Anda di halaman 1dari 90

TRAUMA OKULLI

Trauma okuli adalah trauma yang mengenai


seluruh organ luar dan dalam bola mata
(palpebra, konjungtiva, kornea, uvea, lensa,
sclera dan retina), saraf optikus dan
adneksanya.
 Benda-benda seperti kayu, besi, kaca dan batu
 Bola untuk olahraga seperti bola basket, bola
tenis dan shuttle cock dengan kecepatan yang
tinggi dapat mengenai mata.
 Kecelakaan lalu lintas (KLL) disertai trauma
wajah dan kepala dengan laserasi multipel,
fraktur orbita hematoma yang berat dan luka
tembus pada mata.
 Alat-alat yang berada di tempat kerja atau
peralatan rumah tangga.
1. Anamnesis
 Harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan
sebelum dan segera sesudah cedera.
 Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat
progresif lambat atau berawitan mendadak.
 Harus dicurigai adanya benda asing intraocular
apabila terdapat riwayat memalu, mengasah atau
ledakan.
 Cedera pada anak dengan riwayat yang tidak sesuai
dengan cedera yang diderita harus menimbulkan
kecurigaan adanya penganiayaan anak.
2. Pemeriksaan fisik
 Dimulai dengan pengukuran dan pencatatan
ketajaman penglihatan.
 Periksa motilitas mata dan sensasi kulit
periorbita dan lakukan palpasi untuk mencari
defek pada bagian tepi tulang orbita.
 Apabila tidak ada slit-lamp di ruang darurat,
maka senter, kaca pembesar atau oftalmoskop
langsung pada +10 (nomor gelap) untuk
memeriksa adanya cedera di permukaan tarsal
kelopak dan segmen anterior.
 Permukaan kornea diperiksa untuk mencari
adanya benda asing, luka dan abrasi.
 Oftalmoskop langsung dan tidak langsung
digunakan untuk mengamati lensa, korpus
vitreus, diskus optikus dan retina.
1. Trauma okuli tanpa penetrasi dan perforasi :
a. kerusakan kornea superficial :
Abrasi kornea
Benda asing kornea
b. Trauma fisik dan kimia:
Trauma fisik
Trauma kimia
c. Kontusio dan konkusio bola mata :
Konkusio disebabkan konduksi udara
Konkusio disebabkan konduksi jaringan
Kontusio bola mata
2.Trauma okuli dengan penetrasi dan perforasi
:
a. terjadi penetrasi
b. terjadi perforasi :
 Tanpa benda asing :
* Luka kornea
* Luka sclera
* Luka disertai infeksi
 Intra ocular disertai benda asing :
* Benda asing metalik
* Benda asing non-meta1ik
Klasifikasi dapat pula dibedakan berdasarkan
variasi trauma, yaitu :
1. Trauma tumpul
2. Trauma tajam
3. Trauma kimiawi
4. Trauma termal
5. Trauma kompresi
a. Kelopak mata (Palpebra)
 Disebabkan oleh karena longgarnya jaringan ikat
subkutan.
 Trauma tumpul pada kelopak mata dapat
menyebabkan :
1) Abrasi dan laserasi kelopak mata
2) Hematom kelopak mata
3) Emfisema kelopak mata
1) Abrasi dan laserasi kelopak mata
 Trauma tumpul dapat mengakibatkan luka laserasi pada
palpebra.
 Bila luka ini hebat dan disertai edema yang hebat, jangan
segera di jahit tetapi bersihkan Iukanya dan tutup
dengan pembalut basah yang steril.
 Bila pembengkakannya telah berkurang, baru dijahit.
 Laserasi partial-thickness pada kelopak mata yang tidak
mengenai batas kelopak dapat diperbaiki secara bedah
sama seperti Iaserasi kulit Iainnya.
 Laserasi full-thickness kelopak yang mengenai batas
kelopak mata harus diperbaiki secara hati-hati untuk
mencegah penonjolan tepi kelopak dan trikiasis.
Pada abrasi kelopak, maka benda berbentuk
partikel harus dikeluarkan untuk mengurangi
risiko pembentukan tato kulit.
Luka kemudian diirigasi dengan salin dan ditutup
dengan suatu salep antibiotik dan kassa steril.
Jaringan yang terlepas dibersihkan dan dilekatkan
kembali.
Karena vaskularitas kelopak yang sangat baik,
maka besar kemungkinannya tidak terjadi
nekrosis iskemik.
2) Hematom kelopak mata
Hematom palpebra yang merupakan
pembengkakan atau penimbunan darah di bawah
kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah
palpebra.
Etiologi:
▪ Pukulan tinju
▪ Benturan benda-benda keras
Patofisiologi
▪ Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai
kedua kelopak dan berbentuk kaca mata yang sedang
dipakai, maka keadaan ini disebut sebagai hematoma
kaca mata yang merupakan keadaan sangat gawat.
▪ Hematoma kaca mata terjadi akibat pecahnya arteri
oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii.
▪ Pada pecahnya a.oftalmika maka darah akan masuk ke
dalam kedua rongga orbita melalui fissura orbita,
akibatnya darah tidak dapat menjalar lanjut karena
dibatasi septum orbita kelopak mata maka akan
berbentuk gambaran hitam pada kelopak.
Terapi:
▪ Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan
kompres dingin untuk menghentikan perdarahan dan
menghilangkan rasa sakit.
▪ Bila sudah lama, untuk memudahkan absorpsi darah
dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata.
3) Emfisema kelopak mata
 Emfisema palpebra teraba sebagai pembengkakan
dengan krepitasi, disebabkan adanya udara di dalam
jaringan palpebra yang longgar.
 Hal ini menunjukkan adanya fraktur dari dinding
orbita, sehingga menimbulkan hubungan langsung
antara rongga orbita dengan ruang hidung atau sinus
sekeliling orbita.
 Terapi: berikan balutan yang kuat untuk
mempercepat hilangnya udara dari palpebra dan di
nasehatkan jangan bersin atau membuang ingus
karena dapat memperhebat emfisemanya. Kemudian
disusul dengan pengobatan frakturnya.
b. Konjungtiva
1) Edema konjungtiva
2) Hematoma subkonjungtiva
3) Laserasi konjungtiva
1) Edema konjungtiva
 Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi
kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma
tumpul.
 Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara
langsung kena angin tanpa mengedip, maka keadaan ini telah
dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva.
 Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra
tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap
konjungtiva.
 Terapi:
 Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk
mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva.
 Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan
konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.
2) Hematoma subkonjungtiva
 Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada
atau di bawah konjungtiva, seperti arteri
konjungtiva dan arteri episklera.
 Etiologi:
▪ Batuk rejan
▪ Trauma tumpul basis kranii
▪ Pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah
pecah misalnya usia lanjut, hipertensi, arteriosklerosis,
konjungtivitis, anemia dan obat-obatan tertentu.
 Gambaran klinis:
▪ Konjungtiva tampak merah dengan batas tegas, yang pada
penekanan tidak menghilang atau menipis.
▪ Lama kelamaan perdarahan ini mengalami perubahan warna
menjadi kebiruan, menipis dan umumnya akan diserap dalam
waktu 2-3 minggu.
▪ Pemeriksaan funduskopi perlu pada setiap penderita dengan
perdarahan subkonjungtiva akibat trauma.
▪ Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai
tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva,
sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari
kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.
▪ Terapi: kompres hangat dalam 1-2 minggu tanpa diobati.
3) Laserasi konjungtiva
Gambaran klinis:
 Iritasi pada mata dan nyeri
 Terasa mengganjal seperti ada benda asing di mata
 Adanya chemosis, perdarahan subkonjungtiva

