Anda di halaman 1dari 16

Legal Drafting

Faisaldus Yonas Boa


145202254

KAJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG


NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TUNDAK PIDANA PENDANAAN
TERORISME

(INTERPRETASI DAN ANALISIS


MENGGUNAKAN METODE ROCCIPI)

Terorisme adalah kegiatan atau aksi-aksi


yang dilakukan oleh sekelopok orang dengan
tujuan menggacaukan ketertiban dan
keamanan dari suatu masyarakat ataupun
suatu negara. Latar belakang tindakantindakan terorisme berbagai macam entah itu
alasan agama, dendam, ataupun kekuasaan.
Di Indonesia terorisme berawal dari aksi bom
Bali (tahun 2002), pelaku teror atau teroris
yang melakukan aksi ini adalah berlatar
belakang agama karena terbukti smuanya
adalah kelompok radikalis agama tertentu.

Menanggapi aksi terorisme ini, negara


langsung mengambil inisiatif melalui
Perpu N0. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yang kemudian pada tahun berikutnya
ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun
2003.
Dalam dinamikanya, UU ini tidak terlalu
efektif terbukti kemudian terjadinya
aksi-aksi terorisme lainnya seperti
bom di Ambom, Palu dan Bali pada
tahun 2005. Pada tahun 2009, bom di
Jakarta(Ritz-Carlton) dan 2012 bom di
Solo.

Pembahasan
Melihat tindakan-tindakan yang sangat
merugikan negara tersebut maka diterbitkanlah
UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemeberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme. UU ini muncul sebagai upaya negara
Indonesia untuk benar-benar menghancurkan
jaringan-jaringan terorisme yang kerap meneror
negara ini. Paradigma sokongan ekonomilah
yang menjadikan unsur pendanaan merupakan
unsur penting yang menjalankan dan
menyukseskan kegiatan atau aksi-aksi terorisme.

Untuk lebih memahami UU No. 9 Tahun


2013 tersebut perlu dicermati mengenai
eksistensi, tujuan dan manfaat UU ini.
Untuk memahaminya maka akan sangat
perlu dilakukan interpretasi dan analisis
dan dari berbagai metode yang ada,
metode ROCCIPI menjadi metode yang
sangat membantu untuk itu.
Keunggulan metode ROCCIPI adalah
objek interpretasi dan analisinya tidak
hanya pada tekstual UU tetapi juga
pada penerapan dan juga bagaimana
para pelaku peran melaksanakan
sebuah UU.

Metode ROCCIPI
1. Rules (peraturan)
Interpretasi dan analisis dengan cara melihat peraturan
ini dimaksudkan bagaimana muatan sebuah peraturan
misalkan formulasi kata ataupun terminologi yang
termaktub di dalam aturan tersebut. Karena maksud dari
muatan sebuah UU sangat menentukan efektivitasnya.
Misalkan, dalam pasal 2 ayat (1) bagian a. Setiap
orang yang melakukan atau bermaksud melakukan
tindak pendanaan terorisme......formulasi atau
pola penulisan bermaksud melakukan tidak
sesuai dengan syarat muatan dalam sebuah
rugulasi seperti UU yaitu konkrit dan jelas karena
UU tidak boleh abstrak seperti UUD 1945.
Seharusnya formulasi kalimatnya tanpa ada
kalimat bermaksud melakukan.

Pemaknaan formulasi objek kalimat di atas akan cukup


membinggungkan karena formulasi atau pola bahasanya
sangat normatif dan khas bahasa hukum. Walaupun,
keberadaan peraturan ini sudah menutup ruang bagi
berkembangnya terorisme karena sudah ada larangan
terikat terhadap berbagai pihak yang kerap menjadi
donatur guna melancarkan aksi-aksi bejat terorisme.
2. Opportunity (Kesempatan atau Peluang)
interpretasi dan analisis kesempatan dimaksudkan untuk
mencermati bagaimana pengaruh lingkungan terhadap
ketepatan perilaku dari para pelaku peran terhadap
perintah regulasi. Misalkan pada Ruang Lingkup(Pasal
8); tentang kepada siapa atau apa saja sasaran
utama dari UU ini, kemudian wilayah berlaku dari
UU ini. Sasaran pada korporasi merupakan target
penting yang biasanya menjadi sumber
pendanaan tororisme, dan harus disadari juga
korporasilah yang menjadi alat rekayasa resmi
untuk dapat bersembunyi dari jeratan UU No. 9
Tahun 2013.

Dalam prakteknya selama ini pengawasan terhadap


indikasi kejahatan terorisme dalam hal pendanaan
selalu pada organisasi-organisasi radikal yang
mengklaim membunuh untuk kepentingan akhirat yang
tidak lain organisasi-organisasi yang bergerak di
bawah tanah. Tetapi, bagaimanapun belum terlaksana
dengan baiknya UU ini; setidaknya rincian aturan yang
termaktub di dalamnya akan menjadi kekuatan dan
ancaman dengan unsur mengikat bagi sasaran UU ini
seperti para donatur. Sehingga dengan mengamati
latar belakang aksi-aksi terorisme yang terjadi di
Indonesia, akan sangat baik ketika kebebasan
berorganisasi yang berdasar pada agama perlu
dicermati agar tidak menjadi sarang-sarang teroris
karena kekuatan pada sebuah organisasi.
3. Capacity (Kemampuan)
Kemampuan di sini dimaksudkan bagaimana kemampuan
daripada pelaku peran untuk melaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam sebuah regulasi seperti UU No. 9 Tahun
2013 tersebut.

