dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Mamoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Bahasa Melayu menggunakan huruf Jawi tidak cocok menggunakan huruf arab karena penulisan huruf vokal e, i, o ditulis sama dengan a, u. (lihat gambar) Ancaman militansi umat Islam bagi kolonial Belanda Pemerintah kolonial sedang menjalankan politik etisnya di Nusantara, yaitu sebuah kebijakan untuk membuka peluang pendidikan bagi kaum ningrat Nusantara. Untu memudahkan proses belajar mengajar. Meluaskan kekuasaan mereka sekaligus dapat menyatukan Nusantara di bawah kendalinya. Belanda melalui pemerintah kolonialnya berhasil melakukan politik bahasa dengan menjadikan bahasa (Melayu) Indonesia sebagai standar bahasa kita, yang bahkan masih berlaku hingga saat ini Ciri-ciri dari ejaan Van Opuijsen yaitu: 1. Tanda trema seperti huruf ,,untuk membedakan dengan diftong vokal rangkap. Pada kata sat, tat, manfat, bat, mula , sebagai akhiran harus disuarakan tersendiri. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaa. 2. Tanda diakritik (lihat gambar), e dan untuk kata tempe dan segar. 3. Tanda sentak (koma ain) untuk menuliskan kata-kata mamoer, akal, ta, pa, untuk pengejaannya dengan huruf k 4. Huruf j untuk menuliskan huruf y 5. Huruf dj untuk menuliskan huruf j 6. Huruf tj untuk menuliskan huruf c, seperti Tjikini, tjara, pertjaya, dsb. 7. Huruf ch yang dieja kh, seperti chusus, achir, machloe, dsb 8. Huruf oe untuk menuliskan huruf u 9. Huruf sj untuk huruf sy pada kata syair 10. Huruf nj untuk konsonan ny Ejaan Soewandi (1947-1972) Disebut juga dengan ejaan Republik Faktor kebangsaan Indonesia yang sudah merdeka dan ingin mengikis citra Belanda yang diwakili oleh ejaan Ophuijsen membuat pentingnya adanya perubahan ejaan di bahasa Indonesia. Ciri-cirinya 1. Huruf oe diganti dengan u 2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb. 3. Kata ulang masih ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an. 4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya seperti dijual, diminum, dimana, disana. 5. Penghapusan tanda diakritik, seperti huruf e dan untuk kata tempe dan segar. Ejaan Pembaharuan (1954) Ejaan ini bermula dari polemik yang terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia ke-2 di Medan tahun 1954. Kongres ini merupakan bentuk rasa prihatinnya akan kondisi bahasa Indonesia saat itu yang masih belum mapan. Usulan ini ditindaklanjuti oleh pemerintah waktu itu dengan membentuk panitia pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia. Membuat standar satu fonem dengan satu huruf. Penyederhanaan ini sesuai dengan iktikad agar dibuat ejaan yang praktis saat dipakai dalam keseharian Ciri-cirinya Huruf dj diganti dengan huruf j Huruf j diganti dengan huruf y Huruf tj diganti dengan huruf ts Huruf nj diganti dengan huruf Huruf ng diganti dengan huruf Huruf sj diganti dengan huruf Tanda diakritik digunakan kembali, seperti huruf dan e Huruf vokal ai, au dan oi (diftong) di tulis berdasarkan pelafalannya yaitu ay, aw, oy. Ejaan Melindo (1959)
Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan
yang dihadiri oleh delegasi Malaysia, mulai ada keinginan untuk menyeragamkan ejaan bahasa dengan menandatangani kesepakatan untuk membicarakan ejaan bersama tahun 1959. Karena situasi politik yang memanas (Indonesia sedang condong ke poros Moskow-Peking-Pyongyang, Malaysia yang Inggris ), ejaan itupun akhirnya gagal diresmikan. Perubahan huruf-huruf yang dianggap aneh Ciri-cirinya
ejaan melindo tidak jauh beda dengan ejaan
pembaharuan,karena sama-sama berusaha menyederhanakan ejaan dengan menggunakan sistem fonemis. Tambahannya adalah: Huruf tj diganti dengan huruf c Huruf nj diganti dengan huruf nc Ejaan Baru (1967) (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan)
Lanjutan dari rintisan ejaan Melindo.
