Anda di halaman 1dari 21

Journal Reading

Efficacy of Repetitive Transcranial Magentic


Stimulation on Refractory Epilepsy in
Malaysia

Dr.Hediaty Syafiera
Pembimbing : dr. HM. Hasnawi Haddani, Sp.S (K)
Pendahuluan
• Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) adalah sebuah metode noninvasif yang umumnya
ditoleransi dengan baik untuk stimulasi kortikal yang didasarkan pada prinsip induksi
elektromagnetik, dimana arus kecil listrik intrakranial dibangkitkan oleh medan magnet
berfluktuasi listrik kuat dari ekstrakranial
• Stimulasi dengan frekuensi rendah (≤ 1 Hz) menghasilkan penurunan eksitabilitas kortikal dan
perannya terhadap epilepsi dikembangkan pada tahun 1994.
• rTMS lebih umum digunakan pada rehabilitasi pasca stroke, bukan pada epilepsi.
• rTMS sebagai modalitas terapeutik yang baru terutama untuk kasus epilepsi fokal refrakter,
dengan 38% pasien yang mendapatkan tatalaksana ini mengalami penurunan frekuensi kejang
hingga 50%.
Tujuan

• Studi ini bertujuan untuk menilai efikasi dari rTMS pada pasien
dengan epilepsi fokal refrakter di University Malaya Medical Centre
(UMMC), Malaysia
Metode
• Sebanyak total 9 pasien dari UMMC dengan riwayat paling tidak 2 tahun
mengalami epilepsi fokal refrakter.
• Refrakter didefinisikan sebagai epilepsi tidak terkontrol selain dengan 2 atau
lebih OAE dosis maksimal yang bisa ditolerasi.
• Kriteria Inklusi  Semua pasien dengan serangan ≥ 4 kali dalam sebulan
tanpa adanya gangguan psikiatrik dan metabolik lainnya.
• Kriteria Eksklusi  Pasien berusia ≤ 18 tahun dan atau yang menggunakan
pacu jantung, stimulator nervus vagal dan alat yang berbahan metal di
intrakranial.
Metode (protokol rTMS)

• rTMS dilakukan per hari selama 2 minggu pada frekuensi 1 Hz dan


intensitas MT (motor threshold) sebesar 90% dengan coil figure of
eight.
• MT dinilai awal pada otot interosesus dorsal tangan dominan.
• Selama sesi rTMS, coil diposisikan pada pada kortkes cerebri dimana
terdapat lesi epileptogenik, zona iktal, atau di vertex bila lesi
epileptogeniknya letak dalam, zona iktal negatif ataupun bilateral.
Metode (protokol rTMS)

• Setiap sesi rTMS  pasien mendapatlan 2 kali 500 stimulus dgn


frekuensi 1 Hz, interval 10 menit antar stimulus, selama 5 hari per
minggu dalam 2 minggu.
• Bila dalam sesi rTMS terjadi kejang, maka stimulus dihentikan.
• Benzodiazepin diberikan bila kejang terjadi > 5 menit.
1. Karakteristik demografis
dan variable klinis.

Metode (Luaran Klinis) 2. Outcome primer 


penurunan rata-rata frekuansi
kejang sedikitnya 50% dalam
Fase pre-treatment 8 minggu post treatment
Minggu -4 s/d -1 dibandingkan dgn baseline.

