Anda di halaman 1dari 21

VALIDASI METODE

ANALISIS DALAM
SEDIAAN SUSPENSI
AMOKSISILIN
Syamsu Dhuha - 202211101101
FORMULA
SEDIAAN
Nama Bahan Fungsi Persentase

Amoksisilin Bahan aktif 5%

PVP Pengikat granul dan pembasah 2%

CMC-Na Suspending agent 1%

Na-benzoat Pengawet 0,5%

Sukrosa Pemanis 0,5%

Essens Pengaroma dan perasa 0,05%

Aquadest Pelarut ad 100 ml

Analit : Amoksisilin
Matriks : PVP, CMC-Na, Na-benzoat, Sukrosa.
SIFAT FISIKA KIMIA
BAHAN
Amoksisilin
Pemerian Serbuk hablur; putih; praktis tidak berbau; memiliki rasa pahit

Struktur kimia C16H19N3O2S

Kelarutan 1 g amoksisilin larut dalam 390 mL air; 2000 mL alcohol; 290


mL dapar fosfat (1%); dan 330 mL etanol
BM 419,45 g/mol
TD -
TL 194oC
Gel. Maks 230 nm
Log P 0,87
Kadar Amoksisilin mengandung tidak kurang dari 900 µg dan tidak
lebih dari 1050 µg per mg
PVP

Pemerian Serbuk putih; tidak berbau

Struktur kimia  
 

Kelarutan Mudah larut dalam air, etanol, keton, metanol, kloroform. Tidak
larut dalam eter, hidrokarbon, dan mineral oil.

BM 111,14 g/mol
TD 90-93°C
TL 150°C
Gel. Maks -
Log P 0,37
CMC-Na

Pemerian Padatan berwarna putih.

Struktur kimia

Kelarutan Tidak larut dalam toluene, aseton, kloroform, etanol, dan eter. Tidak larut
dalam air, namun mengembang menjadi suspensi.

BM 263,2 g/mol

TD -

TL 227°C

Gel. Maks -

Log P - 
Na-Benzoat

Pemerian berbentuk bubuk kering, cairan, pellet kristal, berwarna putih atau hampir
tidak berwarna, tidak berbau, dan memiliki rasa manis.

Struktur kimia

Kelarutan pada suhu 25°C 1 g asam benzoate larut dalam 1,8 mL air, 75 ml alcohol;
50 mL campuran alkohol:air (46,3 : 3,7).

BM 144,1 g/mol
TD 450-475°C
TL 436°C
Gel. Maks 225,6 nm

Log P -2,27
Sukrosa

Pemerian Masa serbuk hablur berwarna putih; memiliki rasa manis; tidak berbau

Struktur kimia

Kelarutan Sangat mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol, dan tidak larut
dalam kloroform dan eter

BM 342,30 g/mol

TD -

TL 185-186°C

Gel. Maks -

Log P -3,7
METODE ANALISIS

• Menurut Farmakope Indonesia Edisi V tahun 2014, penetapan kadar amoksisilin


di dalam sediaan tablet, kapsul, sirup, dan suspensi dilakukan dengan metode
KCKT atau HPLC. Amoksisilin memiliki sifat kelarutan 1 g amoksisilin larut
dalam 390 mL air; 2000 mL alcohol; 290 mL dapar fosfat (1%); dan 330 mL
etanol. Pada analisis validasi amoksisilin digunakan fase gerak dari campuran
Buffer Kalium Dihidrogen Fosfat pH 5 : asetonitril P (96:4). Pemilihan metode
analisis menggunakan HPLC atau KCKT dikarenakan metode ini memiliki daya
separasi yang lebih baik dibandingkan metode lain seperti KLT dan
spektrofotometri UV-Vis mengingat bahwa sediaan yang akan diuji berupa
sediaan suspensi dimana memiliki bahan tambahan atau eksipien yang banyak.
• PREPARASI SAMPEL
Pada formula sampel sediaan suspensi amoksisilin dapat dilihat
kadar atau konsentrasinya sebesar 5% atau 5 gram amoksisilin
dalam 100 mL sediaan suspensi. Dalam Farmakope Indonesia V
tahun 2014, untuk analisis amoksisilin dalam sediaan suspensi
konsentrasi yang digunakan yakni 1 mg amoksisilin anhidrat dalam
1 mL. kesetaraan antara amoksisilin dengan amoksisilin anhidrat
yakni 500 mg amoksisilin setara dengan 575 mg amoksisilin
anhidrat.
Karena bentuk sediaannya suspensi dan tidak memungkinkan
untuk dipipet, makan konsentrasi sampel diubah dari b/v menjadi
b/b, Sehingga konsentrasi 5% b/v setara dengan 5 gram amoksisilin
dalam 120 gram sediaan (5g/120g).
Kondisi Analisis

