PERNIKAHAN
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
FAKULTAS USHULUDDIN
i
MUQODDIMAH
الرحيم
ّ الرحمن
ّ بسم هللا
Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah Swt. yang telah menganugerahi kita
nikmat iman dan sehat kepada kita semua. Hanya dengan limpahan nikmat dan rahmatnya penulis dapat
menyusun dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul MENGANALISIS KUALITAS HADIS
TENTANG MAHAR DALAM PERNIKAHAN yang tepat pada waktunya. Penulisan ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Hadis.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah ﷺ, yang mana kalam dan
perilakunya sangat terpuji sehingga menjadi sumber pedoman atau teladan bagi umatnya setelah al-
Qur’an. Semoga dengan mempelajari Metodologi Penelitian Hadits kita mampu mengenal dan
mengetahui secara mendalam hadits-hadits yang telah diriwayatkan oleh beliau kepada ummatnya
sehingga dengan itu bertambah rasa cinta kita kepada Rasulullah ﷺdan kita termasuk ummat yang
mendapatkan syafaat serta keberkahan di dunia maupun di akhirat.
Ucapan terimakasih tidak lupa penulis haturkan kepada dosen pembimbing mata kuliah
Metodologi Penelitian Hadis ustadz Zia Ul Haramein, Lc., M.Si. atas segala ilmu dan bimbingannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa banyak sekali kekurangan dalam
penulisannya. Oleh karena itu penulis membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan dan mengevaluasi makalah penulis kedepannya. Dari semua
kekurangan makalah ini penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga berharap
semoga makalah ini ada manfaatnya dan keberkahan baik bagi diri pribadi, teman-teman serta orang
lain yang ingin mengambil hikmah dari makalah ini.
i
DAFT AR ISI
MUQODDIMAH .................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................................................... 2
BAB II..................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 3
A. Lafaz Hadis ................................................................................................................................ 3
B. Analisis Hadis ............................................................................................................................ 5
C. Kualitas Hadis.......................................................................................................................... 14
BAB III ................................................................................................................................................. 15
FIQHUL HADIS ................................................................................................................................. 15
A. Pengertian Mahar Menurut Ulama Fiqih ............................................................................. 15
B. Kadar Mahar Menurut Pandangan Para Ulama Fiqih ....................................................... 15
C. Hukum Penerapan Hadis ....................................................................................................... 16
BAB IV ................................................................................................................................................. 17
PENUTUP ............................................................................................................................................ 17
Kesimpulan ...................................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam yang terpenting setelah al-Qur’an, sebagai
landasan dalam pembentukan Islam. Hadis adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah baik
perkataan, perbuatan atau ketetapan. Karena keberadaannya sebagai sumber ajaran Islam, perhatian
umat Islam sejak zaman sahabat terhadap hadis begitu besar. Namun, sejak masa para sahabat hingga
sekarang pun banyak hadis palsu maupun dha’if yang beredar luas di kalangan masyarakat, sehingga
banyak orang-orang Islam yang tidak mampu membedakan dan menentukan antara hadis dha’if,
hasan, maupun shahih. Sering kali dalam menggunakan sebuah hadis tidak diperhatikan sanadnya
dan hanya menggunakan matannya saja, sehingga hadis tersebut tidak dapat dijadikan dasar yang
kuat. Untuk mengatasi masalah yang beredar itu maka seharusnya kita melakukan riset terhadap
sebuah hadis. Salah satu metode yang ditawarkan untuk memahami kualitas hadis adalah dengan
menggunakan metode klasik yakni metode yang mengarahkan kepada penelitian terhadap dua segi
yakni matan dan sanad. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode tersebut dengan urgensi
agar informasi tentang kualitas hadis tersebut lebih akurat, baik dari segi periwayatan maupun dari
segi matannya. Hadis yang penulis akan teliti dalam hal ini adalah hadis mengenai mahar dalam
pernikahan.
