0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
48 tayangan39 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang aloimunisasi akibat transfusi darah, termasuk antigen-antigen yang terlibat seperti HLA dan antigen sel darah lainnya, peran sistem imun dalam aloimunisasi, dan manifestasi klinisnya. Secara ringkas, transfusi darah dapat menimbulkan respon imun terhadap antigen asing, yang dapat menyebabkan berbagai konsekuensi klinis seperti reaksi transfusi hemolitik akut.
Dokumen tersebut membahas tentang aloimunisasi akibat transfusi darah, termasuk antigen-antigen yang terlibat seperti HLA dan antigen sel darah lainnya, peran sistem imun dalam aloimunisasi, dan manifestasi klinisnya. Secara ringkas, transfusi darah dapat menimbulkan respon imun terhadap antigen asing, yang dapat menyebabkan berbagai konsekuensi klinis seperti reaksi transfusi hemolitik akut.
Dokumen tersebut membahas tentang aloimunisasi akibat transfusi darah, termasuk antigen-antigen yang terlibat seperti HLA dan antigen sel darah lainnya, peran sistem imun dalam aloimunisasi, dan manifestasi klinisnya. Secara ringkas, transfusi darah dapat menimbulkan respon imun terhadap antigen asing, yang dapat menyebabkan berbagai konsekuensi klinis seperti reaksi transfusi hemolitik akut.
transplantasi temporer. Prosedur ini mengenalkan tubuh terhadap beragam antigen asing dan sel hidup ke dalam tubuh pasien yang ada dalam jangka waktu tertentu. Seorang pasien yang imunokompeten seringkali membentuk respon imun terhadap antigen donor dan menghasilkan beragam konsekuensi klinis, bergantung pada sel darah dan antigen spesifik yang terlibat. Human leukocyte antigens Immune System Antigen yang (HLAs) kelas I pada leukosit dan biasanya trombosit dan kelas II pada terlibat sebagian kecil leukosit. diklasifikasikan Granulocyte specific antigens dalam kategori (GSA) berikut: Platelet specific antigens (HPA) RBC-specific antigens. MCA dan HLA
Histocompatibility Antigen (HLA) adalah Antigen
yang terdapat pada sel /jaringan yang berperan pada reaksi penolakan terhadap organ transplant Major Histocompatibility Antigen (MCA) adalah Histocompatibility Antigen (HLA) yang memberikan respon imun yang sangat kuat & berperan penting pada peristiwa penolakan organ transplant MHC
Reseptor ditemukan pada semua sel kecuali sel darah
merah Juga dikenal sebagai human leukocyte antigen (HLA) Memainkan peran dalam pengakuan diri (self dan non self) oleh sistem kekebalan tubuh dan penolakan jaringan asing Gen untuk MHC terletak di kromosom 6, berkelompok dalam multigene kompleks kelas I, II, III Kelas I sebagai penanda karakteristik molekul diri & pengaturan reaksi imun. Diperlukan untuk limfosit T (CD 8) Kelas II - reseptor yang mengenali & bereaksi dengan antigen asing Terletak terutama di makrofag & sel B. Terlibat dalam menghadirkan antigen ke sel T (CD 4) Kelas III - mensekresikan komponen komplenen , C2 dan C4 HLA
Human Leucocyte Antigen = HLA adalah MHC
Antigen pada manusia Antigen permukaan tersebut pertama kali digambarkan pada leukosit Pada penderita yang telah mendapat transfusi darah berulangkali ditemukan Ab yang dapat menggumpalkan lekosit (human leucocyte antigen) Molekul MHC kelas I meliputi antigen HLA-A,HLA-B,HLA-C dapat dikenali sel Tc yang berperan pada penolakan organ transplant Molekul MHC kelas I disebut pula Antigen Transplantasi Menghancurkan sel yang terinfeksi oleh pathogen intraselular dan sel kanker Molekul MHC kelas I (pada sel tubuh bernukleus) mengekspresikan protein asing Aktivitas diperbesar oleh protein permukaan CD8 yang dipresentasikan oleh kebanyakan sel T cytotoxic (Tc) Sel Tc melepaskan perforin : protein yang membentuk pori2 pada membran sel target sehingga sel menjadi