 Fase diam (kolom) : RPC-18 (Reversed Phase Column) (250 mm x 4 mm, 5µm)

 Fase gerak (eluen) : Buffer Kalium Dihidrogen Fosfat pH 5 : asetonitril P (96:4)

 Detektor : Diode Array Detectore (DAD)

 Panjang gelombang: 230 nm

 Suhu kolom : suhu ruang (25oC)

 Kecepatan eluen : 1,0 mL/menit

 Volume injeksi : 10 µL

 Pelarut : Buffer Kalium Dihidrogen Fosfat pH 5

 Konsentrasi uji : ditentukan dari hasil percobaan (1 mg/mL) (Ashnagar dan


Naseri, 2007; Anonim, 2014)
• Dipilih fase diam berupa kolom RPC-18 yaitu kolom fase terbalik yang bersifat
lebih non polar daripada fase gerak (eluen) sedangkan eluen yang digunakan berupa
campuran buffer kalium dihidrogen fosfat pH 5 dengan asetonitril P (96:4) yang
bersifat lebih polar daripada fase diam. Alasan dipilihnya kolom fase terbalik yakni
dikarenakan analit yang akan dianalisis yaitu amoksisilin bersifat lebih non polar
dibandingkan matriks dalam sediaan suspensi sampel tersebut, sehingga nantinya
matriks akan ikut terelusi bersama eluen sedangkan analit akan tertahan pada kolom
(fase diam) sehingga terjadilakn pemisahan antara analit dengan matriks.

• Pelarut yang digunakan yaitu buffer kalium dihidrogen fosfat pH 5 sesuai dalam FI
V, selain itu dikarenakan kelarutan amoksisilin (analit) lebih tinggi dalam buffer
fosfat tersebut daripada pelarut lain seperti aquades, alkohol, dan etanol. Fase gerak
yang digunakan berupa campuran buffer kalium dihidrogen fosfat pH 5 dengan
asetonitril P (96:4) sesuai dengan FI V dan penelitian sebelumnya (Ashnagar dan
Naseri, 2007) selain itu juga karena dapar fosfat memiliki kemurnian yang tinggi,
murah, dan paling umum digunakan karena menghasilkan pemisahan yang baik.
• Detektor yang digunakan adalah DAD (Diode Array Detectore) karena selain analit,
terdapat matriks yang juga memiliki gugus kromofor yakni Na Benzoate sehingga
dipilih detektor DAD ini yang mampu bekerja pada panjang gelombang yang sangat
lebar pada area UV-Vis. Kemudian dipilih panjang gelombang 230 nm karena
merupakan panjang gelombang maksimal dari analit (amoksisilin) sehingga pada
panjang gelombang ini analit menghasilkan area puncak yang tinggi sedangkan
pelarut dan matriks tidak menyerap radiasi sehingga tidak menganggu respon analit
(Harianto dan Transitawuri, 2006; Ashnagar dan Naseri, 2007; Anonim, 2014)

