Anda di halaman 1dari 33

Gagasan

Good Governance Al-


Ghazali
Kelompok 6 :

1. Liana Esa Fajrian (201812500778)


2. Amalia Azro (201812500780)
3. Novita Dewi (201812500782)
4. Lanira Pradita (201812500837)
BAB I
Hakikat Manusia dan Negara
A. Fitrah Sosial

Manusia adalah makhluk sosial. Manusia diciptakan dengan berbagai model dan karakter
yang berbeda sehingga dengan perbedaan itu manusia tergerak untuk mengenal satu sama
lain. Dalam pandangan Al-Ghazali, setiap manusia memiliki fitrah sosial yaitu untuk
berhubungan dan hidup bersama orang lain sebagai bagian dari masyarakat. Kehidupan
manusia digerakkan oleh hati. Jika hati rusak, maka rusak pula bagian yang lain. Maka dari
itu kita harus selalu menjaga hati kita agar selalu bersih.
B. Mengelola Negara

Al-Ghazali menilai bahwa negara yang baik adalah negara yang memiliki tata kelola
pemerintahan yang baik (husn al-siyasah), dengan cara para penguasa (khalifah) harus
menjalankan system pemerintahan sebaik mungkin. Kepemerintahan adalah proses
pengaturan negara dalam menyelesaikan segala sengketa yang terjadi dalam negara, yang
bertujuan melindungi dan mensejahterakan rakyat. Pemerintahan yang baik itu harus
dijalankan dengan efektif, jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab kepada semua
level pemerintahan.
BAB 2
ETIKA POLITIK

A. Pengertian Etika Politik

Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani, ethosyang berarti watak,
kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama
karangan Poerwadarminta tahun 1953 dinyatakan bahwa etika adalah ilmu
pengetahuan tentang asas-asas moral (akhlak). Jika kata ‘etika’ bersanding
dengan kata ‘politik’, maka yang lebih dulu dijadikan pijakan adalah kata
‘etika’.
B. Sejarah Perkembangan Etika Politik

Secara historis, etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di
lingkungan kebudayaan Yunani 2.500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan
lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan
kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.
C. Aliran-Aliran dalam Etika Politik

a. Hedonisme
Kata hedonisme berasal dari kata hedone dalam bahasa Yunani, yang berarti
nikmat, kegembiraan.

b. Intuisi
Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan batin
atau kata hati yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang.
c. Utilitarianisme
Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah
yang berguna.

d. Vitalitas
Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup
manusia.

f. Evolusi
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di
alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju
kesempurnaanya.
E. Negara, Pemerintah dan Kepemerintahan

Negara adalah lembaga politik yang berdaulat, yang memiliki wilayah (teritori),
sistem pemerintahan dan adanya penduduk. Sementara itu, pemerintah adalah
pelaksana dari sebuah negara untuk mencapai tujuan berdirinya sebuah negara.
Sedangkan kepemerintahan adalah proses bagaimana subjek melakukan
aktivitas.
BAB III
NEGARA DAN KEPEMERINTAHAN
A. Unsur-Unsur Dalam Suatu Negara
Apa itu ‘negara’ (state) dan apa itu ‘pemerintah’ (goverment). Negara adalah
lembaga politik yang berdaulat, yang memiliki wilayah (teritori), sistem
pemerintahan dan adanya penduduk.Negara sebagai suatu organisasi yang
sangat istimewa dibentuk karena adanya kebutuhan dari masyarakat dengan
segala rutinitas dan kompleksitas kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan
budaya yang memerlukan pengaturan dan pelayanan sehingga masyarakat
tersebut dapat terhindar dari situasi yang tidak kondusif.
Lanjutan..
Lalu, bagaimana dengan istilah ‘kepemerintahan’
(governance)?