lysis dan pathogen akan terekspos pada Antibodi yg bersirkulasi Peranan fisiologis HLA kelas II untuk memberikan sinyal respon imun terhadap Th yang berinteraksi dengan sel APC (antigen presenting cell) di satu pihak, dengan sel B di pihak lain. Distribusi HLA kelas II bersifat terbatas supaya aktivasi sel Th juga hanya pada keadaan tertentu saja MHC kelas II : mengawasi interaksi antara sel-sel imunokompeten Sel Th berfungsi pada Imunitas Humoral & Imunitas Seluler Distimulasi oleh antigen presenting cells (APC) Permukaan T cell (protein CD4) mendorong aktivasi Cytokines disekresi (stimulasi lymphocyte lainnya): a) interleukin-2 (IL-2): mengaktivasi sel B dan sel T cytotoxic (Tc) b) interleukin-1 (IL-1): mengaktivasi sel T helper (Th) T untuk menghasilkan IL-2 Manifestasi Klinis akibat aloimunisasi
1. Aloimunisasi terhadap Sel darah merah
a. Reaksi transfuse hemolitik akut intravascular (biasanya disebabkan karena antibody ABO, jarang karena aloimunisasi). b. Delayed hemolytic transfusion reaction (DHTR) (hemolisis disebabkan oleh aloantibodi terhadap SDM sedikitnya 24 jam setelah transfuse). c. Hemolytic disease of the newborn/hydrop fetalis (HF) (aloimunisasi ibu terhadap antigen fetus, diinduksi oleh kehamilan sebelumnya). 2. Aloimunisasi terhadap trombosit (HPA atau HLA kelas I) a. Refractoriness to platelet transfusion (RPT) (peningkatan jumlah trombosit setelah transfuse trombosit yang lebih rendah secara bermakna dari harapan <kurang dari 30% dari prediksi setelah 10-60 menit atau kurang dari 20% pada 18-24 jam>) b. Purpura post transfusi (trombositopenia setelah transfusi SDM atau produk yang mengandung trombosit, berhubungan dengan aloantibodi terhadap trombosit). c. Neonatal alloimmune thrombocytopenia (aloimunisasi ibu terhadap antigen fetus, diinduksi oleh kehamilan sebelumnya). 3. Aloimunisasi terhadap granulosit (GSA atau HLA) 4. Refractoriness to granulocyte transfusion a. Febrile nonhemolytic transfusion reaction b. Transfusion-related acute lung injury (TRALI) (reaksi transfuse dimana antibody HLA donor bereaksi terhadap antigen pasien). 5. Transplant rejection a. Aloimunisasi terhadap antigen HLA. b. Aloimunisasi terhadap antigen sel darah (pada transplantasi sumsum tulang). Peranan Sistem Imun thd Aloimunisasi
Mekanisme utama terjadinya aloimunisasi terhadap
antigen yang ada pada sel yang ditransfusi melibatkan pemajanan dari donor antigen presenting cells (APCs), seperti monosit, makrofag, sel dendritik, dan sel B ke sel T pasien. Pengenalan alloantigen HLA kelas I oleh sel T CD4+ pasien dan aktivasi imun berikutnya memerlukan ko- stimulasi dari APCs donor atau pasien. Aloimunisasi oleh non-leukoreduced trombosit melibatkan peran antigen HLA donor dan APCs donor fungsional. Turunan TH2 dari T Helper CD4+ mensekresi interleukin (IL)-4, IL-5, IL-6, dan IL-10, mengaktifkan sel B dan memulai respon antibody Leucoreduction trombosit secara signifikan mampu mengeliminir APCs donor, tetapi 20% dari pasien masih mengalami aloimunisasi. Hal ini terjadi akibat keterlibatan alloantigen-presenting recipient APCs yang mengenali alloantigen dan aktivasi sel T pasien. Proses ini juga melibatkan pengenalan awal alloantigen oleh natural killer cell (sel NK) yang mensekresi interferon gama yang berperan dalam aktivasi sel TH2 CD4+ Setelah aktivasi awal dan pembentukan respon imun primer, sel T menjadi sel memori. Sel T memori tidak lagi memerlukan ko-stimulasi untuk mengaktivasi respon imun. Demikian, donor SDM, trombosit, dan APCs yang tidak teraktivasi dapat menginduksi restimulasi dari respon imun. Transfusi darah (terutama melalui turunan TH2) dapat pula menekan respon imun pejamu dan mengiduksi toleransi terhadap antigen donor. Mekanisme imunosupresi lain melibatkan pula stimulasi dari sel T supresor CD8+ yang dapat mengenali alloantigen HLA kelas I di trombosit dan juga APCs donor. Imunisasi primer dengan transfusi menggambarkan keseimbangan terhadap ekspansi klonal dan mekanisme toleransi. Respon sekunder bergantung pada restimulasi dari sel memori. Imunisasi berulang seringkali menghasilkan ekspansi klonal yang menetap dan produksi antibody yang signifikan Peranan sistem imun yang lain
Aktivasi komplemen akibat inkomptabilitas ABO
Reaksi ini terjadi karena terbentuknya kompleks antigen yang mengaktifasi komplemen (reaksi hipersensitifitas tipe 2). Dalam hal ini antibodi resepien (IgM) berikatan dengan antigen eritrosit donor dan mengaktifkan komplemen dan membentuk membrane attack complex (C5-C9) dan melisiskan eritrosit donor.. Aktivasi dan fiksasi komplemen menyebabkan destruksi eritrosit dan melepaskan agen vasoaktif (C5a) dan materi prokoagulan, sejumlah besar kompleks imun dibentuk Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi, AHTR merupakan masalah yang sangat serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat cepat (kurang dari 24 jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan donor (crossmatch). Sebagian besar terjadi pada saat transfusi whole blood (WB) atau packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor VIII nonrekombinan. Angka kejadian diperkirakan 1 : 250 000 - 600 000. Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex). Pada beberapa kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen (minor incompatability). Malah dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor sendiri sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang sekali AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan mengaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes) yang menghasilkan perforin (antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC) dan mengakibatkan lisis dari eritrosit Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada AHTR yang terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada pasien yang masih mendapat pengaruh obat-obat anestesi atau koma, DIC merupakan petunjuk yang sangat penting untuk terjadinya AHTR. Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus dihentikan segera dan harus dilakukan hidrasi dengan cairan salin normal (3000 ml/m2/hari). Terapi suportif yang harus tetap dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin. Antihistamin (difenhidramin) dan kortikosteroid (prednisolon) dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan tanda klinis. Kejadian AHTR harus dicatat dalam laporan pasien dan darah yang tersisa harus dikembalikan ke unit transfusi darah (UTD) untuk dilakukan investigasi serologis Demam Tanpa Hemolitik
Disebabkan oleh reaksi antara HLA sel darah putih
donor bereaksi dengan antibody resipien. Reaksi ini ditandai dengan demam dan menggigil disertai dengan peningkatan suhu 1C. Diagnosa ditegakkan bila semua kemungkinan demam pada pasien sudah disingkirkan. Mekanismenya mungkin disebabkan oleh terbentuknya antibodi terhadap leukosit dan antigen HLA . Pasien dengan riwayat transfusi berulang mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pencegahannya adalah penggunaan filter leukoreduksi pada komponen darah Reaksi Alergi
Reaksi hipersensitivitas ini timbul karena adanya
reaksi antibody terhadap komponen protein plasma donor. Gejala yang timbul berupa timbulnya urtikaria. Reaksi ringan dapat diatasi dengan menghentikan transfusi sementara dan memberikan antihistamin (difenhidramin 50 mg oral ataupun intramuskular). Pencegahan dengan premedikasi antihistamin diberikan pada pasien dengan riwayat alergi pada transfusi sebelumnya dan diberikan komponen darah yang telah dicuci. Reaksi ini biasanya tidak bersifat fatal TRALI