• Konsentrasi uji yang dipilih yaitu 1 mg/mL (1.000 ppm, mg amoksisilin anhidrat per
liter) karena memiliki efisiensi dalam preparasi standar dan sampel yang baik dan
mudah, selain itu menurut beberapa literatur mengenai analisis suspensi amoksisilin,
pada konsentrasi tersebut dapat menghasilkan % akurasi yang lebih besar di dalam
rentang persyaratan serta nilai N yang dihasilkan lebih besar dan nilai H lebih kecil
dan resolusi (Rs) ≥ 1,5 sehingga dianggap memberikan respon yang paling baik oleh
karena itu dipilih sebagai konsentrasi uji (Harianto dan Transitawuri, 2006; Ashnagar
dan Naseri, 2007; Anonim, 2014).
ANALISIS DENGAN HPLC

• Kualifikasi Instrumen

Analisis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dilakukan menggunakan HPLC (JASCO,


Jepang) dengan Pompa Cair 880-PU; detektor DAD (Diode Array Detectore); dan software
ECW2000 versi 2.05 (Ashnagar dan Naseri, 2007).

• Prevalidasi

Penentuan panjang gelombang: Dibuat larutan standar amoksisilin anhidrat dengan


konsentrasi 10 µg/ml dan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 200–300 nm. Dari hasil pengukuran serapan standar amoksisilin anhidrat 10
µg/ml tersebut diperoleh panjang gelombang maksimum pada 230 nm. Panjang gelombang
tersebut yang digunakan untuk analisis amoksisilin pada HPLC (Harianto dan Transitawuri,
2006).
ANALISIS DENGAN HPLC
- Optimasi Konsentrasi Uji

Optimasi konsentrasi uji bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi larutan uji yang efisien
preparasinya yakni, mudah, cepat, dan tidak banyak pengenceran sehingga diharapkan dapat
memperkecil kesalahan yang terjadi. Optimasi konsentrasi uji dapat dilakukan menggunakan baku
kerja standar dan sampel konsentrasi 100, 1.000, dan 10.000 ppm (mg amoksisilinin anhidrat per
Liter). Sebelum dianalisis, larutan sampel perlu disaring dengan membran filter 0,45 µm.
Konsentrasi tersebut dibuat berdasarkan penelitian sebelumnya yang melakukan analisis sediaan
suspensi amoksisilin dengan metode HPLC dan konsentrasi uji yang dipilih adalah 1 mg/L atau
1.000 ppm (mg amoksisilin anhidrat per Liter) (Ashnagar dan Naseri, 2007; Anonim, 2014).

Jadi dengan menggunakan 3 seri konsentrasi tersebut dapat digunakan sebagai crosscheck
apakah pada hasil pengamatan juga didapatkan konsentrasi 1.000 ppm sebagai konsentrasi uji yang
dapat dilihat dari cara preparasinya yang efesien dan mampu menghasilkan nilai N yang dihasilkan
lebih besar dan nilai H lebih kecil serta resolusi yang baik ≥ 1,5.
SELEKTIFITAS DAN SPESIFITAS
Pada uji purity dilakukan dengan membandingkan spektra puncak kromatogram posisi awal (s), tengah
(m), dan akhir (e). Spesifisitas atau biasa disebut dengan uji identity merupakan metode validasi yang
dilakukan dengan cara membandingkan puncak spektra kromatogram analit dengan standar serta
menghitung nilai resolusi (Rs) antara puncak analit terhadap puncak matrik

1. Dibuat larutan uji standar dengan konsentrasi 1000 ppm dengan cara memipet 1 mL larutan induk
standar (konsentrasi 10.000 ppm), dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL kemudian ditambahkan
buffer kalium dihidrogen fosfat pH 5 sebanyak ± 6 mL, selanjutnya diultrasonik selama 15 menit
kemudian diadkan dengan buffer kalium dihidrogen fosfat pH 5 sampai tanda batas. Sebelum
dianalisis, larutan perlu disaring dengan membran filter 0,45 µm.