Dalam pandangan Islam di samping pernikahan itu sebagai perbuatan ibadah juga
merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut qudrat dan iradat Allah
dalam penciptaan alam ini, sedangkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. Ketika
masa datangnya Islam berbeda dari masa jahiliyah yang penuh dengan kedzoliman, dimana pada saat
itu kaum wanita tidak dapat bernafas lega. Islam membersihkan aib kebodohan yang melekat pada
diri wanita melalui pemberian kembali hak-haknya untuk menikah serta bercerai. Juga mewajibkan
bagi laki-laki membayar mahar kepada mareka.
Mahar itu merupakan pemberian pertama seorang lelaki kepada istrinya yang dilakukan pada
waktu akad nikah. Mahar juga disyariatkan oleh Allah SWT agar dapat mengangkat derajat wanita
dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Dasar
hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri atas dasar hukum yang diambil dari al-Qur’an dan
hadis tentang pembayaran mahar oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Dalam al-
quran, surah an-Nisa ayat 4, allah SWT berfirman:
ۤ ۤ
٤ ْب لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّمْنهُ نـَ ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِّْيـًا َّم ِّريْـًا ِّ ِّ ِّ ِّ واٰتُوا النِّس ۤاء
َ ْ ص ُد ٰقت ِّه َّن ِْنلَةً ۗ فَا ْن ط
َ ََ َ
1
Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang
penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar)
itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”. (QS.
an-Nisa (4): 4).
B. Rumusan Masalah
Setelah menganalisis latar belakang dari hadis ini yang akan penulis kaji, penulis
merumuskan tiga hal untuk dibahas lebih lanjut, yaitu sebagai berikut:
1. Kitab apa yang menjadi sumber hadis tersebut?
2. Apa kualitas hadis tersebut?
3. Bagaimana fiqhul hadis tersebut menurut pandangan ulama fuqaha’?
4. Bagaimana hukum penerapan hadis tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas dapat kita lihat tujuan penelitian hadis tersebut, yaitu sebagai
berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lafaz Hadis
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, bahwa kajian ini difokuskan pada
hadis tentang mahar dalam pernikahan. Sebelum melakukan takhrij, terlebih dahulu
pembahasan ini diawali dengan mencari hadis tersebut. Penulis menemukan hadis tersebut dari
salah satu akun blogspot dari internet yang membahas hal-hal yang terkait dengan mahar.
Lafazh awal yang didapatkan penulis adalah:
1. Dalam Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal Juz 41 bab tentang Aisyah binti Abu Bakar ash-
Shiddiq ra.
“Affan menceritakan kepada kami, dia berkata: Hammad bin Salamah menceritakan
kepada kami, dia berkata: Ibnu Thufail bin Sakhbarah mengabarkan kepadaku, dari
1
Abu Hafsh, Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Mahar, Almanhaj.or.id., (diakses pada 11 November
2022).
3
al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺbersabda, “Sesungguhnya
pernikahan yang paling berkah adalah yang paling ringan maharnya”. (HR. Ahmad).2
2. Dalam Kitab Syu’ab al-Iman al-Baihaqi Juz 5 bab tentang tunjangan nafkah dan larangan
memakan harta yang batil.
اد بْ ُنُ َّ ثـَنَا َْح، ثـَنَا َعفَّا ُن،ِب ُ ثـَنَا إِّ ْس َح،َّار
ُّ ِّاق ا ْْلَْر ُ الصف َّ َْحَ ُد بْ ُن عُبَـْي ٍد ُّ َخ ََبَََن أَبُو ا ْْلَ َس ِّن ْاْل َْه َو ِّاز
ْ أ َََن أ،ي ْأ
" :اَّللُ َعلَْي ِّه َو َسلَّ َم
َّ صلَّى ُّ ِّال الن
َ َِّب َ َ َع ْن َعائِّ َشةَ ق،اس ِّم بْ ِّن ُُمَ َّم ٍدِّ ع ِّن الْ َق،َ أَخَبِِّن الطَُّفيل بن سخَبة،َسلَمة
َ ََ ْ َ ُ ْ ُ ْ ََ ْ َ َ
.)(رَواهُ الْبَـْيـ َه ِّق ْي
َ " ًاح بـََرَكةً أَيْ َس ُرهُ َم ُؤونَة ِّ إِّ َّن أ َْعظَ َم النِّ َك
Artinya:
“Abu al-Hasan al-Hawaziy telah dikabarkan kepada kami, Ahmad bin ‘Ubaid ash-
Shaffar telah memberitakan kepada kami, Ishaq al-Harbiy telah menceritakan kepada
kami, ‘Affan telah menceritakan kepada kami, Hammad bin Salamah telah
menceritakan kepada kami, Ibnu Thufail bin Sakhbarah telah memberitakan kepada
aku, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, Rasulullah ﷺbersabda:
“Sesungguhnya Pernikahan yang paling berkah adalah yang paling ringan
maharnya”. (HR. Al-Baihaqi).3
3. Dalam Kitab Musnad Abu Daud ath-Thoyalisi Juz 3 bab tentang pembagian hadis Aisyah
ra.
