuantitatif, dan pengamatan yang bersifat kualitatif,
kususnya untuk bidang-bidang pendidikan social. Rumusan mutu pendidikan bersifat
dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Kesepakatan tentang konsep
mutu dikembalikan pada rumusan acuan atau rujukan yang ada seperti kebijakan
pendidikan, proses belajar mengajar, kurikulum ,sarana prasarana , fasilitas pembelajaran
dan tenaga kependidikan sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.23
Tenaga pendidik atau yang biasa kita kenal dengan isilah guru adalah sebuah
profesi, sebagaimana profesi pada umumnya yang merujuk pada pekerjaan atau jabatan
yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Guru merupakan sebuah profesi
yang memerulukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat
dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Suatu profesi umumnya
berkembang dari pekerjaan, kemudan berkembang semakin matang serta ditunjang oleh
tiga hal (keahlian, komitmen, dan keterampilan) yang membentuk sebuah segitiga sama
sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme, walaupun kenyataannya masih dilakukan
oleh orang di luar kependidikan atau orang yang tidak ditunjang oleh profesionalisme
yang matang. Karena itulah, jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran.
Secara sederhana dan tanpa batasan pada hal-hal yang bersifat spesifik, guru
dapat didefinisikan sebagai pihak yang merupakan subjek dari pelaksana pendidikan 24.
Sementara itu Singgih D Gunarsa mendefinisikan guru sebagai orang yang membantu
peserta didik untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. 25 Secara leksial dalam Kamus

23
Saiful Sagala. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung: Alfabeta
2009) hlm.170
24
Amir Dien Indrakusuma, Ilmu Pendidikan; Sebuah Tinjauan Teoritis Filosofis, (Surabaya: Usaha
Nasional.Tt) hlm. 23.
25
Singgih D Gunarsa dan Yulia Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 109.
Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya, profesinya) mengajar.26
Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa guru adalah tenaga profesional
yang pekerjaan utamanya mengajar dan mendidik sebagai bentuk pengabdian kepada
komunitas belajar (learning community) atau dalam lingkup lebih luas kepada
masyarakat, bangsa, dan Negara. Dengan kesimpulan ini, maka setiap aktivitas yang
dilakukan seseorang dalam konteks pendidikan akan terejawantahkan dalam bentuk
sebagai fasilitator, inisiator, mediator, maupun evaluator.
2. Standar Mutu Tenaga Pendidik
Dalam PP No 19 Tahun 2005 pasal 2 (1) bahwa: “Standar Nasional pendidikan
terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga pendidik dan kependidikan,
sarana dan prasaranan, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala”.27
Standar pendidik dan tenaga kependidikan dalam SNP pasal 28 (1) bahwa:
“Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen
pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional”. Sedangkan ayat (2) menjelaskan bahwa: “kualifikasi
akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang
harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau
sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.
Adapun pada ayat (3) menjelaskan bahwa: “kompetensi sebagai agen pembelajaran
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan
kompetensi sosial”.28
Standar yang dimaksud adalah suatu kriteria yang telah dikembangkan dan
ditetapkan berdasarkan atas sumber, prosedur, dan manajemen yang efektif. Sedangkan
kriteria adalah sesuatu yang menggambarkan ukuran dan keadaan yang dikehendaki.
Secara konseptual, standar juga dapat berfungsi sebagai alat untuk menjamin
bahwa program-program pendidikan suatu profesi dapat memberikan kualifikasi
26
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm.377.
27
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, hlm. 5
28
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, hlm. 7
kemampuan yang harus dipenuhi oleh calon sebelum masuk kedalam profesi yang
bersangkutan.
Profesionalisme dan kompetensi merupakan dua hal yang menentukan parameter
seseorang yang berkualitas atau tidak bermutu. Keduanya merupakan kedua hal yang
tidak terpisah satu sama lainnya.
a. Profesionalisme Guru
Kata profesional adalah kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata
benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim dan
sebagainya. Dengan kata lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan
yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus disiapkan untuk itu bukan
pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan
lain.29 Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, profesionalisme berarti paham yang
mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional,
yaitu orang yang memiliki profesi.30
Dengan bertitik tolak dari pengertian diatas, maka pengertian guru profesional
adalah orang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan
sehingga dia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan
kemampuannya yang maksimal. Dengan kata lain, guru profesional adalah orang yang
terdidik dengan baik, serta memiliki kemampuan yang kaya dibidangnya.
Sebagaimana dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

‫ ِإذا ُوِس َد اَالْم ُر ِاَلي َغ ْي ِر َاْه ِل ِه‬: ‫ قال َرُس وُل هللا َص َّلى هللا َع َلْي ِه و َس َّلَم‬: ‫عَـْن َابى ُهَر ْيَر َة َر ِض ى هللا َع ْنُه قال‬
31
)‫فَاْنَتِظ ِر الَّساَع َة (رواه البخارى‬

“Dari abu Hurairah r.a. ia berkata : Rasulullah saw telah bersabda : Apabila
suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya” (HR. Bukhari).

