Anda di halaman 1dari 38

SISTEM MATRILINEAL

DALAM ADAT DAN BUDAYA


MINANGKABAU

1
I. Pendahuluan

Sistem matrilineal telah dijalankan


berdasarkan penafsiran para pelakunya;
ninik mamak,
kaum perempuan dan
anak kemenakan
dengan segala permasalahan
yang dihadapinya

Penafsiran-penafsiran yang telah dilakukan


boleh jadi bertolak dari
kenyataan-kenyataan yang ada, antara lain;
2
1. Uraian atau perincian pelaksanaan
dari sistem matrilineal, ketentuan-ketentuan
yang jelas tentang bagaimana menjalankannya
serta sanksi hukum kalau terjadi pelanggaran
sampai sekarang belum ada

Tidak ada rujukan berupa fatwa-fatwa adat


atau kitab undang-undangnya jika dibandingk
dengan undang-undang adat. Misalnya;
undang-undang nan duo puluah,
undang-undang nagari
peraturan untuk seorang penghulu
dan peraturan lainnya.
Sistem matrilineal hanya diajarkan kemudian disepakati dan dijalankan.
3
1. Kondisi sosial dan politik yang melanda
masyarakat Minangkabau sejak dulu;
mulai dari era perang Paderi, era penjajahan,
era kemerdekaan dan era orde baru
tidak menyebabkan sistem tersebut menjadi
lemah atau ditinggalkan, justru tetap dianut
dan dipakai.

Walau berbagai penafsiran telah dilakukan,


pada hakekatnya tetap berpunca pada
basis utama; garis ibu.
4
Walaupun tidak ada rujukan
namun sistem matrilineal tetap
dijalankan sampai sekarang
dan selalu disempurnakan
sejalan dengan penyempurnaan
sistem adat terutama dalam
mekanisme dan penerapannya
Oleh karenanya, peranan seorang penghulu
/ninik mamak menjadi penting.
Sekaligus pula menjadi faktor penentu dan
sebagai indikator, apakah mekanisme
sistem matrilineal berjalan dengan semestinya
atau tidak
5
Peranan penghulu/ninik mamak yang begitu
penting dan sakral, mungkin dapat dikatakan
sebagai penyebab sistem matrilineal dapat
terus bertahan.
Namun dapat juga dikatakan sebaliknya;
karena sistem matrilineal itu yang menyebabkan
kedudukan institusi mamak menjadi kuat.

6
Sistem matrilineal tidak hanya menjadi
sebuah aturan atau adat, tetapi telah
menjadi way of live dan kecenderungan
untuk selalu berada di dalam sistem.
Bahkan sekarang dalam banyak kasus,
sistem matrilineal sudah menjadi suatu
pola pikir masyarakat Minangkabau.
Hasil pencaharian sendiri yang seharusn
dibagi menurut hukum faraidh, justru ora
Minangkabau cenderung menyerahkann
kepada anak perempuan. Baik kecenderung
tersebut datangnya dari ayah ibu maup
anak laki-laki merek
7
II. Permasalahan

Penafsiran-penafsiran yang dilakukan


terhadap pelaksanaan sistem matrilineal
dari satu sisi telah menimbulkan
kegelisahan
para pemangku adat dan orang Minang “tua” lainnya.
Terutama dalam masalah pemanfaatan sako dan pusako;
peminjaman gelar kaum kepada kaum yang lain,
pengalihan gelar kepada orang-orang tertentu,
menggadai dan menjual tanah pusako, hibah
dan sebagainya.

8
Masalah-masalah di dalam kaum:
konstribusi tugas dan tanggung jawab
terhadap kaum dan harta pusaka,
hak dan wewenang antara ninik mamak
dengan kemenakan tidak terjaga dengan baik,
campur tangan pihak mande karena ninik mamak
tidak menjalankan kewajibannya.

Permasalahan itu terjadi disebabkan adanya


“jurang” antara matrilineal sebagai sebuah konsep
dengan matrilineal sebagai perilaku.
9
Jurang tersebut
mungkin dapat diatasi
dengan pilihan;

1. Memperkecil jurang tersebut dengan menafsirkan


kembali konsepsi matrilineal untuk dapat dijalankan
pada masa yang akan datang, atau;

2. Mempertahankan konsep matrilineal yang sudah ada


dengan menganjurkan setiap orang Minang tetap setia
menjalankannya.

