Anda di halaman 1dari 22

STRUKTUR

PENALARAN HUKUM

Gede Marhaendra Wija Atmaja

Fakultas Hukum
Universitas Udayana
Denpasar 2012.
TIGA LAPISAN ARGUMENTASI
HUKUM

 tiga lapisan argumentasi hukum yang rasional meliputi:


(1) lapisan logika;
(2) lapisan dialektika; dan
(3) lapisan prosedural.
(E. Feteris, et.al.dalam Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati 2005)
LAPISAN LOGIKA
 Berkenaan dengan jenis argumentasi, seperti deduksi dan
analogi.
 Lapisan ini merupakan bagian dari logika tradisional.
 Isu yang muncul dalam lapisan ini adalah berkenaan dengan
premis-premis yang digunakan untuk menarik suatu konklusi
yang logis, dan langkah-langkah dalam menarik konklusi
(Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati 2005).
LAPISAN DIALEKTIKA
 Berkenaan dengan debat atau dialog dari para pihak, yang
mendiskusikan pendapat yang pro dan pendapat yang kontra
(Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati 2005).
 Dialektika merupakan cara berdebat dan berwawancara yang
diangkat menjadi sarana dalam memperoleh pengertian filsafati
atau bersama-sama mencari kebenaran.
 Dalam paham Hegel, dialektika merupakan hakikat kenyataan
rohani berkembang lewat proses: tesis, antitesis, sintesis (Dick
Hartoko 2002).
LAPISAN PROSEDURAL

Berkenaan dengan aturan dialog, yang harus berdasarkan


pada aturan main yang sudah ditetapkan dengan syarat-
syarat prosedur yang rasional dan syarat penyelesaian
sengketa yang jelas (Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati 2005).
LAPISAN LOGIKA
 Bentuk Argumentasi. Bentuk logika dalam argumentasi dibedakan atas
argumentasi deduksi dan non-deduksi dan beberapa karakteristik logika
yang berkaitan dengan bentuk-bentuk tersebut
 Model argumentasi yang lazim digunakan dalam bidang hukum adalah
argumentasi deduksi.
 Argumentasi deduksi adalah penerapan suatu aturan hukum pada suatu
kasus.
 Alur argumentasinya adalah:
Norma: Pencuri harus dihukum;
Fakta: Johan adalah pencuri;
maka Johan harus dihukum.
BATAS DEDUKSI: URGENSI PENEMUAN HUKUM

) Tidak semua aturan hukum dan tidak semua produk legislatif


dirumuskan dalam bentuk verbal yang tepat, yang diharapkan
memberikan jawaban yang jelas terhadap persoalan hukum
praktis.
 Aturan hukum yang dirumuskan dalam bahasa, seringkali
merupakan rumusan yang terbuka maupun rumusan yang kabur.
 Sengketa praktis dapat diselesaikan secara deduksi setelah
menginterpretasikan aturan hukum tersebut (Neil MacCormic
(1978 dalam Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati
2005).
J.J.H. BUGGINK (1996) MENGETENGAHKAN KETIDAKJELASAN SUATU ISTILAH, ATAU PENGERTIAN, YAKNI:

 Sinonim, ketidakjelasan dapat muncul dalam kelompok ini,


sebab sinonim merupakan istilah yang menyatakan pengertian
yang sama.
 Istilah Bermakna-ganda, ketidakjelasan juga ada pada lawan dari
sinonim, yakni istilah bermakna ganda.
 Pengertian yang Kabur. Ini adalah pengertian yang isinya tidak
dapat ditetapkan secara persis, sehingga lingkupnya tidak jelas.
 Pengertian terbuka. Ke dalamnya termasuk pengertian-
pengertian yang isi-intinya memuat ciri-ciri yang dalam
perjalanan waktu mengalami perubahan.
DALAM MENGHADAPI NORMA HUKUM YANG TERBUKA
DAN KABUR TERSEBUT, DIBUTUHKAN LANGKAH
PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING).
Model penemuan hukum (rechtsvinding) yang dianut
dewasa ini, antara lain oleh J.J.H. Bruggink, meliputi
metode interpretasi dan model penalaran atau
konstruksi hukum, dan ditambah bentuk ketiga oleh P.
Scholten, yakni penghalusan hukum (rechtsverfijning)
yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno
Mertokusumo disebut penyempitan hukum.
METODE PENAFSIRAN HUKUM

