Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MMFJ

QADZAF

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah : Muqaranah Madzahib Fil Jinayah
Dosen Pengampu: Ust. Bitoh Purnomo, Lc., LL.M.

Kelompok 3
Kelas : PM1 (20151) Syari’ah 14

Burdiman (2010102001)

Julia Marita (2010102006)

Bagas Lukito (2010102008)

Mita Septiani (2010102016)

Shinta Suciyati (2020102024)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM


PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2022-2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirorhamnirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb..

Puji dan syukur yang selalu kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan rahmat dan karunia- Nya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini tepat
waktu. Sholawat beserta salam selalu tercurahkan kepada Nabiyunna kita Muhammad SAW,
beserta keluarga-Nya, sahabat-sahabat-Nya dan kita selaku umatnya hingga akhir zaman.

Adapun tujuan dari penulis makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Muqarranah Mazahib Fil Jinayah yang berjudul “Qadzaf”. Kami mengucapkan terima kasih
kepada Ustadz Bitoh Purnomo, Lc., LL.M. selaku dosen mata kuliah yang telah membimbing
kami dalam pembuatan makalah ini sehingga kami bisa menyelesaikannya tepat pada waktunya
serta telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang tekuni.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini
karena kemampuan dan pengalaman saya yang masih terbatas. Untuk itu, saya mengharapkan
saran dan kritik yang sifatnya membangun, demi perbaikan dalam makalah dimasa mendatang.
Harapan saya semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi harapan dari berbagai akademisi.

Palembang, Senin 26 September 2022

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................................................

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

A. Latar Belakang......................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 3

A. Pengertian Qadzaf ................................................................................................... 3

B. Dasar Hukum Jarimah Qadzaf .............................................................................. 3

C. Syarat-Syarat Jarimah Qadzaf .............................................................................. 6

D. Hukuman Bagi Pelaku Jarimah Qadzaf................................................................ 6

E. Pendapat Para Imam Madzhab Tentang Qadzaf ................................................. 7

F. Pembuktian Jarimah Qadzaf.................................................................................. 8

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 13

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 13

B. Saran ....................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap muslim seharusnya memelihara kehormatan dan keluhuran saudaranya


sesama muslim. Bukannya menelanjangi ataupun membuka rahasia yang akan
mencemarkan muslim lain. Maka kalau ada seorang muslim yang menuduh seorang
muslim berzina, namun tidak dapat membuktikannya dengan mengemukakan empat orang
saksi yang (juga) telah melihat kejahatan itu tengah dilakukan pada saat dan tempat yang
sama, maka si penuduh akan dihukum cambuk delapan puluh kali. Dianggap seorang fasik
dan kesaksiannya tidak akan diterima lagi kapan pun mengajukan persaksian.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nuur ayat 4:

‫اج ِلد ُۡوهُمۡ ثَمٰ نِ ۡينَ َج ۡل َدةً َّو َل ت َ ۡقبَلُ ۡوا‬ َ ‫َوالَّذ ِۡينَ يَ ۡر ُم ۡونَ ۡال ُم ۡح‬
ِ ‫ص ٰن‬
ُ ‫ت ث ُ َّم لَمۡ يَ ۡات ُ ۡوا ِبا َ ۡربَعَ ِة‬
ۡ َ‫ش َه َدآ َء ف‬
َ‫سقُ ۡون‬ ِ ‫ولٓٮكَ ُه ُم ۡال ٰف‬ ٰ ُ ‫ش َها َدةً اَبَدًا ۚ َوا‬
َ ۡ‫لَ ُهم‬

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)


dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selamalamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nuur: 4).

Islam adalah agama samawi dengan sistem hidup yang selaras dengan perintah
Allah SWT dalam wahyu-Nya dan sejalan pula dengan tuntutan Rasulullah SAW dalam
sunah. Setiap muslim diwajibkan untuk menempuh pola kehidupan yang integral Islamis,
sinkron dengan ketentuan alquran dan sunah tersebut. Untuk itu, semua muslim wajib
mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu
memisahkan antara perilaku yang dibenarkan dengan perbuatan yang disalahkan. Syariat
Islam diturunkan untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Setiap perilaku yang
merendahkan harkat dan martabat manusia, baik secara pribadi maupun sebagai anggota
masyarakat tentu dilarang oleh Allah SWT. Dalam hukum Islam dijumpai istilah jinayah,
yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi
jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegent).
1
Adapun perbuatan yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia serta
menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal adalah jarimah (perbuatan dosa,
perbuatan salah atau kejahatan). Menurut istilah para fukaha, yang dinamakan jarimah
adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan
hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.