10
Jadi,
permasalahannya adalah;
mencari suatu modus yang tepat
tentang bakuan, petunjuk dan pelaksanaan
dari sistem matrilineal.
Tidak hanya berangkat dari
pendekatan ilmiah semata,
tetapi juga harus dapat dipahami
secara menyeluruh lapisan
masyarakat Minangkabau.
Dipercaya secara keilmuan dan
diyakini oleh para pelakunya.

11
III. Sistem Matrilineal

Pengertian umum berdasarkan


apa yang telah dijalankan sampai sekarang

Sistem matrilineal adalah suatu sistem


yang mengatur kehidupan dan ketertiban
suatu masyarakat yang terikat
dalam suatu jalinan kekerabatan
menurut garis ibu.

Seorang anak merupakan anggota kaum dari


perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan
anaknya ke dalam kaumnya. Oleh karena itu
waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu.
12
Ciri-ciri sistem matrilineal
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang
luar sukunya (exogami)
5. Pembalasan dendam merupakan suatu
kewajiban bagi seluruh suku.
7. Kekuasaan di dalam suku, terletak di tangan
ibu, tetapi jarang sekali digunakan.
9. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara
laki-laki dari ibu.
11. Perkawinan bersifat matrilokal, suami
mengunjungi rumah istrinya.
13. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak
kepada kemenakannya, dari saudara laki-laki
ibu kepada anak dari saudara perempuan.
(M.Radjab, 1969) 13
Oleh karena sistem itu dibuat
orang Minangkabau dan untuk
orang Minangkabau, maka mereka
yang akan menjalankan sistem tsb.
mestilah orang Minangkabau.
Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan
sebagai orang Minangkabau:
4. Basuku (bamamak bakamanakan)
5. Barumah gadang
6. Basasok jarami
7. Basawah baladang
8. Bapandam pakuburan
9. Batapian tampek mandi
14
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan itu
dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna.
Persoalannya adalah;
Apakah “orang kurang” itu tidak dibenarkan
menjalankan sistem matrilineal?

k a s u s; p a n
b e r a p a l e n g k a
b e k e
Dalam tidak punya i mereka
e re k a i t u , t a p r i n y a
m e p e r ti k a n d i
t s a ta
syara ak i n m e n g
n j al a n k a n
g i tu y a n m e
be i n a n g d
a n g M n a n g .
or d a y a M i
adat b u
15
Bagi seseorang yang ingin menjadi
“orang Minang” juga dibuka pintu
dengan memenuhi berbagai persyaratan.
Di dalam adat disebut;
inggok mancangkam
tabang basitumpu

Persoalan yang timbul kemudian adalah;


apakah mereka yang “telah menjadi”
orang Minang itu diharuskan pula
menjalankan sistem matrilineal.
Apakah mereka juga berhak mewarisi
sako jo pusako dari kaum yang dimasukinya?
16
Empat aspek penting yang diatur
dalam sistem matrilineal;

1. Pengaturan harta pusaka


Dalam terminologi Minangkabau disebut
harato pusako.
Pusako milik suatu kaum yang diwariskan
turun temurun baik yang tampak wujud seperti
sawah, ladang, rumah gadang, (pusako)
maupun yang tidak tampak seperti tuah,
gelar penghulu dan penghormatan (sako).
Harato segala hasil yang diperoleh dari tanah,
sawah milik kaum dan juga ternak.

17
a. Sako
Sako adalah milik kaum yang tidak berbentuk
material; gelar penghulu, kebesaran kaum,
tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat
kepadanya.
Sako merupakan hak bagi laki-laki dan tidak dapat
diberikan kepada suku lain.

Jika tidak ada laki-laki di dalam kaum


yang akan mewarisi, gelar itu digantuang,
dilipek atau disimpan sampai nanti
kaum itu mempunyai laki-laki pewaris

18
Pengaturan pewarisan gelar mengikuti kepada
ketentuan dari kelarasan yang dianutnya;

Koto Piliang memakai sistem pewarisan sako;


patah tumbuah.

Bodi Caniago memakai sistem pewarisan sako;


hilang baganti atau disebut juga gadang balega.