Kemampuan pelaku utama peran dalam hal ini


pemerintah dalam wujud aparatu-aparatur ataupun
pejabat-pejabat seperti yang termaktub dalam BAB V
tentang Pencegahan (Pasal 11, pasal 12, pasal
13, pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17, pasal
18, pasal 19, pasal 20, dan pasal 21.). Kemampuan
pelaku peran baik pemerintah (PJK, PPATK, LPP)
maupun peran serta masyarakat dalam pelaksanaan
UU ini belum mendapatkan hasil yang maksimal, kasus
Tolikora di tanah Papua adalah gambaran nyata
ketidakmampuan pemerintah melakukan pencegahan.
Walaupun kasus Tolikora dianggap atau memang
demikian sebagai realita intoleransi agama tetapi caracara yang dilakukan adalah indikasi aksi-aksi terorisme.
Beberapa hal yang seharusnya menjadi catatan
penting bahwa terorisme akan terus hidup selama
gagasan-gagasan radikal dan keadaan ekonomi yang
carut-marut menjadi kenyataan kehidupan dalam
masyarakat sebuah negara.

4. Communication (Komunikasi)

Munculnya perilaku bermasalah dapat diakibatkan


ketidaktahuan masyarakat tentang suatu peraturan.
Ketidaktahuan tersebut dipicu oleh komunikasi yang tidak
berjalan dengan baik. Interpretasi dan analisis komunikasi adalah
bagaiamana faktor peran pihak yang berwenang atau aparat dalam
mengambil langkah-langkah, apakah sudah memadai atau belum,
untuk mengomunikasikan peraturan perundang-undangan kepada
pihak yang dituju. Pihak yang dituju untuk berlakunya peraturan
perundang-undangan itu, harus mendapat informasi yang jelas juga,
bukan hanya kita yang harus mendapat informasi tentang mereka,
tetapi juga mereka harus mendapat infomasi dari kita tentang
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Oleh sebab itu,
komunikasi dan publikasi melalui media massa menjadi sangat
penting.

5. Interest (Kepentingan)
Kepentingan di sini dimaksudkan sebagai nilai kemanfaatan
entah bagi pelaku utama peran seperti pemerintah ataupun
masyarakat secara umum. Berbicara mengenai interpretasi
dan analisis kepentingan memang tidak terlepas dari nilainilai ekonomi, tetapi UU No. 9 Tahun 2013 ini tidak seperti
UU tentang Partai Politik yang sarat akan materialisme.

Kepentingan non material atau yang berorientasi


pada tujuan sosial tergambar dalam Bab V
tetang Pencegahan, Bab VI tentang
Pembelokiran, Bab VII tentang Daftar
Terduga Teroris Dan Organisasi Teroris Yang
Dikeluarkan oleh Pemerintah, Bab VIII
tentang Penyidikan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan, dan Bab
IX Kerja Sama Dalam Pencegahan Dan
pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pada kelima bab ini sudah menunjukan
bagaimana nilai-nilai manfaat sosial ditonjolkan
karena para pelaku peran utama yaitu
pemerintah dalam diri aparat dan para pejabat
(PJK, PPATK, LPP, Kepolisian,
pengadilan~kejaksaan, hakim, Direktoral Bea
dan Cukai dan institusi lainnya yang terkait
dengan yang diatur dalam UU).

6. Process (Proses)
Process adalah prosedur bagi pelaku peran
untuk memutuskan apakah akan memenuhi
(mematuhi) atau tidak akan mematuhi
terhadap peraturan perundang-undangan. Dari
faktor ini terkandung juga keharusan agar
pembentukan peraturan perundang-undangan
harus melalui prosedur dan mekanisme yang
berlaku secara formal.
Untuk menganalisis dan menginterpretasi
kriteria dan prosedur yang mendorong
semangat para pelaku peran, yang dalam hal
ini pemerintah melalui para aparatur dan
pejabat yang memiliki keterkaitan dalam
bidang pemberantasan pendanaan terorisme;
perlu kembali melihat pada bagian-bagian
pembukaan

UU tersebut di atas misalkan pada menimbang


dan mengingat sebagai dasar pembentukan
sebuah UU. Di dalam ketentuan menimbang dan
mengingat sudah dijelaskan kriteria dan prosedur
seperti adanya perlindungan terhadap keamanan
dan ketertiban negara ataupun pendanaan
terorisme sebagai tindakan yang menjadi kunci
kesuksesan aksi-aksi terorisme,. Setidaknya
alasan-alasan inilah yang memotivasi para pelaku
peran khususnya pemerintah untuk
melaksanakan sesuai dengan ketentuan regulasi.
7. Ideology (Ideologi)
Ideologi menjadi sesuatu yang membuat
segala tindakan mengarah atau tertuju
kepadanya, itulah ideologi. Merupakan tujan dan
cita-cita, seperti dalam sebuah regulasi dalam
bentuk UU. Ideologi sangat berdampak pada
muatan sebuah UU misakan UU No. 9 Tahun 2013

Nilai-nilai perdamaian, ketertiban dan


keamanan ataupun berpartisipasi dalam
perwujudan perdamaian dunia sudah
termaktub dalam muatan UU No 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pancasila sebagai dasar negara kiranya
tetap menjadi pijakan setiap regulasi yang
di buat demi tujuan-tujuan luhur bangsa
Indonesia sehingga UU yang menyimpang
dari Pancasila seperti UU No. 44 Tahun
2008 tentang Pornografi yang sangat aneh
dan irasional serta tidak realistis tidak lagi
kembali dalam perundang-undangan NKRI.

Anda mungkin juga menyukai