Dari ketiga hadis di atas penulis menyimpulkan bahwa hadis ini diriwayatkan secara makna
karena ada perbedaan dalam penulisan lafazh matan dan dalam rangkaian perawinya juga
berbeda. Dalam riwayat Ahmad dan al-Baihaqi matannya sama persis tetapi dalam rangkaian
sanadnya sedikit berbeda hadis riwayat al-Baihaqi ada penambahan setelah ‘Affan. Sedangkan
dalam riwayat Abu Dawud matannya berbeda dan rangkaian sanadnya juga berbeda dengan
2
)HR. Ahmad) Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad bin Hanbal (Beirut: Muassasah ar-Risalah,
2001), h.75.
3
(HR. Al-baihaqi) Abu Bakar Ahmad bin al-Baihaqi, Syu’abul al-Iman al-Baihaqi (Beirut: Dar al-
Kuttub al-‘Ilmiyyah, 2000), cet. I, h. 254.
4
(HR. Abu Dawud) Abu Dawud Sulaiman bin Dawud ath-Thoyalisi, Musnad Abi dawud ath-Thoyalisi
(Beirut: Dar Hijr, 1999), cet. I, h.46.
4
kedua hadis lainnya. Walaupun berbeda ketiga hadis di atas semuanya sama berpangkal pada
Qasim bin Muhammad.
B. Analisis Hadis
Dalam penelitian hadis ini penulis hanya memfokuskan kepada satu hadits yakni dalam
kitab Musnad Ahmad bin Hanbal yang terdapat didalam juz 41 bab tentang musnad shadiqah
Aisyah binti Siddiq ra. lafazh hadisnya yaitu:
“Artinya: Affan menceritakan kepada kami, dia berkata: Hammad bin Salamah
menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibun Thufail bin Sakhirah mengabarkan
kepadaku, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “sesungguhnya pernikahan yang paling berkah adalah yang paling ringan
maharnya”. (HR. Ahmad)”
1. Skema Sanad
Berdasarkan hasil penulusuran di atas, penulis membuat skema sanad atau pohon
sanad sebagai berikut:
Rasulullah ﷺ
قال
Aisyah ra.
عن
5
2. Penelitian Kritik Sanad Hadis
Adapun komposisi sanad hadis diatas yaitu: ‘Aisyah ra., Qasim bin Muhammad, Ibnu
Thufail bin Sakhbarah, Hammad bin Salamah, ‘Affan dan mukharrij hadis Ahmad bin
Hanbal.
a. Data Biografi Para Perawi
1) ‘Aisyah binti Abu Bakar
Nama lengkapnya Aisyah binti abu bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah
Utsman bin ‘Amir bi Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim, nama masyhurnya
Aisyah binti Abu Bakar kuniyahnya Ummu Abdullah dan laqabnya Ummul
Mu’minin. Dia lahir dua tahun setelah Nabi diutus sebagai Rasul, dinikahi Nabi
pada usia enam tahun dan berkumpul sebagai suami istri pada usia sembilan
tahun. Aisyah wafat pada tahun 57 H pada bulan Ramadhan sesudah melakukan
shalat witir. Dialah satu-satunya istri Nabi yang masih gadis dan banyak
meriwayatkan hadis untuk disampaikan kepada umat. Jumlah hadis yang
diriwayatkan Aisyah sebanyak 2.210 buah hadis. Aisyah merupakan kalangan
sahabat dengan thabaqah ke 1.5
Aisyah binti Abu bakar memiliki 34 guru diantaranya: Rasulullah ﷺ, Abu
Bakar as-Shiddiq, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan
muridnya sebanyak 753, diantaranya: Qasim bin Muhammad, Ummu Salamah
binti Nafi’, Ummu kaltsum binti Asma’ dan Anas bin Malik.6
Adapun tentang kritik para ulama, mengingat posisi Aisyah binti Abu Bakar
sebagai sahabat, para ulama sepakat bahwa sahabat tidak perlu dikritik lagi dan
apalagi diragukan kredibilitasnya ( )الصحابة كلهم عدلseluruh sahabat adalah ‘adil.