19
Gelar kepenghuluan (datuk) atau gelar kebesaran
dapat diberikan dengan tiga cara;
4. Dari mamak ke kemenakan. Gelar itu mengikuti
kepada perkauman yang batali darah.
6. Yang diberikan bako (keluarga pihak ayah) kepada
anak pisang-nya.
Gelar ini tidak boleh diwariskan kepada anak
atau kemenakan.
Gelar ini disebut gelar yang diberikan berdasarkan
batali adat.
12. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada
seseorang yang dianggap berjasa menurut ukuran
tertentu.
Gelar ini disebut gelar yang diberikan berdasarkan
batali suto atau batali ameh.

20
a. Pusako
Pusako adalah milik kaum yang tampak nyata;
sawah, ladang, rumah gadang, pandam pakuburan.
Pusako dimanfaatkan oleh perempuan.
Lelaki berhak mengatur pemakaiannya tetapi
tidak berhak untuk memiliki.

Dalam pengaturan pewarisan, semua harta


yang akan diwariskan harus ditentukan dulu
kedudukannya. Kedudukan harta pusaka;
iv. Pusako tinggi
v. Pusako randah
21
Pusako tinggi diwariskan menurut
garis matrilineal,
sedangkan pusako randah diwariskan
menurut hukum faraidh.

Pusako tinggi hanya boleh digadai


apabila terjadi sesuatu yang sulit
dapat diatasi;
4. Gadih gadang indak balaki
5. Maik tabujua tangah rumah
6. Rumah gadang katirisan

i pe n a f s i r an
a t a t a n : r j a di b e r baga o n c a n g an
C a h al in i t e r b a gai k e g
k e t i g bulk a n b e
Dalam b k a n t i m
a n g m e n y eba
y a t u k a um.
s u
di dalam 22
b. Peranan laki-laki
Di dalam kaum, laki-laki mempunyai peranan
secara bertingkat;
i. Sebagai kemenakan
Seorang laki-laki bermula sebagai
kemenakan.
Dalam menentukan status mereka
sebagai pewaris sako dan pusako,
kemenakan dikelompokkan dalam
tiga tingkatan:
* kemenakan di bawah daguak
* kemenakan di bawah pusek
* kemenakan di bawah lutuik.
Umumnya, kemenakan di bawah
lutuik tidak diikutkan di dalam
pewarisan sako jo pusako.
23
ii. Sebagai mamak
Setelah dewasa (berumah tangga) si kemenakan
menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada
kemenakannya.
iii. Sebagai penghulu
Selanjutnya dia akan memegang kendali kaum
sebagai penghulu bergelar datuk.
Prinsip mempertahankan pusaka adalah;
kalau indak bisa manambah, jan mangurangi

Secara keseluruhan
peranan laki-laki di dalam kaumnya adalah;
tagak badunsanak, mamaga dunsanak
tagak basuku, mamaga suku
tagak ba kampuang mamaga kampuang
24
Di luar kaum, laki-laki menjadi sumando
atau tamu dalam kaum pihak istrinya.
Laki-laki sebagai “duta” kaumnya di dalam
wilayah kaum isterinya, begitu sebaliknya.
Berdasarkan tabiat dan perilaku, seorang
sumando dijuluki dengan berbagai
ungkapan; sumando ninik mamak, dsbnya.

Rancak rumah dek sumando


Elok hukum dek mamaknyo

25
c. Kaum dan Pesukuan
Orang Minangkabau yang berasal dari satu
keturunan dalam garis matrilineal merupakan
anggota kaum.
Di dalam sebuah kaum
Unit terkecil disebut samande
Unit yang lebih luas
disebut saparuik
Selanjutnya disebut
- Saniniak
- sakaum
- sasuku

26
Pada mulanya, sebuah nagari dihuni oleh
empat suku; Koto, Piliang, Bodi dan Caniago

Dalam perkembangannya -
Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku;
Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada,
Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang,
Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Malayu,
Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang dan lainnya.
Bodi dan Caniago berkembang pula menjadi beberapa
suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang,
Panyalai, Mandaliko, Sumagek dan lainnya.