3. Outcome sekunder 
Fase treatment meliputi jumlah
Minggu 1-2 epileptiforms discharge
interinktal (IEDs) dalam 30
Fase Post Treatment menit perekaman , Beck
Minggu 3-10 Depression Inventory II
(BDI II), Symptom
Checklist 90 (SCL-90)
Baseline  frekuensi rata- and Quality of Life in
rata kejang per minggu dalam Epilepsy (QOLIE-31), yang
4 minggu sebelum treatment diukur pada 4 minggu pre
dimulai. treatment dan 8 minggu post
treatment.
• Beck Depression Inventory II (BDI II)  berisikan 21 pertanyaan
self-assessment mengenai gejala-gejala depresi dalam 2 minggu.
• Skor 0-10 : normal.
• Skor 11-16 : depresi ringan.
• Skor 17-20 : depresi klinis borderline.
• Skor 21-30 : depresi sedang.
• Skor 31-40 : depresi berat.
• Skor > 40 : depresi berat.
• Symptom Checklist 90 (SCL-90)  berisikan 90 item kuesioner
mengenai keparahan gejala psikiatrik yang dialami pasien :
• Somatisasi
• Obsesive-compulsive
• Depresi
• Ansietas
• Paranoid
• Psikosis
Dinilai dengan menggunakan Global Severity index (GSI)
• Quality of Life in Epilepsy (QOLIE-31)  berisikan 31 item pertanyaan
mengenai:
• Kualitas hidup secara keseluruhan
• Emosional
• Kelelahan
• Fungsi kognitif
• Efek pengobatan
• Ketakutan akan kejang
• Fungsi sosial
Analisis Statistik

• Semua data dianalisis dengan SPSS ver.22.


• Membandingkan variabel – variabel dan mencari hubungan antar
variabel.
Hasil

• Data Demografis,
jenis kejang, dan OAE
pasien
Hasil

• Semiologi kejang,
perubahan gambaran EEG
( 4 minggu pre treatment
vs 8 minggu post
treatment)
Hasil
• Jumlah rata-rata kejang
harian : 1,6 x
• Jumlah rata-rata kejang
mingguan : 10,7x. Setelah 4
minggu post treatment,
mengalami perbaikan
menjadi rata-rata 10x/minggu
• Pada pasien 2, 3, 5
didapatkan perbaikan > 50%
dibandingkan baseline,
dimana dengan Riwayat FCD
mempunyai improvement
yang lebih baik
Hasil

• Pasien no 2,3,5
mengalami
penurunan
frekuensi kejang
hingga 50%
Diskusi

• rTMS dapat efektif pada beberapa pasien, dimana 33% dari data studi
ini sesuai dengan studi-studi sejenis sebelumya.
• Terdapat perbaikan signifikan yg terlihat pada BDI-II, fungsi
psikologikal (SCL-90)
• Pada studi ini, pasien dgn FCD (focal cortical dysplasia) mengalami
penurunan frekuensi kejang. Sesuai dengan studi meta analisis
sebelumnya yg menyebutkan bahwa pasien dgn FCD mengalami
penurunan frekuensi kejang > 50%
Diskusi
• rTMS pada pasien dgn FCD dapat efektif dikarenakan fokal lesi terletak
pada konveksitas korteks cerebri, yang mana lebih mudah dijangkau
oleh rTMS
• Lebih dari separuh pasien dalam studi ini mengalami perbaikan pada
skala depresi, dimana pemberian stimulasi 10Hz di korteks dorsolateral
prefrontal kiri diperkirakan dapat meningkatkan eksitabilitas kortikal.
• Pada studi ini, pemberian frekuensi rendah 1 Hz bertujuan untuk
menurunkan eksitabilitas kortikal sehingga menurunkan skor depresi
Diskusi

• Hampir separuh pasien yang diberikan rTMS pada studi ini mengalami
perbaikan dalam gejala-gejala yang berhubungan dg psikiatrik (SCL-
90)
Keterbatasan Penelitian

• Studi ini terbatas pada jumlah sampel yang sedikit.


• Diharapkan studi selanjutnya dengan sampel yang lebih banyak, durasi
follow up yg lebih lama dan desain studi case-control dapat
meningkatkan pemahaman kita.
Kesimpulan

• rTMS merupakan treatment yg berpotensi menjanjikan untuk epilepsy


fokal pada pasien dg usia lebih muda, onset penyakit yg lebih pendek,
gambaran Frontal Cortical Dysplasia (FCD) pada MRI, dan frekuensi
kejang yg lebih rendah.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai