Anda di halaman 1dari 6

MENYUSUN ULANG DEMOKRASI BERKEADILAN BAGI PEREMPUAN

Siti Mauliana Hairini, S.IP., MA

Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP ULM, Direktur AKSARA Perempuan

“Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang (Story has been writen by the victors)”
begitulah kredo umum yang dijumpai manakala membicarakan tentang sebuah pernyataan
modern dan post-modern dari natur/asal-usul sebuah sejarah. Namun dibalik adagium
tersebut, sebenarnya menyimpan keresahan dan jerit perlawanan narasi alternatif dari kaum
yang terkalahkan. Itulah mengapa, Albert Kamus memandang bahwa sejarah bukanlah tafsir
realitas yang dibangun oleh penguasa, akan tetapi sejarah merupakan bangunan realitas-
realitas yang utuh tanpa ada campur tangan dominasi di dalamnya. Tampaknya pepatah yang
dipopulerkan Winston Churcill itu terlanjur membekas dalam benak khalayak di berbagai
penjuru negeri ini, tidak terkecuali pada lintasan catatan sejarah kepemimpinan lokal di
Kalimantan Selatan.

Sejauh ini, meskipun kepemimpinan politik-pemerintahan di Kalimantan Selatan


selalu diduduki oleh laki-laki, namun bukan berarti hal itu menjadi sebuah keniscayaan yang
harus diterima begitu saja adanya. Seolah-olah kaum perempuan harus menerima untuk
dipinggirkan, dan akan selalu terpinggirkan dalam sejarah kepemimpinan yang masih terus
ditulis. Memang perlu diakui, bahwa dominasi budaya patriarki dalam beberapa dekade
terakhir telah membawa kaum laki-laki menempati pentas kepemimpinan politik-
pemerintahan di Bumi Lambung Mangkurat. Namun, hal ini bukan berarti kaum perempuan
tidak mampu untuk menunjukan eksistensinya sebagai warga negara yang memiliki hak
politik yang sama, termasuk untuk meneguhkan dirinya sebagai pemimpin baik terhadap
kaum laki-laki dan kaum perempuan itu sendiri.

Bila mencermati rekam jejak tokoh-tokoh perempuan di Tanah Banjar, kita tentu akan
menemukan berbagai nama yang memiliki peran strategis yang berkontribusi besar dalam
bidang politik dan pemerintahan di Bumi Lambung Mangkurat. Sebut saja seperti Putri
Mayang Sari, Nyai Kumala Sari, Ratu Zaleha, hingga Ny Gusti Nursehan Djohansyah tokoh
perempuan di era revolusi fisik yang kini namanya diabadikan pada Gedung Wanita Provinsi
Kalimantan Selatan. Sayangnya, catatan sejarah perjuangan perempuan ini mulai terlupa dan
tergantikan dengan prasangka-prasangka sinis semenjak demokrasi yang membawa
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan ini di aminkan di negara Indonesia.
padahal sebagai negara besar kita telah berkomitmen untuk mengimplementasikan demokrasi
perwakilan dimana pemerintahannya dibangun sebagai lawan dari demokrasi langsung
beserta karakteristiknya, khususnya “kesetaraan politik”.

Dahl (1998) menuliskan bahwa demokrasi perwakilan akan mendorong kesetaraan


politik yang tinggi akan tetapi konsep kepemimpinan telah menjadi bagian yang tertanam
kuat dalam sistem dan struktur patriarki. Sehingga persoalan perempuan dalam demokrasi
dianggap oleh sebagian pihak telah selesai manakala perempuan diberikan hak untuk memilih
dengan dalih diperlakukan netral sebagai warga negara namun dalam praktiknya demokrasi
kita terus saja memberikan privilege kepada laki-laki. Konstelasi sistem politik Kalimantan
Selatan di era pasca kemerdekaan seakan ikut terbius dengan doktrin dominasi Patriarki yang
perlahan menghapuskan ingatan kita akan sejarah dan identitas masyarakat Banjar dalam pola
hubungan dengan sesama manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebudayaan
Banjar seperti persaudaraan, keberagaman hingga penghargaan terhadap eksistensi
perempuan Banjar itu sendiri.

Eksistensi perempuan di ruang publik dan politik selalu saja ditentukan oleh faktor
yang berada diluar dirinya. Tidak hanya budaya patriarki yang terus mendikte mereka, namun
juga terselip halangan lain seperti belenggu stereotip gender yang menjadi momok
menakutkan bagi perempuan untuk tampil dalam ruang-ruang pengambilan keputusan publik,
terlebih khusus dalam arena politik dalam demokrasi modern. Kehadiran perempuan dalam
konstelasi pertarungan politik tidak jauh berbeda dengan kehidupan privat mereka. Saat ini,
langkah politik perempuan cenderung lebih menunggu hadirnya berbagai macam peluang
politik dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga hal ini menunjukkan bahwa kepentingan
perempuan dalam pemilu “sering kali berasal dari luar individunya itu sendiri” (Bledsoe &
Herring, 1990; Sanbonmatsu & Carroll, 2017). Studi terhadap kandidat perempuan
menunjukkan bahwa struktur peluang politik seperti jenis sistem pemilu, besaran daerah
pemilihan, jabatan petahana, partai, dan tingkat jabatan politik mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap akses perempuan terhadap jabatan politis. semua faktor ini lah yang
sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana langkah panjang perempuan guna
memenangkan prosedur demokrasi dalam meraih jabatan politik (Fowler, 1993).