B. Rumusan Masalah
a) Bagaimana upaya dari qodzaf tersebut dalam aspeknya?
b) Menjelaskan apa-apa saja yang mendasari dalam qodzaf seperti penegertian, syarat dll
tersebut?
c) Baigaimana upaya untuk menggali dari qodzaf pandangan imam mazhab dalam
kaitannya tersebut?

C. Tujuan Penulisan
a) Untuk mengetahui pengertian-pengertian yang ada sebab serta yang ditulis oleh
pemakalah ini menjadi acuan untuk memahami sebuah konsep.
b) Untuk mengetahui di dalamnya pokok-pokok ruku syarat dan ketentuan dalam syariat.
c) Untuk mengetahuidan juga mengali secara mendalam dan rinci dalam subjek qodzaf
itu!

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qadzaf

Qadzaf menurut terminologi adalah “Ar-ramyu Bil Hijarati Wa Nahwiha” yang


artinya melempar dengan batu. Adapun melakukan qadzaf kepada orang yang sudah
menikah (baik perempuan maupun laki-laki) secara istilah ilmu fiqh berarti menuduhnya
melakukan zina atau menafikan hubungan nasab anak kepada sang bapak 1. Dalam istilah
syara’, qadzaf ada dua macam yaitu:

a. Qadzaf yang diancam dengan hukuman hadd, Yaitu :


َ َ‫الزنَا أ َ ْونَ ْفي ِ ن‬
‫س ِب ِه‬ ِ ‫ص ِن ِب‬
َ ْ‫ي ال ُمح‬
ُ ‫َر ْم‬
“Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang
menghilangkan nasabnya”2.

b. Qadzaf yang diancam hukuman ta’dzir, Yaitu :


‫الر مى بغر الزنا أو نفي النسب سواء كان من رمى محصنا أو غير محصن‬
"Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik
orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan”.

Qadzaf yang dimaksud adalah menuduh zina dengan cara mencela. Menuduh zina termasuk
dosa besar yang berkaitan dengan hak berdasarkan al-Qur’an, hadits, dan ijma’ ulama.

B. Dasar Hukum Jarimah Qadzaf

Dasar Hukum Qadzaf dijelaskan dalam Al-qur’an, Surat Al-nur ayat 4

‫اج ِلد ُۡوه ُۡم ثَمٰ نِ ۡينَ َج ۡلدَة ً َّو ََل ت َۡقبَلُ ۡوا لَ ُه ۡم‬ ُ ‫ت ث ُ َّم لَ ۡم يَ ۡات ُ ۡوا ِبا َ ۡربَ َع ِة‬
ۡ َ‫ش َهدَا َء ف‬ َ ‫َوالَّذ ِۡينَ يَ ۡر ُم ۡونَ ۡال ُم ۡح‬
ِ ‫ص ٰن‬
َ‫ولٮكَ ُه ُم ۡال ٰف ِسقُ ۡون‬ ٰ ُ ‫ش َهادَة ً اَبَدًا ۚ َوا‬
َ

Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

1
Bosar Z. Siregar, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Braja Pustaka, 2015) Hal 194.
2
Muslich, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) Hal. 61.

3
Dan Surat An-nur 23

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang


lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi
mereka azab yang besar”.
Dari Ayat diatas kalimat ‫ت‬ َ ْ‫ْال ُمح‬
ِ َ‫صن‬ َ‫ ِإ َّن الَّ ِذ يْنَ َي ْر ُمون‬menurut kesepakatan ulama‟
berarti menuduh zina (qadzaf ). Argumentasi bahwa ayat ini berbicara mengenai masalah
qadzaf, menurut Wahbah Zuhaili adalah:
1. Ayat ini disebutkan setelah membahas masalah zina.
2. Penyebutan muhsanat dalam ayat ini, mengandung pengertian wanita-wanita yang
menjauhkan diri dari zina.
3. Disyaratkannya untuk menghadirkan empat orang saksi. Jumlah empat orang saksi,
hanya berlaku dalam masalah zina.
4. Dalam kaitannya dengan “tuduhan” tidaklah harus dikenakan hukuman dera kecuali
tuduhan zina.
5. Sabab al-nuzul ayat ini berkenaan dengan tuduhan zina yang dialamatkan pada Aisah
r.a. Walaupun ayat ini berlaku pada keumuman lafadhnya, tetapi sabab nuzul-nya
berperan dalam menjelaskan maudu’-nya.

