Anda di halaman 1dari 11

Farmakogenemik dalam

Terapi Epilepsi
Oleh
Oleh
NURZAKIYAH
NURZAKIYAH
70100117004
70100117004
Farmasi
Farmasi B
B
Pokok materi

Polimorfisme pada Gen


01 Patofisiologi dan terapi epilepsi 03 Penyandi ABCB1 sebagai
transporter beberapa obat
antikonvulsan

02 Polimorfisme pada Gen


Penyandi CYP 2C9 sebagai
Polimorfisme pada Gen

enzim Pemetabolisme utama 04 Penyandi kanal Natrium


sebagai target obat
obat antikonvulsan antikonvulsan

05 Implikasi Klinis
PENDAHULUAN

Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan interval > 24
jam antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan
kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2007; Swaiman dan Ashwal,
2012).
Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat
transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada
satu atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau
gabungan keduanya.
Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan
luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar
dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar berlangsung singkat
(Panayiotopoulos, 2005).
01 Patofisiologi dan terapi epilepsi

Mekanisme bangkitan epilepsi terjadi karena adanya gangguan pada membran sel
neuron, membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel terhadap ion natrium dan
kalium. Membran neuron sangat permeabel terhadap ion kalium dan kurang permeabel
terhadap ion natrium sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan
konsentrasi ion natrium yang rendah didalam sel dalam keadaan normal (Henry, 2012).
Sifat permeabel membran sel dapat berubah sehingga terjadi perubahan kadar ion
dan perubahan potensial aksi. Perubahan potensial aksi pada membran sel tersebut akan
menjadi stimulus yang efektif pada membran sel dan menyebar sepanjang akson,
sehingga terjadilah kejang (Mantegazza dkk., 2010).
TERAPI
EPILEPSI
a. Fenitoin
Fenitoin berguna untuk kejang tonik-klonik, kejang parsial (Maria dan Drayton, 2009). Obat ini kurang baik
untuk pengobatan jangka panjang pada anak karena banyak efek samping dan adanya variasi yang besar dalam
absorbsi dan metabolisme yang mudah terganggu oleh antikonvulsan lain. Efek samping yang dapat ditimbulkan
adalah nistagmus, ataxia, letargis, bradikardi, hipotensi. Efek idiosinkrasi fenitoin adalah hyperplasia ginggiva,
jerawat, defisiensi asam folat, kemerahan (Maria dan Daryton, 2009). Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi adalah
memblok pergerakan ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion natrium yang tersisa maupun aliran ion
natrium yang mengalir selama penyebaran potensial aksi (Walker dkk., 2009). Dosis fenitoin adalah 5 – 7
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik (10 – 20 mikrogram/ml) dalam 7-10 hari (Conway
dan Henry, 2012).
b. Fenobarbital
Fenobarbital (asam 5,5 fenil etil barbiturat) merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial sederhana
kompleks dan kejang tonik-klonik umum (grand mal).. Efek sedasi serta kecenderungan menimbulkan gangguan
perilaku pada anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama (Harsono dkk., 2012). Aksi utama
fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan natrium dan kalium. Fenobarbital
menurunkan kadar kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA, aktivasi reseptor barbiturat akan
meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida (Solehiomran
dkk., 2010). Dosis awal penggunaan fenobarbital 4-6 mg/kg/hari dalam 2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik
dalam 2-3 minggu. Fenobarbital juga dapat menyebabkan peningkatan profil lipid dan sindrom Stevens-Johnson
(Nikolaos dkk., 2004).
c. Karbamazepin
Karbamazepin merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama
pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal natrium yang mengakibatkan
masuknya ion natrium kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi
terus-menerus pada neuron (Radeef dkk., 2013). Dosis pada anak dengan umur kurang dari 6 tahun 10-30 mg/kg/hari
dibagi dalam 2-3 dosis sehari, pemberian dimulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari dinaikkan setiap 5-7 hari sampai
mencapai target 15-20 mg/kg/hari (Maria dan Drayton, 2009). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan
karbamazepin adalah gangguan penglihatan, diplopia, pusing, lemah, mengantuk, mual dan akibat pemberian dalam
jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan peningkatan profil lipid, ganguan fungsi hati, leukopenia. Sindrom
Steven-Johson relatif sering terjadi akibat penggunaan obat ini sehingga penderita harus diperingatkan apabila timbul
vesikel setelah meminum obat ini (Aggarwal dkk, 2004; Conway dan Henry, 2012).
d. Asam Valproat
Asam valproat merupakan pilihan terapi untuk kejang umum, fokal, absan, dan kejang mioklonik. Pemberian
asam valproat (dipropilasetat, atau 2-propilpentanoat) secara oral cepat diabsorbsi dan kadar maksimal serum dapat
tercapai dalam 1-3 jam. Masa paruh asam valproat adalah 8–10 jam dan kadar dalam darah stabil setelah 48 jam
terapi. Asam valproat selain dapat menghambat sodium chanel juga dapat meningkatkan GABA dengan menghambat
degradasinya atau mengaktivasi sintesis GABA. Dosis penggunaan asam valproat 15 – 40 mg/kg/hari dalam 2–3
dosis untuk mencapai kadar terapeutik (40 – 150 mikrogram/ml) dalam 1 – 4 hari (Dewan dkk., 2008). Efek samping
yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan, termasuk mual, muntah, anorexia, peningkatan berat badan, pusing,
gangguan keseimbangan tubuh, tremor, rambut rontok, dan hepatotoksik (Greenwood, 2000; Conway dan Henry,
2012).
02 Polimorfisme pada Gen Penyandi CYP2C9
sebagai enzim Pemetabolisme utama obat
antikonvulsan

Polimorfisme CYP2C9 adalah penentu penting laju metabolisme fenitoin. Individu yang membawa alel
CYP2C9 yang mengkode enzim varian (alozim) dengan aktivitas yang berkurang memetabolisme fenitoin pada
tingkat yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan individu yang homozigot untuk alel tipe-liar (CYP2C9 *1;
rs1057910 (A)), dan karena itu memiliki risiko lebih besar mengalami mengembangkan neurotoksisitas
tergantung konsentrasi : CYP2C9*2 (rs1799853) dan CYP2C9*3 (rs1057910 (C)) adalah yang terbaik
didokumentasikan. Dosis maksimum fenitoin yang dilaporkan dalam serangkaian orang dengan epilepsi adalah
sekitar 50 mg lebih sedikit per alel CYP2C9 *3. S
Sebuah studi asosiasi genome-lebar kasus dengan reaksi merugikan kulit yang parah terkait fenitoin dan
412 kontrol populasi dari Taiwan menemukan sekelompok 16 polimorfisme nukleotida tunggal dalam gen
CYP2C pada 10q23,33 yang mencapai signifikansi genom-lebar. Sekuensing langsung varian CYP2C9 yang
diidentifikasi missense rs1057910 (CYP2C9*3) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan reaksi
merugikan kulit yang parah terkait fenitoin. Mekanisme yang mendasari asosiasi ini belum ditetapkan. Meskipun
ada bukti yang tersedia, pengujian farmakogenik pra-perawatan untuk varian CYP2C9 bukanlah praktik rutin,
dengan pemantauan untuk tanda-tanda klinis toksisitas dan tingkat obat serum menjadi pendekatan standar.
03 Polimorfisme pada Gen Penyandi ABCB1 sebagai
transporter beberapa obat antikonvulsan

Berbagai penelitian fokus mengkaitkan variasi genetik penyandi transporter ABCB1 atau P-glycoprotein (P-gp)
rs1045642 sebagai penyebab resistensi CBZ. Dimana Carbamazepine (CBZ) merupakan suatu senyawa trisiklik yang
digunakan sebagai pilihan utama dalam pengobatan epilepsi tipe bangkitan fokal, bangkitan umum sekunder, dan
bangkitan tonik-klonik berdasarkan level of confidence (PERDOSSI, 2014). Pada populasi Jepang, keberadaan
polimorfisme pada gen ABCB1 rs1045642 memiliki korelasi positif dengan kejadian resistensi CBZ (Seo dkk., 2006).

Penelitian rs1045642 C3435T pada 315 pasien Kaukasia dengan epilepsi menunjukkan bahwa kelompok genotip
CC lebih banyak mengalami resisten CBZ jika dibandingkan kelompok genotip TT dengan OR 2,66 (Siddiqui dkk.,
2003). Hasil penelitian di Cina menunjukkan hubungan variasi genetik gen ABCB1 rs1045642 terhadap penurunan
kadar CBZ dalam plasma (Meng dkk., 2011). Hal tersebut berpotensi menyebabkan serangan bangkitan epilepsi yang
kurang terkendali. Keberadaan polimorfisme pada gen ABCB1 sebagai penyandi P-gp diduga dapat menyebabkan
variasi kadar CBZ dalam plasma maupun responnya sebagai antiepilepsi. Selain itu, nilai minor allele frequency
(MAF) rs1045642 sebesar 0,3952 juga menjadi pertimbangan pemilihan rs1045642 sebagai target penelitian ini
(NCBI, 2018). Penelitian ini melibatkan subyek perempuan karena adanya perbedaan data polimorfisme berdasarkan
jenis kelamin. Menurut data Public Health Genomics dari Centers for Disease Control and Preventions, alel T gen
ABCB1 rs1045642 pada populasi US lebih banyak ditemukan pada perempuan (47,9%) dibandingkan laki-laki
(46,6%). Genotip TT juga lebih banyak ditemukan pada perempuan (25,4%) dibandingkan laki-laki (22,8%) (CDC,
2009). Pengaruh jenis kelamin terhadap faktor risiko epilepsi juga menunjukkan bahwa epilepsi fokal kriptogenik 3
dan epilepsi umum terutama idiopatik lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan laki-laki (Christensen dkk.,
2005).
04 Polimorfisme pada Gen Penyandi kanal Natrium
sebagai target obat antikonvulsan

SCN1A (lokasi kromosom 2q24.3) meliputi 26 ekson dan milik keluarga gen pengkodean untuk
neuronal voltage-gated saluran natrium, yang bertanggung jawab untuk transportasi ion natrium dalam sel
dan dengan demikian untuk transmisi neuron. SCN1A mengkodekan subunit alfa dari saluran natrium
NaV1.1, yang memediasi inisiasi dan penyebaran potensi aksi neuron. Di SCN1A tikus knockout, ada
penurunan natrium yang signifikan saat ini di interneuron hippocampal yang sangat penting untuk
gamma-aminobutyric acid (GABA) À inhibisi neuron yang dimediasi.
SCN1A adalah target dari beberapa AED, dengan beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara
SCN1A c.3184A> G / p. Thr1067Ala polimorfisme dan resistensi obat. SCN1A c.3184A> G /
p.Thr1067Ala adalah polimorfisme missense yang dihasilkadi p.Thr1067Ala substitusi, yang dapat
mempengaruhi struktur- fungsi hubungan saluran, yang menyebabkan salah otak neuron, dengan
demikian menjelaskan hubungannya dengan epilepsi. Itu struktur dan sifat fungsional yang berubah dari
saluran ion ini dapat juga mempengaruhi perawatan untuk epilepsi . C.3184A> G / p. Thr1067Ala
polimorfisme telah disarankan untuk dilibatkan gerbang saluran natrium, sehingga membuatnya tidak
sensitif terhadap efek pemblokiran berbagai obat antiepilepsi. Itu asosiasi polimorfisme c.3184A> G /
p.Thr1067Ala dengan risiko epilepsi dievaluasi di beberapa non-Kaukasia populasi dan dalam jumlah
terbatas Kaukasia populasi , tetapi hasilnya tidak konsisten, sehingga menjamin studi tambahan.
05 Implikasi Klinis

Implikasi klinis dari penggunaan OAE terhadap profil lipid terkait


dengan metabolisme obat tersebut di hati. Hal ini akan mengakibatkan
induksi dari enzim mikrosomal hati yaitu CYP450 dan selanjutnya
dapat mengganggu aktifasi LXR dalam homeostasis lipid sehingga
memengaruhi secara luas biosintesis kolesterol total dan trigliserida
melalui perantara sterol regulatory element-binding proteins
(SREBP), SREBP-2 yang mengkoordinasi aktifasi gen terhadap
kolesterol total hepatic dan SREBP-lc dapat menginduksi biosintesis
trigliserida (Ihunnah dkk., 2011; Ye dan Russell, 2011).
Syukron Wa Jazakumullahu
Khair

Anda mungkin juga menyukai