29
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. 19, hlm. 14-
15.
30
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.
107
31
Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-
Ja’fiy, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1992), Juz I, hlm. 21
Makna hadits tersebut dapat dipahami bahwa betapa pentingnya keahlian yang
harus dimiliki seorang tenaga pendidik untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah
diamanatkannya, karena tugas mengajar harus dilakukan oleh seorang tenaga
pendidik yang benar- benar mempunyai ilmu dibidang kependidikan.
Menurut Dedi Supriadi dan Trianto, untuk menjadi guru profesional, guru
dituntut memiliki lima kemampuan (skill) yaitu: (1) mempunyai komitmen pada
peserta didik dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam materi pelajaran
yang akan diajarkan serta cara mengajarnya (menggunakan metode yang sesuai
dengan mata pelajaran), (3) bertanggung jawab dan memantau hasil belajar peserta
didik, (4) mampu berfikir sistematis, kritis, taktis dan strategis tentang apa yang
dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya, dan (5) mereka merupakan bagian dari
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.32
Dengan demikian makna profesionalisme mengandung makna yang lebih luas
dari hanya berkualitas tinggi dalam hal teknis, profesionalisme memiliki makna
ahli,tanggung jawab, baik tanggung jawab intelektual maupun tanggung jawab moral
dan memiliki kesejawatan.
b. Kompetensi Tenaga Pendidik
Istilah kompetensi guru mempunyai banyak makna, Brokke and Stone (1995)
yang dikutip oleh E. Mulyasa mengemukakan bahwa kompetensi guru merupakan
gambaran kualitatif tentang hakikat perilaku guru yang penuh arti. Sementara Charles
(1994) yang dikutip oleh E. Mulyasa mengemukakan bahwa kompetensi merupakan
perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan
kondisi yang diharapkan. Sedangkan dalam undang-undang Republik Indonesia nomor
14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dijelaskan bahwa: “kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.33
Menurut Oemar Hamalik memberikan isyarat agar guru dalam bekerja dapat
melaksanakan fungsinya dan tujuan sekolah, guru harus memiliki kompetensi-
kompetensi yaitu sebagai berikut:
1) Guru tersebut mampu melaksanakan peranan-peranannya secara berhasil.
32
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, hlm. 45-46
33
E. Mulyasa. Menjadi. Hlm. 25.
2) Guru tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan
(instruksional) sekolah.
3) Guru tersebut mampu melaksanakan peranannya dalam proses mengajar dan
belajar dalam kelas.34
Dari uraian di atas, nampak bahwa kompetensi mengacu pada kemampuan
melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi guru menunjuk
kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu
didalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan. Dikatakan rasional karena memiliki
arah dan tujuan, sedangkan performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak
hanya dapat diamati, tetapi mencangkup sesuatu yang tidak kasat mata.
Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi disamping kode
etik sebagai regulasi perilaku profesi yang ditetapkan dalam prosedur dan sistem
pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat perilaku
efektif yang terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis dan memikirkan,
serta memberikan perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang
menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien.
Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal,
keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi
standar profesi guru, yang mencangkup penguasaan materi, pemahaman terhadap
peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi
profesionalisme.35 Berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen pasal 10 (1),
kompetensi guru ada 4, meliputi:
1) Kompetensi Pedagogik
Standar Nasional Pendidikan (SNP), penjelasan pasal 28 (3) butir A
dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi yang
dimilikinya.36
34
Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003),
Cet. 3, hlm. 38
35
E. Mulyasa. Menjadi. Hlm. 26
36
E. Mulyasa. Menjadi. Hlm. 26
Menurut Slamet PH yang dikutip oleh Syaiful Sagala mengatakan
kompetensi pedagogic terdiri dari sub-kompetensi (1) berkontribusi dalam
pengembangan KTSP yang terkait dengan mata pelajaran yang diajarkan; (2)
mengembangkan silabus mata pelajaran berdasarkan standar kompetensi (SK) dan
kompetensi dasar (KD); (3) melaksanakan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) berdasarkan silabus yang telah dikembangkan; (4) merancang manajemen
pembelajaran dan manajemen kelas; (5) melaksanakan pembelajaran pro
perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif dan menyenangkan);
(6) menilai hasil belajar peserta didik secara otentik; (7) membimbing peserta
didik dalam berbagai aspek, misalnya: pelajaran, kepribadian, bakat, minat dan
karir; dan (8) mengembangkan profesionalisme sebagai guru.37
2) Kompetensi Profesional
Standar Nasional Pendidikan (SNP), penjelasan pasal 28 (3) butir C
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.38 Kompetensi profesional seorang
guru sekurang-kurangnya harus memiliki penguasaan diantaranya:
a) Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi
program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan atau kelompok mata
pelajaran yang akan diampu, dan
b) Konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi atau seni yang relevan,
yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan atau kelompok mata pelajaran yang akan
diampu.39
3) Kompetensi Kepribadian
Istilah kepribadian digunakan dalam disiplin ilmu psikologi yang
mempunyai pengertian sebagai “sifat hakiki yang tercermin pada sikap
37
Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan ,(Bandung: Alfabeta, 2009),
Cet. 1, hlm. 31-32
38
E. Mulyasa. Menjadi. Hlm. 135
39
Siti Masruroh, “Kompetensi Guru”, http://sitimasruroh.blogspot.com/2009/11/kompetensi-guru.html
(download tanggal 29 Agustus 2015)
seseorang”. Kata kepribadian diambil dari terjemahan kata yang berasal dari
bahasa inggris, yaitu kata personality, yang mempunyai pengertian sebagai sifat
dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain (Kartini
Kartono dan Dali Gulo: 1987).40
Standar Nasional Pendidikan (SNP), penjelasan pasal 28 (3) butir b,
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah
kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa
menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
Kompetensi kepribadian sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan
dan perkembangan pribadi peserta didik. Kompetensi kepribadian ini memiliki
peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna
menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia serta mensejahterakan
masyarakat, kemajuan negara, dan bangsa pada umumnya.41
4) Kompetensi Sosial
Standar Nasional Pendidikan (SNP), penjelasan pasal 28 ayat (3) butir D,
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah
kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. 42
Kompetensi sosial juga bisa diartikan sebagai kemampuan guru dalam membina
dan mengembangkan interaksi sosial baik sebagai tenaga profesional maupun
sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, seharusnya seorang tenaga pendidik (guru) tidak
hanya tanggung jawab didalam kelas saja, tetapi harus mewarnai perkembangan
anak didik diluar kelas. Dengan kata lain, tenaga pendidik (guru) tidak sekedar
orang yang hadir didepan kelas unntuk menyampaikan materi pengetahuan
tertentu, tetapi juga anggota masyarakat yang harus ikut aktif dalam
mengarahkan perkembangan anak didik menjadi anggota masyarakat.