Yang dimaksud wanita-wanita yang baik (muhsanat) disini adalah wanita-wanita


muslimah yang suci, merdeka, ‘aqil, dan baligh. Penyebutan muhsanat dengan bentuk
mu’anas di sini, menurut Wahbah Zuhaili, adalah karena mempertimbangkan waqi’ahnya
3
(sabab al-nuzul-nya). Disamping karena kekhususan peristiwanya, kekhususan
penyebutan wanita dalam ayat ini menurut al-Sabuni, karena lazimnya yang dituduh itu
kaum wanita. Pada wanita akibat yang ditimbulkan lebih buruk, sebab menuduh mereka
itu selain menyakiti mereka sendiri juga keluarganya.4

Menurut Hamka, 5 muhsanat dalam ayat ini diartikan wanita yang terbenteng.
Kadang mereka dinamai pula ghafilat, yaitu wanita yang lengah. Dalam terminologi Arab
penyebutan ghafilat terhadap wanita merupakan pujian karena yang dimaksudkan adalah
wanita yang lengah dari mengerjakan segala hal yang tercela. Sedang menurut Quraish

3
Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir Al-Munir Fii Al-‘Aqidah Wa Al-Shari’ah Wa Al-Manhaj Juz XVII.
(Beirut: Dar Al-Fikr Al-Ma’asir, 1991). Hal.140-141
4
Muhammad ‘Ali Al-Sabuni. Rawai’u Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an Juz II.(Beirut:
Dar Al-Fikr.tt), Hal.46
5
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ XVIII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Hal.134.

4
Shihab, 6 wanita yang dilukiskan dengan kata tersebut oleh Al-Qur’an, dapat diartikan
sebagai wanita yang terpelihara dan terhalangi dari kekejian, karena dia adalah seorang
yang suci bersih, bermoral tinggi, atau karena dia merdeka, bukan budak, atau karena
seorang istri yang mendapat perlindungan dari suaminya. Yang dimaksud pada ayat ini
menurut Ibn ‘Ashur adalah wanita merdeka yang telah bersuami. Mengomentari
pandangan Ibn ‘Ashur, Quraish Shihab menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata
tersebut di sini adalah wanita yang suci bersih, bermoral tinggi, baik telah menikah
maupun belum. Menurutnya siapa pun wanita terhomat dengan keimanannya yang
dicemarkan nama baiknya dengan tuduhan zina, maka pencemarnya dituntut
mendatangkan empat orang saksi atau didera.

Jika qadzaf tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat, maka hadd qadzaf tidak
dapat dilaksanakan. Syarat penerapan had qadzaf adalah:

1. Pelaku qadzaf adalah orang muslim yang berakal dan baligh.


2. Orang yang dituduh berzina adalah orang suci yang tidak pernah dikenal berbuat zina
oleh masyarakat.
3. Orang yang dituduh berbuat zina meminta penerapan hadd qadzaf terhadap penuduh,
karena ia mempunyai hak untuk hal tersebut, namun jika memaafkan maka
diperbolehkan.
4. Penuduh tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang bersaksi atas kebenaran
qadzaf nya terhadap penuduh.7
Apabila seseorang menuduh zina orang kafir, anak kecil, orang gila budak, dan
pezina, maka penuduh tidak di hadd karena orang yang dituduh tidak muhsan seperti yang
dimaksud oleh ayat al-Qur’an tadi. Memang benar bahwa penuduh di ta’zir sebab tuduhan
zina itu menyakiti orang lain.7

Qadzaf dibuktikan dengan tiga macam alat bukti yaitu sebagai berikut:

1. Saksi, Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat-syarat
saksi sama dengan syarat saksi dalam zina sebagaimana yang sudah dijelaskan
dalam bab zina, yaitu; balig, berakal, dapat berbicara, adil, Islam, dan tidak ada
penghalang menjadi saksi. Adapun jumlah atau banyaknya saksi qadzaf
sekurangkurangnya dua orang.

6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 9, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal.289.
7
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Beirut: Darul Fikr, 2000). Hal.692
7
Al-Husaini, Kifayatul Akhyar. Hal. 83

5
2. Pengakuan, Jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari
pelaku (penuduh), bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini
cukup dinyatakan satu kali dalam majelis pengadilan.
3. Sumpah, Menurut Imam Syafi’I jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah
apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang yang dituduh
(korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa
ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk bersumpah, maka
jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk bersumpah tersebut.
Demikian sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh
(korban) bahwa penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang yang
dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh
dibebaskan hukuman hadd qadzaf.

C. Syarat-syarat Jarimah Qadzaf

Menurut Sayyid Sabiq bahwa untuk dapat menjatuhkan hukuman cambuk dalam
jarimah qadzaf terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi
tiga hal, yaitu:

a) Syarat-syarat qadzif (orang yang menuduh berzina) adalah berakal, dewasa (balig)
dan dalam keadaan tidak terpaksa (ikhtiyar);
b) Syarat-syarat maqdzuf (orang yang dituduh berzina) adalah berakal, dewasa (balig),
Islam, merdeka dan belum pernah serta menjauhi perbuatan zina.

Syarat-syarat maqdzuf bih (sesuatu yang dibuat untuk menuduh zina) adalah pernyataan yang
berupa lisan maupun tulisan yang jelas, seperti panggilan: hai orang yang berzina atau hai
kamu lahir tanpa bapak, dan pernyataan yang berupa lisan maupun tulisan atau sindiran yang
jelas arahnya, misalnya ada dua orang saling bertengkar, lalu yang satu berkata: meskipun aku
jelek, tetapi aku tidak pernah berbuat zina dan ibuku juga tidak pernah berzina. Pernyataan
seperti itu merupakan sindiran bahwa ia dianggap telah menuduh zina kepada lawannya dan
kepada ibu lawannya.

D. Hukuman Bagi Pelaku Jarimah Qadzaf

Berbicara tentang hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai
berikut:

6
1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali. Hukuman ini
merupakan hukuman hadd, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan syara‟, sehingga ulil
amri tidak mempunyai hak memberikan pengampunan.
2. Hukuman tambahan, yaitu tidak ada persaksiannya.

Pelaksanaan hukuman qadzaf bagi jarimah ini sama halnya seperti pelaksanaan
hukuman jarimah zina. Bagi laki-laki diikat sambil berdiri dengan alat pukul berupa
cambuk ukuran sedang, dan sasaran canbuk diarahkan pada bagian punggung. Bagi
perempuan hukuman diakukan dalam posisi duduk, seandainya ia adalah wanita hamil
eksekusi dilakukan setelah ia melahirkan, hal ini untuk menghindari kematian bayi yang
dikandungnya.8

Hukuman jarimah qadzaf dapat gugur karena hal-hal berikut, yaitu:

1) Para saksi yang diajukan oleh yang dituduh mencabut kembali persaksiannya.
2) Orang yang dituduh melakukan zina membenarkan tuduhan dari penuduh.
3) Korban (orang yang dituduh berzina) tidak mempercarai keterangan para saksi.
4) Hilangnya kecakapan para saksi sebelum pelaksanaan hukuman.
5) Korban mememaafkan atau tidak menuntut.
6) Penuduh menghadirkan bukti empat orang saksi.
7) Para saksi menarik kesaksian mereka.
8) Untuk suami, had qadzaf gugur dengan li’an.10

E. Pendapat Para Imam Madzhab Tentang Qadzaf

Hukum islam menganggap setiap perbuatan menyakiti orang lain tanpa alasan
yang syar’i ssebagai tindak pidana yang harus dikenakan hukuman. Dan apabila dalam
suatu tuduhan itu tidak ada bukti yang nyata dalam tuduhannya dan tidak mendatangkan
empat saksi maka hukumannya adalah dirajam atau didera 80 kali.

