Anda di halaman 1dari 8

SUCCES

STORY
Atina Maulina
Pendiri Vanilla Hijab

2
Atina Maulina pendiri Vanilla Hijab
⦁ Sejak masih sekolah Atina Maulina berpikir untuk berbisnis. Dia ingin
mandiri secara finansial dan tidak tergantung pada orang tuanya.
⦁ Atina memilih bisnis online karena dirasakan cocok dilakukan
mahasiswa sepertinya. ”Saya pilih hijab karena saya pikir tidak ribet,
tidak ada ukuran seperti baju atau sepatu,” jelas wanita 24 tahun ini.
⦁ Sebenarnya bungsu dari lima bersaudara ini bercita-cita menjadi
insinyur perminyakan. Mimpinya itu dimulai dengan kuliah di Institut
Teknologi Bandung (ITB). Tapi pada tahun keduanya kuliah, 2012,
Atina terkena Rheumatoid Arthritis (radang sendi). Penyakit yang
disebabkan sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melawan infeksi
justru menyerang sel normal persendian yang membuatnya sampai
harus duduk di kursi roda.
3
⦁ Khawatir dengan kondisi Atina, kedua orang tuanya pun
memintanya kembali ke Jakarta agar lebih mudah diawasi. Sempat
cuti dan berharap bisa melanjutkan kuliah, akhirnya dia harus
mengundurkan dari. Mimpinya sebagai insinyur perminyakan pun
pupus.
⦁ Atina pun harus berjuang melawan penyakitnya dengan biaya
berobat yang tidak sedikit. Setelah setahun berobat, kondisinya
mulai membaik. Dia lantas melanjutkan kuliah di Jakarta jurusan
manajemen keuangan dan sekampus dengan kakaknya, Intan
Kusuma Fauzia.
⦁ ”Saya nggak suka dari perminyakan dipindah ke manajemen. Seperti
cari pelarian, jadi jualan hijab,” ungkap Atina.

4
⦁ Saat memulai bisnisnya pada tahun 2013, Atina yang saat itu
belum berhijab banyak bertanya pada penjual hijab di pasar. Dia
mencari tahu semuanya dari nol, termasuk modal juga nol.
⦁ ”Saya berobat sudah banyak menghabiskan uang orang tua. Saya
tidak mau usaha yang mau saya jalankan ini mengeluarkan uang,
maunya dapat uang. Jadi saya pergi ke toko kain hanya foto-foto,
masukkan ke Instagram dan komentar di setiap akun instagram
orang, ’Sis, cek Instagram aku yuk, aku jualan hijab.’ Itu saya
lakukan sendiri setiap hari minimal di 100 Instagram orang, dalam
sebulan saya bisa dapat 3000-4000 followers” urai Atina.
⦁ Jika ada yang mau membeli, Atina baru membelikan kain untuk
dibuat hijab dari uang yang telah ditransfer konsumennya. Hal itu
terus dia lakukan selama dua bulan.

5
⦁ Blusukan Cari Tukang Jahit
⦁ Ketika uangnya sudah mulai terkumpul, Atina mulai berani stok hijab walau
jumlahnya belum banyak. Dia mencari foto di google dan dipasang di
Instagramnya. Walau sebenarnya ia juga belum tahu apakah foto hijab yang
dipasangnya itu ada di tempat ia biasa membeli hijab.
⦁ ”Dulu juga nggak tahu cara cari ongkos kirim. Lalu saya pura-pura jadi
pembeli di toko online lain dan bertanya, misalnya berapa ongkos kirim dari
Jakarta ke Balikpapan. Baru setelah itu saya jawab ke customer. Benar-benar
nggak tahu, jadi nekat aja saking pengin punya uang sendiri,” tutur Atina.
⦁ Atina mulai belajar mengenal bahan-bahan yang biasa digunakan untuk
membuat hijab. Dia pun menamakan bisnisnya Vanilla Hijab, terinspirasi
dari manisnya vanila.
⦁ ”Kami ingin produk kami membawa efek positif pada yang memakai. Jadi,
yang tadinya moodnya jelek, kalau pakai produk kami moodnya jadi bagus,
merasa nyaman dengan warnanya, modelnya, ceria, as sweet as vanila,” jelas
6
Atina.
⦁ Tahun pertama bisnisnya, Atina masih mengambil barang dari Thamrin City dan
Pasar Tanah Abang untuk ia jual di toko online-nya. Tahun kedua, dia mulai
menyadari banyak orang tertarik dengan hijabnya karena selalu ludes terjual.
⦁ ”Dulu awalnya hanya jual beberapa potong, lalu sampai habis 500 potong dan
mulai cari penjahit. Saya blusukan cari penjahit karena tidak punya kenalan
penjahit dan nggak tahu harus jahit di mana. Jadi saya dapat penjahit keliling
untuk bantu jahit hijab saya,” kenang Atina.
⦁ Tak sendiri, tukang jahit keliling itu lantas mengajak teman-temannya juga
untuk menjahit hijab Atina di tempat tinggal penjahit tersebut yang luasnya tidak
seberapa. Tukang jahit tersebut lantas menjadi kepala konveksi.
⦁ ”Akhirnya kami bina, kami belikan mesin jahit, mesin potong. Lalu kami
berkembang dan jahit yang lain, kami sewakan tempat, sekarang ada sekitar 50
penjahit,” urai Atina.

7
⦁ Wanita berperawakan mungil ini mengaku tidak bisa menjahit. Tapi ia belajar
dari tukang jahit keliling tersebut dan dari para pedagang hijab di pasar.
⦁ ”Saya ke mal beli hijab, saya bilang sama penjahit keliling itu kalau saya mau
jahitannya rapi seperti hijab yang saya beli itu. Jadi kami sama-sama belajar.
Begitu juga saat jual baju nggak tahu seperti apa menjahit baju. Jadi saya
beli baju lalu bongkar pengin lihat polanya seperti apa. Saya mengerti bikin
pola tapi dari belajar,” urai Atina.
⦁ Melihat bisnis sang adik mulai berkembang dan sering melihat adiknya
kelelahan, Intan kemudian turut membantunya. Apalagi Atina masih harus
menyelesaikan kuliahnya.
⦁ ”Saya bertekad harus bisa lulus seperti teman-teman saya di ITB, padahal
saya mulai dari awal lagi untuk kuliah yang di Jakarta. Jadi saya ambil kelas
pagi dan kelas malam untuk karyawan. Kadang saya mengikuti kelas yang
bentrok jadwalnya dan dalam satu semester bisa ambil 32 SKS karena tidak
mau ketinggalan. Tapi akhirnya dalam 2,5 tahun itu saya bisa lulus seperti
teman-teman saya di ITB,” ungkap Atina.
8

Anda mungkin juga menyukai