Anda di halaman 1dari 18

SEMANTIK BAHASA

INDONESIA #2
(Relasi Makna, Perubahan Makna dan
Ungkapan)

Oleh :
Salma Hanifah Yusrizal
(201313)
RELASI MAKNA
A. Relasi makna adalah hubungan antara makna kata yang satu dan makna kata lainnya. Pada
dasarnya prinsip relasi makna ada empat jenis, yaitu :
1. Prinsip kontiguitas.
2. Prinsip komplementasi.
3. Prinsip overlaping.
4. Prinsip inklusi.

B. Jenis Relasi Makna 2


1. Sinonimi
Kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onama yang berarti „nama‟ dan syn yang
berarti „dengan‟. Sinonimi ialah suatu istilah yang mengandung pengertian (1) telaah mengenai
bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama, (2) keadaan yang menunjukkan dua
kata atau lebih memiliki makna yang sama, dan (3) nama lain untuk benda sama.
Contoh: pintar, pandai, cerdik, cerdas, cakap
Faktor yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk menukarkan sebuah kata dengan kata yang
lain yang bersinonim, yaitu:
1. Faktor Waktu
Contoh, kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan.
2. Faktor Tempat atau Daerah
Contoh, kata saya dan beta adalah kata yang bersinonim.
3. Faktor Sosial
Contoh, kata aku dan saya adalah kata yang bersinonimi.
4. Faktor Kegiatan
Contoh, kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah kata yang
3
bersinonim.
5. Faktor Nuansa Makna
Contoh, kata melihat, melirik, meninjau, melotot, mengintip adalah
kata-kata yang bersinonim.
Sinonimi sebuah kata dalam suatu bahasa dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai
berikut.
▹ Penyerapan (borrowing) Kata-kata Asing
Di sini sinonimi terjadi karena bahasa itu menerima dua bentuk atau lebih dari suatu bahasa
atau menerima beberapa bentuk dari beberapa bahasa, misalnya buku, kitab, pustaka; sekolah,
madrasah; iklan, reklame, advertensi.
▹ Penyerapan Kata-kata Daerah
Tempat kediaman yang berlainan mempengaruhi kosakata yang dipergunakan meskipun
referennya sama, contoh parang dan golok, lempung dan tanah liat.
▹ Makna Emotif (Nilai Rasa) dan Evaluatif.
Dalam hal ini makna kognitif kata-kata yang bersinonim itu tetap sama, tetapi nilai emotif dan
4
evaluatifnya berbeda. Misalnya ekonomi, hemat, irit; dara, gadis, perawan; kikir, pelit; mati,
2. Antonimi
Antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onama yang berarti “nama” dan anti yang
berarti “melawan”. Jadi, secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain pula.
Antonimi ialah dua buah kata yang mengandung makna berlawanan. Contoh: kuat >< lemah,
jauh >< dekat, kaya >< miskin.
▹ Oposisi Kembar
Oposisi ini mencakup dua anggota, misalnya laki-laki-wanita, hidup-mati, ayah-ibu. Ciri utama
kelas antonimi ini adalah penyangkalan terhadap yang satu berarti penegasan terhadap yang
lain dan sebaliknya.
▹ Oposisi Gradual
Oposisi ini merupakan penyimpangan dari oposisi kembar, yaitu antara dua istilah yang
5
berlawanan masih terdapat sejumlah tingkatan antara. Antara kaya dan miskin, panjang dan
pendek.
▹ Oposisi Relasional (Kebalikan)
Oposisi relasional adalah oposisi antara dua kata yang mengandung relasi kebalikan; relasi
pertentangan yang bersifat saling melengkapi. Misalnya, kata menjual beroposisi dengan kata
membeli.
▹ Oposisi Hierarkis
Oposisi ini terjadi karena setiap istilah menduduki derajat yang berlainan. Kata-kata yang
beroposisi hierarkis adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi),
nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Misalnya,
kata meter beroposisi dengan kilometer.
▹ Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk adalah oposisi yang mencakup suatu perangkat yang terdiri atas dua kata.
Satu kata berlawanan dengan dua kata atau lebih. Contoh lain kata berdiri dapat beroposisi
dengan kata duduk, berbaring, berjongkok.
▹ Oposisi Inversi
Pengujian utama dalam menetapkan oposisi ini adalah apakah kata itu mengikuti kaidah
sinonimi yang mencakup (a) penggantian suatu istilah dengan yang lain dan (b) mengubah 6
posisi suatu penyangkalan dalam kaitan dengan istilah berlawanan.
Misalnya: Beberapa negara tidak mempunyai pantai = tidak semua negara mempunyai pantai.
3. Homonimi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno onama yang artinya „nama‟ dan homo
yang artinya „sama‟. Kata-kata yang sama bunyi dan bentuknya, tetapi mengandung makna
dan pengertian yang berbeda disebut homonimi. Contoh:
buku I = sendi bambu, buku II = kitab
kopi I = nama pohon atau biji yang digoreng, kopi II = salinan
- Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kata-kata yang homonimi, yaitu sebagai
berikut.
(1) Kata-kata yang berhomonim itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya,
kata bisa yang berarti „racun ular‟ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang
berarti „sanggup‟ berasal dari bahasa Jawa.
7
(2) Kata-kata yang berhomonim itu terjadi sebagaimana hasil proses morfologis. Misalnya,
kata mengukur dalam kalimat “Ibu sedang mengukur kelapa di dapur” adalah berhomonim
dengan kata mengukur dalam kalimat “Petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami”.
-Dalam bahasa Indonesia terdapat 3 golongan homonim:
1. Homonim yang homograf dan homofon.
2. Homonim yang tidak homograf tetapi homofon.
3. Homonim yang homograf tetapi tidak homonim.
4. Hiponimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onama berarti „nama‟ dan hypo
berarti „di bawah‟. Hiponimi ialah semacam relasi antarkata yang berujud atas bawah, atau
dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain.
Misalnya, kata-kata hijau, kuning, merah, ungu, biru, putih, hitam adalah hiponim terhadap
kata warna;
Setiap hiponimi pada gilirannya dapat pula menjadi superordinate (hipernim) bagi sejumlah
hiponim yang terdapat di bawahnya. Misalnya, kata mawar yang merupakan hiponim
terhadap bunga merupakan hipernim terhadap mawar merah, mawar putih, mawar jingga.
5. Polisemi
Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang
8
memiliki makna yang berbeda-beda, tetapi masih dalam satu aluran arti. Contoh:
kepala = 1) bagian tubuh dari leher ke atas
2) bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal

yang penting.
Polisemi sangat dekat dengan istilah lain, yaitu homonimi yang berarti dua kata atau lebih,
tetapi memiliki bentuk yang sama. Dalam polisemi kita berhadapan dengan satu kata saja,
sedangkan dalam homonimi kita berhadapan dengan dua kata atau lebih.
PERUBAHAN
MAKNA

Makna kata secara diakronis
kemungkinan dapat berubah.
Sebuah kata yang pada zaman
dahulu bermakna A pada waktu
sekarang dapat bermakna B, dan
pada suatu waktu kelak mungkin
bermakna C atau bermakna D.

10
Chaer (1990, hlm.136-145) menjelaskan
bahwa faktor-faktor penyebab perubahan
makna tersebut antara
1.Perkembangan dalam bidang ilmu dan
teknologi,
2.Perkembangan sosial dan budaya,
3. Perbedaan bidang pemakaian,
4.Adanya asosiasi,
5.Pertukaran tanggapan indera,
6.Perbedaan tanggapan,
11
7. Adanya penyingkatan,
8. Pengembangan istilah.
1. Perkembangan dalam Bidang Ilmu dan Teknologi
Sebuah kata yang asalnya mengandung konsep makna yang sederhana tetap digunakan
walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah sebagai akibat dari pandangan baru atau
teori baru dalam satu bidang ilmu sebagai akibat dalam perkembangan teknologi. Contoh, kata
sastra yang pada awalnya bermakna tulisan atau buku yang baik isi dan bahasanya berubah
makna menjadi karya yang bersifat imajinatif kreatif.
2. Perkembangan Sosial dan Budaya
Perubahan makna dapat pula disebabkan oleh perkembangan dalam bidang sosial
kemasyarakatan. Sebuah kata yang asal mulanya bermakna A lalu berubah menjadi bermakna B
atau C. Sebagai contoh, kata sarjana dahulu menurut bahasa Jawa kuno berarti orang pandai
atau cendekiawan, sekarang bermakna orang yang sudah lulus dari perguruan tinggi.
3. Perbedaan Bidang Pemakaian 12
Kata-kata yang menjadi kosakata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupan dan
pemakaian sehari-hari dapat diambil dari bidangnya dan digunakan dalam bidang lain atau
menjadi kosakata umum. Misalnya, kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian (dengan
segala macam derivasinya). Dari menggarap sawah hingga menjadi menggarap skripsi.
4. Adanya Asosiasi
Perubahan makna dapat terjadi karena adanya persamaan sifat. Makna baru yang muncul
berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Asosiasi disini
bisa berkenaan dengan wadah (amplop), waktu (17 agustus) dan tempat (peristiwa Madiun)
5. Pertukaran Tanggapan Indera
Sebenarnya alat indera sudah mempunyai tugas masing-masing untuk menangkap gejala-gejala
yang terjadi di dunia ini. Perubahan makna yang disebabkan oleh pertukaran tanggapan indera
disebut dengan istilah sinestesia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani sun artinya “sama” dan
aisthetikas artinya “tampak” Misalnya, kata pedas dalam ujaran kata-katanya cukup pedas.
6. Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal
yang tetap. Namun, karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam
masyarakat, banyak kata yang memiliki nilai rasa rendah atau kurang menyenangkan (peyoratif)
di samping ada juga yang memiliki nilai rasa yang tinggi atau yang mengenakkan (amelioratif).
Contoh kata tuli dan kata tunarungu.
7. Adanya Penyingkatan 13
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang sering digunakan secara tidak
lengkap karena mengalami penyingkatan. Walaupun tanpa diucapkan atau dituliskan secara
keseluruhan, kata atau ungkapan tersebut tetap dapat dipahami maksudnya. Misalnya, dalam
kalimat “Ayahnya meninggal” tentu maksudnya meninggal dunia. Jadi, kata meninggal adalah
bentuk singkat dari ungkapan meninggal dunia.
8. Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan
memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru, baik
dengan menyempitkan, meluaskan, maupunmemberi arti baru sama sekali. Misalnya, kata papan
yang semula bermakna „lempengan kayu (besi, dan sebagainya) tipis‟, sekarang diangkat
menjadi istilah untuk makna „perumahan‟.
Jenis-jenis perubahan makna dalam kata bisa terjadi secara:
1. Meluas, terjadi pada laksem yang asalnya hanya memiliki satu makna menjadi memiliki