Masalah ini diperselisihkan para ulama:

1. Dua Imam madzhab; Abu Hanifah dan Imam Malik memandang bahwa orang
yang menuduh laki-laki lain berzina dengan isterinya, maka ia harus
mengajukan bukti atas hal itu, sebab bila tidak, maka ia dikenakan hukuman

8
Rahmad Hakim, hukum pidana islam (Fiqh Jinayah), ( Bandung: CV Pustaka Setia. 2000), Hal. 82
10
Audah, At Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Hal. 407

7
Hadd. Alasannya, karena hal itu merupakan tuduhan berzina terhadap orang
yang seharusnya tidak perlu dituduh sehingga ia berada dalam posisi hukum
asal Hadd Qadzf. Ibn al-‘Arabi berkata, “Inilah makna zhahir dari al-Qur’an
sebab Allah SWT meletakkan hukum Hadd bagi tuduhan berzina terhadap
orang asing dan isteri secara mutlak, kemudian Dia mengkhususkan bagi isteri
agar terhindar darinya dengan cara Li’an. Dengn begitu, makna mutlak ayat
tersebut hanya terarah kepada orang asing itu.
2. Sementara dua Imam madzhab lagi; imam asy-Syafi’i dan Ahmad memandang
bahwa bila suami menuduh isterinya berzina dengan laki-laki tertentu,
kemudian ia melakukan Li’an, maka telah gugur atasnya Hadd dan jatuh
kepada isterinya. Siapa yang menuduhnya (isterinya) berzina, maka dia harus
menyebutkannya dalam Li’an atau tidak menyebutnya sebab Li’an
membutuhkan bukti dari salah satu dari kedua belah pihak, sehingga ia menjadi
bukti pada pihak yang lain seperti kedudukan persaksian. Jika suami tidak
melakukan Li’an, maka bagi masing-masing dari suami dan laki-laki yang
dituduh berzina dengan isterinya itu harus menuntut dilakukannya Hadd; siapa
saja di antara keduanya yang meminta, maka ia sendiri yang dihukum Hadd
dan tidak dapat dikenakan kepada yang belum memintanya.9

F. Pembuktian Jarimah Qadzaf

Pembuktian dalam arti luas adalah kemampuan tergugat atau penggugat


memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum
serta Peristiwa-peristiwa yang dibantahkan dalam hukum yang diperkarakan. Sedangkan
dalam arti sempit mengandung pengertian pembuktian hanya diperlukan sepanjang
mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang
yang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang berperkara.

Dalam peranan pembuktian, hampir dalam setiap proses pemeriksaan perkara


selalu ada kesaksian, kesaksian dari beberapa orang saksi diperlukan oleh pihak yang
berperkara untuk menguatkan dalil-dalil yang dikemukakan guna memutuskan perkara
yang menjadi persengketaan diantara pencari keadilan. Pembuktian tersebut juga penting

9
Audah, At Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Hal. 47-50

8
dalam pembuktian jarimah qadzaf. Menurut hukum Islam pembuktian menuduh zina
sebagai berikut :

1. Dengan Saksi-saksi
Merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat-syarat saksi
sama dengan syarat saksi dalam jarimah zina sebagaimana yang sudah
dijelaskan pada bab sebelumnya yaitu baligh, berakal, dapat berbicara, adil,
Islam dan tidak ada penghalang menjadi saksi. Adapun jumlah atau banyaknya
saksi dalam jarimah qadzaf sekurang-kurang nya dua orang.
2. Dengan Pengakuan (Iqrar)
Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku
(penuduh), bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini
cukup dinyatakan satu kali dalam majelis pengadilan.
3. Dengan Sumpah
Menurut imam Syafi I, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah
apabila tidak ada ‟saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh
(korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah
bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila enggan untuk bersumpah maka
jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk bersumpah.
Demikian sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang
dituduh (korban) bahwa penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang
yang dituduh enggan melakukan sumpah, maka tuduhan dianggap benar dan
penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf.
Akan tetapi imam Malik dan imam Ahmad tidak membenarkan
pembuktian dengan
sumpah, sebagaimana yang dikemukakan oleh madzhab Syafi i. sebagian
ulama Hanafiyah ‟pendapatnya sama dengan madzhab Syafi I yaitu
membenarkan pembuktian dengan sumpah, ‟tetapi sebagian lagi tidak
membenarkannya. Menurut hemat penulis, pembuktian dengan sumpah ini
kurang meyakinkan bagi hakim, apalagi dalam jarimah yang hukumannya
cukup berat seperti halnya dalam jarimah qadzaf ini.

