Anda di halaman 1dari 13

Kebijakan Pemerintah Provinsi Papua dalam menanggulangi HIV/AID Latar belakang Butir butir komitmen Mempromosikan penggunaan kondom

n kondom pada setiap aktifitas seksual beresiko dengan target pencapaian 50 % pada tahun 2005 Menerapkan pengurangan dampak buruk napza suntik Mengupayakan pengobatan HIV/AIDS termasuk penggunaan ARV (anti retro viral) kepada minimum 5000 ODHA pada 2004 Mengupayakan pengurangan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA Membentuk dan memfungsikan komisi penanggulangan AIDS (KPA) Mengupayakan dukungan peraturan perundangan dan penganggaran untuk pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS tersebut Mempercepat upaya nyata dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan memperhatikan semua aspek (seperti pendidikan pencegahan, KIE, pendidikan agama dan dakwah) yang diketahui berpengaruh dalam keberhasilan upaya tersebut. VISI : Hari depan masyarakat di tanah Papua yang berkualitas, bebas dari HIV/AIDS dan Narkoba Karakteristik Epidemi HIV/AIDS di Papua Sampai tanggal 31 Desember 2006, total kasus 3023 yang telah meninggal dunia sebanyak 318 orang (HIV : 1844, AIDS : 1179) Resiko keparahan mencapai 20 kali lebih tinggi disbanding daerah lain di Indonesia 94% infeksi HIV/AIDS akibat hubungan kelamin heteroseksual Kelompok umur paling rentan terinfeksi adalah 15-49 tahun Pelanggan seks bebas paling banyak adalah pegawai negeri pria Jumlah ibu rumah tangga penderita HIV/AIDS hamper sebanding dengan perempuan pekerja seks Lebih banyak orang asli papua yang menderita HIV/AIDS disbanding non Papua.

Data penderita HIV/AIDS Papua berdasaarkan jenis kelamin HIV Laki-laki AIDS Laki-laki 300 448 606 723

Tahun

Perempua

Tdk

Perempua n 179 240 346 448

Tdk diketahui 7 8 9 8

n diketahui 2003 453 416 43 2004 511 494 48 2005 568 583 51 2006 863 922 59 Sumber : dinas kesehatan prov. Papua Kasus kasus Balita Umur Umur < 1 Umur 1 4 HIV (+) 14 16 AIDS 5 14

Jumlah 19 30

Dalam menanggulangi Jayapura dengan tujuan :

permasalahan HIV/AIDS

dilakukan

pertemuan

regional

Tercapainya komitmen dan kesepakatan pemerintah pusat, propinsi dan kab/kota, DPRD 29 Kab/kota, tokoh adat, agama serta tokoh masyarakat untuk mempercepat dan memperluas upaya upaya pengendalian epidemic HIV/AIDS di tanah Papua,

Disepakatinya strategi dan rencana kerja penanggulangan HIV/AIDS 29 kab/kota didukung penguaatan sistem pelayanan masyarakat terkait HIV/AIDS di seluruh tanah Papua. Hasil kesepakatan : 1. Gerakan masyarakat, yang bertujuan untuk meningkatkan, mempercepat, memperluas upaya penanggulangan & pengendalian HIV/AIDS 2. Kepemimpinan, KPA kabupaten kab & kota : berwibawa dan mampu 3. Penguatan sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan 4. Menghilangkan stigma dan diskriminasi 5. PERDA penanggulangan IMS dan HIV/AIDS selambat lambatnya akhir 2007