2) Qasim bin Muhammad
Nama lengkapnya Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Shiddiq, nama
masyhurnya Qasim bin Muhammad at-Taymi, nama laqabnya Ibnu Abu bakar,
Kuniyahnya Abu Muhammad dan Abu Abdurrahman, nasabnya al-Qurasyi, at-
Taymi dan al-Madani. Lahir pada akhir masa Khalifah Utsman bin affann tahun
lahirnya tidak diketahui dan wafat pada tahun 106 H pada usia 72 tahun. Beliau
merupakan cucu khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ia bermukim di Madinah.
Qasim bin Muhammad merupakan kalangan tabi’in thabaqat ke 3. Ia merupakan
salah satu dari tujuh fuqaha Madinah.
Qasim bin Muhammad memiliki guru sebanyak 61, diantaranya: Abu Bakar
bin Abdurrahman, Aisyah binti Abu Bakar, asma’ Binti Abu Bakar dan Zaid bin
5
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), cet.II, h. 287.
6
Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asmai ar-Rijal (Beirut: Muassasah ar-Risalah,
1992), cet. I, Juz 35, h. 227-228.
6
Tsabit, sedangkan muridnya sebanyak 195, diantaranya: ‘Isa bin Maimun, ‘Amr
bin Yahya, Salim bin Abdullah bin Umar dan Nafi’ Maula ibnu Umar.7
Pendapat para ulama mengenai Qasim bin Muhammad, diantaranya:
No Kritikus Jarh Ta’dil Keterangan
7
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asmai ar-Rijal, Juz 23, h. 427.
8
Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1995), Juz 3, h. 419-420.
9
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asmai ar-Rijal, Juz 23, h. 46.
7
2. Abu Hatim ar-Razi Matruk Hadisnya ditolak dan tidak
Hadis boleh ditulis
3. Ahmad bin Laysa bi Tsiqah Tidak dapat dijadikan
Syu’aib hujjah, tidak ditulis
Hadisnya, dan tidak perlu
diteliti karena sangat
lemah atau benar-benar
berbohong
Ruthbah Matruk Hadis10
10
Al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz 3, h. 370-371.
11
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asmai ar-Rijal, Juz 5, h. 259-260.
12
Al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz 1, h. 482.
8
5) ‘Affan bin Muslim
Nama lengkapnya Affan bin Muslim bin abdillah, kuniyahnya Abu ‘Utsman,
lebih masyhur dikenal dengan nama Affan bin Muslim al-Bahiliy lahir di
Baghdad pada tahun 220 H. dan wafat di Baghdad yang tahunnya tidak diketahui.
Affan bin Muslim bermukim di Bashrah merupakan generasi Tabi’ul Atba’ yaitu
orang yang bertemu tabi’ tabi’in golongan senior thabaqah tingkatan ke 10.