 Aawalnya melliputi penafsiran gramatikal/tata bahasa,


sistematis, historis, dan teleologis.
 Kemudian berkembang metode lainnya, seperti penafsiran
komparatif, antisipatif, ekstensif, dan restriktif (B. Arief Sidharta
1979 dan Sudikno Mertokusumo (1996).
HERMENEUTIKA HUKUM
 Adalah metode interpretasi atas teks hukum atau metode
memahami suatu naskah normatif (Peter Mahmud Marzuki 2005).
 Setiap aturan hukum mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat
yang merupakan bunyi teks hukum dan yang tersirat yang
merupakan gagasan yang ada di belakang aturan hukum (E.
Sumaryono 1999).
 Oleh karena itu perlu menemukan gagasan yang melatari
pembentukannya (konteks masa lalu), juga perlu mendapatkan
wawasan tentang konteks kontemporer (konteks masa kini) yang
mengkondisikan pertimbangan-pertimbangan mengenai masa lalu
(Gregory Leyh 2011).
INTERPRETASI: JENIS DAN PRINSIP CONTEXTUALISM.
 Ian McLeod (dalam Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati 2005) mengetengahkan prinsip contectualism
(kontekstuliasme) dalam interpretasi, meliputi:
 Asas Noscitur a Sociis, suatu hal diketahui asosiasinya. Suatu
kata harus diartikan dalam rangkaiannya.
 Asas Ejusdem Generis, sesuai genusnya. Suatu kata dibatasi
makna secara khusus dalam kelompoknya. Misalnya, konsep
rechtsmatigheid dalam Hukum Administrasi, Hkum Perdata,
dan Hukum Pidana belum tentu sama maknanya.
 Asas Expressio Unius Exlusio Alterius, jika suatu konsep
digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untk hal lain.
Contoh, kalau konsep rechtsmatigheid sudah digunakan dalam
Hukum Administrasi, maka konsep yang sama belum tentu
berlaku untuk kalangan hukum perdata atau hukum pidana.
KONTRUKSI HUKUM.
Dalam hal ketentuan hukumnya tidak ada, maka tersedia
metode penalaran hukum (legal reasoning) atau
argumentasi hukum.
Untuk menemukan hukumnya, maka hakim harus mengisi
kekosongan hukum itu dengan metode argumentum per
analogiam (analogi), argumentum a contrario,
penghalusan hukum (rechtsverfijning).
KONFLIK NORMA BERKENAAN DENGAN ASAS PREFERENSI.
Secara tradisional ada tiga asas umum preferensi, yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan konflik antar norma hukum,
yakni:
 Asas lex posterior, yakni: lex posterior derogate legi priori (i.e.:
a later provision overrulers an earlier one).
 Asas lex specialis, yakni: lex specialis derogate legi generali (ie.:
a more special provision overrules a general one).
 Asas lex superior, yakni: lex superior derogate legi inferior (i.e.:
a provision with higher rank overrules a provision with lower
rank) (Gert-Fredrik Malt 1992).
GERT-FREDRIK MALT (1992) MENGEMUKAKAN EMPAT
TIPE SOLUSI TERHADAP KONFLIK NORMA,