Dalam konteks inilah, para ahli demokrasi berkeadilan menyimpulkan bahwa


lembaga-lembaga demokrasi harus dikonsep ulang untuk menerima semua orang yang secara
sistematis terpinggirkan, yaitu ras minoritas, etnis minoritas, dan perempuan dari segala
warna kulit (Janet R. Hutchinson, 2002). Demokrasi semestinya mengupayakan politik
keadilan yang multikultural, yaitu demokrasi yang mengakomodir multigender (Marla
Brettschneider; Janet R. Hutchinson, 2002). Para ahli berpendapat bahwa persoalan
genderisasi demokrasi ini begitu cair, para elit dan publik begitu mudah beralih sikap,
sesekali mereka dapat mencoba mengerti namun tak jarang pula melemparkan penolakan.
Ketidakpastian sikap dari berbagai pihak ini menciptakan Dilema genderisasi yang turut
mempengaruhi demokrasi lokal khususnya di Kalimantan Selatan. Pada beberapa waktu
masyarakat Banjar terkesan dapat bersikap egaliter dan menerima kehadiran perempuan
namun jika berurusan dengan kepemimpinan mereka begitu cepat berpindah menjadi pihak
yang menentang.

Meskipun saat ini kontestasi belum dimulai, namun tensi politik mulai memanas.
Beberapa rumor dan upaya “cek ombak” dari nama-nama yang akan menjadi bakal calon
kepala daerah menjadi isu terhangat di perbincangan publik di Kalimantan Selatan. Tidak
kalah semarak, berbagai hasil survei serta media massa mulai menampilkan angka popularitas
dan nama para kandidat yang akan bertarung dalam pilkada, termasuk beberapa alternatif
skenario pasangan para kandidat berserta koalisi partai pengusungnya. Hanya saja, yang perlu
digaris bawahi yakni dari banyak kasus yang menjadi temuan riset terkait peluang dan
keberhasilan politik perempuan dalam menapaki panggung kekuasaan eksekutif ternyata
tidaklah ditentukan oleh deretan angka maupun persepsi publik semata, namun bagaimana
perempuan beserta struktur politik mampu saling bersinergi guna membuka akses terhadap
kelompok elit, institusi, serta arena politik.
Tidak hanya di Kalimantan Selatan, studi kasus di daerah lain dan berbagai belahan
dunia lainnya juga menunjukkan kehadiran perempuan di arena politik seringkali dikaitkan
dengan klan politik, karena latar belakang keluarga calon perempuan menjadi faktor
pendukung terbesar bagi perempuan untuk dapat mengatasi berbagai hambatan saat
memasuki panggung politik. Fenomena problematis ini merupakan gejala umum yang
dihadapi perempuan karena ikatan keluarga menjadi penyokong utama yang memberikan
perempuan akses terhadap sumberdaya dan jaringan. Masyarakat Kalimantan Selatan tentu
tidak familiar dengan fenomena kehadiran perempuan yang didorong oleh keluarga politik,
karena begitu minimnya kehadiran perempuan dalam pertarungan jabatan kepemimpinan
politik di era demokrasi. Namun seiring berjalannya waktu, jika masyarakat secara bertahap
dapat menerima partisipasi perempuan dalam politk sebagai hal yang normal maka politisi
perempuan tidak lagi membutuhkan ikatan atau hubungan keluarga seperti itu (Baturo dan
Gray, 2018).

awal dari sebuah akhir: “Wahai perempuan di seluruh Kalimantan Selatan,


Bersatulah!”

Sampai sejauh ini, hanyalah Hj. Noormiliyani yang menjadi satu-satunya perempuan
Kalimantan Selatan yang mampu mendobrak dominasi kekuasaan pada struktur politik
maskulin hingga menjadikannya Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan hingga Kepala
Daerah perempuan pertama di Kabupaten Barito Kuala periode 2017-2022. Kemudian Hj.
Mariana yang menjadi Ketua DPD Partai Gerindra di Provinsi Kalimantan Selatan juga
mampu mendobrak tembok besar yang selama ini menjadi momok perempuan banua menuju
Senayan. Hj. Raudhatul Jannah atau yang akrab disapa Acil Odah yang merupakan istri dari
Gubernur Kalimantan Selatan juga menjadi sosok perempuan pertama yang dimunculkan
sebagai salah satu bakal calon gubernur Kalimantan Selatan. Fenomena ini tidak hanya
menjadi babak baru sejarah masuknya nama perempuan, namun juga dapat dimaknai sebagai
simbol baru sekaligus anti-tesis dominasi laki-laki sejak era Pilkada langsung digulirkan pada
tahun 2005 silam di Bumi Lambung Mangkurat. Lebih lanjut, kondisi ini menjadi penanda
terjadinya pergeseran akses kekuasaan terhadap penjaringan multi-aktor.