Affan bin Muslim merupakan mawla dari ‘azrah bin Tsabit al-Anshariy dan
memiliki 157 guru, diantaranya: Hammad bin Salam al-Bisriy, Aban bin Yazid
al-Aththar, Ibrahim bin Atha’ al-Bisriy, Ismail bin Aliyyah al-Asadi dan Khalif
bin al-Harits al-Hajimiy, sedangkan muridnya sebanyak 308, diantaranya:
Ahmad bin hanbal, Abdullah Daud bin Sulaiman al-askariy, Ziyad bin ayyub ath-
Thusiy dan Muhammad bin Ismail al-Hisa’i.13
Pendapat para ulama mengenai Affan bin Muslim, diantaranya:
No Kritikus Jarh Ta’dil Keterangan
1. Abu Ahmad bin - La ba’sa bihi dan Hadisnya bisa ditulis dan
Adi al-Jarjani shaduq diperhatikan
2. Abu Hatim ar- - Tsiqah, Mutqin Hadisnya bisa diterima
Raziy sebagai hujjah
3. Ahmad bin - Tsiqah Tsabat Hadisnya maqbul
‘Abdillah (diterima)
Ruthbah Tsiqah Tsabat14
13
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asmai ar-Rijal, Juz 23, h. 427.
14
Al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, Juz 3, h. 117-118.
15
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), cet. I, h. 237-238.
9
Imam Syafi’i dan adapun muridnya diantaranya: Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abu Daud, abdullah bin ahmad bin Hanbal dan Abual-Qasim al-Baghawi.
Pendapat para ulama tentang Ahmad bin Hanbal, diantaranya:
No Kritikus Jarh Ta’dil Keterangan
16
Khon, Ulumul Hadis, h. 300-301.
17
Khon, Ulumul Hadis, h. 268.
18
Menurut mayoritas ulama berpendapat bahwa metode sama’ merupakan metode yang palin tinggi
tingkatannya karena antara murid dan guru saling bertatap muka. Guru yang menyampaikan hadis kepada
muridnya tentu lebih banyak benarnya.
10
3. Penelitian Kualitas Sanad Hadis
a. Segi Sanad
Pengamatan biografi para perawi yang telah penulis lakukan mengungkapakan
bahwa semua perawi hadis di atas bersambung dalam jalan periwayatannya karena
adanya hubungan guru dan murid secara berkesinambungan. Jika ditilik dari
thabiqatnya memang terjadi kesesuaian karena bila dijabarkan Aisyah ra. hidup pada
zaman sahabat jadi jelas bertemu Rasulullah ﷺkarena Aisyah ra. juga merupkan istri
Rasulullah ﷺdan tentunya banyak mengambil hadis darinya selain itu dari segi kualitas
perawinya ‘Aisyah ra. memiliki kualitas hafalan yang kuat dan tsiqah. ‘Aisyah ra. juga
tercatat mempunyai murid bernama Qasim bin Muhammad. Menurut riwayat bahwa
sejak kecil Qasim bin Muhammad dirawat oleh bibinya yaitu ‘Aisyah ra. sehingga
banyak mempelajari ilmu dari ‘Aisyah ra. dari riwayat tersebut maka besar
kemungkinan dia menerima hadits dari ‘Aisyah ra., walaupun sighat al-Tahammul wa
al-Ada’ yang dipakai lafazh عن, dalam ilmu hadis periwayatan seperti ini dapat diterima
atau dihukumi muttashil dengan syarat tidak mudallis19 dan mungkin bertemu dengan
orang yang menyampaikan hadis tersebut. Sementara kalau dilihat dari ke dhabitan
dan ke ‘adilan sesuai pendapat para kritikus hadis, yaitu Ibnu Hajar al-Asqalani menilai
Qasim bin Muhammad sanadnya tsiqah atau hadisnya bisa diterima sebagai hujjah.
Ibnu Thufail bin sakhbarah secara persambungan sanadnya dimungkinkan
bersambung karena ketika dilihat dari letak geografis keduanya sama-sama bermukim
di Madinah dan dari segi guru dan murid, Qasim bin Muhammad tercatat memiliki
murid yang bernama ‘Isa bin Maimun atau dalam sanad Ibnu Thufail. Sedangakan dari
segi ke dhabitan dan ‘Adilnya Ibnu Thufail tercatat sebagai matruk hadis atau dituduh
berdusta. Dalam tingkatan jarh, matruk hadis ini berada pada tingkatan ke 4 dan rawi
yang mendapatkan sebutan ini, hadisnya ditolak dan tidak boleh ditulis, selain itu
menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Ibnu Thufail dikenal juga ( ضعيف الحديثlemah
hadisnya) , dalam tingkatan jarh ini berada pada tinkatan ke 3 yang hukum hadisnya
bisa diterima hanya untuk dijadikan sebagai i’tibar.20
Hammad bin Salamah secara ketersambungan sanad tercatat sebagai sanad
yang tersambung dengan Ibnu Thufail yang menjadi gurunya. Hal ini juga dikuatkan
dengan sighat al-Tahammul wa al-Ada’ yang dipakai adalah lafazh اخبرنيdalam
metode al-Tahammul wa al-Ada’ dia berada pada tingkatan paling tinggi yang
kemungkinan bertemu dan bertatap muka. Tetapi dalam periwayatannya menurut
19
Menurut Mahmud at-Thahan mudallis adalah orang yang menyembunyikan aib atau cacat dalam
sebuah sanad dan hanya menampakkan yang baik-baik.
