Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Pengambilan keputusan
2. Bagaimana pengambilan keputusan sengketa baik pengadilan maupun non pengadilan?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar pembaca bisa mengerti dan memahami :
a. Pengertian Pengambilan keputusan
b. Bagaimana pengambilan keputusan sengketa baik pengadilan maupun nonpengadilan
2. Tujuan Khusus
a. Bagi Mahasiswa
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “ Kewirausahaan” sebagai
salah satu bagian dalam pengambilan nilai Mata Kuliah.
b. Bagi Dosen
Makalah ini dapat membantu dosen sebagai pengambilan pertimbangan nilai
mahasiswa .
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengambilan Keputusan
2.1.1 Pengertian Pengambilan Keputusan
a. George R. Terry
Pengambilan keputusan adalah pemilihan dua alternatif atau lebih untuk dicari
keputusan yang lebih baik.
b. Sondang P. Siagian
Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap hakikat
suatu masalah dengan pengumpulan fakta-fakta dan data-data, penentuan yang
matang dari alternatif yang dihadapi dan pengambilan tindakan yang menurut
perhitungan merupakan suatu tindakan yang paling tepat.
c. Azhar Kasim
Pengambilan keputusan adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi perumusan
masalah, penambahan/pembahasan alternatif dan penilaian kegiatan serta
pemilihan sebagai penyelesaian masalah
3
b. Keputusan Rutin
Merupakan keputusan-keputusan setiap hari, bersifat repetitive (berulang-
ulang) dan mempunyai sedikit dampak terhadap organisasi secara keseluruhan.
4
2.2 Pengambilan Keputusan Sengketa baik Litigasi maupun Non Litigasi
2.2.1 Pengertian Litigasi
Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum berdasarkan Pancasila sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum, diperlukan suatu lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat, baik
sengketa antara masyarakat dengan masyarakat maupun antara masyarakat dengan
pemerintah. Dalam negara hukum berdasarkan Pancasila lembaga yang mempunyai
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa disebut lembaga peradilan atau lembaga
yudikatif. Sementara itu dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkebunan
melalui proses lembaga peradilan disebut sebagai proses penyelesaian sengketa litigasi.
Lembaga peradilan atau sering disebut sebagai lembaga yudikatif merupakan sebuah
lembaga yang memiliki kemampuan untuk memberikan rasa keadilan dalam masyarakat
manakala lembaga tersebut digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan engketa atau
konflik. Lembaga ini merupakan tumpuan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang
mendambakan keadilan. Pengadilan merupakan tumpuan harapan terakhir para pencari
keadilan atau pihak-pihak yang bersengketa.
Peradilan adalah salah satu lembaga peradilan sebagai lembaga yang menjalankan
(pelaku) kekuasaan kehakiman dan mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Hal ini sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman (yang selanjutnya disebut UU No. 48 Tahun 2009) mengatur
bahwa: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada masyarakat, pengadilan
mempunyai tugas-tugas utama secara normatif antara lain: pertama, memberikan
perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan. Kedua, memberikan
pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan. Ketiga,
memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final sehingga
memuaskan semua pihak dan masyarakat.
Litigasi adalah proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan di
mana setiap pihak yang bersengketa mendapatkan kesempatan untuk mengajukan
gugatan dan bantahan. Namun Undang-undang sendiri tidak memberikan definisi
mengenai definisi litigasi. Namun, Pasal 6 ayat (1)Undang-Undang Nomor 30
5
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU
Arbitrase dan APS”) berbunyi:
“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”
1. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
2. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam Pasal 2 ayat (4) UU No.
48 Tahun 2009 diatur bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan;
3. Asas persamaan di depan hukum atau equality before the law. Hal ini
sebagaimana diatur Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 mengatur bahwa
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
4. Asas hakim tidak boleh menolak perkara. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 diatur bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Sementara itu menurut A. Mukti Arto, dari aturan-aturan yang tertuang secara
formal tersebut terdapat beberapa persoalan yang dilakukan lembaga peradilan dalam
menyelesaikan sebuah sengketa diantaranya adalah:
6
1. Proses penyelesaian perkara biasanya berjalan terlalu formal dan kaku
sehingga kurang fleksibel dan tidak menjangkau seluruh aspek sengketa
(perkara);
2. Proses peradilan terkesan angker karena hanya memperhatikan aspek
yuridis saja tanpa memperhatikan aspek sosiologis, psikologis dan religius
yang merupakan unsur-unsur sengketa suara holistik;
3. Proses peradilan berjalan lamban dan berbelit-belit, sehingga dinilai boros
serta membuang-buang waktu dan biaya yang sangat merugikan pencari
keadilan;
4. Tidak ada komunikasi timbal balik antara hakim dan pihak-pihak. Hakim
terialu mendominasi proses peradilan dan kurang memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk aktif sebagai subyek dalam proses penyelesaian
sengketa. Hakim cenderung menempatkan para pihak sebagai obyek yang
harus diperiksa dan di adili;
5. Kebenaran dan keadilan diukur dengan pendapat, keyakinan dan perasaan
hakim secara sepihak sehingga para pihak tidak bisa memahami dan
menerima putusan hakim yang secara subyektif berada di luar pendapat,
keyakinan, dan perasaan mereka;
6. Hakim cenderung bersifat formal karena hanya memperhatikan aspek
hukum yang berdasarkan doktrin atau teks hukum semata tanpa
memperhatikan faktor kesadaran hukum para pihak.