40
Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa,
(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet. 2, hlm. 36
41
E. Mulyasa. Menjadi. 117
42
E. Mulyasa. Menjadi. 173
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa standar kompetensi
tenaga pendidik (guru) adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan
dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan berperilaku layaknya seorang guru
untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi dan jenjang
pendidikan supaya mutu guru dapat diketahui.
Standar kompetensi tenaga pendidik (guru) bertujuan untuk memperoleh
acuan baku dalam pengukuran kinerja guru untuk mendapatkan jaminan kualitas
guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Dengan demikian,
kompetensi yang dimiliki oleh setiap tenaga pendidik (guru) akan menunjukkan
kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk
penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai
guru. Artinya guru bukan saja harus pandai tetapi juga pandai mentransfer
ilmunya kepada peserta didik.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Untuk memahami bagaimana penerapan MBS dalam pengembangan mutu tenaga
pendidik di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten
Pasuruan, maka diperlukan rancangan tahap pengamatan dan analisis berdasarkan fokus
penelitian yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian yang akan ditemukan pada
penelitian ini sehingga dapat menggambarkan pemahaman komprehensif terkait tema
penelitian.
Metode penelitian memiliki rancangan penelitian (research design) tertentu.
Rancangan ini menggambarkan langkah-langkah yang harus ditempuh pada saat penelitian,
sumber data dan kondisi dalam arti untuk apa data dikumpulkan dan dengan cara bagaimana
data tersebut dihimpun dan diolah. Tujuan dari rancangan penelitian ini adalah melalui
penggunaan metode penelitian yang tepat, dirancang kegiatan yang dapat memberikan
jawaban yang teliti terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.43
Berdasarkan pendekatannya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
(qualitative research) yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis fenomena-
fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara
individu atau kelompok.44 Di dalam penelitian ini terdapat upaya untuk mendeskripsikan,
mencatat, menganalisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang saat ini terjadi. 45
Karena dalam penelitian ini hanya akan mendeskripsikan fenomena yang ada apa adanya,
maka penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research). Jenis penelitian
deskriptif ini disebut juga penelitian praeksperimen karena dalam penelitian ini mereka
melakukan eksplorasi dan menggambarkan fenomena dengan tujuan untuk dapat
menerangkan dan memprediksi terhadap sesuatu yang berlaku atas dasar data yang diperoleh
di lapangan.46 Artinya, dalam penelitian ini peneliti akan berusaha menggambarkan secara
rinci dan berusaha memahami apa arti dari sebuah fenomena yang terjadi berkaitan dengan

