Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peran keperawatan psikiatri yang profesional kini telah berkembang secara

kompleks dari elemen-elemen histori aslinya. Keperawatan psikiatri kini

mencakup parameter kompetensi klinik, advokasi klien, kolaborasi profesional,

akuntabilitas atau tanggung jawab sosial dan kewajiban etik dan legal. Perawat

jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu-ilmu psikososisal, biofisik, teori-teori

kepribadian perilaku manusia untuk menurunkan suatu kerangka kerja teoritik

yang menjadi landasan praktek keperawatan.

Perkembangan ilmu pengetahuan juga meningkat terutama Tentang ilmu

saraf (neuroscience) yang telah meningkatkan minat dalam terapi somatik guna

mengatasi gangguan jiwa. Keterbatasan pengobatan psikotropika yang

mengakibatkan kondisi resisten terhadap tritmen dalam menangani gangguan

jiwa. Dan penemuan tehnik tritmen untuk gangguan jiwa telah menempatkan

penalaran lebih besar pada terapi somatik.

Permasalahan utama yang sering terjadi pada pasien jiwa adalah perilaku

kekerasan yang harus segera ditangani karena dapat membahayakan diri klien,

orang lain dan lingkungan. Untuk membatasi gerak klien digunakan tindakan

Seklusi dan restrain. Seklusi dan restrain merupakan tindakan yang paling

terbatas digunakan di rumah sakit jiwa. Tindakan ini dipandang sebagai


pengalaman negatif bagi staf dan klien, tidak memiliki nilai terapeutik selain

sebagai upaya terakhir untuk memastikan kemanan, dan sering mengangkat isu-

isu etika baik untuk staf, klien maupun keluarga.

B. Rumusan Masalah

Apa yang dimaksud dengan terapi somatik, restrain, seklusi dan assessment

pada pasien dengan gangguan jiwa ?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa dapat memahami tentang terapi somatik, restrain, seklusi

dan assessment pada pasien dengan gangguan jiwa

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mamapu memahami tentang macam-macam terapi somatik

serta proses kerjanya.

b. Mahasiswa mampu memahami tentang tindakan restrain dan seklusi serta

persyaratan tindakan restrain dan seklusi.

c. Mahasiswa mampu memahami tentang assessment pada pasien dengan

gangguan jiwa
BAB II

PEMBAHASAN

A. Terapi Somatik

1. Terapi Kejang Listrik (Convulsive therapies)

Terapi kejang listrik (convulsive therapy/ECT) pertama kali dilakukan

pada tahun 1938 sebagai treatmen untuk klien skizofrenia, ketika di yakini

bahwa klien epilepsy jarang mengalami skizofrenia, dan dianggap bahwa

pemberian kejang bias menyembuhkan skizofrenia. Hal ini tidah diduking

oleh penelitian selanjutnya dimana ECT sebenarnya lebih efektif untuk

kondisi gangguan suasana hati dibandingkan skizofrenia (Payne dan Prudic,

2009).

Macam-macam terapi kejang listrik:

a. Terapi kejang listrik (electroconvulsive therapy/ECT)

Adalah terapi pengobatan dengan pemberian kejang yang cukup

besar (grand mal seizure) melalui alat yang di induksi pada klien yang

dibius dengan memberikan arus listrik melalui elektroda yang dipasang

pada klien (mankad et al, 2010).

b. Terapi kejang magnetic (magnetic seizur therapy/MST)

Adalah bentuk pengobatan baru yang menggunakan arus magnetic

bukan listrik. MST dikembangkan berdasarkan model ECT. Stimulus

magnet digunakan untuk menghasilkan kejang diarea otak tertentu terapi


ini dikembangkan sebagai upaya untuk mengurangi efek kejang yang

meluar ke area medial struktur temporal, sehingga mengurangi efek

samping kognitif (kayzer et al,2009; Cycowicz et al,2009). Pengalaman

klinis dengan MST masih terbatas, dan penelitian saat ini berfokus pada

dampaknya sebagai anti depresan. Secara tradisional, elektroda pada ECT

dipasang secara bilateral. Namun saat ini secara rutin telah dilakukan

penempatan elektroda alternatif, termasuk di area bifrontal dan

unilateral. Dengan penempatan alternative terapi ini telah menunjukkan

efektifitas yang sama dan efek samping kognitif yang lebih sedikit,

termasuk sedikit kondisi disoreantasi dan beberapa gangguan memori

verbal dan non verbal (Sackaim et al,2008).

