Anda di halaman 1dari 16

Aspek Hukum Ekonomi

Islam
Nama kelompok :
1. Dian Karimah Wildani
2. Didik Irawan
3. Emilia Rohmawati
4. Septina Dewi
HUKUM EKONOMI ISLAM
DALAM AL-QUR’AN,
Menurut kesimupulan Abdul Wahhab Khallaf,
paling sedikit ada 10 ayat hukum dalam al-
Qur’an yang berisikan norma-norma dasar
hukum ekonomi dan keuangan. (namun tidak
menunjukkan ayat-ayat tang mana saja.
Sedangkan, Mahmud Syauqi al-Fanjari dalam
konteks yang agak luas memprakirakan ayat-
ayat ekonomi dan keuangan dalam al-Qur’an
berjumlah 21 ayat yang secara langsung
terkait erat dengan soal-soal ekonomi.
al-Fanjari secara eksplisit menyebutkan
satu demi satu ke-21 ayat ekonomi yang
dimaksudkannya, yaitu: al-Baqarah (2):
188, 275 dan 279; An-Nisa (4): 5 dan 32;
Hud (11): 61 dan 116; Al-Isra’ (17): 27;
An-Nur (24): 33; Al-Jatsiyah (45): 13;
Adz-Dzariyat (51): 19; An-Najm (53): 31;
Al-Hadid (57): 7; Al-Hasyr (59): 7; Al-
Jumu`ah (62): 10; Al-Ma`arij (70): 24 dan
25; Al-Ma`un (107): 1-3.
Berikut kami ambi satu sampel dari
beberapa ayat yang di jabarkan oleh
al-fanjari
Pembahasan ayat al maun ayat 1-
3 dari sudut pandang ekonomi
Arti surat al-maun dari ayat 1-3 “tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?.
Itulah orang yang mengardik anak yatim,.
Dan tidak menganjurkan memberi makan
orang miskin.”
Dari terjemahan di atas dapat kami simpulkan.
Bahwa Allah sangat menekankan kita untuk salin tolong
menolong terhadap saudara kita yang membutuhkan
(sedekah).
Dari sini dapat kita lihat, efek samping dari sedekah :

1. membantu meringankan beban perekonomian.

2. membantu peredaran uang kepada masyarakat secara


merata.

3. terjadinya keseimbangan perekonomian.

4. mencegah terjadinya deflasi.


JANGKAUAN HUKUM
EKONOMI ISLAM
Seperti dapat difahami dari sisinya yang manapun,
ekonomi dan ilmu ekonomi termasuk ekonomi Islam
memiliki jangkauan atau ruang-lingkup yang sangat
luas.
Ekonomi Syariah, tidak semata-mata berhubungan
dengan ihwal bahan baku, produksi, distribusi,
pemasaran dan konsumsi seperti yang sering menjadi
pembahasan utama ilmu ekonomi, akan tetapi ekonomi
juga berhubungan dengan dunia kerja dan dunia usaha.
Demikian pula halnya dengan lembaga-lembaga
keuangan baik dalam bentuk bank maupun non bank.
JANGKAUAN HUKUM EKONOMI ISLAM DI
INDONESIA ?
Hukum ekonomi dan keuangan Islam di Indonesia
dewasa ini dapat dikatakan masih sangat terbatas.
Bukan semata-mata terbatas dalam bidang/jenis
ekonomi dan keuangan tertentu yang telah
diaturnya; melainkan juga sangat terbatas dalam
hierarki peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya.
Bagian terbesarnya, sama sekali belum tertuangkan
ke dalam legislasi, bahkan sebagai bagian dari ilmu
ekonomi sekalipun masih belum tersosialisasikan ke
tengah-tengah masyarakat luas.
Kedudukan Hukum Ekonomi Islam
di Indonesia

Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi


hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah
kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum
Islam secara umum dan keseluruhan.
Demikian pula dengan signifikansi fungsi/peran
hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan,
terutama dalam upaya menopang, melengkapi
dan mengisi kekosongan hukum ekonomi
sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum
Islam secara umum dan keseluruhan dalam
meopang, melengkapi dan atau mengisi
kekosongan hukum nasional.
Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata
hukum Indonesia, dewasa ini sesungguhnya
tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan
sejarah dan kependudukan (karena mayoritas
beragama Islam)
seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan
tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan
kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui
dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya
sistem ekonomi Syariah dalam mengawal
kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh
bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti dipaparkan
sebelum ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan
falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak
bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan
apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di
dalamnya antara lain termaktub kalimat: “… Dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera
dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV
Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional
dan kesejahteraan sosial Indonesia.
URGENSI KODIFIKASI HUKUM
EKONOMI SYARIAH
UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No
7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh
Presiden Republik Indonesia.
Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar
terhadap perundang-undangan yang mengatur harta
benda, bisnis dan perdagangan secara luas.
Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang –orang yang beragama Islam di bidang
ekonomi syariah.
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum
ekonomi di Indonesia.Selama ini, wewenang untuk menangani
perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah
diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa
dianggap sebagai hukum syari’ah. Dalam prakteknya, sebelum
amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak
bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut
mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan
terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang
hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di
tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga
konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi
dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang
berlaku adalah BW.
Urgensi Kodifikasi
Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah
menjadi wewenang absolut hakim pengadilan agama, maka
dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang
lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian
hukum dan para hakim memiliki rujukan standart dalam
menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syari’ah.
Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah
memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam
bidang ekonomi syariah kita belum memilikinya.
Hukum nasional yang bersumber dari KUH Perdata (BW),
kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah, maka
materi dan keputusan hukumnya dalam bentuk
yurusprudensi bisa ditaqrir atau diadopsi.
KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil
Perancis ini dalam pembuatannya mengambil pemikiran para
pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab Maliki,
sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kesamaan
prinsip-prinsip dalam KUH Perdata dengan ketentuan fikih
Muamalah tersebut, seperti hibah, wadi’ah dan lain-lain.
Matur suwun

Anda mungkin juga menyukai