kata governance secara kebahasaan bisa diterjemahkan ke dalam bahasa


Indonesia menjadi ‘kepemerintahan’, ‘pemerintahan’, ‘tata pemerintahan’, atau
‘tata kelola pemerintahan’.
B. GOOD GOVERNANCE
Secara epistemologis, perubahan paradigma goverment menjadi governance
berwujud pada pergeseran mindset dan orientasi birokasi sebagai unit pelaksana
dan penyedia layanan bagi masyarakat, yang mana semula birokrat melayani
kepentingan kekuasaan menjadi birokrat yang berorientasi pada pelayanan
publik.
Secara etimologi, istilah good governance dapat diartikan sebagai pengelolaan
yang baik atau penyelenggaraan yang baik, kepemerintahan yang baik dan
berwibawa. Ada juga yang menyebutkan bahwa istilah good governance lebih
tepat diganti dengan ethical. Hal ini tentu mengingat bahwa bicara soal good
governance adalah bicara soal perilaku atau etika birokrasi.
Jadi, dari sini kita dapat pahami bahwa pengertian good governance ternyata
tidaklah tunggal. Tidak ada keseragaman dan cenderung bervariasi. Tidak adanya
makna tunggal dalam pengertian good governance disebabkan karena penggunaan
konsep ini tidak pada satu sektor saja, melainkan banyak sektor.
BAB IV
GAGASAN PRIMER TENTANG POLITIK
A. KEPIMIMPINAN (AL-KHILAFÂH)
Al-Ghazali berpandangan bahwa sumber kekuasaan dan kewarganegaraan
kepala negara berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran Surat an-Nisa: 59
)59 : ‫ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى األمر منكم (انُساء‬
Artinya : "orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil
Amri (pemimpin) di antara kamu.”
Al-Ghazali mengibaratkan agama dan khalifah sebagai dua
anak kembar, agama adalah pondasi, khalifah adalah penjaganya
Dalam bahasa Arab, pemimpin negara bisa disebut dengan istilah imăm, amîr,
khalîfah, qa’id, za’im, raîs, mălik dan sulthân.

Dalam terminologi Islam, istilah kepemimpinan lebih sering disebut dengan tiga
istilah, yakni imămah, khilâfah dan amîrul mukminîn.

Khalifah adalah pelindung pelaksanaan syariat dan agama.


Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang
penguasa.
seorang khalifah beserta perangkat-perangkat politiknya
harus menjalankan tugas sesuai dengan tuntunan syariat dan
tidak menyimpang dari ajaran syariat.
1. Syarat Kepala Negara
Al-Gazhali mengemukakan 10 kriteria menjadi kepala Negara yang harus
dipenuhi, yakni : 1) dewasa atau sudah aqil baligh; 2) sehat rohani atau
kejiwaan; 3) merdeka atau bukan budak; 4) laki-laki; 5) keturunan Bani
Quraisy; 6) memiliki kecakapan memimpin; 7) bertakwa; 8) memiliki wawasan
keilmuan; 9) wara’ atau tidak cacat moral dan kriminal; dan 10) sehat jasmani.
2. Pemilihan Kepala Negara
Al-Ghazali berpendapat bahwa mengangkat seorang
pemimpin negara (khalifah) tidak berdasarkan rasio melainkan wajib syar’i
karena tugas utama khalifah adalah dalam rangka memelihara syariat. Ia juga
mengatakan bahwa kekuasaan kepala negara,
sultan atau raja tidak datang dari rakyat, tetapi dari Allah, yang
diberikan hanya kepada sejumlah kecil hamba pilihan. Oleh
kerenanya kekuasaan kepala negara adalah muqaddas atau suci.
Hal itu berlandaskan pada firman Allah dalam al-Quran Surat Ali-Imran :26.
B. ADMINISTRASI NEGARA (AHKÂM AL-SULTHÂNIYAH)

1. Lembaga Negara

Al-Ghazali menggambarkan bahwa suatu lembaga negara itu seperti anggota


tubuh. Seorang kepala negara adalah ‘hati’ yang menerima dan membagi segala
sesuatunya ke seluruh tubuh. Al-Ghazali juga menekankan adanya lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
2. Peraturan Perundang-Undangan

Al-Ghazali juga merinci tiga perundang-undangan (UU) yang harus berlaku di


tengah masyarakat dan negara.
a. Hukum Tuhan
Hukum Tuhan merupakan sumber segala hukum dan mempunyai kedaulatan
yang tertinggi.
b. Hukum Moral
Hukum moral bersumber dari hukum Tuhan dan hukum negara.
c. Hukum Negara
Hukum negera dinamakan juga sebagai hukum positif, yaitu segala peraturan
yang ditetapkan oleh lembaga perundangundangan.
3. Partisipasi Publik