6. Mulai 2006 : dialokasikan dana penanganan khusus dalam APBD kab/kota dan propinsi 7. Rencana kegiatan dan penguatan sistem kesehatan hasil temu regular ditindak lanjuti dengan aksi nyata dalam waktu sesingkat singkatnya. Sikap dan perilaku pemerintah dan DPR Komitmen politis masih lemah Kepemimpinan juga lemah dan birokrat kurang peduli AIDS masih dipandang sebagai masalah dan tanggung jawab kesehatan semata Kemampuan teknis pengelolaan program didaerah juga rendah HIV/AIDS belum dilihat sebagai ancaman terhadap kesejahteraan rakyat Sikap dan perilaku masyarakat Perilaku tidak berubah terutama mempunyai pasangan seks lebih dari satu dan menggunakan narkoba Penggunaan kondom tetap rendah Stigma dan diskriminasi tetap ada Pengingkaran AIDS sebagai masalah social Tantangan : 1. Belum semua kab/kota mempunyai perangkat hukum dan peraturan perundangan penanggulangan HIV/AIDS 2. Kemiskinan dan pengangguran sangat membuka peluang penularan HIV/AIDS 3. Kurangnya kepedulian para pejabat public, toma, toga dan todat 4. Peran KPA prop/kab/kota belum optimal dalam melaksanakan TUPOKSI 5. Belum optimalnya program penggunaan kondom 100% dikalangan perilaku resiko tinggi 6. Miras dan Narkoba (factor pendukung) 7. Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan OHIDHA masih tinggi 8. ANggaran untuk penanggulangan HIV/AIDS masih terbatas

Pengembangan Kelembagaan Memperkuat sistem Pelayanan Kesehatan Masyarakat Mengembangkan VCT/KTS di RS pemerintah, swasta, TNI/Polri Memperkuat komisi penanggulangan AIDS (KPA) kab/kota di tanah Papua Membentuk dan memberdayakan LSM dan kelompok peduli HIV/AIDS Aspek legal dan alokasi dana untuk penanggulangan HIV/AIDS Belum semua kabupaten/kota di prop. Papua memiliki PERDA penanggulangan HIV/AIDS Pemerintah propinsi Papua telah mengajukan RAPERDASI kesehatan, juga mencakup penanggulangan HIV/AIDS Tanggal 2 februari 2007, pemprop Papua mengusulkan anggaran penanggulangan HIV/AIDS sebesar Rp. 28.389.000.000,KEBIJAKAN KHUSUS 1. PENCEGAHAN Melaksanakan KIE secara efisien dan komprehensif Meningkatkan ketersediaan, penerimaan dan kualitas kondom Membangun program Infeksi Menular Seksual yang komprehensif Memperluas layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)/konseling dan tes sukarela 2. PENGOBATAN, PELAYANAN & KEGIATAN PENANGGULANGAN Memperluas akses pengobatan infeksi opportunistic dan pengurangan rasa sakit menguatkan Jaringan Pengamanan Sosial untuk rumah tangga miskin yang terkena HIV/AIDS termasuk yatim piatu. Memberikan konseling dan pelayanan bagi ODHA dan keluarganya Melakukan penelitian dan survailance ( pengambilan dan pemeriksaan darah) 3. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI TANAH PAPUA SEBAGAI SUATU GERAKAN MASYARAKAT YANG CEPAT DAN TEPAT Ketahanan masyarakat dan keluarga

Generasi muda yang bertanggung jawab dan sehat sebagai suatu kebanggaan Kampanye menggunakan bahasa daerah Konseling untuk pelajar dan mahasiswa Media cetak/elektronik Komitmen kuat lembaga lembaga formal/non formal : Pemda/legislative, agama, adat dan swasta Pemberdayaan dan peran aktif ODHA untuk kampanye Ibadah pertobatan (agama agama di Papua)

4. KEPEMIMPINAN Kepemimpinan yang kuat disemua tingkatan masyarakat sangat penting untuk upaya efektif terhadap epidemic HIV/AIDS Kepemimpinan oleh pemerintahan (eksekutif dan legislative) di dalam penanggulangan HIV/AIDS sangat penting dan upaya mereka harus dilengkapi dengan keikutsertaan penuuh dan aktif dari masyarakat sipil, masyarakat bisnis dan sector swasta Kepemimpinan melibatkan komitmen probadi dan tindakan konkrit

STRATEGI UTAMA PENCEGAHAN HIV/AIDS DI PAPUA ; Karena penyebab utama HIV/AIDS adalah hubungan seks beresiko, maka Gubernur propinsi Papua mencanangkan Pertobatan Total untuk Mencegah Kematian Total. Titik berat gerakan ini adlaah membangun kesadaran melalui kesadaran agama, bahwa perzinahan adalah dosa. Gerakan ini dilakukan melalui kerjasama dengan tokoh agama Target gerakan adalah kelompok remaja dan dewasa, pelajar dan mahasiswa, bapak dan ibu rumah tangga serta para pegawai negeri dan karyawan swasta dan masyarakat pada umumnya Pendidikan tentang bahaya HIV/AIDS di sekolah sekolah, didukung kerjasama dengan badan badan penanggulangan HIV/AIDS

Chips, Kebijakan Prematur Penanggulangan HIV/AIDS Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) Papua yang mewajibkan penderita AIDS menggunakan microchips untuk sementara mengalami penundaan. Pasalnya, raperdasi inisitif DPR Papua yang kontroversial itu bukan saja mendapat penolakan dari Komisi penanggulangan AIDS Papua, tapi juga oleh Komnas Papua yang sama-sama sepakat bahwa penggunaan chips itu telah mendiskriminasikan ODHA ( Orang dengan HIV/AIDS), serta melanggar hak-hak asasi manusia (HAM).

Dan yang membesarkan hati adalah, penolakan terhadap raperdasi itu juga datang langsung dari Pemerintah Provinsi Papua, yang disampaikan oleh Gubernur Papua, Barnabas Suebu, yang secara tegas mengakui bahwa raperdasi itu sangat melanggar Hak Asasi manusia (HAM). Tujuan pembuatan Perda HIV/AIDS di Papua itu sendiri adalah adanya kebutuhan partisipasi publik dalam rangka penanggulangan AIDS di Papua yang memang pertumbuhannya amat memprihatinkan. Namun, pada kenyataannya raperdasi itu telah menimbulkan pro kontra yang tentu saja sangat tidak produktif untuk menggalang kekuatan bersama masyarakat Papua dalam menghadapi ancaman penyakit mematikan tersebut. AIDS di Papua Sejak ditemukan pertama kali di kabupaten Merauke tahun 1992, HIV/AIDS kini telah menyebar ke seantero Papua. Maret 2007, HIV/AIDS di Papua tercatat 3.252 kasus diketahui positif HIV sebanyak 1.856 kasus, sedangkan positif AIDS sebanyak 1.396. Juni di tahun yang sama, berjumlah 3.377 penderita dan per 30 September 3.434 kasus. Desember 2007 sudah mencapai 3.629 penderita. Triwulan I tahun 2008 jumlah kasus HIV-AIDS di Papua sebanyak 3.955 kasus. HIV sebanyak 2.182 kasus dan AIDS 1.773 kasus dan sebanyak 326 atau 8,24% sudah meninggal. Penularan HIV/AIDS di Papua 98 persen melalui hubungan seksual, padahal secara nasional 50,1 persen terjadi akibat penyalahgunaan narkoba suntik. Secara jumlah penderita ,Papua menduduki urutan kedua terbanyak setelah DKI Jakarta, namun berdasarkan prevalensinya Papua menduduki urutan pertama di Indonesia. Karena itu tidaklah mengherankan jika Papua begitu berusaha dengan segenap tenaga untuk menekan laju pertumbuhan penyakit yang mematikan itu. Keputusan Gubernur Papua yang mencanangkan tanggal 1 Desember 2009 sebagai hari gerakan seluruh Masyarakat Papua dalam menanggulangi HIV/AIDS tentu saja harus mendapat dukungan masyarakat Papua. Kebijakan Prematur Jhon Manangsang, salah seorang anggota DPRD Papua yang mengikuti pembahasan raperdasi itu menjelaskan, penggunaan chips untuk penderita HIV/AIDS adalah untuk mengurangi penyebaran virus tersebut, khususnya yang dilakukan oleh penderita. Tidak semua penderita HIV/AIDS akan dipasangi chips atau diberi tato sebagai tanda, hanya penderita HIV yang dianggap berbahaya saja, yang dikuatirkan akan dengan sengaja menyebarkan virus itu kepada orang lain. Tujuannya adalah, dengan adanya chips itu orang yang belum terinfeksi bisa waspada ketika berdekatan dengan mereka yang menderita HIV, dan orang yang terinfeksi tidak akan berani secara sengaja