20
Zuhdi Rifa’i, Mengenal Ilmu Hadis (Jakarta: al-Ghuraba, 2009), cet. I, h. 143.
11
riwayat bahwa Hammad bin Salamah melakukan Tadlis asy-Syuyukh21, maksudnya
Hammad bin Salamah menyamarkan nama ‘Isa bin Maimun menjadi Ibnu Thufail bin
Sakhbarah dikarenakan ‘Isa bin Maimun terkenal dhaif dan matruk hadis. Sedangkan
dari segi ke dhabitan dan ke ‘adilannya dia terkenal tsiqah ma’muun yang dalam
tingkatan ta’dil dia berada pada tingkatan ke 2 hadisnya bisa diterima dan dijadikan
hujjah.22
‘Affan bin Muslim secara ketersambungan sanad tercatat sebagai muttasil
karena ketika dilihat dari segi geografis keduanya sama-sama bermukim di Bashrah dan
dari segi guru dam murid, ‘Affan bin Muslim tercatat memiliki guru yang bernama
hammad bin Salamah. Hal ini juga dikuatkan dengan sighat al-Tahammul wa al-Ada’
nya yang dipakai adalah lafazh حدثناyang dalam al-Tahammul wa al-‘Ada dia termasuk
dalam metode sama’ yang paling tinggi tingkatannya. Sedangkan dari segi ke dhabitan
dan ke ‘adilannya dia terkenal tsiqah tsabat (terpercaya, kuat daya ingatnya dan kuat
hafalannya) dalam tingkatan ta’dil dia berada pada tingkatan ke 2 dan rawi yang
medapatkan sebutan itu hadisnya dapat diterima sebagai hujjah.23
Ahmad bin Hambal merupakan mukharrij hadis, secara ketersambungan sanad
tercatat sebagai muttasil terhadap ‘Affan bin Muslim karena ketika dilihat dari selisi
tahun wafat ‘Affan bin Muslim dan tahun kelahiran ahmad bin Hanbal kemungkinan
mareka bertemu selain itu mareka sama-sama kalanganan tabi’ul atba’ dengan
thabaqah tingkatan ke 10 selain itu ini juga dikuatkan dengan al-Tahammul wa al-Ada’
nya yang memakai lafazh اخبرنيsama dengan periwayatan sebelumnya. Sedangkan
menurut ke dhabitan dan ke ‘adilan Ahmad bin Hanbal terkenal sebagai orang yang
tsiqah, hafiz, fakih dan tidak diragukan lagi dalam periwayatan hadis.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas sanad dari hadis
tersebut adalah dha’if dikarenakan salah satu rawinya yaitu Ibnu Thufail dianggap
sebagai matruk hadis dan munkar hadis selain itu Hammad bin Salamah yang
merupakan murid dari Ibnu Thufail melakukan tadlis, dia menyamarkan nama gurunya
dengan nama yang tidak dikenali sehingga menyembunyikan cacat dari gurunya.
b. Segi Matan
Mayoritas ulama hadis sepakat bahwa penelitian matan hadis menjadi penting
untuk dilakukan setelah sanad bagi matan tersebut diketahui kualitasnya. Ketentuan
kualitas ini adalah dalam hal kesahihan sanad hadis atau minimal tidak termasuk berat
21
Seorang perawi meriwayatkan dari seorang syaikh sebuah hadis yang ia dengar darinya kemudian ia
beri nama lain atau nama panggilan (kuniyah) atau nama bangsa dan atau nama sifat yang tidak dikenal supaya
tidak dikenal.
