Anda di halaman 1dari 17

Hubungan Stuktur Dan Interaksi

Obat-Reseptor

Disusun oleh :
1. Maria Fatima Indeng
2. Maria Hazelelponi Pare
3. Maria Sintia Manek
4. Maria Yuniati Kire Pationa
Kimia Medisinal
Kel.6
Obat adalah senyawa kimia unik yang dapat berinteraksi secara selektif
dengan sistem biologi. Reseptor didefinisikan sebagai suatu makromolekul seluler
yang secara spesifik dan langsung berikatan dengan ligan (obat, hormon,
neurotransmiter) untuk memicu proses biokimiawi antara dan di dalam sel yang
akhirnya menimbulkan efek.
Interaksi obat reseptor dapat membentuk kompleks obat-reseptor yang
merangsang timbulnya respon biologis, baik respon agonis maupun antagonis.
Mekanisme timbulnya respon biologis dapat di jelaskan dengan teori interaksi
obat-reseptor.
Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori
interaksi obat-reseptor. Ada beberapa teori interaksi obat-reseptor, antara lain:
1. TEORI KLASIK
Ehrlich (1907) memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep
sederhana tentang interaksi antara obat-reseptor, dimana obat tidak akan dapat
menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Interaksi yang terjadi antara struktur
dalam tubuh (sisi reseptor) dengan molekul asing yang sesuai (obat) yang saling
mengisi akan menimbulkan suatu respon biologis.
Dikemukakan oleh Clark pada tahun 1926. Teori ini memperkirakan satu molekul obat
akan menempati satu sisi reseptor. Obat harus diberikan dalam jumlah berlebih agar tetap efektif
selama proses pembentukan kompleks. Besar efek biologis yang terjadi sesuai dengan jumlah
reseptor spesifik yang diduduki molekul obat yang juga sebanding dengan banyak kompleks obat-
reseptor yang terbentuk.
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat dengan reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan
respon biologis akibat kompleks obat resptor. Jadi respon biologis merupakan fungsi dari
jumlah kompleks obat-reseptor. Respon biologis yang terjadi dapat merupakan rangsangan
aktivitas (efek agonis) dan pengurangan aktivitas (efek antagonis).
Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya efisien
pada saat berinteraksi dengan reseptor. Kemudian teori ini dijelaskan oleh Paton (1961)
yang mengemukakan bahwa efek biologis setara dengan kecepatan ikatan obat-reseptor dan
bukan dari jumlah reseptor yang diduduki oleh obat. Pada teori ini, tipe kerja obat
ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosisasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-
reseptor dan bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.
Koshland (1958) mengemukakan bahwa ikatan enzim dan substrat dapat
menginduksi terjadinya perubahan konformasi struktur enzim sehingga menyebabkan
orientasi gugus-gugus enzim. Diduga bahwa enzim atau protein membran memegang
peranan penting dalam pengangkutan ion. Bila perubahan struktur protein mengarah
pada konfigurasi sehingga obat tidak terikat kuat dan mudah terdisosiasi maka terjadi
efek agonis. Sedangkan bila obat menjadi terikat cukup kuat, maka terjadi efek
antagonis.
Contohnya; pada pengikatan substrat pada enzim fosfoglukomutase dapat menginduksi
perubahan konformasi enzim. Perubahan konformasi ini menyebabkan asam amino lisin dan metionin
menjadi tertutup dan gugus SH menjadi terbuka. Hal di atas digunakan sebagai dasar untuk
menjelaskan mekanisme kerja obat pada reseptor. Diduga bahwa enzim atau protein membrane
memegang peranan penting dalam mengatur pengangkutan ion. Substrat, seperti asetilkolin, akan
mengikat reseptor atau protein membran dan mengubah kekuatan normal yang menstabilkan struktur
protein, terjadi penataulangan struktur membran sehingga sifat pengaturan ion berubah. Bila
perubahan struktur protein mengarah pada konfigurasi sehingga obat terikat kurang kuat dan mudah
terdisosiasi, terjadi efek agonis. Bila interaksi obat-protein mengakibatkan perubahan struktur protein
sehingga obat terikat cukup kuat, terjadi efek antagonis. Proses interaksi enzim-substrat dijelaskan
dengan mekanisme model tempat aktif elastis. Pada teori ini intinya adalah bahwa reseptor bisa
menyesuaikan bentuk obatnya jika sudah berdekatan dengan obat.
Menurut Belleau (1964), interaksi mikromolekul obat dengan
makromolekul protein dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
konformasi reseptor. Obat agonis mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat
mengubah struktur reseptor menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan
respon biologis (Gangguan konformasi spesifik). Sedangkan obat antagonis
tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah struktur reseptor
menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek pemblokan (Gangguan
konformasi tidak spesifik).
Ariens dan Rodrigues de Miranda (1979) mengemukakan bahwa
sebelum berinteraksi dengan obat, reseptor berada dalam kesetimbangan
dinamik antara dua keadaan yang berbeda fungsinya, yaitu bentuk
teraktifkan yang dapat menunjang efek biologis dan bentuk istirahat yang
tidak dapat menunjang efek biologis. Senyawa dikatakan agonis bila
keseimbangan menuju ke bentuk teraktifkan. Senyawa dikatakan antagonis
bila keseimbangan menuju ke bentuk istirahat. Dan senyawa dikatakan
agonis parsial bila terjadi bentuk dari keduanya.
Reseptor dari banyak senyawa bioaktif endogen, seperti asetilkolin,
histamin, norepinefrin, hormon peptida, dan serotonin, terikat pada protein membran
yang bersifat amfifilik. Senyawa agonis biasanya bersifat sangat polar, distabilkan
oleh bentuk konformasi reseptor yang relatif polar dan akan menggeser
kesetimbangan menuju ke bentuk teraktifkan yang bersifat lebih hidrofil. Senyawa
antagonis mempunyai gugus-gugus yang bersifat hidrofob, distabilkan oleh reseptor
yang bersifat hidrofob dan dalam keadaan istirahat sehingga akan menggeser
keseimbangan menuju ke bentuk istirahat.
Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan sistem
adenil siklase. Sebagai contoh katekolamin, glucagon, hormon paratiroid,
serotonin, dan histamine telah menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar
siklik-AMP. Interaksi hormon-reseptor dapat mempengaruhi kadar siklik-
AMP dalam intrasel, tergantung pada rangsangan/hambatan dari
adenilsiklase. Bila rangsangan tersebut meningkatkan kadar siklik-AMP,
hormon dianggap sebagai first messenger, sedangkan siklik-AMP sebagai
second messenger.
Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: Obat hipertensi penghambat
kompetitif enzim pengubah angiotensin (ACE) seperti kaptopril dapat mencegah
perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menimbulkan efek
peningkatan tekanan darah. Interaksi kaptopril dengan ACE dapat berlangsung
karena adanya gugus-gugus farmakofor spesifik dan hal ini dapat digunakan
untuk merancang turunan kaptopril lain seperti enalapril dan lisinopril. Enalapril
mempunyai masa kerja lebih panjang karena mengandung gugus-gugus yang
bersifat lebih lipofil.

Anda mungkin juga menyukai