Studi bentuk baru ECT unilateral, disebut juga dengan terapi kejang

listrik fokal atau focal electrically administered seizure therapy (FEAST).

Terapi ini digunakan untuk meminimalkan efek kognitif yang diakibatkan

ECT (Pierce el al, 2008). Agar ECT menjadi efektif, maka harus diberikan

dalam bentuk kejang grand mal. Stimulus listrik disesuaikan dengan energy

minuman yang menghasilkan kejang. Perawatan diberikan secara bertahap,

yang bervariasi sesuai respon klien terhadap terapi ini. Terapi biasanya

berjumlah 6-12 tritmen yang diberikan dalam 2-3 kali/minggu. Klien dengan

skizofrenia mungkin memerlukan terapi lebih banyak. ECT merupakan

tritmen gangguan jiwa yang efektif dan umunya dapat ditoleransi dengan
baik oleh klien. Dalam beberapa kasus, setelah program awal tritmen sukses,

pemeliharaan ECT ditambah dengan pemberian obat anti depresan, untuk

bulan pertama setelah remisi program tritmen dilakukan seminggu sekali,

kemudian berkurang secara bertahap menjadi sebulan sekali (perbulan)

(APA, 2001).

a. Indikasi

Indikasi pertama ECT adalah depresi berat (Weiner dan Falcone,

2011). Beberapa ahli menganggap terapi ini digunakan sebegai standar

emas untuk mengatasi kondisi depresi yang bertahan (Nahas dan

Anderson, 2011). Tingkat respons terhadap ECT 80% atau lebih untuk

sebagian besar klien lebih baik pada tingkat respons terhadap obat anti

depresan, sehingga terapi ini dianggap sebagai anti depresan yang paling

efektif (Keltner dan Boschini, 2009). Terapi ini dapat digunakan

disebagian besar kelompok usia yang tidak dapat mentolerir atau gagal

berespons terhadap program tritmen dengan obat-obatan. Kotak 25-1

menjabarkan daftar kriteria priemer dan skunder ECT yang ditetapkan

oleh American psychiatric Association (APA) dalam pedoman terapi

kejang.

Kriteria utama dimana ECT berperan dalam menyelamatkan jiwa

klien adalah terapi ini ditunjukkan pada klien yang sangat depresi dan

beresiko bunuh diri atau pada klien yang sangat hiperaktif


membahayakan diri mereka sendiri, seperti klien dengan perilaku mania

akut dan psikotik dengan gangguan efektif. ECT dianggap sesuai untuk

klien dengan skizofrenia dalam beberapa kondisi. Termasuk bila gejala

psikotik memiliki onset mendadak atau baru, durasi pendek, terjadi

katatonia, atau klien dapat berespons dengan baik terhadap tindakan ECT

dimasalalu.

Pada akhirnya, ECT merupakan tindakan awal ketika efek samping

dapat diantisipasi, sehingga terapi ini dpat dianggap kurang berbahaya

dari paa terapi obat terhadap populasi tertentu seperti orang lanjut usia,

klien dengan gangguan jantung, dan ibu hamil. Potensi efektivitas ECT

berkurang pada klien dengan gangguan kepribadian kotak 25-2

merangkum bentuk prilaku yang efektif dan tidak efektif dipengaruhi oleh

terapi kejang (ECT).

b. Mekanisme Kerja

Meskipun banyak penelitian dilakukan, mekanisme kerja yang

sesungguhnya dari ECT masih belum diketahui pasti. Teori yang paling

populer adalah sebagai berikut :

1. Teori Neurotransmiter menunjukkan bahwa ECT bertindak seperti

antidepresan trisiklik dengan meningkatkan kekurangan neurotansmisi

dalam sistem monoaminergik. Secara khusus, terapi ini diduga dapat

meningkatkan kerja neurotransmitter dopamin, serotonin, dan

adrenalin.
2. Teori faktor neurotrophik menunjukkan bahwa siklik adenosin,

monofosfat (AMP) dapat diatur kembali oleh ECT dengan

meningkatkan faktor pendorong neurotrophik otak yang dikenal

dengan brain-derived neorotrophic factor (BDNF). BDNF mengatur

pertumbuhan sel saraf dan juga terlibat dalam produksi reseptro

norepinefrin dan serotonin.