27
Di dalam majlis peradatan keempat-empat suku
disebut urang nan ampek suku.
Ada juga nagari yang memasukkan suku Melayu
disebut urang nan limo suku.

Suku-suku yang punya kaitan keturunan


dan sejarah disebut sapayuang.
Beberapa payuang yang juga berasal
dari keturunan dan sejarah yang sama
disebut sahindu

28
Sebuah kaum mempunyai keterkaitan
dengan suku-suku lain, biasanya disebabkan
oleh perkawinan. Oleh sebab itu, setiap kaum
mempunyai struktur ke dalam dan ke luar.

(1) Di dalam kaum:


a. Penghulu. b. Tungganai
c. Mamak dan d. Kamanakan

(2) Dalam kaitannya dengan suku lain:


a. Induk bako, anak pisang
b. Andan pasumandan

29
d. Peranan dan kedudukan perempuan
Perempuan diposisikan sebagai pengikat,
pemelihara dan penyimpan semua harato
pusako kaum.

Perempuan di dalam suatu kaum


mempunyai kedudukan dan fungsi;
1. Bundo Kanduang (Perempuan Utama)
2. Perempuan biasa yang sudah kawin (mande)

30
IV. Nilai-nilai ideal dari
sistem matrilineal

1. Rasa memiliki bersama.


Semua aset kaum berupa sako dan
pusako dirasakan setiap anggota
kaum sebagai miliknya yang harus
dipertahankan.
2. Kesadaran terhadap hak milik.
Laki-laki punya hak sebagai pengatur
dan perempuan sebagai pemilik.

31
3. Kesadaran terhadap suatu ikatan.
Perempuan merasa perlu dengan
saudara laki-lakinya, begitu sebaliknya.
Mamak merasa perlu dengan
kemenakannya, begitu juga sebaliknya.

4. Kesediaan untuk pengabdian.


Setiap laki-laki selalu berusaha memakmurkan
kaumnya; kemenakan dan saudara perempuan.
Konsep “anak yatim” tidak berlaku dalam hal ini.

5. Dampak positif perkawinan.


a. Mengurangi sifat-sifat buruk turunan.
b. Mempererat mata rantai antar kaum.
32
V. Usaha-usaha yang masih dapat
dilakukan.

Menyikapi nilai-nilai baru yang muncul


dari berbagai penafsiran dan penerapan
sistem matrilineal;
1. Nilai-nilai perubahan;
a. Masalah pemilihan pimpinan kaum
b. Masalah bernagari yang kini sedang
berlangsung.
c. Masalah perlakuan terhadap pusako.
tentang peralihan hak milik
dan sertifikasi.

33
2. Nilai pendidikan.
Pendidikan adat melalui keteladanan,
tingkah laku dari orang tua, penghulu,
mamak selalu digalakkan.
Baik secara langsung maupun melalui
cerita, kisah, penerbitan buku-buku kaba.

3. Nilai semangat.
Menimbulkan keinginan yang bersungguh-
sungguh dari setiap kaum untuk selalu
menjalankan adat dan mengetahui nilai-nilai
yang terkandung di dalam setiap aktivitas.

34
Hal-hal tersebut perlu ditindaklanjuti
dengan cara sebagai berikut;

a. Memikirkan berbagai modus pemahaman


terhadap nilai-nilai positif yang terkandung
dalam sistem matrilineal. Dituangkan dalam
bentuk penulisan dan penerbitan secara
menyeluruh dan kontinyu.

35
b. Pemikiran-pemikiran legendaris
(yang selalu bertolak dari keagungan
dan kekeramatan Minangkabau
masa lalu)
lalu) secara perlahan harus
diubah menjadi pemikiran yang
sistematik. Agar masyarakat tidak
terkungkung lagi dengan sesuatu
yang tidak ada relevansi dengan
kenyataan kehidupan hari ini.

36
a. Menciptakan situasi yang kondusif
dan kreatif untuk dapat melakukan
dialog interaktif sebanyak mungkin
dengan keluarga/individu Minang,
perkumpulan/studi-studi klub adat
dan budaya Minang, dalam usaha
meyakinkan bahwa nilai-nilai
adat dan sistem matrilineal perlu
untuk dikembangkan
di masa depan.

37
Sekian
dan
Terima kasih

38

Anda mungkin juga menyukai