Disusun oleh :
Dosen Pengampu :
1. Dr Helza Nova Lita S.H.,M.H
2. Frengki Hardian, SH., MKn., Ph.D
1.a Tujuan Ekonomi Syariah dikaitkan dengan tujuan hukum islam yang dilandaskan kepada
prinsip-pringsip islam (syariah).Tujuan ekonomi syariah secara umum adalah tercapainya
kebahagiaan dan kesejahteraan bagi semua orang. Selain yang utama, berikut tujuan
ekonomi syariah lainnya: - Memposisikan ibadah kepada Allah lebih dari segalanya,
Menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat, Mendapatkan kesuksesan perekonomian
yang diperintahkan Allah SWT, Menghindari kerusuhan dan kekacauan perekonomian
• Dalam hal ini tujuan Islam (maqasid al syar’i) pada dasarnya ingin mewujudkan
kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Beberapa pemikiran tokoh Islam dapat
dijabarkan dalam uraian sebagai berikut, menurut Dr. Muhammad Rawasi Qal’aji
dalam bukunya yang berjudul Mahabis Fil Iqtishad Al-Islamiyah menyatakan bahwa
tujuan ekonomi Islam pada dasarnya dapat dijabarkan dalam 3 hal yaitu:
• Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Dalam Negara
Pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang bersifat fundamental sebab
dengan pertumbuhan ekonomi negara dapat melakukan pembangunan. Dalam ini
konsep pembangunan ekonomi yang ditawarkan oleh Islam adalah konsep
pembangunan yang Didasarkan pada landasan filosofis yang terdiri atas tauhid,
rububiyah, khilafah dan takziyah.
• Mewujudkan Sistem Distribusi Kekayaan Yang Adil
Dalam hal ini kehadiran ekonomi syariah bertujuan membangun mekanisme
distribusi kekayaan yang adil ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh karena
itu, Islam sangat melarang praktik penumbuhan (ikhtiar) dan monopoli sumber
daya alam di sekelompok masyarakat. Konsep distribusi kekayaan yang
ditawarkan oleh ekonomi Islam dengan cara menciptakan keseimbangan ekonomi
dalam masyarakat.
• Mewujudkan Kesejahteraan Manusia
Terpenuhinya kebutuhan pokok manusia dalam pandangan Islam sama pentingnya
dengan kesejahteraan manusia sebagai upaya peningkatan spiritual. Oleh sebab
itu, konsep kesejahteraan dalam Islam bukan hanya berorientasi pada
terpenuhinya kebutuhan material-duniawi melainkan juga berorientasi pada
terpenuhinya kesejahteraan spriritual-ukhrowi.
Sumber :
Tujuan Ekonomi Syariah, Karakteristik, dan Prinsipnya" selengkapnya
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5658487/tujuan-ekonomi-syariah-karakteristik-dan-
prinsipnya.
Muhammad Rawasi qal’aji, Mahabis Fil Iqtishad Al-Islamiyah, (Kairo: Matba’ah al-Istiqomah,
1939). Hlm.207
Amri Amir, Ekonomi Dan Keuangan Islam, (Jakarta:Pustaka Muda,2015), Hlm.75
1.b Prinsip-prinsip yang dilarang dalam Ekonomi Islam adalah tidak boleh adanya unsur :
• Riba
Islam melarang riba dengan segala bentuknya, karena bertentangan dengan prinsip
kemanusiaan, persaudaraan Dan kasih sayang. Bayak ayat dan hadis yang memberikan
gambaran tentang maksud, tujuan, dan hikmah Pengharaman riba dalam sistem ekonomi
Islam, antara lain: al-Baqarah/2: 275 dan 278; Ali ‘Imran/3: 130. Implementasi dari
prinsip muamalah bebas riba dalam sistem keuangan syariah menghendaki agar uang
tidak Dijadikan sebagai barang komoditas.