3. Teori antikonvulsan menunjukkan bahwa tritmen dengan ECT

memberikan sebuah efek antikonvulsan yang berarti pada otak untuk

memberikan efek antidepresan. Beberapa dukungan terhadap teori ini

didasarkan pada kenyataan bahwa ambang kejang seseorang naik

pelaksanaan ECT dan bahwa beberapa klien dengan epilepsy memiliki

kejang lebih sedikit setelah dilakukan ECT.

c. Efek Samping

Angka kematian yang berhubungan dengan ECT diperkirakan sama

dengan terapi yang diakibatkan oleh anestesi umum dalam operasi minor

(sekitar 2-10 kasus kematian per 100.000 kasus yang ditritmen) (Payne

dan Prudic, 2009b). mortalitas dan morbiditas diyakini lebih rendah

dengan ECT dibandingkan dengan pemberian obat antidepresan.

Sampai dengan batas tertentu efek samping pemberian obat dapat

diantisipasi dan dicegah. Klien dengan penyakit penyerta seperti penyakit

jantung, gangguan fungsi paru, riwayat gangguan sistem saraf pusat, atau

komplikasi medis setelah pemberian anestesi cenderung dapat


meningkatkan risiko timbulnya efek samping terapi. Untuk itu, sebelum

ECT dilakukan, perawat harus mengkaji riwayat kesehatan klien yang

menyeluruh yang meliputi pemeriksaan darah lengkap, profil kimia darah,

foto toraks dan tulang belakang, elekrokardiografi, dan CT scan kepala.

Efek samping yang dapat terjadi akibat terapi ini dapat dijabarkan dalam

sebagai berikut :

1. Kardiovaskuler : perubahan sistem konduksi kardiovaskuler akibat

pengaruh ECT. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan rutin

elektrokardiogram (EKG) sebagai patologi dasar dan pemeriksaan

lebih lanjut sesuai indikasi.

2. Sistematik : sakit kepala, mual, nyeri otot, dan mengantuk dapat terjadi

setelah dilakukan ECT,tetapi biasanya masih dapat berespons dengan

tindakan suportif dan tindakan keperawatan.

3. Kognitif : ECT dikaitkan dengan berbagai efek samping

kognitif,termasuk kebingungan timbul segera setelah terapi dan

gangguan memori selama tritmen, meskipun ada beberapa klien yang

melaporkan kondisi defisit fungsi kognitif menjadi permanen.

Timbulnya efek samping kognitif bervariasi di antara klien. Klien

dengan gangguan kognitif yang sudah ada sebelum nya,klien dengan

kondisi neuropatologis,dan klien yang mendapat terapi obat

psikotropika selama ECT meningkatkan faktor resiko timbulnya efek


samping terapi ini. Namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa

ECT menyebabkan kerusakan otak (McClintock dan husain, 2011).

d. Asuhan Keperawatan

perawat kesehatan jiwa selalu memiliki peran penting dalam

melakukan prosedur ECT. Peran ini meliputi tindakan keperawatan

mandiri dan kolaborasi. Asuhan keperawatan diberikan kepada klien dan

keluaga setelah dijelaskan bahwa ECT merupakan pilihan program

tritmen. Peran penting perawat adalah memberikan kesempatan pada

klien untuk mengekspresikan perasaan, termasuk masalah yang

terkaitdengan mitos atau fantasi yang berkaitan dengan ECT.klien

mungkin akan menggambarkan ketakutan terhadap rasa sakit, kegawatan

akibat rasa sakit, kegawatan akibat sengatan listrik, mengalami hilang

ingatan yang permanen, atau mengalami gangguan fungsi intelektual.

Ketika klien dapat mengungkapkan ketakutan dan kekhawatiran,

perawat dapat mengklarifikasi kesalahpahaman klien dan menekankan

nilai terapeutik prosedur terapi ini.dukungan untuk klien dan keluarga

merupakan bagian penting dari perawatan sebelum, selama, dan setelah

perawatan( payne dan prudic, 2009b).

Perawat dapat mengajarkan klien dan keluarga, mempertimbangkan

ansietas, kesiapan untuk belajar, dan kemanapun untuk memahami

penjelasan yang diberikan. Jumlah informasi yang diberikan harus


individual. Perawat membahas informasi yang diberikan pada klien dan

keluarga dan menanggapi pertanyaan mereka.

selama pengkajian, perawat juga harus mengidentifikasi perilaku

keluarga tertentu yang berhubungan dengan masalah jesehatan klien.