Partisipasi publik sangat penting dalam upaya menumbuhkan kesadaran cinta


negara. Kepemerintahan yang baik adalah sistem yang mengikutsertakan publik
sebagai subjek negara dan bukan objek negara. Masyarakat diikutsertakan dalam
membangun dan mengembangkan negara sebagai kepemilikan bersama.
C. Birokrasi (Al-Diwan)

Birokrasi (al-Diwan) adalah sekelompok orang yang bekerja untuk administrasi negara
dan pelayanan public dalam sebuah negara. Birokrasi dibentuk untuk memelihara hal yang
berkaitan dengan harta kekayaan, pekerjaan, tantara dan pekerja yang mengerjakan tugas-
tugas tersebut. Al-Ghazali membagi kekuasaan pada 3 lembaga negara yaitu Majelis
Musyawarah, Dewan Mahkamah, dan Dewan Menteri. Adanya birokrasi berfungsi agar
adanya proses diskusi, sharing atau musyawarah antara atasan dan bawahan.
D. Pelayanan Publik (Wizarah Al-AMMAH)

Aparat pemerintah harus mengutamakan pelayanan terhadap orang-orang yang


membutuhkan dengan tidak melihat siapa yang akan dilayani, tapi apa dan bagaimana
kebutuhannya. Para pegawai sebaiknya memiliki jadwal harian rutin agar dalam
menjalankan tugasnya mereka bertanggung jawab sesuai dengan yang diamanatkan. Ada 4
hal penting yang harus dikerjakan oleh pemerintah :
 Waktu untuk beribadah kepada Allah
 Waktu untukmengurus kepemerintahan dalam berbagai bidang
 Waktu untuk makan dan tidur
 Waktu untuk berolahraga
E. ETIKA KEPEMERINTAHAN (SIYÂSAH AL-AKHLÂQ)

Al-Ghazali membagi etika pada dua hal, yakni etika pribadi


(personal) dan etika masyarakat. Yang disebut etika pribadi
adalah hal yang menimbulkan tindakan atau perbuatan seorang,
baik mengenai dirinya sendiri maupun mengenai masyarakat seluruhnya. Sementara
etika masyarakat adalah hal yang
menimbulkan tindakan atau perbuatan masyarakat yang
mengikat seluruh anggota masyarakatnya.
Etika politik yang dimaksud Al-Ghazali adalah etika yang
disandarkan kepada agama,
BAB V
PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE

Al-Ghazali dalam beberapa karyanya menyarankan atau memberikan nasihat kepada


para penguasa tentang prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (husn al-siyăsah) yang
berbasiskan pada etika. Penulis kemudian menarik intisari dari anjuran (nasihat) dan saran Al-
Ghazali tersebut ke dalam tujuh prinsip. Tujuh prinsip ini disarikan dari pandangan-
pandangan universalnya tentang konsep kepemerintahan seperti yang dijelaskan dalam Bab
III. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang menentukan baik atau buruknya suatu
kepemerintahan tergantung kepada para pelakunya.. Jika penguasa memiliki etika yang baik,
maka kepemerintahan akan baik. Sebaliknya, jika penguasa memiliki etika yang buruk, maka
kepemerintahan akan buruk.
A. Sesuai Kompetensi (Kafă’ah)
Kompetensi adalah berkerja dengan baik sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Dengan kata lain,
seseorang bekerja sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Ini tentu mengacu pada sabda Rasulullah yang
berbunyi: “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR.
Bukhari). Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda: "Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah
seorang di antara kalian jika dilakukan dengan kompeten.” (HR. Baihaqi). Yang disebut kompeten dalam
pandangan Al-Ghazali adalah orang yang bekerja sesuai dengan kapasitas atau keahliannya dan sesuai dengan
bidangnya. Ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seorang pemimpin, pejabat maupun pegawai dapat
berkerja dengan kompeten. Pertama, pejabat dan pegawai yang kompeten memiliki loyalitas yang tinggi
terhadap pekerjaannya. Kedua, seorang pemimpin, pejabat dan pegawai pemerintah yang kompeten pasti tidak
mementingkan dirinya sendiri. Seorang pegawai sejati dapat memilah dan memilih mana hal yang terkait
dengan kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan pekerjaan. Tidak ada tumpang tindih. Menurut Al-Ghazali,
seorang kepala negara dan jajarannya harus dapat mengutamakan kepentingan pekerjaan di atas kepentingan
pribadi.
Dalam pandangan Al-Ghazali, ada beberapa profesi dalam sistem kerja kepemerintahan
yang harus menuntut prasyarat agar terciptanya kepemerintahan yang profesional dan
kompeten sehingga terciptanya kepemerintahan yang baik. Yaitu;
1. Kepala Kepemerintahan (Khalîfah)
2. Menteri (Wazîr)
3. Sekretaris (Kâtib)
4. Hakim (Qâdhi)
5. Tentara (Jundiyah)
6. Pegawai Negeri
B. Berlaku Adil ( ‘Âdalah)