43
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), 52
44
Nana Syaodih, Sukmadinata, Metode, hlm. 60.
45
Sanapiyah Faisal, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 42
46
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan; Kompetensi dan Praktiknya. (Jakarta: Buni Aksara, 2003),
hlm. 14
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu tenaga pendidik yang
ada di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
Peneliti juga akan mengamati secara berkala terhadap fenomena-fenomena yang
terjadi terkait fokus penelitian ini baik yang tampak dari situasi serta kondisi objek
penelitian yang informasinya dapat diperoleh dari berbagai informan dan dokumen
pendukung lainnya.
Peneliti mengguanakan metode penyelidikan studi kasus (case study), hal ini
peneliti ambil karena penelitian dengan menggunakan metode studi kasus dilakukan dalam
latar yang alamiah dan memusatkan perhatian pada suatu peristiwa atau aktivitas secara
intensif dan rinci. Selain itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengembangkan
pengetahuan yang mendalam mengenai objek yang diteliti, sehingga sifat dari penelitian ini
lebih banyak bersifat eksploratif dan deskriptif. 47 Model studi kasus ini merupakan strategi
penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa,
aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas,
dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan berbagai prosedur
pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.48 Peneliti memilih jenis
penelitian studi kasus karena dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti sebuah aktivitas
secara intensif dan rinci. Penelitian ini juga diarahkan untuk menghimpun data, mengambil
makna, dan pemahaman dari sebuah kasus mengenai penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah sebagai program, aktivitas, dan juga proses yang dilakukan oleh sekelompok orang
yaitu tenaga pendidik di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasuruan.

B. Kehadiran Peneliti
Penelitian kualitatif merupakan penelitian interpretif, yang di dalamnya peneliti
terlibat dalam pengalaman yang berkelanjutan dan terus menerus dengan para partisipan.
Keterlibatan peran seperti ini yang akan menjadikan peneliti memiliki peran untuk
mengidentifikasi bias-bias, nilai-nilai, dan latar belakang pribadinya secara reflektif, seperti

47
Nurul Ulfatin, Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikan: Teori dan Aplikasinya, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2013), hlm. 48
48
John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, terj, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 20.
gender, sejarah, kebudayaan, dan status sosial ekonominya, yang bisa saja turut membentuk
interpretasi mereka selama penelitian.
Keberadaan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Peneliti berperan
sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya
menjadi pelapor hasil dari penelitiannya. Dalam penelitian ini peneliti merupakan instrumen
utama penelitian karena menjadi segalanya dari proses penelitian tersebut. Namun yang
dimaksud sebagai instrumen penelitian di sini adalah sebagai alat pengumpul data. Sugiono
juga mengungkapkan bahwa posisi peneliti dalam penelitian kualitatif menjadi instrumen
kunci (key instrument).
Oleh karena itu, kehadiran peneliti merupakan hal yang mutlak dalam penelitian ini
untuk mengamati objek penelitian yang berhubungan dengan penerapan Manajemen
Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu tenaga pendidik di SDN Tambaksari dan SDN
Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan Untuk menghindari subjektivitas dari
peneliti, maka peneliti berusaha membangun hubungan baik dengan semua pihak terkait,
khususnya para informan di lapangan. Di samping itu, peneliti juga berusaha untuk
menjadikan data yang peneliti kumpulkan menjadi data yang benar-benar objektif sesuai
informasi yang peneliti dapatkan dari informan tanpa adanya unsur subjektivitas dari
peneliti.
Terkait kehadiran peneliti dalam proses penelitian, maka ada beberapa hal yang
perlu dihindari berupa memberi kesan sikap, tindakan, dan perkataan yang dapat merugikan
para informan (objek penelitian). Sebab jika hal itu terjadi, bisa dipastikan penelitian ini
tidak akan menghasilkan data dan informasi secara maksimal karena terdapat pihak yang
merasa dirugikan. Peneliti berupaya untuk menjadikan penelitian ini memiliki keuntungan
bagi kedua belah pihak (peneliti dan yang diteliti). Oleh karena itu, peneliti mencoba
menyusun beberapa tahapan yang akan peneliti lakukan dalam proses penelitian ini, yaitu
sebagai berikut: 1) peneliti menyusun rancangan penelitian; 2) peneliti menentukan objek
penelitian; 3) peneliti melakukan survei dan observasi awal ke lokasi penelitian atau melalui
website resmi lembaga (pendahuluan); 4) peneliti menentukan informan penelitian; 5)
peneliti menyiapkan segala perlengkapan penelitian termasuk surat izin meneliti; 6) peneliti
mulai memasuki lapangan diawali dengan proses pengakraban; 7) peneliti mulai berperan
sambil mengumpulkan data yang diperlukan sesuai dengan jadwal dan kesepakatan; 8)
peneliti melakukan analisis data (kondisional); 9) peneliti melakukan pengecekan keabsahan
data (triangulasi); 10) peneliti menyimpulkan hasil penelitian, dan; 11) peneliti menyusun
laporan penelitian (tesis).

C. Latar Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan
Kraton Kabupaten Pasuruan Pemilihan lokasi penelitian dilakukan peneliti dengan tehnik
purposive sampling yaitu sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa lembaga
tersebut adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitian. Adapun beberapa
alasan yang cukup signifikan, mengapa penelitian ini dilaksanakan pada kedua sekolah
tersebut karena kedua sekolah tersebut merupakan sekolah dasar yang favorit di kabupaten
Pasuruan.