Pemeriksaan:
 Pemeriksaan mata menggunakan anestesi lokal dengan funduskopi untuk
menyingkirkan adanya benda asing intraokular.
 USG
 CT scan untuk menyingkirkan adanya benda asing intraokular

Terapi:
 Robekan konjungtiva scbaiknya dijahit untuk mempercepat penyembuhannya
 Antibiotik topikal profilaksis untuk laserasi yang kecil
 Pembedahan untuk laserasi yang besar
c. Kornea
1) Edema kornea
2) Erosi kornea (abrasi kornea)
3) Erosi rekuren
1) Edema kornea
 Trauma tumpul yang keras atau cepat
mengenai mata dapat mengakibatkan edema
kornea bahkan sampai ruptur membran
Descemet.
 Gambaran klinis :
 Gejala : penglihatan kabur dan terlihat pelangi
sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang
dilihat, rasa mengganjal di mata, fotofobia atau
nyeri pada mata.
 Tanda : Pembengkakan pada jaringan mata,
trauma tumpul yang ringan menyebabkan
rusaknya epitel dan trauma tumpul yang berat
mengakibatkan kerusakan endotel, membran
Descemet dengan edema kormea yang hebat
atau laserasi.
 Terapi:
 Antibiotik topikal profilaksis
 Steroid topikal
 Salep atau obat tetes salin hipertonis atau NaCl 5% untuk meredakan
edema kornea
 Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka akan diberikan
asetazolamida.
 Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam
penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin akibat
kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea.

 Penyulit
Terjadi kerusakan membran Descemet yang lama sehingga
mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan
rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat
astigmatisme ireguler.
2) Erosi kornea (abrasi kornea)
 Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel komea
yang dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea.
 Etiologi:
 Trauma (penyebab utama)
 Garukan kuku (manusia dan binatang)
 Benda asing (serbuk kayu, serpihan besi, tanaman)
 Paparan berlebih sinar ultraviolet
 Pemakaian lensa kontak yang berlebihan
 Potongan kertas
 Bahan kimia
 Kondisi mata seperti ketidakmampuan palpebra menutup sempurna,
kondisi mata yang sangat kering, blepharitis kronis.
 Gejala : abrasi kornea sulit dilihat dengan
mata telanjang, gejala berupa adanya riwayat
trauma, mata berair, lakrimasi, sensitif
terhadap cahaya (terutama cahaya terang),
pandangan kabur, blefarospasme,
kemerahan pada mata.
 Tanda: pada pewarnaan fluorescen tampak
adanya defek pada epitel yang berwarna
hijau.
 Pemeriksaan:
 Langkah pertama lakukan inspeksi pada seluruh
wajah yang mengalami kerusakan.
 Lampu senter dapat membantu untuk mendeteksi
refleks cahaya kornea yang irregular dapat
mengindikasikan adanya abrasi
 Pemeriksaan slit-lamp akan terlihat epitel yang
terkikis dengan membran Descement dan Bowman’s
yang masih intak. Akan terlihat jaringan epitel yang
hilang
 Pewarnaan dengan fluorescen yang akan tampak
epitel yang terkikis
 Terapi:
 Debridemen jaringan epitel yang hilang
 Antibiotik topikal (salep atau tetes) untuk
mencegah infeksi bakteri
 Agen Cycloplegic diberikan jika ada fotofobia atau
trauma iris seperti tropikamida.
 Untuk penggunaan lensa kontak, antibiotik yang
digunakan sebaiknya anti-pseudomonal
 Mata ditutup dengan perban
3) Erosi rekuren
 Walaupun banyak abrasi kornea dapat sembuh
tanpa sisa, erosi rekuren terjadi 7-8 % dari trauma
mata yang berasal dari perlekatan abnormal
formasi kompleks di defek dasar dari epitel.
 Etiologi:
▪ Kuku jari
▪ Potongan kertas
▪ Bahan makanan
 Terapi:

 Terapi bertujuan untuk menstabilkan dan menyatukan


epitel sampai komplek dapat terbentuk kembali dan
hemidesmosomal serabut diperpanjang ke membrane
Descemet untuk melindungi epitel yang kuat pada
tempatnya.
 Langkah pertama adalah agen topical hiperosmotik (salep
NaCl 5%) yang dipakai malam hari selama 8 minggu.
 Menggunakan extended—wear bandage contact lens
yang di ganti tiap 2 minggu minimal selama 6-8 minggu.
 Pembedahan
 Debridemen
 Mictopuncture stroma, bertujuan menguatkan epitel
Recurrent erosion

Topical hyper osmotic


lubricants 5% NaCL
ointment
(use nightly for 8 weeks)

Bandage soft contact


lens

Epithelial debridement Stromal micropuncture

Excimer laser
superficial keratectomy
d. Uvea
1) Iridoplegia
2) lridodialisis
3) Hifema

Gambar Hifema
1) Iridoplegia
 lridoplegia merupakan paralisis otot sphincter iris dengan
berkurangnya kemampuan kontraksi atau dilatasi dari
pupil. Disebut juga iridoparalisis.
 Manifestasi klinis:
 Kelumpuhan otot sphincter pupil menyebabkan pupil menjadi
lebar atau midriasis.
 Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi
 Silau akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil
 Pupil menjadi tidak sama besar atau anisokor,
 Bentuk pupil menjadi ireguler
 Pupil tidak bereaksi terhadap sinar
 Terapi:
 lridoplegia akibat trauma akan berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu.
 Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi
istirahat untuk mencegah terjadinya kelelahan
sphincter dan pemberian roboransia.
2) lridodialisis
 Iridodialisis dikenal sebagai coredialisis adalah pemisahan
secara lokal pada iris dari tempat perlekatannya dcngan
badan siliaris.
 Etiologi:
 Trauma tumpul
 Trauma tembus
 Komplikasi iatrogenik pada pembedahan intraokular
 Ekstraksi katarak intrakapsular
 Tinju
 Kembang api
 Balon air
 Bola
 Gejala dan tanda:
 Gejala:
▪ Minimal pada iridodialisis yang kecil
▪ Iridodialisis yang besar, pasien mengalami diplopia, glare dan
fotofobia
 Tanda:
▪ Biasanya disertai adanya hifema dan pupil yang ireguler
▪ Single atau multipe
▪ Kerusakan trabekula dan sinekia anterior perifer dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intraokular