Dalam pembuktian jarimah qadzaf, Jarimah qadzaf memiliki beberapa unsur yaitu
adanya tuduhan, orang yang dituduh adalah mushin dan adanya maksud jahat atau niat

9
untuk melawan hukum. Apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan zina
dan si pelaku tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkannya. Padahal tuduhan zina
dapat menghilangkan nasab korban seperti contohnya. Seorang ayah yang melontarkan
kata-kata kepada anak nya “hai anak zina”, itu berarti orang tersebut telah menghilangkan
nasab anaknya karena menuduh anaknya adalah hasil perselingkuhan dan sekaligus
menuduh ibunya berbuat zina. Berbeda dengan kata-kata “hai pezina”, itu berarti hanya
menuduh zina dan tidak menghilangkan nasab nya.

Orang yang dituduh adalah muhshin (berasal dari kata ihsan), artinya baik. Orang
yang bersih dari zina. Atau dapat diartikan orang yang tidak mungkin berbuat zina.
Syaratnya adalah dia baligh dan berakal. Karena zina tidak mungkin terjadi dari orang gila
atau anak dibawah umur tidak dikenai hukuman had.

Adanya niat untuk melawan hukum, syarat ini dapat terpenuhi apabila ia tahu bahwa
apa yang dituduhkannya tidak benar dan seseorang dianggap mengetahui ketidak benaran
tuduhannya apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya tersebut.
Ketentuan ini didasarkan kepada ucapan Rasulullah SAW kepada Hilal ibnu Umayyah
ketika menuduh istrinya berzina dengan Syarik ibnu Sahma , yaitu: “Datangkanlah saksi,
apabila tidak bisa ‟mendatangkan saksi maka hukuman had akan dikenakan kepada kamu”.
(HR. Abu Ya la) ‟

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila saksi dalam jarimah qadzaf kurang dari
empat orang maka mereka dikenai hukuman had sebagai penuduh. Walaupun menurut
sebagian yang lain mereka tidak dikenai hukuman had selama mereka betul-betul bertindak
sebagai saksi. Dalam jarimah qadzaf terdapat hak Allah dan hak manusia, akan tetapi,
menurut imam Abu Hanifah, hak Allah lebih besar daripada hak manusia. Oleh karena itu,
apabila perkaranya telah sampai ke pengadilan, maka hukuman harus dilaksanakan
meskipun orang yang dituduh tidak mengajukan tuntutan. Disamping itu sebagai
konsekuensi dari hak Allah, hukuman qazdaf tidak terpengaruh oleh maaf dari korban.

Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam rnenentukan hak Allah dan hak
manusia dalam jarimah qadzaf, namun karena adanya hak campuran di dalamnya, mereka
sepakat mengenai perlu adanya pengaduan dan tuntutan oleh orang yang dituduh secara
langsung, tidak boleh pengaduan itu oleh orang lain. Ketentuan ini merupakan
pengecualian dari kaidah umum yang berlaku dalam syariat Islam, bahwa dalam jarimah

10
hudud pengaduan dari korban tidak menjadi syarat untuk melaksanakan penuntutan
terhadap pelaku. Alasan dari pendapat ini adalah walaupun qadzaf termasuk jarimah hudud,
namun jarimah ini melanggar kehormatan orang yang dituduh secara pribadi.

Orang yang berhak memiliki pengaduan itu adalah orang yang dituduh itu sendiri.
Apabila ia mati setelah mengajukan pengaduannya maka menurut Imam Abu Hanifah
tuntutan menjadi gugur, karena hak semata-mata yang tidak bemilai mal (harta) tidak bisa
diwaris. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, hak pengaduan
dan tuntutan bisa diwaris oleh ahli waris. Apabila ahli warisnya tidak ada maka tuntutan
menjadi gugur. Apabila orang yang dituduh itu orang yang sudah meninggal maka menurut
jumhur fuqaha termasuk imam yang empat, bisa diadakan penuntutan terhadap penuduh
atas dasar pengaduan dari orang yang memiliki hak pengaduan. Apabila pemilik hak
pengaduan tidak ada maka tuntutan menjadi gugur.

Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dianggap sebagai
pemilik hak pengaduan ini. Menurut Imam Malik, orang yang dianggap sebagai pemilik
hak pengaduan ini adalah orang tua dari orang yang dituduh dan anak-anaknya yang
lakilaki. Apabila mereka ini sama sekali tidak ada maka yang menjadi pemilik hak, adalah
ashabah dan anak-anaknya yang perempuan, setelah itu saudara perempuan dan neneknya.
Menurut Imam Abu Hanifah, hak pengaduan itu dimiliki oleh semua anak dan
keturunannya, orang tuanya, termasuk cucu dari anak perempuan. Imam Syafi 'i
berpendapat bahwa pemilik hak pengaduan itu adalah semua ahli waris dari orang yang
dituduh."