D. Data dan Sumber Data Penelitian


Lofland dalam Lexy j Moleong menungkapkan bahwa sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain.49
Menurut cara perolehan data dapat dikelompokkan menjadi dua macam ,yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan
oleh peneliti dari sumber pertama. Dalam hal ini data primer adalah data yang dikumpulkan
secara langsung dari informan melalui pengamatan, catatan lapangan dan interview.
Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak
lain yang biasanya disajikan dalam bentuk publikasi, dan journal. Dalam hal ini data
sekunder adalah data yang sudah diolah dalam bentuk naskah tulisan atau dokumen. 50 Dalam
penelitian ini data yang diperoleh berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasian sebagai
berikut:
1. Data Primer:
a. Kepala sekolah SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasuruan.

49
Lexy j Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya,1991), hlm, 112
50
Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: gajah Mada University
Press,1994),hlm, 73
b. Wakil-wakil Kepala Sekolah (Kurikulum, Humas, SDM) SDN Tambaksari dan
SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
c. Guru-guru di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasuruan.
d. Siswa-siswa di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton
Kabupaten Pasuruan.
2. Data Sekunder: Dokumen-dokumen, Catatan-catatan dan Laporan-laporan maupun
arsip-arsip resmi.
Hubungan peneliti dengan informan sangat ditentukan oleh sejauh mana
kemampuan dan ketrampilan yang dibina peneliti sejak awal memasuki lokasi penelitian.
Kemudian sumber data yang berasal dari dokumentasi dipilih berdasarkan relevansi dengan
judul penelitian seperti catatan-catatan, rekaman gambar/foto, dan hasil observasi yang ada
hubungannya dengan focus penelitian ini.

E. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini berbentuk studi kasus, maka data-data yang dibutuhkan harus berupa
perkataan, catatan/tulisan, rekaman, gambar, dan lain sebagainya. Selain itu dalam penelitian
ini juga terjadi proses pengamatan dan pemaknaan atas fenomena yang terjadi di lapangan.
Oleh sebab itu, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga cara yaitu,
wawancara (interview) untuk mengumpulkan informasi berupa perkataan lisan (verbal),
pengamatan (observation) untuk memahami sikap/tindakan yang terjadi, dan dokumentasi
yang bisa berupa tulisan, gambar, rekaman, dan lain sebagainya.
1. Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan terwawancara. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur yakni wawancara yang
pewawancara menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan namun dalam waktu bersamaan peneliti mempersilahkan informan untuk
mengeksplorasi pendapatnya dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka dari peneliti. 51

51
Nurul Ulfatin, Metode Penelitian, hlm. 187.
Metode ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik personal seorang peneliti, termasuk
ras, kelas sosial, kesukuan, dan gender.52
Dalam penelitian ini, proses wawancara dilakukan secara semi terstruktur
sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu wawancara dilakukan berdasarkan item-item
pertanyaan yang telah disiapkan secara terstruktur dan terencana namun pada waktu
yang sama memberikan keluasan kepada informan untuk melakukan eksplorasi dengan
pertanyaan-pertanyaan terbuka yang diajukan oleh peneliti secara spontan dan
kondisional.
Pada proses pengumpulan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
pertanyaan dalam menggali data berdasarkan indikator dari teori yang dirumuskan
dalam fokus penelitian. Seperti pada langkah-langkah dan tahapan perencanaan mutu,
pelaksanaan kontrol, dan uapaya peningkatan mutu dari pelaksanaan Manajemen
Berbasis Sekolah dalam pengembangan mutu tenaga pendidik. Untuk mengungkapkan
secara mendalam akan beberapa hal tersebut, peneliti menggunakan teknik wawancara
kepada para informan yang dianggap paling mengetahui atau sebagai pelaksana dalam
melakukan perencanaan, pelaksanaan kontrol, dan upaya peningktan mutu tenaga
pendidik di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten
Pasuruan.
2. Observasi (observation)
Observasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami,
mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena (perilaku, kejadian-kejadian,
keadaan, benda, dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa
memengaruhi fenomena yang diobservasi, dengan mencatat, merekam, memotret
fenomena tersebut guna penemuan data analisis.53 Ada juga yang mengartikan
pengamatan sebagai suatu cara pengumpulan data dengan jalan mengadakan
pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Penelitian ini menggunakan
observasi non parsitipatif (nonparticipatory observation), yang mana peneliti tidak ikut
serta dalam kegiatan dan hanya berperan mengamati kegiatan.54
52
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research.[USA: Sage Publication,
Inc, 2000]. Terjemahan Indonesia oleh Dariyatno, dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 495
53
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003), hlm. 167
54
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode, hlm. 220.
Pengamatan atau observasi diklafisikasikan menjadi tiga. Pertama, pengamat
dapat bertindak sebagai partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat
dilakukan secara terus terang (overt) atau penyamaran (covert), walaupun secara etis
dianjurkan untuk terus terang, kecuali untuk keadaan tertentu yang menghendaki
penyamaran. Klasifikasi yang ketiga menyangkut latar penelitian. Observasi dapat
dilakukan pada latar “alami” dan “dirancang” (sebagaimana analogi dari wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur). Untuk observasi yang “dirancang” bertentangan
dengan prinsip pendekatan kualitatif, yaitu fenomena diambil maknanya dari konteks
sebanyak dari karakteristik individu yang berada dalam konteks tersebut. Oleh karena
itu teknik observasi yang kedua ini tidak dilakukan dalam penelitian kualitatif.55
Ada tiga objek yang akan diobservasi dalam penelitian kualitatif menurut
Spradley dinamakan situasi sosial yang dikutip oleh Sugiyono yang terdiri dari tempat
(place), pelaku (actor), dan aktivitas (activities). Place, atau tempat di mana interaksi
dalam situasi sosial sedang berlangsung. Dalam pendidikan bisa di ruang kelas,
lapangan, bengkel. Actor, pelaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran
tertentu, seperti guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua murid. Activity, atau
kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung,
seperti kegiatan belajar mengajar.56
Dalam proses pengumpulan data menggunakan teknik observasi ini peneliti
sebagai pengamat diharuskan memiliki kepekaan terhadap fenomena di sekitarnya. Oleh
karena itu pengamat senantiasa berusaha mempertahankan hal tersebut untuk tetap
fokus pada apa yang diamati. Sebab fenomena merupakan ide utama sebuah peristiwa,
atau kejadian mengenai serangkaian aksi dan interaksi yang mengacu kepada
pengaturan, pemeliharaan, atau serangkaian tempat-tempat yang terkait.57
Teknik pengamatan ini peneliti gunakan untuk melihat dan memahami serta
mengambil kesimpulan terhadap kegiatan manajemen yang terjadi dalam pelaksanaan
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah dalam meningkatkan mutu tenaga pendidik