menyebarkan virus tersebut kepada orang lain, karena jika penderita HIV nekat menyebarkan virus itu pada orang lain, mereka akan terkena sanksi. Rupanya kepanikan telah mendominasi DPRD Papua dan nekat dengan sengaja melakukan diskriminasi demi menyelamatkan diri mereka dari ancaman AIDS yang menakutkan itu. Keputusan itu juga tampaknya mendapatkan pijakannya pada pemikiran kebanyakan masyarakat Papua yang beranggapan HIV/AIDS adalah penyakit akibat kutukan, meski sebenarnya bukan merupakan pijakan yang kuat, karena banyak orang yang tidak berdosa terjangkit HIV oleh karena kelalaian orang lain, seperti melalui tranfusi darah yang tidak steril misalnya. Memang, pada tanggal 29 November 2006, empat puluh orang penderita HIV/AIDS yang frustasi karena mengalami diskriminasi berdemo di bundaran Hotel Indonesia (HI) menolak diskriminasi yang mereka terima. Pada demonstrasi itu juga mereka melontarkan ancaman akan menularkan virus yang ada dalam tubuh mereka kepada masyarakat umum, termasuk dokter dan aparat kepolisian jika diskriminasi terhadap mereka tidak dihentikan. Rumors tentang pelaksanaan ancaman itu juga terdengar di berbagai tempat. Namun, tetap saja, penderita HIV/AIDS tidak boleh dijadikan kambing hitam atas tingginya pertambahan orang yang terjangkit penyakit itu dengan kewajiban menggunakan chips pada tubuh mereka. Keharusan penggunaan chips bagi penderita HIV/AIDS jelas mengindikasikan adanya sikap yang kontradiktif. Pada satu sisi ada sikap permisif terhadap seks bebas yang menjadi media terbesar dalam penyebaran virus HIV/AIDS di Papua. Sedang pada sisi yang lain ada usaha mati-matian untuk melindungi diri dari risiko terjangkit HIV/AIDS . Pemaksaan Penggunaan Chips itu juga bisa dimaknai sebagai usaha untuk membatasi ruang kebebasan penderita HIV/AIDS, khususnya dalam area seks bebas, area dimana banyak orang sepertinya belum rela meninggalkannya. Padahal, mereka yang kini menderita HIV/AIDS itu sendiripun terjangkit melalui aktivitas di area seks bebas itu. Apabila ada komitmen untuk menghindari area seks bebas itu, chips untuk penderita HIV/AIDS tentu saja tidak diperlukan. Tampak jelas, kepanikan dalam menangangani bencana HIV/AIDS telah melahirkan kebijakan prematur yang bersifat diskriminatif. Kebijakan prematur tersebut tentu saja tidak produktif dalam mengatasi bencana HIV/AIDS yang sesungguhnya membutuhkan kerja sama semua fihak, baik penderita maupun mereka yang belum terjangkit. Tantangan Bersama HIV/AIDS bukan hanya bencana bagi mereka yang terjangkit, tetapi juga menjadi tantangan untuk semua umat manusia. HIV /AIDS juga

menjadi bencana bagi anak cucu kita, bencana bagi semua umat manusia. Karena itu sepantasnyalah usaha penanggulangan HIV/AIDSmenjadi tantangan bersama. Tepatlah apa yang dikatakan Prof Jonathan Mann (almarhum), perintis paduan ilmu kesehatan dan HAM Universitas Harvard dan mantan Direktur Program Global WHO, program penanggulangan AIDS di suatu negara bisa berhasil dengan cara merangkul, memanusiakan orang-orang dengan HIV/AIDS . Secara internasional, pengakuan ini juga tertuang dalam deklarasi UNGASS (United Nations General Assembly Special Session) pada tahun 2001, dan Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara yang menandatangani deklarasi tersebut. Sesungguhnya tak ada alasan sahih untuk mendiskriminasikan mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, apalagi saat ini banyak diantara mereka yang terinfeksi HIV/AIDS adalah anggota keluarga baik- baik. Melalui berbagai cara, HIV/AIDS menjangkiti banyak anggota keluarga baik-baik itu, bahkan diantara mereka yang menderita HIV/AIDS ada juga anak-anak, karena terlahir dalam kandungan ibu penderita HIV. Penderita HIV/AIDS sudah semestinya mendapatkan perlakuan yang manusiawi, dan hanya dengan bekerjasama dengan merekalah kita bisa memutus rantai penyebaran penyakit itu.