beberapa makna disebabkan beberapa faktor. Contoh kata berlayar.
2. Menyempit, terjadi karena kata yang dulunya memiliki makna yang cukup luas namun
kemudian berubah maknanya menjadi terbatas pada satu makna saja. Contoh kata sarjana.
3. Amelioratif, sebuah proses perubahan makna yang semulanya memiliki makna yang
rendah kini memiliki maknya yang tinggi atau lebih baik. Contoh kata tunaasusila yang
memiliki makna lebih baik dari pada kata pelacur.
4. Peyoratif, perubahan yang mengakibatkan sebuah kata atau ungkapan menggambarkan
sesuatu yang kurang baik atau dalam artian yang lain makna yang baru ini dirasakan lebih
rendah nilainya dari makna yang lama. Contoh laki-bini.
5. Perubahan Total, berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya. 14
Walaupun makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal,
sangkut pautnya ini tampak sudah jauh sekali. Misalnya, kata ceramah.
6. Penghalusan (Eufemia), gejala ditampilkannya kata-kata yang dianggap memiliki makna
yang lebih halus atau lebih sopan daripada kata-kata yang digantikannya. Misalnya,
pembantu rumah tangga menggantikan kata babu, pramuwisma.
7. Pengasaran (Disfemia) adalah usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau
bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Misalnya kata mendepak.
8. Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena adanya persamaan sifat sehingga
suatu kata atau istilah dapat dipakai untuk pengertian yang lain. Misalnya kata lintah
darat.
UNGKAPAN
Ungkapan digunakan agar orang yang diberi nasihat atau dibandingkan tidak merasa
tersinggung. Ungkapan adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk
menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan (Tarigan, 1985: 164). Sementara itu,
ungkapan tabu adalah ungkapan yang tidak boleh digunakan dalam suasana tertentu,
terutama dalam hubungannya dengan kepercayaan.
Jenis ungkapan tabu, menurut Ullmann (1972, hlm.205-207), sekurang-kurangnya ada tiga
jenis tabu yang hadir dalam kehidupan manusia, yakni:
1. Tabu yang berkaitan dengan sesuatu yang menakutkan (taboo of fear),
2. Contoh yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap roh halus. Roh halus dalam
bahasa Jawa disebut lelembut. Di antara lelembut ada yang bersikap jahat kepada
manusia. Untuk membujuk agar roh halus itu tidak mengganggu, roh halus itu disebut
sing mbaureksa yang berarti „penjaga‟ atau „yang mendiami suatu tempat‟
16
3. Tabu yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak mengenakkan (taboo of delicacy),
berkaitan erat dengan aspek relasi antarmanusia. Dalam konteks ini, dimensi sopan
santun akan menjadi penanda ketabuan yang penting. Misalnya, kata cacat dalam
pemakaian bahasa perlu dihindari karena dapat melukai perasaan orang yang
menderita cacat.
4. Tabu yang berkaitan dengan ketidakpantasan (taboo of propriety).
1. Kaitan itu terutama terjadi dalam hal nilai rasa sosial. Situasi zaman merupakan faktor
penting yang turut menetapkan nilai rasa sosial dan usaha menciptakan ungkapan baru
sebagai penggantinya apabila nilai rasa sosial kata yang bersangkutan dipandang tidak
sesuai lagi.
Strategi Penghindaraan Ungkapan Tabu
Slametmuljana (1964, hlm.61-62) menjelaskan ada beberapa langkah yang dapat dilakukan
oleh masyarakat bahasa untuk menghindari pemakaian kata-kata atau ungkapan-ungkapan
tabu, yaitu dengan jalan sebagai berikut:
(1) mengganti bunyi kata atau ungkapan tabu,
(2) menyebut kata atau ungkapan tabu dengan singkatan
(3) menggunakan gaya bahasa metafora atau kiasan,
(4) menggunakan kata lain berdasarkan kata yang sudah ada, misalnya digeser atau dihentikan
dari pekerjaan diganti dengan diremajakan.
(5) menyebut kata atau ungkapan tabu dengan kata asing,
(6) menciptakan kata baru untuk mengganti kata atau ungkapan tabu yang dipandang tidak 17
sesuai,
(7) menggunakan kata lain yang dianggap lebih sesuai dengan suasana zaman
(8) menggunakan ungkapan lain yang memberikan kesan dan pandangan yang baik
TERIMA KASIH
18

Anda mungkin juga menyukai