Riba merupakan salah satu rintangan yang sering kali menggiurkan banyak orang untuk
mendapatkan Keuntungan. Dalam Alquran kata riba digunakan dengan bermacam-macam
arti, seperti tumbuh, tambah, Menyuburkan, mengembangkan serta menjadi besar dan
banyak. Secara umum riba berarti bertambah baik Secara kualitatif maupun kuantitatif.
Contoh :
Menggunakan uang sebagai barang komoditas merupakan instrumen Penting dalam
praktek bisnis riba yang diharamkan dalam sistem keuangan syariah. Pengharaman
riba dapat dimaknai sebagai penghapusan praktek ekonomi yang menimbulkan
kezaliman atau Ketidak adilan. Jika Islam memerintahkan menegakkan keadilan, Islam
juga melarang kezaliman. Jika Keadilan harus di tegakkan maka implikasinya
kezaliman harus dihapus. Baik kezaliman yang merugikan diri Sendiri, orang lain,
maupun lingkungan, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.
• Maysir
Bahasa maisir semakna dengan qimar, artinya judi, yaitu segala bentuk perilaku
spekulatif atau untung-Untungan. Islam melarang segala bentuk perjudian. Pelarangan ini
karena judi dengan segala bentuknya Mengandung unsur spekulasi dan membawa pada
kemudaratan yang sangat besar. Perbuatan yang dilakukan Biasanya berbentuk permainan
atau perlombaan. Larangan terhadap judi dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Alquran
dan teks-teks hadi Nabi saw. Di antara ayat Alquran yang melarang praktek perjudian
adalah al- Baqarah/2: 219, al-Maidah/5:90.Di zaman kemajuan seperti sekarang ini, tidak
sedikit instrumen investasi yang ditawarkan investor yang Mengandung unsur-unsur judi,
misalnya, reksa dana.
Contoh :
Ekspektasi keuntungan dalam menjalankan aktivitas Ekonomi di sektor ini sangat
dominan mengandalkan sepkulasi. Di mana seseorang yang akan memutuskan
Membeli atau menjual saham tertentu biasanya didasarkan pada perkiraan atau
harapan bahwa saham tersebut Akan naik atau turun. Untuk memberi alternatif kepada
investor, yang ingin menghindari unsur maysir, yang Dilarang Islam, saat ini sudah
eksis Reksa Dana Syariah dengan karakteristik berbeda dengan Reksa Dana
Konvensional, meskipun banyak yang mensinyalir belum bebas total dari unsur
spekulasi, tatapi paling tidak Sahamnya tidak diinvestasikan pada objek-objek
terlarang (Andri Soemitra: 2014: 171-174).
• Gharar.
Secara bahasa garar berarti bahaya atau risiko. Dari kata garar juga terbentuk
katatagriryang berarti Memberi peluang terjadinya bahaya. Namun, menurut Wahbah
az-Zuhaili (1985: 435), makna asli garar Adalah sesuatu yang pada lahirnya menarik,
tetapi tercela secara terselubung. Sejalan dengan makna ini, Kehidupan di dunia
dinamai Alquran dengan fenomena yang penuh manipulasi. Dalam interaksi sosial
maupun Transaksi finansial garar bisa mengambil bentuk adanya unsur yang tidak
diketahui atau tersembunyi untuk Tujuan yang merugikan atau membahayakan pihak
lain (Ad-Dareer: 1997: 6).Bahkan secara lebih jelas, Hashim Kamali (2002:84)
menyebutnya dengan khid’ah, yang berarti penipuan.
Dalam istilah fiqh muamalah, garar dapat memiliki konotasi beragam. Meskipun
demikian, suatu hal yang Pasti dan secara sederhana disimpulkan bahwa garar adalah
terkait dengan adanya ketidakjelasan akan Sesuatu dalam melakukan transaksi. Islam
melarang jual beli atau transaksi yang mengandung garar. Larangan ini didasarkan pada
sejumlah dalil Alquran dan hadis. Dalam surat an-Nisa’ ayat 29 secara implisit
dijelaskan tentang keharaman transaksi Garar: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang Batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Batil dalam ayat di
atas kemudian dijelaskan oleh hadis Rasulullah saw. Dengan menegaskan sejumlah jual
Beli terlarang yang mengandung unsur garar.