Jumlah orang hidup dengan HIV AIDS di Papua kini mencapai 7.319 orang. Mereka tersebar secara tidak merata di 29 kabupaten di Papua. Peran ODHA dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS belum terlihat. Jumlah penderita HIV AIDS di Papua kini terus meningkat. Belum ada tanda-tanda akan menurun. Untuk memberantasnya, pemerintah secara berjenjang, mulai dari Jakarta hingga distrik dan bahkan kampung telah membentuk organisasi pencegahan dan pemberantasan virus HIV AIDS yang disebut dengan Komisi Penanggulangan AIDS atau KPA. Namun perannya belum maksimal. organisasi

Selain pemerintah, masyarakat juga secara swadaya membentuk

pemberantasan HIV AIDS. Untuk mendorong kelancaran pelaksanaan program, pemerintah mengalokasikan anggaran dalam jumlah besar. Selain pemerintah, lembaga-lembaga donor internasional juga memberikan perhatian tidak sedikit.

Banyaknya dana dan program pemberantasan HIV AIDS itu juga mendorong banyak orang sehat yang bukan penderita HIV AIDS bekerja di sana. Tenaga apa saja yang bekerja di bidang pemberantasan HIV AIDS itu ada yang hanya sekedar mengisi kekosongan waktu luang daripada bingung, dan hanya sedikit orang yang memang benar-benar mengemban misi mulia. Yaitu menolong sesama yang tersingkir dari lingkungan masyarakat. Sejak virus HIV AIDS pertama kali ditemukan di Papua pada 1992 hingga kini 2011 atau sudah 19 tahun Papua berjuang melawan virus HIV AIDS, namun belum menunjukan tanda-tanda jumlah penderita mulai berkurang. Jumlah penderita virus HIV AIDS per 31 Maret 2011 mencapai 7.319 orang. Sebanyak 701 orang dilaporkan telah meninggal. Dari 7.319 penderita itu, ada yang hidup dalam kondisi kritis dan lainnya masih dalam kondisi sehat tetap hidup dengan kepercayaan diri yang tinggi melakukan aktivitas seperti biasa. Jika dilihat dari status ekonomi keluarga para ODHA ini berbeda. Ada yang status ekonomi keluarganya menengah, dan ada pula status ekonomi keluarga yang tidak menentu. Dan dari status ekonomi keluarga ini, ada ODHA yang masih tetap memiliki harapan hidup dan ada pula yang sama sekali tidak memiliki harapan hidup. Berdasarkan status ekonomi keluarga dan harapan hidup ini, maka semestinya pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat merekrut para ODHA ini menjadi staf atau karyawan pada Komisi Penanggulangan AIDS atau di lembaga apapun sesuai tingkat usia dan bidang kemampuannya dalam melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS di Papua secara total dan konsisten. Selama ini lembaga pemerintah maupun LSM menggunakan para ODHA ini hanya sekedar pajangan hadir dalam forum-forum memberikan kesaksian agar mereka dilihat peserta forum kemudian selesai. Seharusnya para ODHA yang menjadi panitia, pegawai, staf atau apa saja dalam program pencegahan dan pemberantasan virus HIV AIDS.