 Pengingkaran (disavowal), dengan cara mengingkari adanya konflik


norma hukum. Lazim dilakukan dengan argumen bahwa dua
ketentuan hukum bersangkutan (yang ditenggarai ada konflik
norma) berada pada wilayah yang berbeda - publik dan privat, dan
diterapkan secara terpisah.
 Reinterpretasi (reinterpretation), dalam kaitan dengan asas
preferensi harus dibedakan: pertama, dengan mengikuti asas
preferensi dilakukan penafsiran kembali norma yang utama dengan
cara yang lebih fleksibel; kedua, dengan menafsirkan norma
preferensi dan menerapkan norma tersebut dengan menyampingkan
norma yang lain.
 Pembatalan (invalidation), ada dua macam, yakni abstrak-formal dan praktikal.
Pembatalan secara abstrak-formal dilakukan oleh suatu lembaga dengan
prosedur tertentu. Contohnya, di Indonesia oleh Makamah Konstitusi untuk
pengujian undang-undang, dan oleh Mahkamah Agung untuk pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Pembatalan secara praktikal, yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam
kasus konkrit. Contoh, dalam praktek peradilan di Indonesia dikenal dengan
menyampingkan, misalnya dalam kasus Tempo, hakim menyampingkan
Peraturan Menteri Penerangan karena bertentangan dengan UU Pers.
 Pemulihan (remedy), yakni membatalkan suatu norma dengan
mempertimbangkan pemulihan, seperti memberikan kompesasi (Philipus M.
Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati 2005).
DIALEKTIKA
 merupakan cara berdebat dan berwawancara yang diangkat
menjadi sarana dalam memperoleh pengertian filsafati atau
bersama-sama mencari kebenaran. Dalam paham Hegel,
dialektika merupakan hakikat kenyataan rohani berkembang
lewat proses: tesis, antitesis, sintesis (Dick Hartoko 2002).
LANGKAH DIALEKTIKA DIAWALI DENGAN
PAPARAN ARGUMENTASI YANG SALING BERBEDA.
 Dalam perkara perdata atau tata usaha negara, dilakukan dengan
membuat matrik dalil-dalil penggugat atau tergugat; dalam
perkara pidana, dilakukan dengan membuat matrik dalil-dalil
penuntut umum dan dalil-dalil terdakwa (atau pembelanya).
 Langkah berikutnya, menyusun argumentasi untuk membantah
dalil-dalil lawan, selanjutnya disusun legal opinion (Philipus M.
Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati 2005).
ISI ARGUMENTASI.
 Dialektika berkaitan juga dengan isi argumentasi, tidak semata-
mata bentuknya, yakni dialog.
 Isi argumentasi berkenaan dengan argumentasi yang baik dan
benar, sesuai dengan metode yang dipilih, seperti deduksi atau
non-deduksi.
 Sesat pikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang
sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan.
 Suatu gejala berpikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan
prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya.
ARGUMENTUM AD MISERICORDIAM.
 Suatu argumentasi yang bertujuan untuk menimbulkan
belas kasihan.
 Dalam bidang hukum, argumentasi semacam ini tidak
sesat apabila digunakan untuk meminta keringanan
hukuman.
 Akan tetapi apabila digunakan untuk pembuktian tidak
bersalah, hal itu merupakan suatu kesesatan.
LAPISAN PROSEDURAL

 Dialog dilaksanakan berdasarkan suatu aturan main yang sudah


ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan syarat
penyelesaian sengketa yang jelas.
 Hukum acara merupakan aturan main dalam proses argumentasi
dalam penanganan perkara di pengadilan.
 Dengan demikian prosedur dialektika di pengadilan diatur dalam
hukum acara.
 Contohnya, beban pembuktian sesuai hukum acara pada bidang
hukum masing-masing
SEBAGAI CONTOH BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
PERKARA PERDATA.
 Baik HIR, RBg dan KUH Perdata (BW Indonesia) memuat pasal
tentang beban pembuktian, yaitu Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg,
dan Pasal 1865 KUH Perdata, yang isinya sama:
 Barang siapa menyatakan mempunyai suatu hak atau
menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau
untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

Anda mungkin juga menyukai