55
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang:
Kalimasahada Press, 1994), hlm. 68
56
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 314
57
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, “Basic of Qualitative Research; Grounded Theory Procedures and
Techniques.” Terjemahan Indonesia oleh Djunaidi Ghony, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif; Prosedur, Teknik,
dan Teori Grounded.(Surabaya: Bina Ilmu, 1997), hlm. 109
SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan baik
peran aktif masyarakat, kepemimpinan kepala sekolah, dan upaya peningkatan mutu
tenaga pendidik yang bisa diamati oleh peneliti secara langsung seperti, bagaimana
penyusunan perencanaan, bagaimana kegiatan pengontrolan, dan bagaimana kegiatan
peningkatan mutu tenaga pendidik, serta berbagai kegiatan yang memiliki hubungan
dengan proses penerapan Manajemen Berbasis Sekolah dalam peningkatan mutu tanaga
pendidik di SDN Tambaksari dan SDN Klampisrejo Kecamatan Kraton Kabupaten
Pasuruan.
3. Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non-
insani. Sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. Lincoln dan Guba (1985)
mengartikan rekaman sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan oleh
atau untuk individual atau organisasi dengan tujuan membuktikan adanya suatu
peristiwa atau memenuhi accounting.58 Metode ini merupakan suatu cara pengumpulan
data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti, sehingga akan memperoleh data yang lengkap, sah dan bukan berdasarkan
perkiraan.59 Hasil penelitian juga akan semakin dapat dipercaya apabila didukung oleh
foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada.60
Dokumentasi dalam penelitian menjadi data penunjang yang cukup penting
untuk memperkuat data-data hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan
peneliti. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik ini untuk
mengumpulkan data tulisan, gambar, foto, rekaman, dan lain sebagainya terkait fokus
penelitian, seperti profil lembaga, struktur organisasi, data tentang SDM yang ada
(pendidik dan tenaga kependidikan), data peserta didik, foto kegiatan, sarana prasarana,
dan lain sebagainya sehingga tidak ada kesan manipulasi data dalam proses
pengumpulan data penelitian ini.
Peneliti menggunakan teknik ini karena teknik ini selalu tersedia dan murah,
dalam dokumentasi terdapat informasi yang stabil baik keakuratannya dalam
merefleksikan situasi yang terjadi di masa lampau maupun dapat dianalisis kembali

58
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, “Basic”, hlm. 75.
59
Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008s), hlm. 158
60
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 83
tanpa mengalami perubahan. Dokumentasi merupakan sumber informasi yang kaya
secara kontekstual dan relevan dalam konteksnya. Sumber ini sering merupakan
pernyataan yang legal yang dapat memenuhi akuntabilitas dan juga nonreaktif.

