Anda di halaman 1dari 39

Immunohematologi

KELOMPOK 3
Aloimunisasi dari Transfusi

Transfusi darah alogenik adalah salah satu bentuk


transplantasi temporer.
Prosedur ini mengenalkan tubuh terhadap beragam
antigen asing dan sel hidup ke dalam tubuh pasien
yang ada dalam jangka waktu tertentu.
Seorang pasien yang imunokompeten seringkali
membentuk respon imun terhadap antigen donor
dan menghasilkan beragam konsekuensi klinis,
bergantung pada sel darah dan antigen spesifik yang
terlibat.
Human leukocyte antigens
Immune System Antigen yang (HLAs) kelas I pada leukosit dan
biasanya trombosit dan kelas II pada
terlibat sebagian kecil leukosit.
diklasifikasikan Granulocyte specific antigens
dalam kategori (GSA)
berikut: Platelet specific antigens (HPA)
RBC-specific antigens.
MCA dan HLA

Histocompatibility Antigen (HLA) adalah Antigen


yang terdapat pada sel /jaringan yang berperan pada
reaksi penolakan terhadap organ transplant
Major Histocompatibility Antigen (MCA) adalah
Histocompatibility Antigen (HLA) yang memberikan
respon imun yang sangat kuat & berperan penting
pada peristiwa penolakan organ transplant
MHC

Reseptor ditemukan pada semua sel kecuali sel darah


merah
Juga dikenal sebagai human leukocyte antigen
(HLA)
Memainkan peran dalam pengakuan diri (self dan
non self) oleh sistem kekebalan tubuh dan penolakan
jaringan asing
Gen untuk MHC terletak di kromosom 6,
berkelompok dalam multigene kompleks kelas I, II, III
Kelas I sebagai penanda karakteristik molekul diri
& pengaturan reaksi imun. Diperlukan untuk
limfosit T (CD 8)
Kelas II - reseptor yang mengenali & bereaksi
dengan antigen asing Terletak terutama di makrofag &
sel B. Terlibat dalam menghadirkan antigen ke sel T
(CD 4)
Kelas III - mensekresikan komponen komplenen , C2
dan C4
HLA

Human Leucocyte Antigen = HLA adalah MHC


Antigen pada manusia
Antigen permukaan tersebut pertama kali
digambarkan pada leukosit Pada penderita yang
telah mendapat transfusi darah berulangkali
ditemukan Ab yang dapat menggumpalkan lekosit
(human leucocyte antigen)
Molekul MHC kelas I meliputi antigen HLA-A,HLA-B,HLA-C
dapat dikenali sel Tc yang berperan pada penolakan organ
transplant
Molekul MHC kelas I disebut pula Antigen Transplantasi
Menghancurkan sel yang terinfeksi oleh pathogen intraselular
dan sel kanker
Molekul MHC kelas I (pada sel tubuh bernukleus)
mengekspresikan protein asing
Aktivitas diperbesar oleh protein permukaan CD8 yang
dipresentasikan oleh kebanyakan sel T cytotoxic (Tc)
Sel Tc melepaskan perforin : protein yang membentuk pori2
pada membran sel target sehingga sel menjadi lysis dan
pathogen akan terekspos pada Antibodi yg bersirkulasi
Peranan fisiologis HLA kelas II untuk memberikan sinyal respon
imun terhadap Th yang berinteraksi dengan sel APC (antigen
presenting cell) di satu pihak, dengan sel B di pihak lain.
Distribusi HLA kelas II bersifat terbatas supaya aktivasi sel Th juga
hanya pada keadaan tertentu saja
MHC kelas II : mengawasi interaksi antara sel-sel imunokompeten
Sel Th berfungsi pada Imunitas Humoral & Imunitas Seluler
Distimulasi oleh antigen presenting cells (APC)
Permukaan T cell (protein CD4) mendorong aktivasi Cytokines
disekresi (stimulasi lymphocyte lainnya):
a) interleukin-2 (IL-2): mengaktivasi sel B dan sel T cytotoxic (Tc)
b) interleukin-1 (IL-1): mengaktivasi sel T helper (Th) T untuk
menghasilkan IL-2
Manifestasi Klinis akibat aloimunisasi