Setiap informasi dari keluarga tentang pengalaman ECT sebelumnya,

membantu perawat mengidentifikasi keyakinan tentang penyakit klien,

tritmen ECT, dan prognosis yang diharapkan.

Pertanyaan terbuka memudahkan perawat mengidentifikasi dan

mengoreksi kesalahan informasi tentang masalah spesifik sekitar prosedur

ECT yang diterima klien atau keluarga. Penjelasan tindakan keperawatan

dalam ECT yang diberikan dengan melibatkan keluarga dapat merupakan

dukungan kepada klien sehingga dapat mengurangi kecemasan klien.

Berbagai media tentang ECT dapat digunakan untuk mengajarkan klien

dan keluarga, termasuk bahan tertulis dan video individual untuk setiap

klien. Orientasi keruangan ECT dapat membantu klien mengenal ruangan

dan perawatan yang digunakan. Mendorong klien untuk berdiskusi

dengan klien lain yang elah menjalani ECT dapat bermanfaat bagi klien

dalam mengatasi ansietasnya.

Pada akhirnya, memberikan keluarga waktu berkunjung lebih

fleksibel, terutama pada awal untuk beberapa tritmen dapat membantu

dalam mengatasi ansietas dan keprihatinan keluarga untuk tritmen ECT

dan mendorong keluarga untuk mendukung klien. Jika keluarga tidak


dapat atau tidak ingin mengunjungi klien, perawat harus menghubungi

keluarga setelah perawatan. Selama terapi perawat harus mendorong

anggota keluarga membahas perubahan perilaku klien atau masalah yang

muncul akibat perilaku klien sebelumnya.

Sebelum ECT dimulai, surat persetujuan tindakan (informed

consent) harus ditanda tangani oleh klien atau, jika klien tidak mampu

memberikan persetujuan, maka dilakukan oleh orang yang ditunjuk

secara hukum. persetujuan ini mengakui hak-hak klien ntuk mendapatkan

atau menolak terapi. Meskipun tanggung jawab utama dokter untuk

menjelaskan prosedur saat mendapatkan persetujuan perawat dapat

berperan penting dalam proses persetujuan (fetterman dan ying, 2011).

Informed consent merupakan proses dinamis yang tidak hanya

selesai dengan penandatanganan dokumen resmi; tetapi, meliputi proses

yang berlanjut sepanjang proses tritmen. Akan sangat membantu jika

perawat hadir saat ECT dibahas dengan klien. Hal ini merupakan

kesempatan perawatmembangun hubungan saling percaya dan hubungan

terapeutik dengan klien.

Perawat juga dapat memastikan bahwa, sebelum menandatangani

formulir persetujuan, klien telah memahami semua penjelasan tentang

ECT, termasuk prosedur, tujuan,dan dampak yang ditimbulkan,dan

bahwa klien memiliki pilihan untuk membatalkan persetujuan setiap saat.

Setelah formulir persetujuan di tandatangani dan sebelum terapi awal


diberikan, perawat sebaiknya meninjau ulanginformasi yang telah

diberikan dan mendiskusikan program tritmen dengan klien secara

langsung dan terbuka.

Beberapa kondisi klien memberikan tantangan khusu bagi perawat

saar mendapatkan persetujuan tindakan. Jika klien tidak mampu membuat

penilai an mandiri dan keputusan berarti tentang perawatan dan terapi

yang diberikan, perawat bertanggung jawab untuk bertindak sebagai

advokat klien. Sebagai contoh, kemampuan konsentrasi pada kliendepresi

sering terganggu,sehingga mereka cenderung tidak mampu memahami

dan menyimpan informasi baru. Untuk itu, penting bagi perawat untuk

mengulang informasi secara berkala karena klien sulit menyerap

informasi baru jika penjelasan hanya diberikan dala satu kali pertemuan.

Kemudian, selama proses tritmen ECT, perawat harus memperkuat

informasi yang relevan, mengingatkan kembali klien tentang hal-hal yang

mungkin telah dilupakan,dan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang i

ajukan klien.

e. Asuhan Keperawatan Sebelum Prosedur Tritmen

Pemberian asuhan keperawatanberkualitas untuk klien yang

mendpat ECT termasuk mengevaluasi protokoltindakan sebelum

terapisehingga perawat dapatmemastikan bahwa program tritmen telah

sesuai dengan kebijakanrumah sakit. Protokol ini meliputi pertinjauan

kembaliproses konsultasi, memastikan bahwa setiap kelainan hasil


tes laboratorium telah ditangani,dan memeriksa bahwa peralatandan

perlengkapan yang di perlukan telah memadai dan berfungsi.