2. Preparasi sampel dilakukan dan larutan perlu disaring dengan membran filter 0,45 µm.

3. Preparasi eluen atau fase gerak

4. analisis dengan HPLC

5. Analisis Kualitatif puncak analit dengan detektor DAD


LINIERITAS
Linearitas ditentukan dengan membuat satu seri konsentrasi analit dari sampel dengan rentang 10-200%. Beberapa
parameter yang digunakan yaitu nilai standar deviasi relatif (Vxo), nilai Xp, dan analisis statistika lain (ANNOVA). Metode
validasi linieritas dilakukan dengan tahapan:Dibuat larutan uji standar dengan konsentrasi 1000 ppm dengan cara memipet 1
mL larutan induk standar (konsentrasi 10.000 ppm), dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL kemudian ditambahkan buffer
kalium dihidrogen fosfat pH 5 sebanyak ± 6 mL, selanjutnya diultrasonik selama 15 menit kemudian diadkan dengan buffer
kalium dihidrogen fosfat pH 5 sampai tanda batas. Sebelum dianalisis, larutan perlu disaring dengan membran filter 0,45
µm.

1. Dibuat seri larutan standar rentang 10-200% dengan memipet 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1; 1,2; 1,4; 1,6 mL larutan baku standar
kemudian masing-masing dimasukkan dalam labu ukur 10 mL dan ditambahkan buffer kalium dihidrogen fosfat pH 5
sebanyak ± 6 mL, selanjutnya diultrasonik selama 15 menit kemudian diadkan dengan buffer kalium dihidrogen fosfat
pH 5 sampai tanda batas sehingga didapatkan konsentrasi 200; 400; 600; 800; 1000; 1200; 1400; dan 1600 ppm.
Sebelum dianalisis, larutan perlu disaring dengan membran filter 0,45 µm.

2. Dibuat eluen dengan mencampurkan 96 mL buffer kalium dihidrogen fosfat pH 5 dengan 4 mL asetonitril hingga
homogen. Kemudian campuran disaring dengan penyaring solven HPLC menggunakan membran filter nilon 0,45 µm

3. Dilakukan analisis menggunakan HPLC

4. Menghitung nilai parameter Vxo dan Xp dari data hasil scanning kemudian dicocokkan dengan persyaratan linieritasnya.
LOD DAN LOQ

Batas deteksi didefinisikan sebagai jumlah terkecil dari analit yang masih dapat dideteksi

dan memberikan respon yang signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas kuantitasi adalah

parameter yang menunjukkan kuantitas terkecil dari analit yang masih dapat memenuhi

kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).


1) Dibuat 8 konsentrasi larutan standar amoksisilin anhidrat dalam pelarut buffer kalium dihidrogen fosfat pH 5 dengan konsentrasi di bawah
konsentrasi linieritas, yaitu 10, 20, 40, 50, 60, 80, 90, dan 100 ppm. Sebelum dianalisis, larutan perlu disaring dengan membran filter 0,45 µm.

2) Preparasi eluen

3) Disuntikkan masing-masing larutan standar amoksisilin anhidrat sebanyak 10 µL menggunakan microsyringe pada instrument HPLC. Dilakukan 3
kali penyuntikan/replikasi untuk tiap konsentrasi.

4) Diamati spektra standar dan sampel.

5) Diamati kromatogram standardan sampel.

6) Dihitung nilai parameter batas deteksi (LOD) dan kuantitasi (LOQ) dengan mengukur rasio signal to noise dan dari hasil scanning dengan program
validasi. Batas deteksi adalah konsentrasi yang mampu memberikan rasio signal to noise ≥3. Sedangkan batas kuantitasi dalam sampel dapat
ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima dengan rasio signal to noise ≥10 (Batrawi dkk., 2017).
PRESISI

•Presisi adalah parameter yang menunjukkan tingkat kesesuaian antar hasil uji individual (Harmita, 2004).

1) Pada prosedur ini kami tuliskan prosedur uji presisi repeatibility, yaitu uji presisi dengan mengukur kepresisian respon
kromatogram secara berulang kali pada kondisi yang sama dan interval waktu yang singkat (Harmita, 2004).

2) Digunakan 5 konsentrasi standar amoksisilin anhidrat dengan konsentrasi antara 70-130% dari konsentrasi uji yaitu 800,
1.000, 1.100, 1.200, dan 1.300 ppm. Sebelum dianalisis, larutan perlu disaring dengan membran filter 0,45 µm.

