Anda di halaman 1dari 26

PERANAN BHP2A

DALAM PELANGGARAN ETIK


DAN HUKUM

dr. MUH. RASYIDI JUHAMRAN, SpPD, FINASIM


BHP2A - MAKASSAR
ANGGARAN DASAR IKATAN
DOKTER INDONESIA (IDI)

Pasal 14
BADAN KELENGKAPAN

Badan yang dibentuk oleh pengurus besar, pengurus


wilayah, atau cabang yang terdiri atas :
1. Biro Hukum dan Pembinaan Pembelaan Anggota
(BHP2A)
2. Badan Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan (BPPKB)
ANGGARAN RUMAH TANGGA
IKATAN DOKTER INDONESIA (IDI)
Pasal 48
BHP2A
1. Status
BHP2A dibentuk ditingkat pusat, wilayah, dan bila diperlukan dapat
dibentuk ditingkat cabang

2. Tugas dan Wewenang


a. Melakukan pembinaan dan pengawasan praktek dokter dalam
kesadaran hukum kesehatan/kedokteran
b. Membela anggota dalam menjalankan profesinya baik yang
menyangkut masalah etik, hukum, administrasi atau organisasi,
baik diminta atau tidak diminta
c. Dalam menjalankan tugasnya, perlu mendengar pendapat dan
saran dari Badan Kelengkapan organisasi yang sehubungan dan
pihak-pihak yang dianggap perlu
KEKHILAFAN  ETIK
 DISIPLIN
PELANGGARAN  HUKUM

RESIKO SENGKETA MEDIK


MALPRAKTEK
Perbuatan malpraktek medik
BERDAMPAK LUAS SECARA YURIDIS

I. Hukum Pidana, misalnya :


• Penipuan terhadap pasien
• Memberikan keterangan palsu
• Pelanggaran kesusilaan dalam menjalankan profesi medis
• Menelantarkan pasien dengan sengaja

II. Hukum Perdata, misalnya melakukan perbuatan


wanprestasi
III. Hukum Administrasi, misalnya :
• Tidak memiliki STR
• Tidak memiliki SIP
SENGKETA MEDIK

1. Masalah yang muncul paling sering dari semua kasus


tuntutan pasien kepada dokter/dokter gigi/rumah sakit,
umumnya merupakan masalah miskomunikasi , sehingga
istilah yang :
 Paling tepat adalah “SENGKETA MEDIK”
 Tidak tepat adalah “TUDUHAN MALPRAKTEK”

2. Masyarakat melihat Sengketa Medik yang terjadi sebagai


sesuatu yang buruk dan merupakan kesengajaan
GUGATAN SENGKETA MEDIK

IDI / BHP2A
PENGGUGAT

INVESTIGASI

Dugaan pelanggaran
disiplin kedokteran Dugaan pelanggaran etika
diputuskan oleh MKDKI diputuskan oleh MKEK

Hasil Telaah Keputusan :


 Ranah hukum pidana
 Ranah hukum perdata
 Disiplin kedokteran
 Pelanggaran etika profesi
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 29

Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan


kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi.
Alternatif Penyelesaian
Sengketa Medik (APS)

 Musyawarah
 Negosiasi
 Mediasi
 Negosiasi dan Mediasi
 Litigasi dan Mediasi
Alternatif Penyelesaian
Sengketa Medik (APS)

Musyawarah
1. Banyak dilakukan oleh masyarakat
2. Berdialog dibantu oleh pihak lain :
 Organisasi profesi
 Rumah Sakit
3. Banyak berhasil diselesaikan dengan
baik
Alternatif Penyelesaian
Sengketa Medik (APS)

1. Proses penyelesaian sengketa berlangsung


secara sukarela antara pihak-pihak yang
Negosiasi
bermasalah dengan cara tatap muka secara
langsung, berunding atau urung rembuk.
2. Tidak melibatkan pihak ketiga (mediator atau
hakim)
3. Dapat dilakukan sendiri atau diwakilkan oleh
orang lain (penasehat hukum atau pengacara)
4. Pihak-pihak yang bermasalah bertemu dengan
itikad baik untuk menyelesaikan masalah
5. Manfaat negosiasi yaitu pihak-pihak dapat
melakukan pendekatan setiap saat
6. Kenyataan banyak sengketa medik diselesaikan
melalui jalan negosiasi
7. Cepat, sederhana, paling efisien
Alternatif Penyelesaian
Sengketa Medik (APS)