1. Aloimunisasi terhadap Sel darah merah


a. Reaksi transfuse hemolitik akut intravascular (biasanya disebabkan karena
antibody ABO, jarang karena aloimunisasi).
b. Delayed hemolytic transfusion reaction (DHTR) (hemolisis disebabkan oleh
aloantibodi terhadap SDM sedikitnya 24 jam setelah transfuse).
c. Hemolytic disease of the newborn/hydrop fetalis (HF) (aloimunisasi ibu
terhadap antigen fetus, diinduksi oleh kehamilan sebelumnya).
2. Aloimunisasi terhadap trombosit (HPA atau HLA kelas I)
a. Refractoriness to platelet transfusion (RPT) (peningkatan jumlah trombosit
setelah transfuse trombosit yang lebih rendah secara bermakna dari harapan
<kurang dari 30% dari prediksi setelah 10-60 menit atau kurang dari 20%
pada 18-24 jam>)
b. Purpura post transfusi (trombositopenia setelah transfusi SDM atau produk
yang mengandung trombosit, berhubungan dengan aloantibodi terhadap
trombosit).
c. Neonatal alloimmune thrombocytopenia (aloimunisasi ibu terhadap antigen
fetus, diinduksi oleh kehamilan sebelumnya).
3. Aloimunisasi terhadap granulosit (GSA atau HLA)
4. Refractoriness to granulocyte transfusion
a. Febrile nonhemolytic transfusion reaction
b. Transfusion-related acute lung injury (TRALI) (reaksi
transfuse dimana antibody HLA donor bereaksi terhadap
antigen pasien).
5. Transplant rejection
a. Aloimunisasi terhadap antigen HLA.
b. Aloimunisasi terhadap antigen sel darah (pada
transplantasi sumsum tulang).
Peranan Sistem Imun thd Aloimunisasi

Mekanisme utama terjadinya aloimunisasi terhadap


antigen yang ada pada sel yang ditransfusi melibatkan
pemajanan dari donor antigen presenting cells (APCs),
seperti monosit, makrofag, sel dendritik, dan sel B ke sel
T pasien.
Pengenalan alloantigen HLA kelas I oleh sel T CD4+
pasien dan aktivasi imun berikutnya memerlukan ko-
stimulasi dari APCs donor atau pasien.
Aloimunisasi oleh non-leukoreduced trombosit
melibatkan peran antigen HLA donor dan APCs donor
fungsional. Turunan TH2 dari T Helper CD4+ mensekresi
interleukin (IL)-4, IL-5, IL-6, dan IL-10, mengaktifkan
sel B dan memulai respon antibody
Leucoreduction trombosit secara signifikan mampu
mengeliminir APCs donor, tetapi 20% dari pasien
masih mengalami aloimunisasi. Hal ini terjadi akibat
keterlibatan alloantigen-presenting recipient APCs
yang mengenali alloantigen dan aktivasi sel T pasien.
Proses ini juga melibatkan pengenalan awal
alloantigen oleh natural killer cell (sel NK) yang
mensekresi interferon gama yang berperan dalam
aktivasi sel TH2 CD4+
Setelah aktivasi awal dan pembentukan
respon imun primer, sel T menjadi sel
memori. Sel T memori tidak lagi
memerlukan ko-stimulasi untuk
mengaktivasi respon imun. Demikian, donor
SDM, trombosit, dan APCs yang tidak
teraktivasi dapat menginduksi restimulasi
dari respon imun.
Transfusi darah (terutama melalui turunan
TH2) dapat pula menekan respon imun
pejamu dan mengiduksi toleransi terhadap
antigen donor.
Mekanisme imunosupresi lain melibatkan pula
stimulasi dari sel T supresor CD8+ yang dapat
mengenali alloantigen HLA kelas I di trombosit dan
juga APCs donor.
Imunisasi primer dengan transfusi menggambarkan
keseimbangan terhadap ekspansi klonal dan
mekanisme toleransi. Respon sekunder bergantung
pada restimulasi dari sel memori. Imunisasi
berulang seringkali menghasilkan ekspansi klonal
yang menetap dan produksi antibody yang signifikan
Peranan sistem imun yang lain

Aktivasi komplemen akibat inkomptabilitas ABO


Reaksi ini terjadi karena terbentuknya kompleks
antigen yang mengaktifasi komplemen (reaksi
hipersensitifitas tipe 2). Dalam hal ini antibodi
resepien (IgM) berikatan dengan antigen eritrosit
donor dan mengaktifkan komplemen dan membentuk
membrane attack complex (C5-C9) dan melisiskan
eritrosit donor.. Aktivasi dan fiksasi komplemen
menyebabkan destruksi eritrosit dan melepaskan agen
vasoaktif (C5a) dan materi prokoagulan, sejumlah
besar kompleks imun dibentuk
Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi,
AHTR merupakan masalah yang sangat serius karena terjadi
destruksi eritrosit donor yang sangat cepat (kurang dari 24
jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan
dalam
identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan
sampel darah resipien dan donor (crossmatch). Sebagian
besar terjadi pada saat transfusi whole blood (WB) atau
packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh
frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor
VIII nonrekombinan. Angka kejadian diperkirakan 1 : 250
000 - 600 000.
Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah
(intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II.
Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan
antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan
antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM)
anti-A, anti-B, atau terkadang antirhesus. Proses hemolitik
dibantu oleh reaksi komplemen sampai terbentuknya
C5b6789 (membrane attack complex).
Pada beberapa kasus juga dapat terjadi interaksi plasma
donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen
(minor incompatability).
Malah dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi
dengan eritrosit donor sendiri sebagai antigen (inter-donor
incompatability) pada saat diberikan kepada resipien, tetapi
kasus seperti ini jarang sekali
AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa
melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi
secara ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan
mengaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel
K (large lymphocytes) yang menghasilkan perforin
(antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC)
dan mengakibatkan lisis dari eritrosit
Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik,
dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri
pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia,
dan urin berwarna kemerahan atau keabuan
(hemoglobinuria). Pada AHTR yang terjadi di
intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat
berupa disseminated intravascular coagulation
(DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada
pasien yang masih mendapat pengaruh obat-obat
anestesi atau koma, DIC merupakan petunjuk yang
sangat penting untuk terjadinya AHTR.
Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus
dihentikan segera dan harus dilakukan hidrasi
dengan cairan salin normal (3000 ml/m2/hari).
Terapi suportif yang harus tetap dilakukan adalah
pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan
darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin.
Antihistamin (difenhidramin) dan kortikosteroid
(prednisolon) dapat diberikan untuk mengatasi
gejala dan tanda klinis. Kejadian AHTR harus dicatat
dalam laporan pasien dan darah yang tersisa harus
dikembalikan ke unit transfusi darah (UTD) untuk
dilakukan investigasi serologis
Demam Tanpa Hemolitik

Disebabkan oleh reaksi antara HLA sel darah putih


donor bereaksi dengan antibody resipien. Reaksi ini
ditandai dengan demam dan menggigil disertai
dengan peningkatan suhu 1C. Diagnosa
ditegakkan bila semua kemungkinan demam pada
pasien sudah disingkirkan. Mekanismenya mungkin
disebabkan oleh terbentuknya antibodi terhadap
leukosit dan antigen HLA . Pasien dengan riwayat
transfusi berulang mempunyai risiko yang lebih
tinggi. Pencegahannya adalah penggunaan filter
leukoreduksi pada komponen darah
Reaksi Alergi

Reaksi hipersensitivitas ini timbul karena adanya


reaksi antibody terhadap komponen protein plasma
donor. Gejala yang timbul berupa timbulnya
urtikaria. Reaksi ringan dapat diatasi dengan
menghentikan transfusi sementara dan memberikan
antihistamin (difenhidramin 50 mg oral ataupun
intramuskular). Pencegahan dengan premedikasi
antihistamin diberikan pada pasien dengan riwayat
alergi pada transfusi sebelumnya dan diberikan
komponen darah yang telah dicuci. Reaksi ini
biasanya tidak bersifat fatal
TRALI

Transfusion-related acute lung injury


Reaksi ini disebabkan karena antibody donor bereaksi
dengan granulosit resepien atau sebaliknya. Terjadi bila
pada plasma donor mengandung antibodi anti-HLA
dalam titer yang tinggi yang menyebabkan agregasi
leukosit pada pembuluh darah pulmoner dan
melepaskan mediator vasodilatasi. Pada pasien timbul
gejala demam, menggigil, batuk kering, sesak, dan
hipotensi 4-6 jam setelah transfusi. Ada foto roentgen
thoraks ditemukan edema pulmoner nonkardiogenik dan
infiltrat interstisial bilateral.
Delayed Hemolitic Transfusion Reaction

Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat


dilakukan evaluasi tentang respons antibodi
(Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO
lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa
eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat
dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena
interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun
sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari.
Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6 000 - 33 000
DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang
terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik
terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang
mengandung eritrosit merupakan antigen (major
incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan
atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang
telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh
makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh
antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan
komplemen, maka ikatan antigen- antibodi tersebut
akan dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di
limpa
Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari
setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi,
penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin
tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya
sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus
DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah
beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif.
Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya
hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA.
Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang
mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk
kondisi penyakit
HDN

Inkompatibilitas antara ibu dan janin terjadi bila ibu


memiliki Rh negatif sedangkan ayah memiliki Rh
positif, sehingga dapat dipastikan bahwa janin
memiliki Rh positif. Antibodi ibu dapat melewati
plasenta dan menghancurkan sel darah merah.
Risikonya meningkat seiring dengan jumlah
kehamilan. Pada kehamilan pertama biasanya tidak
ada masalah inkompatibilitas. Namun kehamilan
selanjutnya dapat mengalami masalah yang cukup
fatal, risiko ini meningkat pada tiap kelahiran
Nutrisi dan antibodi ibu masuk melalui sawar darah
plasenta ke fetus. Pada kehamilan pertama biasanya
tidak ada antibodi anti Rh+ kecuali ibu pernah
kontak dengan darah Rh+. Pada saat kelahiran
terjadi rupture plasenta sehingga beberapa eritrosit
janin masuk ke dalam sistem sirkulasi ibu dan
menstimulasi terbentuknya antibodi terhadap
antigen darah Rh+.
Destruksi trombosit

Mayoritas disebabkan oleh antibodi terhadap HLA pada


leukosit dan beberapa kasus disebabkan oleh antigen
trombosit spesifik. Reaksi ini dapat dicegah dengan
penggunaan filter leukoreduksi. 10,15
Reaksi yang timbul berupa purpura pascatransfusi yang
terjadi 5-12 hari setelah transfusi. Mekanismenya masih
belum dimengerti. Biasanya terjadi pada wanita yang
telah terimunisasi sewaktu hamil. Biasanya kondisi ini
akam membaik dalam waktu 1 minggu 1 bulan tanpa
terapi. Pada kasus yang berat terapi yang efektif adalah
plasmaferesis dan gamma globulin.
Graft-versus-Host Disease (GVHD)

GVHD adalah komplikasi yang sering dari transplantasi


allogenic stem cell, dimana limfosit dari donor menyerang
dan tidak dapat dieliminasi oleh pejamu dalam kondisi
imunodefisien. Transfusion-related GVHD dimediasi oleh T
limfosit donor yang mengenali antigen HLA pejamu sebagai
benda asing dan mencetuskan respon imun yang
bermanifestasi secara klinis melalui demam, erupsi kulit,
diare, dan abnormalitas fungsi hati. GVHD dapat pula terjadi
ketika komponen darah yang mengandung T limfosit yang
viable ditransfusikan ke resipen imunodefisien. GVHD
dikarakterisasi dengan aplasia sumsum dan pansitopenia
yang resisten terhadap terapi imunosupresi. Reaksi ini dapat
dicegah dengan iradiasi komponen selular (minimum 2500
cGy) sebelum transfuse ke pasien
Purpura Posttransfusi

Reaksi ini terjadi setelah 7-10 hari transfuse trombosit


dan terjadi pada umumnya pada wanita. Antibody
spesifik trombosit ditemukan pada serum resipien dan
kebanyakan antigen dikenal sebagai HPA-1a ditemukan
pada reseptor trombosit glikoprotein IIIa.
Trombositopenia lambat ini dikarenakan oleh produksi
antibody yang bereaksi baik ke trombosit donor maupun
resipien. Penambahan transfuse trombosit dapat
memperburuk trombositopenia dan harus dihindari.
Perawatan dengan dengan immunoglobulin intravena
dapat menetralisir antibody efektor atau plasmaferesis
dapat digunakan untuk menyingkirkan antibody

Anda mungkin juga menyukai