Menurut Al-Ghazali, keadilan memiliki makna umum dan memiliki makna khusus, meliputi
keadilan dalam bermuamalat, keadilan dalam hukum, keadilan dalam keuangan, dan keadilan dalam
hak-hak manusia. Tetapi makna asli dari kata ‘adil sendiri bila ditinjau secara etimologi berarti
persamaan dalam bermuamalat. ‘Keadilan’ berarti bersikap adil terhadap semua hamba Allah. Suatu
negara tidak bisa mendapatkan kemajuan, dan malah akan terlempar ke dalam keterpecahan, kecuali
jika diurus di antara segenap orang-orang islam, menurut Al-Ghazali. Seorang pemimpin yang adil
juga mendapat tempat terhormat di mata Nabi saw. Rasulullah bersabda, “Sehari keadilan seorang
penguasa jauh lebih baik dari tujuh puluh tahun beribadah.” Kata Nabi lagi. “Adil adalah bagian dari
agama, dan dalam keadilan terletak kebaikan seorang penguasa dan kekuatan orang awam. Dalam
keadilan pula, terletak kebaikan rakyat, kesejahteraan, dan kesehatan mereka. Segala sesuatu akan
ditimbang dengan timbangan keadilan.”
C. Gaya Hidup Sederhana (Basâthah)

Begitulah seharusnya pemimpin. memiliki sifat sederhana dan tidak boros. Karena, sifat boros (tabdir)
adalah perilaku setan. Ketika seorang pemimpin memiliki sifat boros, maka potensi untuk berbuat korupsi
akan terbuka lebar. Umar bin Abdul Aziz sebelum diangkat menjadi khalifah memiliki selera yang tinggi
dalam banyak hal, seperti pakaian, makanan, rumah, berwisata, dan sebagainya, tetapi setelah ia menjadi
khalifah, selera tinggi itu ia buang jauh-jauh. Ia seakan menjadi orang yang jatuh miskin karena diangkat
menjadi penguasa. Kesederhanaan dalam hidup akan lahir manakala seseorang sudah dapat hidup dengan
qanaah (menerima apa adanya). Al-Ghazali menyebutkan bahwa seorang pegawai negeri atau pejabat
hendaknya dapat mengendalikan dorongan hawa nafsunya seperti ingin mengenakan pakaian mewah dan
makanan yang serba lezat dan nikmat. Jika pejabat masih seperti itu, maka ia belum belajar qanaah.
Kesederhanaan seorang pemimpin tidak hanya akan menyelamatkannya di akhirat, tapi juga di dunia. Sudah
banyak fakta sejarah yang menyebutkan bahwa pemimpin yang suka kesenangan dan foya-foya tidak akan
bertahan lama dalam kepemimpinannya. Ia akan segera tumbang.
D. Berperilaku Jujur (Amanâh)
Amanah berarti kejujuran atau hal yang dapat dipercaya. Lawan dari amanah adalah
khianah atau tidak bisa dipercaya. Orang yang dapat dipercaya disebut amin atau umanah, yang
lawannya pengkhianat (kha’in). Keterkaitan amanah dan iman terlihat dalam hadits Nabi
Muhammad SAW: “Tidak sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna
agama seseorang yang tidak menunaikan janji.” (HR. Ahmad). Amanah merupakan salah satu
sifat para nabi dan rasul Allah. Sejak kecil Nabi Muhammad SAW sudah dikenal oleh
masyarakat di sekitarnya dengan kejujurannya, sehingga mereka memberikan gelar al-amin
(yang sangat jujur) kepada beliau. Al-Ghazali memandang bahwa semua pejabat negara dan
kepemerintahan harus memiliki sifat jujur dan amanah. Sifat ini menurut Al-Ghazali adalah
moral politik, dan bukan prinsip politik. Sebab, dia memandangnya sebagai suatu sifat yang
harus dimiliki oleh pemimpin, supaya berlaku jujur di dalam menjalankan tugas yang
diamanatkan kepadanya. Seorang pemimpin atau pejabat harus memegang teguh amanat yang
diembannya, karena jabatan adalah titipan yang kelak di akhirat akan dipertanggungjawabkan.
Hadits Nabi menyebutkan, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan
dipertanggung jawabkan kepemimpinannya.” Dalam hadits lain Nabi bersabda bahwa pada hati
kiamat nanti tak ada naungan dan perlindungan kecuali dari Allah.
E. Bertindak Responsif (Istijăbah)