Mediasi 1. Merupakan penyelesaian sengketa melalui


perundingan berdasarkan pendekatan
mufakat atau konsensus para pihak
2. Para pihak meminta bantuan pihak lain
yang bersifat tidak memihak yaitu
“Mediator” misalnya Lemsedikumses
(lembaga mediasi sengketa medik dan
konsultan hukum kesehatan)
3. Mediator tidak memiliki kewenangan
memutuskan sengketa
4. Mediasi di luar pengadilan dan mediasi di
pengadilan
Alternatif Penyelesaian
Sengketa Medik (APS)

Litigasi
1. Litigasi adalah proses dimana pengadilan
menjatuhkan keputusan yang mengikat para
pihak yang berselisih dalam proses hukum
2. Dalam proses pengadilan, merupakan
kewajiban melakukan mediasi lebih dahulu
sebelum putusan pengadilan
3. Biaya cukup tinggi, waktu lama, beban
psikologi yang tinggi, formalitas dan
kompleksitas
4. Menempatkan hubungan yang tidak baik
antara dokter/dokter gigi/ rumah sakit
dengan pasien/keluarganya
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 36

Setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktek


kedokteran di Indonesia wajib memiliki Surat Izin Praktek
(SIP)
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 37

1. Surat Izin Praktek sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat praktek
kedokteran/kedokteran gigi dilaksanakan
2. Surat Izin Praktek dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat
3. Satu Surat Izin Praktek hanya berlaku untuk 1 (satu)
tempat praktek
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 75 Ayat 1

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja


melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki Surat
Tanda Registrasi (STR) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat 1 dipidana dengan penjara paling lama 3
(tiga) tahun, atau denda paling banyak Rp. 100.000.000
(seratus juta rupiah)
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 75 Ayat 2

Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing


dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa
memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) Sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat 1 dipidana
dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun, atau
denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta
rupiah)
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 75 Ayat 3

Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing


dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa
memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) Bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat 1 dipidana
dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun, atau
denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta
rupiah)
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 76

Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing


dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa
memiliki Surat Izin Praktek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan penjara paling lama
3 (tiga) tahun, atau denda paling banyak Rp.100.000.000
(seratus juta rupiah)
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas


berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi
masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Dokter
atau Surat Tanda Registrasi Dokter Gigi dan atau Surat Izin
Praktek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat 1
dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau
denda paling banyak Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta
rupiah)
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode
atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki Surat Tanda Registrasi Dokter atau Surat Tanda
Registrasi Dokter Gigi dan atau Surat Izin Praktek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat 2 dipidana
dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau denda paling
banyak Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah)
UU R.I. Nomor 29 Tahun 2004

Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun,
atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a) Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1;
b) Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat 1; atau
c) Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, b, c, d dan f.
SISTEM KERJA BHP2A

I. PEMBINAAN
A. Pembekalan
– KODEKI
– Peraturan – Undang-Undang Praktek
Kedokteran
B. Lokakarya Etik Kedokteran
C. Teguran Lisan dan Tertulis Kepada
Anggota IDI
II. MENANGANI SENGKETA MEDIK
TAHAPAN PENANGANAN
SENGKETA MEDIK

I. ANALISA SENGKETA MEDIK YANG TERJADI


II. ANALISA TINDAKAN YANG DILAKUKAN OLEH
DOKTER
• SIP, Medical ByLaw, Hospital ByLaw
• Tndakan sesuai atau tidak dengan PPK
III. MEMBENTUK TIM AHLI/PAKAR SESUAI KASUS
IV. MENETAPKAN BAHWA TINDAKAN YANG
DILAKUKAN SESUAI STANDAR PELAYANAN
OPERASIONAL (SPO)
V. MEDIASI
RESUME

Peranan BHP2A bila terjadi sengketa medik :

1. Melakukan investigasi tentang masalah


yang terjadi
2. Membela anggota menjalankan profesi,
baik yang menyangkut masalah etik,
hukum, administrasi atau organisasi
3. Memfasilitasi alternatif penyelesaian
sengketa medik

Anda mungkin juga menyukai