Anda di halaman 1dari 10

Komunikasi Pemberdayaan

Masyarakat Top Down

Anggota Kelompok :
Fransiskus Rizky Yulianto F1C014084
Della Ayu Rizqi F1C014092
Nifrinas Yulistin Rizky F1C014096
Warih Puspaning Asih F1C014062

TOP DOWN
Top Down adalah proses perencanaan yang
dirancang oleh lembaga/departemen/daerah
menyusun rencana pembangunan sesuai dengan
wewenang dan fungsinya. Top down memberikan
kewenangan yang besar kepada negara dalam
proses pengambilan keputusan. Menurut Suzetta
(1997)

3 PERAN NEGARA DALAM PROSES PEMBANGUNAN

1. Dalam menangani masalah


sosial dan dampaknya terutama
yang berada pada ranah publik

2. Melindungi masyarakat dari


cengkraman dan dominasi pasar.

3. Masalah sosial yang dihadapi


warganya yang berada di bawah
pemenuhan kebutuhan dasar (basic
needs) melalui jaminan sosial

Tujuan Top Down

Tujuannya dari perencanaan top down adalah untuk


menyeragamkan corak, menurut Djunaedi (2000)
perencanaan top down dalam kegiatan perencanaan kota dan
daerah dilakukan dengan mengacu pada corak yang seragam
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan mengikuti juklak
dan juknis (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).

Filosofi Top Down

Dilaksanakan oleh sekelompok elite politik


Melibatkan lebih banyak teknokrat;
Mengandalkan otoritas dan diskresi;
Mempunyai argumen untuk meningkatkan efisiensi, penegakan peraturan,
konsistensi input-target-output, dan publik/ masyarakat masih sulit dilibatkan.

Kelebihan Top Down

Pedoman pelaksanaan
pembangunan masyarakat
lebih rinci.

Dapat membantu pemerintah

Terdapat keseragaman
program dari pemerintah.

Masyarakat hanya perlu

dalam mengoptimalkan

menjalankan program yang

programnya.

telah dibuat oleh pemerintah.

Kelemahan Top Down

Rentan untuk diintervensi


kepentingan pemerintah yang
berkuasa.

Perencanaan lebih banyak


didasarkan asumsi-asumsi di atas
meja.

Masyarakat harus menyesuaikan


program pemerintah

Pendekatan Top down


menyebabkan sebagian
masyarakat termarjinalkan.

Penerapan sistem komando dari


pendekatan top down tidak
mengandung unsur
pengembangan inisiatif dan
kreativitas.

Contoh Kasus
Salah satu program pemerintah yang menggunakan top down approach adalah Program
Wajib Belajar 12 Tahun. Wajib Belajar merupakan salah satu program yang gencar
digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Wajib Belajar 12 Tahun sendiri resmi
diberlakukan mulai 15 Juni 2015. Program ini mewajibkan setiap warga negara
Indonesia untuk bersekolah selama 12 tahun pada pendidikan dasar dan menengah,
yaitu sejak kelas 1 Sekolah Dasar hingga kelas 12 Sekolah Menengah Atas. Tujuan
diberlakukannya program ini adalah agar tercipta pemerataan tingkat pendidikan di
Indonesia. Sebagaimana top down approach, karena berorientasi pada keseragaman,
dalam hal ini tingkat pendidikan, justru telah memarginalkan masyarakat. Sebagian
kalangan masyarakat tertentu, akan mengalami diskriminasi. Kemiskinan merupakan
salah satu faktor yang menjadi momok diskriminasi dalam menjalankan Program Wajib
Belajar 12 Tahun. Tingginya angka putus sekolah adalah dikarenakan oleh banyaknya
keluarga miskin di berbagai daerah di Indonesia.

Kesimpulan
TOP DOWN MERUPAKAN PROSES PERENCANAAN YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH SESUAI DENGAN
FUNGSI DAN WEWENANGNYA. PENDEKATAN TOP DOWN MEMBERIKAN KEWENANGAN YANG CUKUP
BESAR BAGI PEMERINTAH UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN/KEBIJAKAN. TUJUAN DARI PENDEKATAN TOP
DOWN ADALAH AGAR TERCAPAINYA KESERAGAMAN CORAK DI SETIAP DAERAH SECARA MERATA.
NAMUN, PENERAPAN TOP DOWN APPROACH PADA PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TIDAK
MENDIDIK DAN TIDAK MENGANDUNG UNSUR PENGEMBANGAN INISIATIF DAN KREATIVITAS. UNTUK ITU,
MASYARAKAT PERLU DIPERKUAT UNTUK TIDAK MENIMBULKAN KETERGANTUNGAN. SEBAB APABILA HAL
INI TERJADI, JUSTRU MERUPAKAN BEBAN YANG BERTAMBAH BESAR BAGI NEGARA. SALAH SATU
CONTOHNYA ADA PADA KEBIJAKAN WAJAR (WAJIB BELAJAR) 12 TAHUN.

Anda mungkin juga menyukai