Contoh :
Jual beli model al-hasah,al-mula-masah, Dan al-mu-nabazah, seperti ditegaskan
dalam riwayat berikut: “ Rasulullah saw melarang jual beli hashah (lempar batu)
dan jual beli garar”.
Sumber :
Dalam Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam Volume 1 nomor 1, Maret 2015
Sumber :
Undang – undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang –
undangan, pasal 7 ayat (1)
Mudzhar, Atho., Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum dan
Perundang-Undangan., Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI Tahun 2012.
b. Perbedaan Bunga pada ekonomi konvensional dan Bagi Hasil pada kegiatan ekonomi
syari’ah
Sumber :
Anggit Setiani Dayana. Perbedaan Bunga Bank Konvensional dan Bagi Hasil Bank
Syariah https://tirto.id/perbedaan-bunga-bank-konvensional-dan-bagi-hasil-bank-syariah-
etqm
3. Terdapat beberapa hal mengenai perbedaan antara Bank Syariah Dengan Bank Konvensional,
sebagai berikut:
• Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah terletak pada
landasan Falsafah yang dianutnya. Bank Syariah tidak melaksanakan sistem bunga
dalam seluruh Aktivitasnya sedangkan bank konvensional justru kebalikannya. Hal
inilah yang menjadi Perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang
dikembangkan oleh Bank Syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka
sistem yang dikembangkan Adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam
bentuk bagi hasil. Dengan Demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan
melalui Bank Syariah Diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba).
Riba secara sederhana Berarti sistem bunga berbunga yang dalam semua prosesnya
bisa mengakibatkan Membengkaknya kewajiban salah satu pihak. Riba, sangat
berpotensi untuk Mengakibatkan keuntungan besar di suatu pihak namun kerugian
besar di pihak lain, atau Malah ke dua-duanya.
• Kewajiban Mengelola Zakat, Infak dan Sedekah
Bank Syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar
Zakat, menghimpun, dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran
yang Melekat pada Bank Syariah untuk penggunaan dana-dana sosial (zakat, infak,
sedekah). Sebagaimana yang tercantum dalam UU No.21 Tahun 2008 Pasal 4 Ayat (2)
: Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga
baitul mal, Yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau
dana sosial dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
• Produk
Bank Syariah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi bekerja
sama Atas dasar kemitraan, seperti prinsip bagi hasil (mudhârabah ), prinsip
penyertaan modal (musyârakah), prinsip jual beli (murâbahah), dan prinsip sewa
(ijarah). Sedangkan pada Konvensional terdapat deposito, pinjaman uang tunai
berbunga.
Sumber :
Nanang Sobarna. Analisis Perbedaan Perbankan Syariah Dengan Perbankan
Konvensional. Volume 3
4. Syarat-syarat dalam rukun akad, adalah Rukun pertama, para pihak memerlukan syarat
hukum yaitu (1) tamyiz, dan (2) berbilang pihak. Rukun kedua, pernyataan kehendak para
pihak Membutuhkan syarat: (1) adanya persesuaian ijab dan kabul, atau kata sepakat, dan
(2) kesatuan majelis akad. Rukun ketiga, objek akad harus memenuhi tiga syarat: (1) objek
itu dapat Diserahkan, (2) tertentu atau dapat ditentukan, dan (3) objek itu dapat
ditransaksikan. Rukun keempat, tujuan akad memerlukan satu syarat yakni tidak
bertentangan dengan syara. Ali Hasan menyebut syarat objek akad: berbentuk harta, dimiliki
seseorang dan bernilai menurut syara.
Sumber :
Pramudya, K. (2018). Strategi Pengembangan Ekonomi Syariah Melalui Penguatan
Fungsi Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa. Jurnal Rechts Vinding: Media
Pembinaan Hukum Nasional, 7(1), 35-47.