7. Kebanyakan perkara-perkara perdata ternyata sebagaian besar diantaranya
dimintakan banding/kasasi.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar putusan judex factie tak diterima,
oleh para pencari keadilan. meskipun perkara telah diputuskan dan putusan telah
berkekuatan hukum tetap, namun ternyata sengketa yang terjadi antara pihak-pihak
tidak kunjung padam, dan bahwa cenderung menimbulkan rasa dendam dan benci
serta rasa permusuhan yang berkepanjangan sehingga menimbulkan ekses-ekses
negatif di masyarakat dan sebagainya. Pengadilan ternyata telah gagal dalam
mengemban inti dan misi serta fungsinya untuk menyelesaikan sengketa dan
memulihkan hubungan sosial antara pihak-pihak yang berperkara. Untuk itulah maka
perlu dicarikan solusi baru agar Pengadilan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya
dalam menyelesaikan perkara yang diamanatkan kepadanya, baik secara yuridis,
7
sosiologis, psikologis maupun relegius dengan memberikan suatu putusan yang secara
praktis (nyata) bersifat final dan tuntas.
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian
Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa
dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan,
minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses
litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama
lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum
remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam bukunya
Mediasi di Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan (litigasi),
penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang
lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa litigasi merupakan
faktor-faktor penentu yang menyebabkan orang enggan menyelesaikan sengketa di
pengadilan. Menghadapi situasi itulah, wajar apabila dicari solusi dan dikembangkan bentuk
penyelesaian sengketa secara non litigasi melalui "extrajudicial settlement of disputes" atau
disebut pula Alternative Dispute Resolution (ADR), yaitu penyelesaian sengketa alternatif di
luar pengadilan.
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian
sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
8
dengan cara-cara yang sangat merugikan, antara lain: buang-buang waktu (a
waste of time), biaya mahal (very expensive), mempermasalahkan masa lalu,
bukan menyelesaikan masalah masa depan, membuat orang bermusuhan
(enemy), melumpuhkan para pihak (paralyze people).”
9
kewenangan (penuh) kepada arbitrator guna menyelesaikan sengketa. Untuk itulah,
dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka arbitrator berwewenang
mengambil keputusan yang populer disebut award yang bersifat final dan mengikat
secara hukum bagi para pihak yang bersengketa (the decision rendered by the
arbitrator is legally binding) serta memiliki kekuatan eksekutorial.
Dalam penyelesaian sengketa, arbitrase mempunyai keunggulan dan kelemahan.
Keunggulan arbitrase sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam penjelasan umum tersebut dinyatakan bahwa
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif;
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil;
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Selain kelebihan seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan.
Kelemahan yang terdapat dari praktek yang terjadi adalah masih sulitnya upaya
eksekusi dari suatu putusan arbitrase. Hal ini dikarenakan putusan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat seperti halnya dengan putusan pengadilan meskipun
pengaturan mengenai eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional telah
diatur cukup jelas.
Alernative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli (Pasal 1 angka 10 UU No 30 tahun 1999).
1. Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara
suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang
merupakan konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut
untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya.
10
2. Negosiasi merupakan cara untuk mencari penyelesaian masalah
melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang
bersengketa, yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Dalam
negosiasi para pihak yang bersengketa berunding secara langsung (kadang-
kadang didampingi pengacaranya masing-masing) tanpa perantaraan pihak
ketiga dalam menentukan kata akhir penyelesaian sengketa. Penyelesaian
sepenuhnya dikontrol oleh para pihak sendiri atas dasar prinsip "win-win".
Negosiasi bersifat informal dan tidak terstruktur (tidak ada bentuk baku)
serta waktunya pun tidak terbatas. Efisiensi dan efektifitas kelangsungan
negosiasi tergantung sepenuhnya kepada para pihak.
3. Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa antara para pihak
yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral dan
tidak memihak sebagai fasilitator, dimana keputusan untuk mencapai suatu
kesepakatan tetap diambil oleh para pihak itu sendiri, tidak oleh mediator.
Pada prinsipnya, mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak penengah
(mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak
untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak
ada yang disebut mediasi, mediasi merupakan perluasan dari negosiasi
sebagai mekanisme ADR dengan bantuan seorang mediator. Christopher W.