F. Teknik Analisis Data


Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi,
penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis, dan
ilmiah.61 Analisis data untuk penelitian kualitatif dimulai sejak sudah berada di lapangan. 62
Analisis data dalam penelitian kulitatif belangsung serempak ketika melakukan
pengumpulan data. Schatzman dan Strauss menyatakan bahwa analisis data kualitatif
utamanya melibatkan pengklasifikasian benda-benda, orang-orang, dan peristiwa-peristiwa,
serta properti-properti lain yang mencirikan ketiganya. Dalam proses analisis data peneliti
akan mengidentifikasi dan mendeskripsikan pola-pola dan tema-tema dari sudut pandang
informan, kemudian berusaha memahami dan menjelaskan pola-pola dan tema-tema tersebut
supaya lebih mudah dipahami oleh orang lain.
Melihat penelitian kualitatif yang menggunakan logika induktif, maka
konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi dikembangkan oleh peneliti berdasarkan
kejadian, peristiwa, dan fenomena yang ada di lapangan. Karena itu, antara proses
pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian ini menjadi satu kegiatan yang integral
dan sekaligus simultan. Peneliti akan mengikuti model Miles dan Huberman dalam
melakukan analisis data. Data-data yang dianalisis melalui beberapa tahapan-tahapan,
sebagaimana yang dikemukakan Miles dan Huberman bahwa aktivitas dalam analisa data,
yaitu data collection, data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.63
1. Pengumpulan Data (Data Collection)
Pengumpulan data dilakukan melalui berbagai teknik pengumpulan data yang
telah dilakukan (Triangulasi), yaitu merupakan penggabungan dari berbagai jenis teknik
pengumpulan data baik wawancara, observasi, maupun dokumentasi. Semakin banyak

61
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi, hlm. 191.
62
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif; Edisi Revisi, (Jogjakarta:
Arruz Media 2012), hlm. 274
63
Sugiono, Memahami, hlm. 91.
data yang terkumpul, maka hasil penelitian yang didapat semakin bagus. 64 Pengumpulan
data akan peneliti lakukan sepanjang data masih diperlukan.
2. Reduksi Data (Data Reduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada
hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencari bila diperlukan. 65 Peneliti akan
melakukan pemilahan data yang telah terkumpul dan mengambil data-data yang penting
dan pokok serta membuang data yang tidak diperlukan supaya tidak tercampur dengan
data yang pokok.
Semua data yang didapat dari wawancara, observasi dan dokumentasi mengenai
perencanaan, pengontrolan, dan upaya peningkatan mutu tenaga pendidik akan dikaitkan
satu sama lain. Kemudian peneliti menganalisa dan memilah lagi data yang ada
relevansinya dengan fokus penelitian untuk dijadikan lebih sederhana, demikian juga
dengan data-data yang lain. Data yang telah direduksi akan dikelompokkan dan disusun
secara sistematis dan disesuaikan dengan dimensi permasalahan yang akan dicari
jawabannya.
3. Penyajian Data (Data Display)
Setelah melakukan reduksi data, tahap berikutnya adalah tahap penyajian data.
Miles dan Huberman mengemukakan bahwa yang dimaksud penyajian data adalah
menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 66 Penyajian data dapat dilakukan dalam
bentuk tabel, grafik, chart dan sejenisnya. Melalui penyajian data dalam bentuk display,
maka data dapat terorganisir, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin
mudah dipahami. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori dan flowchart. Penyajian data dengan
menggunakan teks yang bersifat naratif.67

64
Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm.87
65
Sugiyono, Metode, hlm. 92
66
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi, hlm. 194.
67
Hamid Patilima, Metode Penelitian, hlm. 97.
Setelah mendapatkan hasil reduksi data dari berbagai komponen permasalahan
penelitian yang diangkat, maka dilakukan penyimpulan sementara untuk menggambarkan
tentang perencanaan, pengontrolan, dan upaya peningkatan mutu tenaga pendidik dalam
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah untuk pengembangan mutu tenaga pendidik,
beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
4. Kesimpulan dan Verifikasi Data (Conclusion Drawing and Verifying)
Langkah berikutnya dalam analisis data adalah verifikasi yaitu memverifikasi data
dan menarik kesimpulan. Kesimpulan yang diambil harus didukung oleh data-data yang
valid dan konsisten, sehingga kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan
yang terpercaya (credible). Kesimpulan yang diperoleh merupakan jawaban dari fokus
penelitian yang telah dirumuskan sejak awal dan dapat berkembang sesuai dengan
kondisi yang ada di lapangan. Kesimpulan yang diperoleh juga dapat berupa temuan baru
yang belum pernah ada sebelumnya.68
Peneliti melakukan penarikan kesimpulan dan verifikasi data dengan data yang
valid dan berkualitas sebagaimana adanya, sehingga hasil dari penelitian yang dilakukan
juga memiliki kualitas tinggi dan baik. Apapun kesimpulan yang didapat, apakah
kesimpulannya menjawab fokus penelitian awal atau tidak merupakan hal yang biasa,
karena penelitian kualitatif lebih bersifat dinamis dan tidak statis.