22
Zuhdi Rifa’i, Mengenal Ilmu Hadis, h. 143.
23
Zuhdi Rifa’i, Mengenal Ilmu Hadis, h. 143.
12
ke dha’ifannya.24 Selanjutnya untuk membuktikan apakah kandungan hadits tersebut
dhaif atau tidak, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an
Setelah diteliti hadis di atas sama sekali tidak bertentangan dengan al-Qur’an
bahkan ditemukan ayat yang berkaitan secara langsung dengan hadis tersebut,
seperti dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 4:
ۤ ۤ
٤ ْب لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِّمْنهُ نـَ ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِّْيـًا َّم ِّريْـًا ِّ ِّ ِّ ِّ واٰتُوا النِّس ۤاء
َ ْ ص ُد ٰقت ِّه َّن ِْنلَةً ۗ فَا ْن ط
َ ََ َ
“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati”. (QS. an-Nisa (4):4)
Pada ayat di atas menganjurkan paa lelaki untuk memberikan mahar kepada
wanita yang dinikahi dengan sukarela tanpa ada ketentuan banyak mahar tersebut.
2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih
Setelah penulis meneliti hadis yang berkaitan dengan hadis diatas semua
maksudnya sama dan hadits di atas tidak bertentangan dengan dengan Hadits yang
lebih shahih, bahkan didukung oleh beberapa Hadis lain diantaranya.
3) Tidak bertentangan dengan sejarah
Ketika dilihat dari sejarah pada zaman Rasulullah ﷺhadis ini tidak
bertentangan sama sekali, contohnya pada kisah sahabat nabi yakni Ali bin Abi
Thalib menikahi Fatimah, Rasulullah berkata kepadanya “berikanlah ia (mahar)
sesuatu.” Ali menjawab. “Aku tidak memiliki apapun” lalu Rasulullah bersabda,
“Berikanlah baju besimu”. Rasulullah pun ketika hendak menikahi dan
menikahkan puterinya, tak pernah menetapkan mahar melebihi 12 uqiyah (1
uqiyah= 40 dirham).25
4) Tidak bertentangan dengan akal pikiran (Rasional)
Hadis di atas menjelaskan tentang keutamaan sebuah pernikahan yang
maharnya ringan atau sedikit. Secara rasional ini sama sekali tidak bertentangan
dengan logika dan merupakan hal yang wajar saja karena apabila mahar yang
ringan akan memudahkan bagi mempelai laki-laki dalam melaksanakan
pernikahan tanpa adanya rasa keterpaksaan atau sesuatu yang menjadikan
pernikahan itu tidak berkah, contohnya mempelai laki-laki secara terpaksa mencuri
24
Syuhudi, Metode Ilmu Rijal Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), h. 6.
25
Haeriyah Syamsuddin, Tiket ke Surga (Jakarta: PT Gramedia, 2014), h.120.
13
atau menghutang dengan pinjaman yang belum tentu bisa dilunasi dengan alasan
untuk memenuhi mahar yang memberatkannya.
C. Kualitas Hadis
Setelah melakukan analisis dari sanad dan matan hadis maka penulis menyimpulkan
bahwa kualitas dari hadis tersebut adalah dhaif, karena salah satu dari perawi tersebut yakni
Ibnu Thufail terkenal sebagai matruk hadis dan munkar hadis selain itu Hammad bin Salamah
juga melakukan tadlis pada nama gurunya. Di dalam Ilmu hadis perawi yang mendapatkan
sebutan munkar hadis dan matruk hadis berarti dia telah cacat secara ke dhabitan dan ke ‘adilan
sehingga hadis yang diriwayatkannya tidak bisa di golongkan sebagai hadis shahih karena tidak
memenuhi syarat, serta tidak bisa digolongkan sebagai hadis hasan, karena syarat diterimanya
hadis hasan adalah ketika kedhaifannya bukan karena fasik atau dustanya perawinya.28
26
Syadz adalah tersendirinya orang tsiqah dalam periwayatan yang idak sama dengan orang tsiqah
lainnya atau kelompok mayoritas.
