Anda di halaman 1dari 18

Uji Klinik, Post Marketing Survaillence dan Adverse Drug

Reaction

Gerald Rundengan S.Si MPH Apt


Uji klinik

Uji klinik itu sendiri merupakan serangkaian  penelitian yang dilakukan


secara eksperimental terhadap manusia. Jadi, uji klinik ini haruslah bersifat
ekperimental (ada intervensi atau perlakuan terhadap manusia) dan
kemudian dianalisa data yang diperoleh

• Apabila penelitian telah melibatkan manusia sebagai


subjeknya, HARUS dilakukan proses perijinan dulu
terhadap komite etik.
• Dalam proses aproval obat baru, rangkaian penelitian
uji klinik ini HARUS dilakukan dan dilampirkan pada
lembaran pengajuan obat baru. (bisa memakan waktu
bertahun-tahun)
Uji Klinik

Sebelum dilakukan uji klinik, haruslah dilakukan terlebih


dahulu uji pre-klinik yaitu uji toksisitas dan efektifitas obat
yang dilakukan terhadap hewan uji

Tahapan-tahapan dalam uji klinik

Uji Klinik Fase 1

Dilakukan untuk melihat safety suatu obat! untuk melihat


keamanan suatu obat. dilakukan terhadap relawan sehat. jumlah
subjek penelitian 20-100 orang dengan dosis 1/50 kali dosis
minimum yang dapat menimbulkan efek pada hewan uji. Dan,
dosis ditingkatkan secara gradual untuk melihat safety dan
toleransi terhadap obat. Khusus penyakit-penyakit berat, ada
pengecualiannya, jika itu sudah mengancam jiwa manusia atau
efek yang sangat merugikan
Uji Klinik

Uji klinik Fase 2

Pada uji klinik fase II ini sudah melibatkan pasien yang


sakit sesuai dng indikasi pengobatan. Melibatkan 100-
200 peserta. Tujuannya adalah untuk melihat dosis
manakah yang paling optimal dan paling efektif dalam
pengobatannya

uji klinik fase 3

Pada uji klinik fase 3, sudah melibatkan subjek yang lebih


banyak lagi (sekitar 300-3000 pasien). Tujuannya adalah
untuk membandingkan antara efek terapi obat yang di uji
dengan plasebo atau dengan obat yang sudah ada.
Uji Klinik

Setelah selesai sampai uji klinik fase 3, obat bisa


didaftarkan ke badan yang berwenang.

Indonesia Badan (POM)


Amerika Serikat (FDA)

UJI OBAT BELUM


SELESAI..............!!

MASUK TAHAP post-marketing surveillance

PHARMACOVIGILLANCE
POST MARKETING SURVEILLANCE

Mengapa post marketing surveillance itu penting?

Banyak obat-obat baru yang kemudian ditarik dari pasaran


karena efek jahatnya (adverse) diketahui setelah dilakukan
“post-marketing surveillance”. (setelah obat beredar di
pasaran) Mis :
-Thalidomid mengakibatkan cacat pada janin
-Dietilbesterol untuk penguat rahim dan menghindari
pendarahan ketika melahirkan ternyata justru menyebabkan
kanker vagina dan kanker serviks bagi anak perempuan yang
dikandungnya
-Stavudin(obat HIV/AIDS) mengakibatkan lipodistrofi (laporan
Thailand)
POST MARKETING SURVEILLANCE

Mengapa post marketing surveillance itu penting?

Pada Pre-Marketing Surveilance :

1. Orientasi : hanyalah untuk mengetahui efek dan safety

2. Tools : uji klinik 1-3

3. Info yang bisa didapat : efikasi dan safety (dengan pasien yang dikondisikan)

4. Subjek penelitian : hasil seleksi yang ketat (ada kriteria eksklusi)

5. Kemungkinan lain : bisa dihilangkan. Seperti, bersamaan dengan obat lain, pola
makan, gaya hidup, usia, kehamilan dan lain sebagainya.
POST MARKETING SURVEILLANCE

Mengapa post marketing surveillance itu penting?