Transfusion-related acute lung injury
Reaksi ini disebabkan karena antibody donor bereaksi dengan granulosit resepien atau sebaliknya. Terjadi bila pada plasma donor mengandung antibodi anti-HLA dalam titer yang tinggi yang menyebabkan agregasi leukosit pada pembuluh darah pulmoner dan melepaskan mediator vasodilatasi. Pada pasien timbul gejala demam, menggigil, batuk kering, sesak, dan hipotensi 4-6 jam setelah transfusi. Ada foto roentgen thoraks ditemukan edema pulmoner nonkardiogenik dan infiltrat interstisial bilateral. Delayed Hemolitic Transfusion Reaction
Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat
dilakukan evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6 000 - 33 000 DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen- antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit HDN
Inkompatibilitas antara ibu dan janin terjadi bila ibu
memiliki Rh negatif sedangkan ayah memiliki Rh positif, sehingga dapat dipastikan bahwa janin memiliki Rh positif. Antibodi ibu dapat melewati plasenta dan menghancurkan sel darah merah. Risikonya meningkat seiring dengan jumlah kehamilan. Pada kehamilan pertama biasanya tidak ada masalah inkompatibilitas. Namun kehamilan selanjutnya dapat mengalami masalah yang cukup fatal, risiko ini meningkat pada tiap kelahiran Nutrisi dan antibodi ibu masuk melalui sawar darah plasenta ke fetus. Pada kehamilan pertama biasanya tidak ada antibodi anti Rh+ kecuali ibu pernah kontak dengan darah Rh+. Pada saat kelahiran terjadi rupture plasenta sehingga beberapa eritrosit janin masuk ke dalam sistem sirkulasi ibu dan menstimulasi terbentuknya antibodi terhadap antigen darah Rh+. Destruksi trombosit
Mayoritas disebabkan oleh antibodi terhadap HLA pada
leukosit dan beberapa kasus disebabkan oleh antigen trombosit spesifik. Reaksi ini dapat dicegah dengan penggunaan filter leukoreduksi. 10,15 Reaksi yang timbul berupa purpura pascatransfusi yang terjadi 5-12 hari setelah transfusi. Mekanismenya masih belum dimengerti. Biasanya terjadi pada wanita yang telah terimunisasi sewaktu hamil. Biasanya kondisi ini akam membaik dalam waktu 1 minggu 1 bulan tanpa terapi. Pada kasus yang berat terapi yang efektif adalah plasmaferesis dan gamma globulin. Graft-versus-Host Disease (GVHD)
GVHD adalah komplikasi yang sering dari transplantasi
allogenic stem cell, dimana limfosit dari donor menyerang dan tidak dapat dieliminasi oleh pejamu dalam kondisi imunodefisien. Transfusion-related GVHD dimediasi oleh T limfosit donor yang mengenali antigen HLA pejamu sebagai benda asing dan mencetuskan respon imun yang bermanifestasi secara klinis melalui demam, erupsi kulit, diare, dan abnormalitas fungsi hati. GVHD dapat pula terjadi ketika komponen darah yang mengandung T limfosit yang viable ditransfusikan ke resipen imunodefisien. GVHD dikarakterisasi dengan aplasia sumsum dan pansitopenia yang resisten terhadap terapi imunosupresi. Reaksi ini dapat dicegah dengan iradiasi komponen selular (minimum 2500 cGy) sebelum transfuse ke pasien Purpura Posttransfusi
Reaksi ini terjadi setelah 7-10 hari transfuse trombosit
dan terjadi pada umumnya pada wanita. Antibody spesifik trombosit ditemukan pada serum resipien dan kebanyakan antigen dikenal sebagai HPA-1a ditemukan pada reseptor trombosit glikoprotein IIIa. Trombositopenia lambat ini dikarenakan oleh produksi antibody yang bereaksi baik ke trombosit donor maupun resipien. Penambahan transfuse trombosit dapat memperburuk trombositopenia dan harus dihindari. Perawatan dengan dengan immunoglobulin intravena dapat menetralisir antibody efektor atau plasmaferesis dapat digunakan untuk menyingkirkan antibody