27
Illat adalah suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadis, sementara secara lahir tidak ada
tampaknya cacat tersebut.
28
Khon, Ulumul Hadis, h. 179.
14
BAB III
FIQHUL HADIS
29
Wahbah az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid 9, h. 230-231.
30
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Press,
2010), h. 42-43.
15
C. Hukum Penerapan Hadis
Ketika melihat kualitas hadis tersebut, kualitas hadis tersebut adalah dha’if dalam
pembagiannya hadis ini digolongkan sebagai hadis munkar, hadis matruk dan hadis mudallas.
Hukum dari hadis tersebut adalah tidak dapat diamalkan sama sekali karena cacat yang sangat
fatal terhadap perawinya. Tetapi karena matan hadis diatas tidak bertentangan dengan al-
Qur’an, hadis dan akal pikiran maka bisa saja untuk dijadikan sebagai i’tibar atau pelajaran31.
Hadis ini sangat tepat untuk dijadikan sebagai pelajaran untuk daerah-daerah yang menetapkan
kadar mahar yang berlebihan terhadap mempelai laki-laki, hadis ini dapat dijadikan sebagai
jalan untuk memudahkan proses keberlangsungan acara pernikahan, selain itu juga inti dari
agama adalah memudahkan setiap umat uuntuk melaksanakan sebuah ibadah. Sehingga
keringanan dalam memberikan mahar membuat pernikahan berkah, dalam hal ini berkah itu
bahagia dunia dan akhirat baik yang kaya maupun miskin. Sebaliknya apabila mahar terlalu
mahal dan membebankan bagi calon suami (apalagi sampai berhutang untuk menikah karena
tabungan tidak cukup), tentu akan mengurangi keberkahan pernikahan.
31
Khon, Ulumul Hadis, h. 200.
16
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Mahar adalah suatu masalah yang dimana diperlukan pemahaman antara dua keluarga yang
hendak menikahkan putra dan puterinya, oleh karena itu dengan adanya pemahaman mengenai hadis
-hadis tentang mahar dapat membantu terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih Islami. Dalam
hadis di atas walaupun menjelaskan tentang pernikahan yang paling berkah adalah yang paling
rendah maharnya bukan berarti kita menilai pernikahan yang menetapkan mahar yang lebih tinggi
kurang keberkahannya karena mahar yang terlalu rendah juga menyebabkan wanita tidak mempunyai
harga diri dan bisa disalahgunakan oleh sebagian laki-laki, sebaliknya juga apabila mahar berlebihan
maka hukum mahar tersebut menjadi makruh. Sehingga sebaik-baik jalan adalah bersikap imbang
dan kembali lagi kepada kerelaan dari kedua belah pihak keluarga.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin al-Baihaqi, Abu Bakar. Syu’abul al-Iman al-Baihaqi. Beirut: Dar al-Kuttub al-‘Ilmiyyah,
cet. I, 2000.
Ahmad bin Hanbal, Abu Abdullah. Musnad bin Hanbal. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001.
Al-‘Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzib at-Tahdzib. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1995.
Al-Mizzi, Abu al-Hajjaj Yusuf. Tahzib al-Kamal fi Asmai ar-Rijal. Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet.
I, 1992.
Ath-Thoyalisi, Abu Dawud Sulaiman bin Dawud. Musnad Abi dawud ath-Thoyalisi. Beirut: Dar Hijr,
cet. I, 1999.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani, Jilid 9, 2011.
Hafsh, Abu. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Mahar. Almanhaj.or.id.. Diakses pada tanggal 11
November 2022.
Khon, Abdul Majid. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah, cet. I, 2014.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, Cet.II, 2013.
Rifa’i, Zuhdi. Mengenal Ilmu Hadis. Jakarta: al-Ghuraba, cet. I, 2009.
Syamsuddin, Haeriyah. Tiket ke Surga. Jakarta: PT Gramedia, 2014.
Syuhudi. Metode Ilmu Rijal Hadis. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003.
Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Press,
2010.
18