3) Preparasi sampel disaring dengan membran filter 0,45 µm.

4) Preparasi eluen .

5) Disuntikkan masing-masing larutan standar amoksisilin anhidrat dan sampel sebanyak 10 µL menggunakan microsyringe
pada instrument HPLC. Dilakukan 6 kali penyuntikan/replikasi untuk tiap konsentrasi baik standar maupun sampel.

6) Diamati spektra standar dan sampel.

7) Diamati kromatogram standardan sampel.

8) Dihitung nilai parameter kepresisian yaitu nilai RSD dari hasil scanning dan dicocokkan dengan pesyaratan presisi.

9) Untuk analit dengan konsentrasi ≥1% (sampel yang digunakan adalah suspensi amoksisilin 5%), maka pesyaratan
penerimaan presisi yaitu nilai RSD ≤ 2,8% (Huber, 2007).
AKURASI

Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan antara hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya
(Harmita, 2004).

1) Digunakan 5 konsentrasi standar amoksisilin anhidrat dengan konsentrasi antara 80-180% dari konsentrasi uji yaitu 800,
1.000, 1.400, 1.600, dan 1.800 ppm.

2) Preparasi sampel adisi (30, 45, dan 60%), masing-masing dibuat sebanyak 50 mL.

3) Preparasi eluen.

4) Disuntikkan masing-masing larutan standar amoksisilin anhidrat dan sampel sebanyak 10 µL menggunakan microsyringe
pada instrument HPLC. Masing-masing sampel adisi dilakukan 3 kali replikasi.

5) Diamati spektra standar dan sampel.

6) Diamati kromatogram standar dan sampel.

7) Dihitung nilai parameter kepresisian yaitu nilai % recovery dari hasil scanning dan dicocokkan dengan pesyaratan presisi.

8) Untuk analit dengan konsentrasi ≥1% (sampel yang digunakan adalah suspensi amoksisilin 5%), maka pesyaratan
penerimaan presisi yaitu nilai % recovery adalah sekitar 97-103% (Huber, 2007).
ROBUSTNESS DAN RUGGEDNESS

 Uji ruggedness dan robustness

- Preparasi eluen diubah komposisinya menjadi Buffer Kalium Dihidrogen Fosfat pH 5 : asetonitril P (95:5 dan
97:3).

- Laju alir diubah menjadi 0,9 dan 1,1 mL/menit.

- Analisis dilakukan pada panjang gelombang 228 dan 232 nm.

- Dilakukan uji presisi dengan 3 perubahan kondisi analisis di atas.

- Dilakukan uji akurasi dengan 3 perubahan kondisi analisis di atas.

- Diamati spektra standar dan sampel.

- Diamati kromatogram standar dan sampel.

- Dilihat nilai kepresisian (RSD) dan keakurasian (% recovery) yang didapat dari kedua kondisi analisis yang
diubah tersebut. Dengan syarat RSD ≤ 2,8% dan % recovery 97-103% sesuai criteria penerimaan presisi dan
akurasi untuk konsentrasi analit ≥1% (sampel yang digunakan adalah suspensi amoksisilin 5%).
DAPUS
• Farmakope Indonesia VI
• FARMAKOPE INDONESIA. Edisi V

• Ashnagar, A. dan N. G. Naseri. 2007. Analysis of three penicillin antibiotics (ampicillin, amoxicillin and
cloxacillin) of several iranian pharmaceutical companies by hplc. E-Journal of Chemistry. 4(4):536–545.

• Batrawi, N., S. Wahdan, dan F. Al-Rimawi. 2017. A validated stability indicating hplc method for
simultaneous determination of amoxicillin and enrofloxacin combination in an injectable suspension.
Scientia Pharmaceutica. 85(6)

• Harianto, S. W. dan F. Transitawuri. 2006. Perbandingan mutu dan harga tablet amoksisilin 500 mg
generik dengan non generik yang beredar di pasaran. Pharmaceutical Sciences and Research (PSR).
3(3):127–142.

Anda mungkin juga menyukai