Post Marketing Surveillance :

1. Orientasi : kebijakan apakah obat diteruskan atau ditarik dari pasaran

2. Alat/Tools : uji klinik fase IV/studi farmakoepidemiologi

3. Info yang bisa didapatkan : efektivitas obat

4. Subjek penelitian : tidak terlalu ketat, hampir semua orang bisa


menggunakan obat tersebut (tidak terbatas, tak terseleksi)

5. Kemunginan lain : tak dapat dihilangkan. Tak ada kriteria eksklusi. Mungkin
saja orang hamil, bersamaan dengan obat lain dan pola makan serta gaya hidup
bervariasi.
Farmakoepidemiologi dapat menjawab pertanyaan terkait obat
sebagai berikut :

1.Long term effect. Obat-obat yang efeknya jangka panjang.


contohnya : kaitan antara estrogen dengan kanker endometrium

2.Low Frequency effect. Obat-obat yang angka kejadiannya sangat


jarang. bisa ditemui pada populasi yang sangat besar. contoh
fenilbutazon dan kaitannya dengan anemia aplastik, klindamisin dengan
colitis, dan halotan dengan jaundice.

3.Effectiveness in Costumary Practice. Bagaimana penggunaannya pada


pasien anak-anak, pasien ibu hamil, rawat jalan, pasien emergeny.
Perlu atau tidaknya upgrading tenaga kesehatan
4. Efficacy in new Indication. Ditemukan indikasi baru dari indikasi
yang diapprove. (Ternyata obat tersebut efektif juga untuk indikasi
yang lain). Contohnya propranolol untuk antihipertensi, captopril
untuk reumatik athritis, amantadin untuk mabok jalanan
(antihistamin) yang sebelumnya buat parkinson, gabapentin untuk
neuropati dan lain sebagainya.

5. Secondary effect. Efek keduanya bagaimana bagi pasien

6. Modifier of Efficacy. Jika dikombinasi dengan obat lain, kira-kira


ada sinergis tidak? dan lain sebagainya…
Adverse Drug Reaction (ADR) /
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD)

Klasifikasi DRP :

1.Membutuhkan obat tetapi tidak menerimanya

• Membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profilaksis atau


premedikasi,

• memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan kontinyu

2.Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai

Menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik


kondisinya dengan terapi non obat,minum beberapa obat
padahal hanya satu terapiobat yang diindikasikan dan atau
minum obat untuk mengobati efeksamping
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

3. Menerima obat salah

Kasus yang mungkin terjadi: obat tidak efektif, alergi,


adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang
diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan bukan yang
paling aman.

4. Dosis terlalu rendah

Penyebab yang sering terjadi: dosis terlalu kecil untuk


menghasilkan respon yang diinginkan, jangka waktu terapi
yang terlalu pendek,pemilihan obat, dosis, rute pemberian,
dan sediaan obat tidak tepat.
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

5. Dosis terlalu tinggi

Penyebab yang sering terjadi: dosis salah, frekuensi tidak


tepat, jangka waktu tidak tepat dan adanya interaksi obat.

6. Pasien mengalami ADR

Penyebabnya: pasien dengan factor resiko yang berbahaya


bila obatdigunakan, efek dari obat dapat diubah oleh
substansi makanan pasien,interaksi dengan obat lain, dosis
dinaikkan atau diturunkan terlalu cepatsehingga
menyebabkan ADR dan mengalami efek yang tidak
dikehendakiyang tidak diprediksi.
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

7. Kepatuhan

Penyebab: pasien tidak menerima aturan pemakaian obat


yang tepat, pasien tidak menuruti rekomendasi yang
diberikan untuk pengobatan, pasien tidak mengambil
obat yang diresepkan karena harganya mahal, pasien
tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan secara
konsisten karena merasa sudah sehat

(Cipolle et al, 1998).


Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

Mengapa ROTD muncul?

Sebelum tahun 1960-an, ROTD tidak begitu jadi perhatian.


Namun, sejak kasus Talidomid,........... dimulailah perhatian
terhadap efek-efek merugikan terkait obat-obatan.

Sejak itu, mulailah digencarkan farmakovigilance, terutama


pada studi post-marketing surveillance. Jadii, kita harus
berhati-hati sebab TIDAK SEMUA OBAT ITU AMAN!

ROTD tidak muncul pada semua orang…


Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

KLasifikasi ROTD

1. Tipe A : ROTD terkait farmakologis nya


- Umum terjadi (angka kejadiannya tinggi)
- Angka morbiditasnya tinggi
- Angka mortalitasnya rendah
- Bergantung pada dosis yang diberikan
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

KLasifikasi ROTD

2. Tipe B : ROTD yang tidak terkait dengan farmakologi (tidak


dapat diprediksi secara farmakologi)

- Insidennya rendah

- Morbiditasnya rendah

- Mortalitasnya tinggi

Anda mungkin juga menyukai