G. Pengecekan Keabsahan Data


Pengecekan keabsahan data dilakukan untuk memastikan bahwa data dan informasi
yang didapat bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Cara ini dilakukan
untuk mengurangi kesalahan dalam pengumpulan data penelitian yang tentunya bisa
memengaruhi hasil akhir suatu penelitian. Ada empat kriteria yang digunakan yaitu derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan
kepastian (confirmability).69 Untuk menguji keabsahan data dalam penelititan ini, peneliti
akan menggunakan beberapa cara, antara lain:
1. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
68
Hamid Patilima, Metode Penelitian, hlm. 97.
69
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006). hlm. 191
terhadap data itu.70 Dalam teknik ini data dikumpulkan melalui beragam sumber agar
hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi dapat dianalisis seutuhnya. Dalam
penelitian ini peneliti akan menggunakan dua macam triangulasi, yaitu triangulasi
sumber data dan triangulasi metode. Pertama, triangulasi sumber data, yaitu peneliti
akan melakukan pengecekan data dari seorang sumber dengan sumber lain yang
berbeda. Kemudian peneliti melakukan hal yang sama kepada kepala sekolah atau
kepada yang lainnya untuk mengetahui apakah ada kecocokan informasi atau tidak dari
berbagai sumber data tersebut. Kedua, triangulasi metode, yaitu peneliti melakukan
pengecekan data yang diperoleh melalui metode pengambilan data yang berbeda untuk
mengkaji ulang antar metode yang ada. Misalnya, data tentang pelaksanaan kontrol
mutu dalam penerapan Quality Assurance dalam pengembangan mutu SDM yang
berupa dokumen dan arsip atau foto-foto kegiatan pengontrolan, kemudian peneliti
melakukan kajian ulang dengan metode wawancara melalui pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kembali kepada para informan.
2. Pemeriksaan oleh teman sejawat;
Peneliti meminta salah satu atau beberapa teman sejawat sebagai pemeriksa atas
penelitian ini. Dalam hal ini peneliti mengharapkan kritik, saran, dan masukan-masukan
yang dapat dipertimbangkan untuk pengumpulan data atau mempertajam hasil
penelitian.71 Peneliti akan meminta teman atau dosen untuk memberikan tanggapan
terhadap kecukupan dan relevansi data atau informasi yang peneliti dapatkan dengan
fokus penelitian.
3. Perpanjangan waktu pengamatan;
Perpanjangan pengamatan akan dapat meningkatkan kepercayaan data yang
dikumpulkan.72 Observasi reguler dan berulang atas fenomena dan setting penelitian
akan dilakukan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
4. Pengecekan Anggota (Member checks).
Cara pengecekan keabsahan data dengan teknik ini adalah dengan menanyakan
kembali kepada informan tentang data yang telah direkam dan dikumpulkan di

70
Lexy J. Moleong, Metode, hlm. 330.
71
Nurul Ulfatin, Metode Penelitian, hlm. 274.
72
Nurul Ulfatin, Metode Penelitian, hlm. 273.
lapangan.73 Peneliti akan melakukan tanya jawab dan diskusi bersama informan terkait
dengan hasil interpretasi peneliti tentang realitas dan makna yang disampaikan
informan untuk memastikan nilai kebenaran data yang peneliti dapat

73
Nurul Ulfatin, Metode Penelitian, hlm. 272.
DAFTAR RUJUKAN

Arifin, Imron. Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan. Malang:
Kalimasahada Press. 1994

Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. 2008.

Cheng, Yin Cheong. School Effectiveness & School based Management: A Mechanism for
Development. Washington D.C: The Falmer Press, 1996

Creswell, John W. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, terj.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research. USA: Sage
Publication, Inc, 2000. Terj Dariyatno, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009

Faisal, Sanapiyah. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1982

Fitriani. Problema Peningkatan Guru di Indonesia. “Al Furqon” Jurnal Pendidikan Islam Vol. 1
No. 1, 41.

Gunarsa, Singgih D dan Yulia Singgih D Gunarsa. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003

Indrakusuma, Amir Dien. Ilmu Pendidikan; Sebuah Tinjauan Teoritis Filosofis, Surabaya: Usaha
Nasional.Tt

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Reamaja Rosdakarya. 1991

Mulyasa. Menajadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.

Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press. 1994

Nurkolis. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana. 2003

Patilima, Hamid. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 2004

Rohiat. Manajemen Sekolah. Bandung:PT Refika Aditama. 2010.


Sagala. Saiful. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta
2009.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, Basic of Qualitative Research; Grounded Theory Procedures
and Techniques. Terj. Djunaidi Ghony. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif; Prosedur,
Teknik, dan Teori Grounded. Surabaya: Bina Ilmu, 1997

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 2009

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 2010

Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Buni Aksara.
2003

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,


2006

Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja


Rosdakarya. 2003

Supriono S dan Achmad Sapari. Manajemen Berbasis Sekolah. Anggota IKAPI Cabang Jatim,
2001

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Ulfatin, Nurul. Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikan: Teori dan Aplikasinya.
Malang: Bayumedia Publishing, 2013

Umiarso dan Imam Gojali. Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan. Jogjakarta:
IRCiSoD. 2011

Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2006

Cheng, Yin Cheong. School Effectiveness & School based Management: A Mechanism for
Development. Washington D.C: The Falmer Press, 1996

Anda mungkin juga menyukai