Moore dalam tulisannya Introduction to Disputes Systems design telah
mengklasifikasikan tipe-tipe mediatator.
Menurut Christopher W. Moore, terdapat dua belas faktor yang
menyebabkan proses mediasi menjadi efektif:
“Pertama, para pihak yang bersengketa memiliki sejarah pernah
bekerjasama dan berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai
beberapa hal. Kedua, para pihak tidak memiliki sejarah panjang saling
menggugat di pengadilan sebelum melakukan proses mediasi. Ketiga,
jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada
pihak-pihak yang berada di luar masalah. Keempat, pihak-pihak yang
terlibat dalam sengketa telah sepakat untuk membatasi permasalahan yang
akan dibahas. Kelima, para pihak mempunyai keinginan besar untuk
menyelesaikan masalah mereka. Keenam, para pihak telah mempunyai
atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut di masa yang akan datang.
Ketujuh, tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal.
11
Kedelapan, para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga.
Kesembilan, terdapat alasan-alasan kuat untuk menyelesaikan sengketa.
Kesepuluh, para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-
benar mengganggu hubungan mereka. Kesebelas, terdapat sumberdaya
untuk tercapainya sebuah kompromi. Keduabelas, para pihak memiliki
kemauan untuk saling menghargai.”
Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi
tiga kepuasan: substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan substantif
(substantive satisfaction) berhubungan dengan kepuasan khusus dari para
pihak yang bersengketa, misalnya: terpenuhinya ganti kerugian berupa
uang, ataupun karena jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam
waktu yang relatif tepat. Kepuasan prosedural (procedural satisfaction)
terjadi apabila para pihak mendapatkan kesempatan yang sama dalam
menyampaikan gagasannya selama berlangsungnya perundingan atau
karena adanya kesepakatan yang diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis
untuk dilaksanakan. Kepuasan psikologis (psychological satisfaction)
menyangkut tingkat emosi para pihak: yang terkendali, saling menghargai,
penuh keterbukaan serta dilakukan dengan sikap positif dalam memelihara
hubungan pada masa-masa mendatang.
4. Konsiliasi merupakan usaha yang dilakukan pihak ketiga yang bersifat
netral, untuk berkomunikasi dengan kelompok-kelompok yang bersengketa
secara terpisah, dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan dan
mengusahakan kearah tercapainya persetujuan untuk berlangsungnya suatu
proses penyelesaian sengketa.
5. Penilaian ahli dapat diartikan sebagai pendapat hukum atau legal
opinion atas permintaan dari para pihak yang bersengketa.
Phillip D. Bostwick (dalam Abdurrasyid, 2002) mengartikan ADR sebagai sebuah
perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan:
a. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para
pihak
b. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang
biasa terjadi
c. Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke
pengadilan.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ada 2 cara penyelesaian sengketa yaitu dengan Litigasi (melalui pengadilan) dan
nonlitigasi ( diluar pengadilan). Penyelesaian diluar pengadilan yaitu dengan cara
konsultasi, negosisasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
3.2 Saran
Pilihan menjadi pengusaha berarti membangun dan mengembangkan satu kepribadian
sesuai dengan tuntutan kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang kedalam kepemimpinan
efektif yang sejalan dengan usaha-usaha mengembangkan kebiasaan yang efektif.
Mempersiapkan kesempatan merupakan awal perubahan sikap dan perilaku dalam
usaha mengembangkan kebiasaan yang efektif yang ditunjukkan dengan adanya
peningkatan kedewasaan rohaniah, sosial, emosional dan intlektual. Setiap keputusan
yang akan diambil harus memperhatikan aspek-aspek yang terlibat, karena keputusan
yang akan kita ambil tidak hanya melibatkan kita saja, tetapi berkaitan dengan aspek lain
yang tidak dapat dipisahkan.
13
DAFTAR PUSTAKA
http://arast-aras.blogspot.co.id/2012/03/makalah-membuat-keputusan-dalam.html diakses
tanggal 16 Oktober 2017
http://adampramono6.blogspot.co.id/2013/05/kewirausahaan-rangkuman-bab-7-8-9-dan-
10.html diakses tanggal 16 Oktober 2017
http://www.academia.edu/29831296/Penyelesaian_Sengketa_Litigasi_dan_Non-
Litigasi_Tinjauan_terhadap_Mediasi_dalam_Pengadilan_sebagai_Alternatif diakses tanggal
16 Oktober 2017
http://www.academia.edu/28112287/
PENYELESAIAN_SENGKETA_LINGKUNGAN_HIDUP_DI_LUAR_PENGADILAN
diakses tanggal 16 Oktober 2017
http://ojosokgelem.wordpress.com/2012/12/17/alternatif-penyelesaian-sengketa-lingkungan-
di-luar-pengadilan/ diakses tanggal 16 Oktober 2017
14