Ada dua hal dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS. Pertama, pelayanan psikologis. Hanya ODHA yang tahu secara psikologis seperti apa yang dialami para ODHA yang sudah tidak mempunyai harapan hidup atau sudah putus asah untuk tidak mau hidup lagi. Maka para ODHA yang punya harapan hidup yang tinggi dipekerjakan melayani sesamanya untuk mengembalikan harapan hidup bagi yang lemah, seperti menjadi konselor bagi ODHA lain. Kedua, para ODHA berdasarkan usia dan tingkat kemampuan tertentu yang dimilikinya menjadi penyuluh HIV AIDS dan penyakit kelamin lainnya di setiap lingkungan. Misalnya, usia 14 25 tahun menjadi penyuluh di SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi. Sedangkan usia 26 60 tahun keatas menjadi penyuluh di lingkungan instansi pemerintah, lokasi perusahaan, para buruh bangunan, lingkungan LSM, ibu-ibu rumah tangga, tempat-tempat hiburan dan lainnya. Dengan cara demikian, maka ketiga, secara kebutuhan ekonomi, mental dan sosial para ODHA dapat terpenuhi dan mereka tidak lagi merasa menjadi beban dalam keluarga atau tergantung pada orang lain dan tidak dengan mudah merasa ditolak dalam masyarakat. Dan hanya dengan cara satu dan dua, maka kesadaran setiap orang sehat yang belum terinveksi tentang bahaya virus HIV AIDS akan meningkat dan mereka akan berusaha menghindarkan diri dari perilaku seks bebas agar tidak tertular virus HIV AIDS. Selama ini, banyak program yang terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS dikerjakan oleh orang sehat, sehingga kondisi kehidupan para ODHA secara ekonomi, sosial dan mental tetap tergantung dan menjadi beban keluarga atau orang lain. Orang sehat tidak akan pernah tahu bagaimana kondisi psikologis ODHA, karena mereka bukan penderita. Kondisi psikologis yang kerap disampaikan selama ini oleh orang bukan ODHA hanya bersifat dugaan belaka. Peran orang sehat dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS hanya sebagai fasilitator, atau melaksanakan tugas-tugas di bagian-bagian tertentu yang memang tidak bisa dikerjakan oleh para ODHA. Jika pola pikir dan cara kerja selama ini tidak pernah berubah dan masih tetap seperti

sekarang, maka setiap tahun kita hanya terus menghitung berapa yang tertular dan berapa yang meninggal akibat HIV AIDS. Data ODHA yang dikeluarkan Dinas Kesehatan Provinsi Papua per 31 Maret 2011 bahwa sebanyak 3.759 laki-laki di Papua menjadi ODHA. Dari jumlah itu, sebanyak 1.556 orang terinveksi HIV dan sebanyak 2.203 laki-laki menderita AIDS. Sementara jumlah ODHA perempuan sebanyak 3.493 orang, terbagi sebanyak 1.775 perempuan menderita HIV dan sebanyak 1.718 orang menderita AIDS. Berdasarkan kewarganegaraan ODHA, lebih banyak orang Indonesia, berjumlah 7.235 orang, warga negara asing: 70 orang dan tidak jelas kewarganegaraannya sebanyak 14 orang. Dari total ODHA di Papua: 7.319 itu, sebanyak 3.780 orang terinveksi karena hubungan seks, sebanyak 11 orang terinveksi karena hubungan homo seksual, 15 orang terinveksi karena biseksual, 75 orang terinveksi karena perinatal, seorang terinveksi karena penggunaan alat kontrasepsi atau KB, dua orang terinveksi karena transfusi darah dan 57 orang tidak jelas terinveksi karena apa? Kurangnya pemahaman setiap orang akan bahaya HIV AIDS, sikap acuh tak acuh terhadap informasi HIV AIDS, sikap pemerintah yang tidak serius dalam pelaksanaan program pencegahan HIV AIDS, orientasi seks sebagai gaya hidup, dan melakukan hubungan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan pengaman atau mawas diri adalah penyebab meningginya jumlah penderita HIV AIDS di Papua. Dampak penularan HIV AIDS yang semakin cepat dan ketidakseriusan semua pihak dalam mencegah dan menanggulangi HIV AIDS hari ini akan diketahui sekira tahun 2040 atau 2060 bahwa ada sekampung atau sedistrik di Papua yang menduduknya kosong akibat meninggal karena HIV AIDS. Keadaan ini telah terjadi beberapa waktu silam di Afrika yang dikenal dengan Kampung Yatim Piatu karena semua orang dewasa telah meninggal dan hanya tinggal anak-anak usia dibawah lima tahun yang diasuh oleh lembaga-lembaga kemanusiaan internasional.

http://rehsos.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1437

Anda mungkin juga menyukai