 Komplikasi: Glaukoma
3) Hifema
 Hifema adalah terkumpulnya darah di dalam bilik mata
depan dapat disebabkan karena trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
 Gambaran klinis:
 Peningkatan tekanan intraokular karena tersumbatnya
trabekula oleh bekuan darah
 Jarang terjadi hambatan pupil pada hifema yang berat
menyebabkan glaukoma akut
 Pasien mengeluh sakit
 Epifora
 Blefarospasme
 Penglihatan pasien menurun
 Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis
 Terapi:
 Pasien yang jelas memperlihatkan hifema yang mengisi Iebih
dari 5% kamera anterior diharuskan tirah baring dan harus
diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit
selama 5 hari.
 Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya
perdarahan sekunder, glaukoma dan bercak darah di kornea
akibat pigmen besi.
 Hifema harus di evakuasi secara bedah apabila tekanan
intraokular tetap tinggi untuk menghindari kerusakan saraf
optikus dan pewarnaan kornea.
 Pasien tidur ditempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada
kepala, diberi koagulasi dan mata ditutup.
 Pada anak yang gelisah diberi obat penenang. Asetazolamida
diberikan bila terjadi penyulit glaukoma.
e. Lensa
1) Dislokasi lensa
2) Subluksasi lensa
3) Luksasi lensa anterior
4) Luksasi lensa posterior
5) Katarak trauma
Gambar Katarak Trauma
1) Dislokasi lensa
 Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan
dislokasi lensa.
 Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula Zinn
yang akan mengakibatkan kedudukan lensa
terganggu.
2) Subluksasi lensa
 Subluksasi lensa terjadi akibat terputusnya scbagian zonula Zinn
sehingga lensa berpindah tempat.
 Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita
kelainan pada zonula Zinn yang rapuh (sindrom Marphan).
 Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang.
 Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa
iridodonesis.
 Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis
akan menjadi cembung, dan mata akan menjadi miopik.
 Lensa yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke depan
sehingga sudut bilik mata tertutup.
 Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi
glaukoma sekunder.
3) Luksasi lensa anterior
 Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka
lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan.
 Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi
gangguan pengaliran cairan bilik mata sehingga akan timbul
glaukoma kongestif akut dengan gejala—gejalanya.
 Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa
sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme.
 Terdapat injeksi siliar yang berta, edema kornea, lensa di dalam bilik
mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar.
Tekanan bola mata sangat tinggi.
 Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien secepatnya dikirim pada
dokter mata untuk dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu
diberikan asetazolamida untuk menurunkan tekanan bola matanya.
4) Luksasi lensa posterior
 Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa
posterior akibat terputusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator
lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di
dataran bawah polus posterior fundus okuli.
 Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya
akibat lensa mengganggu kampus.
 Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia.
 Pasien akan melihat normal. dengan lensa + 12.0 dioptri untuk jauh,
bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama
berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat
degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis
fakotoksik.
 Bila luksasi lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya
dilakukan ekstraksi lensa.
5) Katarak trauma
 Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi
atau pun tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun.
 Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior
ataupun posterior.
 Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat
pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut
cincin Vossius.
 Etiologi:
▪ Merupakan komplikasi yang sering dari trauma non-perforasi dan
perforasi bola mata.
▪ Karena instrumentasi pembedahan
▪ Benda asing
▪ Tabung filtrasi intraokular
 Manifestasi klinis:
▪ Bentuk katarak setelah trauma non-perforasi seperti kontusio
atau konkusio dapat menyebabkan kerusakan kapsul lensa
▪ Bentuk katarak makin progresif atau mendadak matur
▪ Perubahan awal dari lensa tidak mudah di nilai
▪ Cincin Vossius dapat terlihat pigmen iris sirkular pada
permukaan kapsul lensa anterior
▪ Opasifikasi dapat terjadi pada beberapa struktur lensa yang
berlainan, perubahan subepitel atau dalamnya korteks
dengan bentuk seperti bunga (flower-shape).
▪ Trauma dapat menyebabkan opasitas subkapsular anterior
atau posterior
 Terapi:
▪ Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat
terjadinya.
▪ Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan
kemungkinan terjadinya ambliopia.
▪ Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lensa
intraokular primer atau sekunder.
▪ Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka
dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang.
▪ Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain
sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa.
▪ Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada usia tua.
f. Retina