Hukum Islam sudah menetapkan hukuman jilid atau dera sebanyak delapan puluh
kali dalam kasus menuduh zina. Hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman
yang sudah ditetapkan oleh syara , sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk
memberikan pengampunan. Menurut madzhab Syafi I orang yang dituduh berhak
memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih dominan darpada hak Allah dalam
jarimah qadzaf. Sedangkan menurut madzhab Hanafi bahwa korban tidak berhak
memberikan pengampunan karena di dalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan
daripada hak manusia. Tentang larangan menuduh dan sanksinya.( QS. An-Nuur [24]: 4)
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamalamanya.

11
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Apabila mereka bertaubat, apakah kesaksiannya
tetap gugur dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Menurut imam Abu Hanifah,
kesaksian penuduh tetap gugur meskipun ia telah bertaubat. Sedangkan menurut imam
Malik, imam Syafi I, dan imam Ahmad kesaksian penuduh diterima kembali apabila ia
bertaubat. Sedangkan Sanksi bagi penuduh di akhirat dalam (QS. an-Nur ayat 19).

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejalan dengan beratnya hukuman bagi pelaku jarimah zina, hukum Islam juga
mengancamkan hukuman yang tak kalah beratnya bagi seseorang yang melakukan
tuduhan berzina kepada orang lain. Hukuman tersebut tidak dijatuhkan ketika
tuduhannya mengandung kebohongan. Namun, apabila tuduhannya dapat dibuktikan
kebenarannya, maka jarimah qadzaf itu tidak ada lagi dan di jatuhkan kepada orang yang
menuduh. Artinya, bila si penuduh tak dapat membuktikan tuduhannya karena lemahnya
pembuktian atau kesaksiannya, hukuman qadzaf dijatuhkan bagi si penuduh.

Dalam qadzaf terkandung dua hak, yaitu hak campuran antara Allah dan hak
manusia. Akan tetapi, di antara kedua hak tersebut yang lebih kuat menurut Imam
Hanifah, dalam qadzaf hak Allah lebih besar daripada hak manusia (individu). Oleh
karena itu, apabila perkaranya telah sampai ke pengadilan (hakim) maka hukuman harus
dilaksanakan , meskipun orang yang dituduh tidak mengajukan tuntutan. Di samping
itu, sebagai konsekuensi dari hak Allah, hukuman qadzaf tidak terpengaruh oleh maaf
dari korban.

B. Saran

Memenuhi sebuah tujuan tentunya dalam diri pemakalah ingin mengambil


manfaat dari sebuah tulisan ini makalah , maka saran yang dapat kami dari rekan-rekan
kelompok 2 memberikan kepada pembaca adalah sebagai berikut: Kita harus dapat
mengendalikan diri dan memahami bahwa menuduh zina (qadzaf) adalah salah satu dari
tindak pidana islam. Maka dari itu kita harus berfikir positif dan tidak mudah
berprasangka buruk terhadap seseorang. Karena menuduh zina mengakibatkan diri kita
sendiri terkena had berupa 80 kali cambuk karena telah melakukan jarimah qadzaf.
Menuduh zina ketika sampai pada penggrebekan dan kasusnya sampai di kepolisian
akan dapat mencemarkan nama baik terduga. Kita juga bisa dituntut dengan pasal 310
KUHP karena telah melakukan pencemaran nama baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-qur’anul Karim

Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Beirut: Darul Fikr, 2000).

Al-Husaini, Kifayatul Akhyar.

Audah, At Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy.

Bosar Z. Siregar, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Braja Pustaka, 2015).

Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ XVIII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 9, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).

Muhammad ‘Ali Al-Sabuni. Rawai’u Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an Juz II.
(Beirut: Dar Al-Fikr.tt).

Muslich, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

Rahmad Hakim, Hukum pidana islam (Fiqh Jinayah), ( Bandung: CV Pustaka Setia. 2000).

Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir Al-Munir Fii Al-‘Aqidah Wa Al-Shari’ah Wa Al-Manhaj Juz XVII.

(Beirut: Dar Al-Fikr Al-Ma’asir, 1991).

14

Anda mungkin juga menyukai