Seorang penguasa dan pejabat dalam sebuah kepemerintahan haruslah memiliki daya
tanggap yang baik (responsiveness) yang baik atas apa yang terjadi di tengah rakyatnya. Bentuk
responsivitas dari seorang pemimpin dapat dilihat dari sikapnya yang tegas. Ketegasan seorang
pemimpin dalam mengambil keputusan dan kebijakan adalah sebagai bentuk responsivitas yang
tinggi. Pemimpin yang tegas tidak segan-segan memberi sanksi dan menindak pegawainya yang
tidak dapat bekerja dengan baik dan maksimal. Sebab, ia sadar betul bahwa seorang pegawai
negara dan pemerintahan bertugas untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan untuk mempekaya
diri. Seorang pejabat juga seharusnya tidak segan-segan untuk turun langsung ke lapangan untuk
mengecek pekerjaan anak buahnya. Seorang pejabat juga seharusnya tidak segan-segan untuk
turun langsung ke lapangan untuk mengecek pekerjaan anak buahnya. Ia juga tidak sepatutnya
berpangku tangan hanya untuk menunggu laporan dari bawahannya.
F. Rendah Hati Dan Tulus (Tawaddhu’ Wal Ikhlash)

Al-Ghazali menegaskan pentingnya seorang penguasa dan pejabat pemerintah agar memiliki sifat
rendah hati (tawaddhu’). Seorang pimpinan negara, pejabat dan pegawai pemerintahan yang bekerja
dengan baik biasanya melakukan pekerjaannya dengan tulus dan ikhlas. Ia bekerja tidak atas dasar
keterpaksaan. Al-Ghazali menegaskan bahwa sikap bekerja dengan baik dapat tercipta apabila dalam hati
seseorang bekerja dengan senang dan tanpa tekanan. Rasa ikhlas dan tulus yang datang dari hati akan
mengantarkan seseorang bekerja dengan maksimal. Sikap ini sangat diperlukan demi terciptanya sistem
dan manajemen kepemerintahan yang baik. Dalam hal ini, tegas AlGhazali, yang dituntut untuk bekerja
dengan baik dan kompeten tidak hanya bawahan, tapi juga atasan. Seorang pimpinan harus memberikan
contoh yang baik. Jika pimpinannya bisa bekerja dengan baik, maka anak buah akan mudah
mengikutinya.
G. Lemah Lembut Kepada Rakyat (Rifq)

Al-Ghazali menekankan agar para pejabat negara tidak bertindak keras.Yang dimaksud
bertindak keras adalah hilangnya keramahan dan hati yang lembut dalam mengurusi rakyat. Pejabat
negara tidak boleh bringas, kasar, dan otoriter. Tidak boleh pejabat negara menggunakan kekerasan
dalam mengelola negara. para pejabat negara dan kepemerintahan hendaknya berusaha untuk
memperoleh simpati dari seluruh rakyat disertai rasa takut kepadanya. Rakyat harus dilindungi hak-
hak dasar mereka sebagai rakyat yang ingin hidup aman dan nyaman. Tidak boleh pejabat negara
membiarkan ketidaknyamanan terjadi di tengah rakyat, atau memberikan pembiaran atas terjadinya
kekacauan.
THANK
Do you have any questions? YOU!
CREDITS: This presentation template was created
by Slidesgo, including icons by Flaticon,
infographics & images by Freepik

Anda mungkin juga menyukai