Edema Berlin merupakan
edema retina dan macular pada
pool posterior dan globe (lokasi
kontracoup), yang dapat juga
terjadi perdarahan. Gejala yang
ditemukan yaitu penurunan
visus. Hal yang dilakukan
adalah lihat dan tunggu hingga
pembengkakan menurun.
g. Choroid
 Ruptur choroid merupakan
lepasnya kresentik konsentrik
koroid sekitar pupil.
 Penurunan visus dapat terjadi
jika lepas hingga ke macula.
 Tidak ada terapi yang dapat
dilakukan, hanya lihat dan
menunggu sampai
pembentukan jaringan parut
terjadi.
h. Saraf Optik
 Avulsi dari saraf optic dapat menyebabkan kebutaan
yang tiba—tiba. Tidak ada terapi yang
memungkinkan.
 Jejas dari saraf optic dapat berupa: hematom dari
selubung saraf optic, kontusio saraf optic, dan fractur
kanal nervus optic.
 Hal ini dapat menyebabkan atropi saraf optic disertai
kehilangan penglihatan dan defek lapang pandang.
 Jika hal ini terjadi, tidak ada terapi yang dapat
dilakukan.
 Dapat disebabkan oleh alat yang tajam
seperti pisau, gunting, atau benda-benda
yang memiliki kekuatan yang dapat
menembus bagian-bagian mata seperti
peluru, batu dan sebagainya.
Terdiri dari 2 macam yaitu:
1. Trauma tembus yang menimbulkan laserasi
dengan atau tanpa disertai prolaps bagian
intra ocular.
Dibagi dalam 4 keadaan darurat yaitu :
 Trauma baru
 Trauma disertai infeksi
 lridosiklitis post trauma
 Symphatetik ophtalmitis
2. Benda yang menembus tertinggal dalam bola mata,
atau setelah menembus, benda asing tersebut tinggal
dalam jaringan diluar bola mata.
Tanda-tanda :
 Tajam penglihatan menurun
 Tekanan bola mata rendah
 Kedalaman kamera okuli anterior menjadi dangkal
 Bentuk dan letak pupil berubah
 Ruptur kornea dan sclera
 Terdapat jaringan prolaps seperti uvea, iris, lensa, badan
kaca dan retina.
 Konjungtiva kemotis.
 Epidemiologi :
Insidensi trauma perforasi bervariasi antara
7 – 31 %. Rasio trauma perforasi diantara
seluruh trauma yang serius yaitu 3 %, dan
diantara trauma bola mata terbuka yaitu 5 %.
 Patofisiologi :
 Trauma perforasi biasa disebabkan oleh :
Proyektil/ senjata dengan kecepatan tinggi
Benda tajam (pisau, jarum, gelas pecah)
 Kebanyakan proyektil adalah tumpul, tapi
beberapa penelitian menyatakan prognosis lebih
buruk hubungannya dengan trauma proyektil.
 Klasifikasi
1) Laserasi konjungtiva
2) Laserasi Palpebra
3) Laserasi kornea
4) Laserasi pada sclera
5) Laserasi pada lensa
1) Laserasi konjungtiva
 Laserasi bulbar konjungtiva biasanya berhubungan dengan
benda asing intraokular atau perforasi sclera sebelumnya, maka
ruptur bola mata harus disingkirkan.
 Laserasi konjungtiva terlihat sebagai defek konjungtival,
mengenai kapsula Tenon atau lemak orbita.
 Pemeriksaan Slit lamp dapat mendiferensiasikan laserasi
superficial dan profunda.
 Trauma yang merobek konjungtiva, jika <1 cm maka tidak perlu
dilakukan penjahitan dan dapat menyembuh secara cepat, jika
> 1 cm diperlukan penjahitan oleh ophthalmologist dengan
menggunakan benang absorbable 6-0 hingga 8-0 untuk
mencegah granuloma.
 Perhatikan adanya robekan sclera yang menyertai atau tidak.
 Conjungtival flap dilakukan dengan jarum non traumatic
korneoskleral needle, jahitan tidak boleh melebihi 2/3 tebal
kornea agar tidak terjadi epithelial ingrowth dan juga
pengikatan tidak boleh terlalu keras agar tidak nekrosis
jaringan.
 Konjungtival flap tergantung dari letaknya, yaitu central pedicle
flap terdiri atas bridge flap dan bridge pedicle flap.
 Operasi dilakukan di bawah anestesi regional/anestesi
retrobulbar, untuk anak-anak dibawah anestesi umum dengan
injeksi pentothal/ketalar.
 Dalam pengerjaan, diusahakan jangan sampai terjadi synechia
anterior untuk menghindarkan dari komplikasi glaukoma.
 Setelah luka dijahit, diberi sulfas atropine, salep antibiotika,
istirahat tiduran, serta dapat diberikan injeksi antibiotika
subkonjungtiva seperti garamisin.
2) Laserasi Palpebra
 Perlu diperhatikan ada tidaknya trauma penetrasi bola mata atau
benda asing.
 Penjahitan laserasi palbebra horizontal atau obliq dapat dilakukan
di emergensi dengan menggunakan benang nilon, silk, vikril atau
prolene nomor 6-0 atau 7-O. Jahitan perlu dilepas dalam 3-5 hari.
 Laserasi yang perlu dirujuk segera ke ophthalmologist yaitu
kerusakan di margin lipatan, system kanalikular, tendon levator
atau canthal, kehilangan jaringan, atau laserasi sekitar septa
orbital.
 Laserasi sekitar septa orbital perlu dicurigai jika lemak orbital
menonjol pada luka.
 Perlu pula di cek status tetanus, serta jahitan ditutup dengan
verband steril.
3) Laserasi kornea
 Perforasi kornea memiliki tanda— tanda yaitu hilangnya kedalaman
bilik anterior, perdarahan di bilik anterior, dan pupil berbentuk
teardrop dikarenakan prolaps iris yang muncul dari laserasi kornea.
 Laserasi kornea kecil mungkin sulit untuk didiagnosa.
 Jika menyangka suatu laserasi kornea, maka perlu diperiksa seluruh
kornea dan jangan terlalu menekan bola mata.
 Laserasi kornea paling sering terjadi di bagian inferior bola mata
dikarenakan fenomena Bell, reflex rotasi ke atas dari bola mata
selama mengedip sebagai respon terhadap penetrasi benda asing.
 Humor aqueus yang tumpah dari luka dapat dikonfirmasi dengan tes
Seidel dengan cara mengaplikasikan fluorescin yang dicelupkan di
area yang dicurigai, dan terlihat aliran berwama kuning pada
pemeriksaan slit lamp.
 Sejak pertama kali laserasi dicurigai, penutup pelindung harus
diberikan untuk melindungi mata, serta antibiotic profilaksis mesti