Tidak berhenti di situ saja, nama-nama seperti Dewi Damayanti Said dan Siti Wasilah
merupakan dua tokoh perempuan yang digadang akan meramaikan Pilkada Kota Banjarmasin
tahun 2024. Meskipun fenomena ini akan direspon pro dan kontra dari masyarakat, namun
yang perlu dipahami bersama adalah menjadi perempuan akan selalu dianggap sebagai
komoditas yang bisa diatur dan didikte, sehingga bukan saatnya bagi perempuan memikirkan
berbagai prasangka dan stereotip gender yang selalu saja dijadikan senjata untuk melemahkan
mereka, melainkan mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai rintangan dan
mendobrak pintu-pintu kesempatan menuju akses kepemimpinan di era demokrasi modern.

Demokrasi Lokal di Kalimantan Selatan sudah terlalu lama menjadi arena permainan
maskulin. Perempuan hanya diperbolehkan sebagai penonton dan sesekali ikut bersorak pada
kemenangan laki-laki. Area kepemimpinan terus saja dikonstruksi menjadi wilayah tabu
untuk dimasuki perempuan, maka diperlukan sinergi besar untuk mendorong perempuan
menapaki jalan terjal menuju pintu gerbang pemilihan umum untuk kepala daerah. Hasil
penelitian Tim Gender dan Politik di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional
(BRIN) selama 2015-2019, menegaskan pentingnya organisasi perempuan non-pemerintah
(ornop perempuan). Hal ini untuk mendorong para perempuan dalam politik elektoral, dan
menghasilkan pemimpin perempuan yang responsif gender. Hal ini serupa dengan teori
struktur kesempatan politik yang dikemukaan oleh Mc Adam yang memfokuskan kepada
faktor eksternal yaitu faktor politik dan ekonomi dianggap jauh lebih penting dibandingkan
faktor-faktor personal. Untuk dapat mendorong perempuan memasuki politik dan
mewujudkan demokrasi yang lebih berkeadilan bagi perempuan maka diperlukan langkah-
langkah berikut:

1. Partai Politik membuat komitmen untuk membuka ruang bagi Perempuan


menjadi calon Kepala Daerah; Partai Politik sebagai infrastruktur utama dalam
sistem politik menjadi titik penentu keterbukaan atau ketertutupan sistem politik yang
menentukan peluang bagi perempuan di panggung elektoral.
2. Para elit politik dan ekonomi bersepakat memberikan dukungan bagi
perempuan untuk dapat berpartisipasi aktif di Pilkada; Stabilitas atau instabilitas
aliansi kelompok elite juga menajdi bagian sistem politik yang dapat mempengaruhi
peluang bagi kehadiran hingga keterpilihan perempuan dalam kontestasi politik
elektoral.
3. Para Komunitas membangun jejaring solidaritas bersama untuk mendorong
kepemimpinan perempuan; Jaringan perempuan yang secara aktif memberikan
dukungan adalah infrastruktur penting untuk mempromosikan serta mendorong
keberhasilan kepemimpinan perempuan dalam politik. Perempuan sering menghadapi
tantangan sosial dan budaya dalam memasuki dan berhasil dalam politik sehingga
dibutuhkan dukungan moral, emosional, serta pengalaman dari sesama perempuan
yang berbagi visi dan tujuan yang sama sangat penting. Para perempuan yang mampu
membangun koalisi yang dilandasi solidaritas bersama, dapat menciptakan perubahan
yang positif untuk melawan stereotip dan hambatan yang ada.

Faktor eksternal yang diambil dari beberapa konsep Political opportunity structure oleh
Mc Adam (1978) ini dapat digunakan untuk mendobrak Demokrasi Lokal Kalimatan
Selatan yang dipenuhi oleh aturan main maskulinitas untuk dapat menghadirkan
keberagaman gender di panggung politik Pilkada 2024 nanti. Sedangkan faktor personal
perempuan akan menjadi krusial untuk dipadankan dengan berbagai konfigurasi institusi
dan kekuasaan hanya jika perempuan telah dapat melewati bursa pencalonan dan
menghadapi arena pertarungan sebenarnya. Dalam konteks ini, menjadi relevan kiranya
untuk sedikit memodifikasi seruan Karl Marx yang diperuntukkan bagi kelas pekerja,
menjadi seruan kepada kaum perempuan di penjuru banua ini, “Wahai perempuan di
seluruh Kalimantan Selatan, bersatulah!”.

Anda mungkin juga menyukai