Hampir tidak ada perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada rincian kaidah-kaidahnya. Konsep Ejaan Baru di susun berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain: Pertimbangan Teknis yaitu pertimbangan yang menghendaki agar setiap fonem di lambangkan dengan satu huruf. Pertimbangan Praktis yaitu pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan secara teknis itu di sesuaikan dengan keperluan praktis seperti ke adaan percetakan dan mesin tulis. Pertimbangan Ilmiah yaitu Pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan itu mencerminkan studi yang mendalam mengenai kenyataan bahasa dan masyarakat pemakainya. Ciri-cirinya Huruf dj diganti dengan huruf j Huruf j diganti dengan huruf y Huruf tj diganti dengan huruf c Huruf nj diganti dengan huruf ny Huruf ch diganti dengan huruf kh Huruf sj diganti dengan huruf sy Tanda diakritik dihapus kembali, seperti huruf dan e dijadikan satu huruf yaitu e Huruf asing f, v, dan z , x di masukkan kedalam sistem ejaan bahasa Indonesia karena banyak di gunakan. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) Ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972 Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah: tj menjadi c : tjutji cuci dj menjadi j : djarak jarak oe menjadi u : oemoem -> umum j menjadi y : sajang sayang nj menjadi ny : njamuk nyamuk sj menjadi sy : sjarat syarat ch menjadi kh : achir akhir awalan di- dan kata depan di dibedakan penulisannya. Kata depan di pada contoh di rumah, di sawah, penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara di- pada dibeli, dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Perkembangan Bahasa Indonesia Masa Reformasi Munculnya Bahasa Media Massa (bahasa Pers): Bertambahnya jumlah kata-kata singkatan (akronim); Banyak penggunaan istilah-istilah asing atau bahasa asing adalam surat kabar. istilah baru, kata-kata dan ungkapan baru, seperti KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), kroni, konspirasi, proaktif, rekonsiliasi, provokator, arogan, hujat, makar, dan sebagainya. Bahasa Indonesia sudah mulai bergeser menjadi bahasa kedua setelah Bahasa Inggris ataupun bahasa gaul. Selain itu, dipengaruhi pula oleh media iklan maupun artis yang menggunakan istilah baru yang merupakan penyimpangan dari kebenaran cara berbahasa Indonesia maupun mencampuradukan bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. EBI (Ejaan Bahasa Indonesia)
Ejaan Bahasa Indonesia EBI berlaku di Indonesia
ditetapkan pada tanggal 26 November 2015 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dijabat oleh Anies Baswedan yang menggantikan Ejaan Yang Disempurnakan. Pergantian ini didasari faktor kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, penggunaan bahasa Indonesia dalam beragam ranah pemakaian, baik secara lisan maupun tulisan semakin luas. Perubahan ini tidak secara menyeluruh dilakukan, namun ada penambahan dan penetapan aturan baru, berikut perbedaan EYD dengan EBI: Penambahan huruf vokal diftong ei, di EYD hanya ada tiga yaitu ai, au, dan ao; Penulisan huruf kapital pada EYD digunakan dalam penulisan nama orang tidak termasuk julukan, sedangkan pada EBI huruf kapital digunakan sebagai huruf pertama unsur nama orang, termasuk julukan. Penulisan huruf tebal tidak dipakai dalam cetakan untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata; untuk keperluan itu digunakan huruf miring pada EYD, sedangkan pada EBI Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring. Penggunaan partikel pun, pada EYD ditulis terpisah kecuali yang sudah lazim digunakan, maka penulisannya ditulis serangkai, sedangkan pada EBI partikel pun tetap ditulis terpisah, kecuali mengikuti unsur kata penghubung, maka ditulis serangkai. Penggunaan bilangan, pada EBI, bilangan yang digunakan sebagai unsur nama geografi ditulis dengan huruf, sesangkan pada EYD tidak ada hal yang mengaturnya Penggunaan titik koma (;) pada EYD digunakan dalam perincian tanpa penggunaan kata dan, sedangkan dalam EBI penggunaan titik koma (;) tetap menggunakan kata dan. Penggunaan tanda titik koma (;) pada EBI dipakai pada akhir perincian yang berupa klausa, sedangkan pada EYD tidak ada hal yang mengaturnya. Penggunaan tanda hubung (-) pada EBI tidak dipakai di antara huruf dan angka, jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf, sedangkan pada EYD tidak ada hal yang mengaturnya. Misalnya: LP2M LP3I. Tanda hubung (-) pada EBI digunakan untuk menandai bentuk terikat yang menjadi objek bahasan, sedangkan pada EYD tidak ada hal yang mengaturnya. Misalnya: pasca, -isasi Penggunaan tanda kurung [( )] dalam perincian pada EYD hanya digunakan pada perincian ke kanan atau dalam paragraf, tidak dalam perincian ke bawah, sedangkan pada EBI tidak ada hal yang mengaturnya. Penggunaan tanda elipsis ( ... ) dalam EYD dipakai dalam kalimat yang terputus-putus, sedangkan dalam EBI tanda elipsis digunakan untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog. Misalnya: Kalau begitu ... ya, marilah kita bekerja! (EYD) Menurut saya seperti bagaimana, Bu?!! (EBI)