diberikan.
 Jika laserasinya full-thickness maka harus dirujuk ke ophthalmologist.
 Laserasi yang parsial-thickness yang tidak meluas dapat ditangani
dengan sikloplegik, antibiotik topikal, dan tempelan penekan.
 Pada trauma baru, laserasi kornea terdiri atas vulnus scissum (linier)
dan vulnus laceratum.
 Pinggiran Iuka segera membengkak dan keruh oleh karena imbibisi
daripada cairan sehingga apabila tidak terlalu besar akan
memudahkan penutupan luka dan perbaikan dari Camera okuli
anterior.
 Luka kecil akan menyembuh secara baik dan meninggalkan macula
atau leukoma dan kemudian dapat menimbulkan astigmatism yang
irregular dalam reorganisasi.
 Tindakan :
 Pencucian luka dengan NaCL fisiologis
 Pemberian sulfas atropine dan salep
antibiotika dan verband
 Luka Iebar dapat menyebabkan terjadinya
adhesi iris atau iris prolaps. Tidak boleh
mereposisi iris walau memungkinkan
sebab bahaya kontaminasi kuman. Bagian
prolaps dibuang/eksisi.
4) Laserasi pada sclera
 Laserasi pada sclera sulit ditemukan jika terletak
jauh dari kornea, serta jika ada kerusakan-
kerusakan lain seperti di palpebra, konjungtiva.
 Jika terjadi perforasi, selalu terjadi penurunan
tekanan intraocular.
 Tidak sulit apabila ditemukan isi bola mata seperti
jaringan uvea misalnya iris, badan siliar atau
choroid yang mudah dikenal oleh pigmen.
 Bila vitreus keluar, nampak cairan seperti gelatin.
 Tindakan:
Jika trauma hebat, dan tidak memungkinkan perbaikan
dan visus sangat berkurang, sebaiknya dilakukan
eviscerasi.
Konjungtiva dapat dijahit setelah dibersihkan untuk
menutupi luka (flap).
Kemudian diberikan sulfas atrofin, salep antibiotika, dan
verband, kedua mata ditutup sehingga mata dapat
istirahat total, penderita juga harus tiduran.
5) Laserasi pada lensa
 Laserasi pada lensa akan selalu menyebabkan katarak
traumatika.
 Luka kecil seperti tusukan jarum akan menyebabkan
meresapnya cairan pada lensa sehingga nampak suatu
kekeruhan (opacity), di sekitar tempat itu berbentuk garis-garis
seperti bulu (Rosette shaped cataract).
 Luka pada kapsul menutup apabila terjadi synechia posterior
sehingga dapat tetap stationer, tapi lebih sering progressive
sehingga katarak jadi komplit.
 Bila luka besar, tampak opacity lebih cepat dan nasal lensa yang
berwarna keabu-abuan menonjol keluar melalui robekan kapsul
lensa , bahkan masa dan nucleus dapat masuk ke camera okuli
anterior, berupa gumpalan-gumpalan putih.
 Masa lensa ini akan terlarut dalam akueus pada
penderita-penderita muda sehingga dapat bersih
sama sekali kecuali bagian kapsul lensa.
 Jika usia 30-35 tahun, nucleus tidak akan terlarut,
sehingga katarak traumatika dapat berkomplikasi
menjadi glaukoma oleh karena pembengkakan lensa
akan lebih cepat dan lebih besar pada usia-usia ini.
 Tindakan;
▪ Katarak traumatika tanpa glaukoma sekunder diberikan
atrotin 1% 3-4 kali/hari, salep antibiotika, verband dan
istirahat total.
▪ Pupil diusahakan tetap dilatasi untuk mencegah synechia.
▪ Kortikosteroid untuk mengontrol reaksi-reaksi peradangan.
 Terapi trauma tajam secara umum:
▪ Tindakan pertama jika terdapat tanda-tanda trauma
penetrasi yaitu pemberian antibiotika topical, mata
ditutup dan segera dikirim ke dokter mata untuk
dilakukan pembedahan.
▪ Namun tidak boleh diberikan salep, karena dapat
menjadi benda asing jika masuk melalui luka, serta tidak
boleh diberikan steroid lokal dan bebat yang diberikan
tidak boleh menekan bola mata.
▪ Untuk memastikan adanya benda asing dibuat foto.
▪ Terapi diberikan antibiotika sistemik atau intravena,
pasien dipuasakan untuk tindakan pembedahan.
 Terapi Operatif: Vitrektomi
▪ Fungsi vitrektomi adalah untuk memindahkan:
a. Bekuan hipema
b. Trauma lensa
c. Perdarahan vitreus
d. IOFB (intra ocular foreign body)
▪ Waktu untuk dilakukannya vitrektomi memiliki
kontroversi bagi trauma perforasi okuler, diantaranya 3
alternatif :
o Dini (dalam 2 hari)
o Delayed (7-14 hari)
o Lambat (setelah 30 hari).
 Trauma ocular perferate merupakan
bentuk tidak biasa namun biasanya
bentuk yang berat untuk trauma
bola mata terbuka.
 Biasanya disebabkan oleh proyektil
bcrkecepatan tinggi yang biasanya
disebabkan kerusakan incidental.
 Perbaikan dengan operasi tidak
hanya sebagai pencegah kerusakan
inisial melainkan untuk mencegah
pula perkembangan PVR.
a. Benda asing pada Kornea dan Konjungtiva
 Etiologi udara atau benda logam
 Gejala: Pasien merasakan adanya benda asing setiap
mengedipkan mata, diikuti dengan epifora (mata berair) dan
blepharospasme., timbul injeksi konjungtival/ siliar.
 Diagnosis : Benda asing yang kecil hanya dapat terlihat dengan
magnifikasi lup. Terlihat sebagai infiltrasi atau cincin karat .
 Terapi: Benda asing diangkat dengan jarum atau kanula.
Setelah benda asing diangkat secara hati-hati, kemudian
diterapi dengan antibiotik oles mata dan diperban jika perlu.
 Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan dengan CT (bukan
dengan MRI) atau ultrasound, untuk membedakan superficial
dan profunda, intraocular dan transorbital.
b. Trauma Kimia
 Etiologi :berbagai macam bahan atau zat seperti
asam, basa, detergen, perekat, dan iritan seperti gas
air mata.
 Gejala :
▪ Epifora
▪ Blepharospasme
▪ Nyeri hebat yang merupakan gejala primer
▪ Asam biasanya menyebabkan kehilangan ketajamam
penglihatan dengan cepat karena nekrosis superficial
▪ Pada luka karena basa kehilangan ketajaman penglihatan
sering manisfestasi sendiri setelah beberapa hari kemudian.
 Terapi :

1). Pertolongan pertama ( oleh keluarga atau orang


terdekat)
 Mengendalikan blepharospasme dengan cara menahan
kelopak mata agar membuka
 Irigasi mata menggunakan air ledeng, air mineral,
minuman tanpa alkohol, kopi, teh, atau cairan serupa, dan
secara hati— hati hilangkan partikel kasar dari kantung
konjungtiva
 Memberitahu regu penolong
 Membawa pasien ke dokter mata atau klinik mata
terdekat.
2). Pertolongan di dokter mata atau klinik
 Pergunakan obat analgetik topical tertentu untuk
menghilangkan rasa sakit dan menetralkan
blepharospasme
 Bersihkan dengan hati-hati sisa partikel kecil pada
badian superior dan inferior konjungtiva
 Membilas mata dengan larutan buffer
 Memulai terapi sistemik jika ada indikasi
3). Terapi tambahan di bangsal klinik mata dengan luka yang parah :
 Melanjutkan irigasi
 Memulai terapi kortikosteroid topical ( tetes mata dexametason 0,1 % , dan
tetes mata prednisone 1%).
 Penggunaan kortikosteroid subkonjungtiva
 Imobilisasi pupil dengan tetes mata sulfas atrotin l % atau tetes mata
scopolamine 0,25% 2 kali sehari.
 Menggunakan agen anti infalamasi ( (indometasin atau diklofenac 100 mg)
atau 50-200 mg prednisolon sistemik.
 Vitamin C oral dan topical untuk menetralisir radikal sitotoksik
 Acetazolamide 500 mg oral untuk mengurangi tekanan intraokuler sebagai
protilaksis terjadinya glukoma sekunder
 Asam hialuronat untuk meningkatkan reepitelisaasi & stabilisasi barier
fisiologi
 Tetes mata antibiotic
 Debridemen konjungtiva nekrotik dan jaringan kornea dan huat insisi radial
pada konjungtiva (Passow’s) untuk drainase oedem subkonjungtival.
4). Terapi operatif jika penyembuhan luka lambat
atau luka kimiawi yang berat
 Transplatansi konjungtiva dan limbal
 Tenon’s capsuloplasty dapat membantu mengurangi
defek konjungtiva dan sclera
5). Terapi operatif setelah stabil
 Melisiskan simblefaron untuk memperbaiki motilitas
bola mata dan kelopak mata
 Bedah plastik kelopak mata
 Penetrasi keratoplasti dapat memperbaiki
penglihatan
Gambar Lime Burn of Cornea

Gbr. Trauma Alkali Berat


Gambar Irigasi Mata
 Prognosis dan Komplikasi
▪ Iskemia konjungtiva dan pembuluh limbal indikator
keparahan luka dan prognonis untuk penyembuhan.
▪ Bentuk paling berat pada trauma kimiawi adalah adanya
"cooked fish ey” yang mana prognosis sangat buruk,
kemungkinan jadi buta.
▪ Trauma kimiawi sedang berat termasuk konjungtiva
palpebra dan bulbar dapat menghasilkan symblepharon
(adesi antara konjungtiva palpebra dan bulbar).
▪ Reaksi inflamatori pada ruang anterior dapat menjadi
glukoma sekunder.
c. Trauma Radiasi Elektromagnetik
1) Trauma Sinar Ultraviolet (Keratokonjungtivitis)
2) Trauma Radiasi (radiasi ionisasi)
3) Trauma Sinar Inframerah
1) Trauma Sinar Ultraviolet (Keratokonjungtivitis)
 Etiologi
▪ terpapar sinar matahari dengan mata terbuka tanpa
perlindungan mata yang sesuai
▪ pajanan bunga api las tanpa perlindungan
▪ pajanan pantulan cahaya dari salju tanpa kaca mata
pelindung.
 Gejala dan Diagnostik
▪ Gejala tipikal setelah periode 6 sampai 8 jam.
▪ Hal ini menyebabkan pasien pergi atau mencari dokter mata atau klinik
mata pada tengah malam, mengeluh tiba-tiba buta disertai dengan
nyeri, fotopobia ,epifora, dan sensitive terhadap benda asing.
▪ Sering terdapat blepharospasme.
▪ Pemeriksaan slit lamp akan membutuhkan anastesi topical.

 Terapi
Pasien yang buta harus diberi tahu bahwa gejala akan membaik
di bawah terapi salep antibiotik dalam 24-48 jam. Salep dipakai
pada kedua mata setiap 2-3 jam dan pasien akan istirahat dalam
ruangan gelap. Pasien harus diheritahukan bahwa sebaiknya
tidak sering menggerakan bola mata.
2) Trauma Radiasi (radiasi ionisasi)
 Etiologi
▪ Ionisasi (neutron, gamma/xray) mempunyai energi tinggi
yang dapat menyebabkan ionisasi dan pembentukan radikal
dalam jaringan seluler. Kedalaman penetrasi radiasi
tergantung panjang gelombang .
▪ Beberapa trauma menyebabkan kerusakan jaringan.
▪ Kerusakan jaringan ini selalu menimbulkan manisfestasi
setelah periode laten sering setelan periode tahun.
▪ Tempat umum kerusakan jaringan termasuk lensa (katarak
radiasi) dan retina (retinopati radiasi).
▪ Kerusakan jaringan ini biasanya irradiasi tumor pada mata
atau nasopharing.
 Gejala dan Gambaran Klinik:
▪ Kehilangan pigmentasi kelopak mata disertai blepharitis merupakan
gejala tipikal.
▪ Mata kering menunjukan kerusakan konjungtiva. K
▪ ehilangan ketajaman penglihatan disebabkan radiasi katarak biasanya
diobservasi dalam 1-2 tahun. Retinopati radiasi dalam bentuk iskemik
retinopati dengan perdarahan, cotton wool spots, okllusi vascular, dan
neovaskularisasi retinal biasanya terjadi dalam beberapa bulan
irradiasi.

 Terapi dan Pencegahan:


▪ Harus menjaga dan menutup mata sebelum terapi radiasi kepala dan
leher.
▪ Radiasi katarak dapat diterapi dengan operasi.
▪ Radiasi retinopati dapat diterapi dengan panretina photocoagulation
dengan laser.
3) Trauma Sinar Inframerah
 Akibat sinar infra merah dapat terjadi pada saat menatap gerhana
matahari dan pada saat bekerja di pemanggangan.
 Kerusakan ini dapat terjadi akibat terkonsentrasinya sinar infra merah.
 Absopsi sinar infra merah oleh lensa akan mengakibatkan katarak dan
ekfoliasi kapsula lensa.
 Akibat sinar ini pada lensa lensa maka katarak mudah terjadi pada
pekerja industri gelas dan pemanggangan logam.
 Sinar infra merah akan mengakibatkan keratitis supertisisalis, katarak
kortikal antero-posterior dan koagulasi pada koroid.
 Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang sudah terjadi
kecuali mencegah terkenanya mata oleh sinar infra merah ini.
 Steroid sistemik dan local diberikan untuk mencegah terbentuknya
jaringan parut pada macula atau untuk mengurangi gejala radang
timbul.
d. Glukoma Sekunder Post Trauma
 Trauma ocular biasanya dapat menyebabkan
glukoma.
 Luka umumnya disebabkan oleh peningkatan
tekanan intra okuler pada pasien yang muda.
 Pada salah satu penelitian, trauma menyebabkan
glaukoma sebesar 36 % pasien dengan usia di bawah
30 tahun, dan 1,3 % di atas usia 30 tahun.
 Trauma dapat mengakibatkan kelainan jaringan dan
susunan jaringan dalam mata yang dapat
mengganggu pengaliran cairan mata sehingga
menimbulkan glaukoma sekunder.
 Jenis kelainan yang dapat menimbulkan glaucoma.

a. Glaukoma Kontusi Sudut


 Trauma dapat mengakibatkan tergesernya pangkal iris ke belakang
sehingga terjadi robekan truberkulum dan ini akan menyebabkan
hambatan pengeluaran cairan mata.
 Pengobatan biasanya dilakukan seperti mengobati glaukoma sudut
terbuka yaitu dengan obat local dan sistemik.
 Bila terkontrol dengan pengobatan maka dilakukan pembedahan.

b. Glaukoma dengan Dislokasi Lensa


 Akibat trauma tumpul dapat terjadi putusnya zonula Zinn, yang akan
menyebabkan kedudukan lensa tidak normal dan akan mendorong iris ke
depan sehingga terjadi penutupan sudut bilik mata.
 Penutupan sudut bilik mata akan akan menghambat pengaliran keluar
cairan mata yang akan menimbulkan glaukoma sekunder.
 Pengobatan dilakukan dengan mengangkat penyebab atau lensa
sehingga sudut terbuka kembali.
1. Cedera pada Pekerjaan
 Para pekerja harus dilatih dengan benar dalam penggunaan alat-alat,
mesin dan bahan kimia.
 Pada semua mesin harus dipasang pengaman, dan pekerja harus
menggunakan kacamata pelindung apabila sedang melakukan pekerjaan
berbahaya atau pada lingkungan kerja.
 Pendidikan pada masyarakat sangatlah pentingbegitu pula dengan
penilaian dini dan oftalmologik yang cepat terhadap setiap cedera
 Pada kasus cedera bahan kimia, metoda terpenting membatasi cedera
yang terjadi adalah lavase segera dengan air steril, larutan garam
fisiologis, atau air kran dalam jumlah banyak selama paling kurang 5
menit.
 Cedera tembus atau benda asing di kornea yang tidak diobati sangat
meningkatkan morbiditas jangka panjang.
 Dalam mengidentifikasi kemugkinan cedera tembus, anamnesis yang
cermat sangat menentukan.
2. Cedera bukan pekerja
 Penurunan mencolok insidensi kerusakan mata dan wajah yang parah
akibat cedera kaca mobil karena adanya peraturan yang mengharuskan
penggunaan sabuk keselamatan.
 Berbagai olahraga tersohor dalam hal ini tingginya insiden cedera mata
berat misal cedera tumpul pada racquetball.
 Tersedianya kacamata plastik yang diperkuat dapat dipasang pada
kacamata refraktif apabila diperlukan.
 Karena kornea dan kristalina merupakan sawar efektif bagi transmisi
ultraviolet semakin tua sifat penyaring lensa kristalina semakin efektif
tidak mengherankan apabila terjadi degenerasi makula terkait usia pada
individu tidak terbukti berkaitan dengan pajanan ultraviolet sehingga
tidak dapat dicegah dengan pemakaian kacamata anti sinar matahari.
 Karena pajanan sinar ultraviolet berlangsung sejak lahir, maka anjuran
pemakaian teratur penyaring ultraviolet pada kacamata baca atau anti
sinar matahari sebagai tindakan pencegahan kecil kemungkinan dapat
bekerja.

Anda mungkin juga menyukai