Perawat pelaksana tritmen bertanggung jawab untuk memastikan

dengan tepat persiapan alat yang tersediadi ruang ECT. Kotak 25-3

menjabarkan daftar peralatan standar yang dibutuhkan untuk memberikan

perawatan klien yang optimal.

f. Asuhan Keperawatan Selama Prosedur

klien harus dibawa keruang tritmen,baik denga berjalan kaki atau

dengan mengguanakan kursi roda, didampingi seorang perawat dan

dengan siapa pun klien merasa nyaman. Perawat tetap harus

mendampingi klien selama pelaksanaan terapi untuk memberikan

dukungan pada klien.

Saat tiba diruangan tindakan, klien harus di perkenalkan kepada

para tim tritmen dan diberi penjelasan singkat tentang setiap peran

anggota tim atau petugas yang akan melakukan prosedur ECT. Klien

kemudin di bantu tidur di brankar dan diminta untuk melepaskan sepatu

dan kaus kaki. Hal ini untuk menempatkan manset tekanan darah

dipergelangan kaki dan observasi seksama terhadap ekstermitas klien

selama prosedur berlangsung. Setelah klien diberikan posisi yang nyaman

di brankar anggota staf anestesi memasang aat venflon (peripheral

intravenous line). Salah satu anggota tim lainnya menjelaskan saat

prosedur dimulai.
Alat monitor elektroensefalografik (EEG) terdiri dari dua atau lebih

elektroda yang ditempatkan pada dahi dan mastoid. Satu set alat EKG

yang memiliki tiga lead ditempatkan pada dada klien. Sebuah alat

oksimeter diselipkan dijari klien untuk memantau saturasi oksigen

pemantauan tekanan darah selama tritmen dilakukan dengan memasang

manset manual atau otomatis. Kepala klien dibersihkan dengan sabun

khusus dilokasi kontak elektroda. Pembersian ini memudahkan stimulus

kontak elektroda yang optimal selama tritmen berlangsung. Setelah

persiapan selesai, maka klien dapat diberikan antikolinergik. Selanjutnya

klien diberikan anestesi.

Proses reaksasi otot progresif dipantau oleh sebuah alat stimulator

saraf, serta dengan mengamati gerakan otot yang mulai berhenti berkedut.

Meskipun sebagian besar otot menjadi relaks, otot rahang adaah bagian

yang distimulasi langsung oleh terapi ECT. Stimulus listrik menyebabkan

kejang umum yang singkat. Tanda-tanda respons motorik yang

mengalami kejang dapat diamati dikaki yang diikat (dipasang alat

manset). Kejang yang berlangsung 15-20 detik dianggap cukup adekuat

untuk menghasilkan efek terapeutik. Kejang yang berlangsung lebih dari

2 menit harus dihentikan untuk mencegah kondisi kejang pasca terapi

yang berkepanjangan. Kejan dapat diberhentikan dengan benzodiazepin.

Perawat harus memantau tanda-tanda vital sebelum dan sesudah

perawatan ECT.
g. Asuhan Keperawatan Setelah Prosedur

Ruang pemulihan harusberdekatan dengan ruang tritmen untuk

memudahkan akses staf anestesi keluar masuk dalam keadaan darurat.

Ruang ini harus dilengkapi dengan, suction, oksimeter pulsa, monitor

tanda-tanda vital, dan peralatan emergenci. Setelah klien berada

diruangan pemulihan dengan alat oksimeter pulsa masih terpasang,

perawat harus mengobservasi klien ampai benar-benar pulih. Ketika klien

tampak siap untuk kembali keruangan perawatan, perawat memverifikasi

kondisi klien dengan mengecek kembali tanda-tanda vital, saturasi

oksigen, dan tingkat kesadaran telah kembali ke kondisi yang dapat

diterima.

Perawat dieuang ECT harus menjelaskan kondisi klien kepada

perawat diruang keperawatan. Termasuk obat-obatan yang telah diberikan

kepada klien. Klien diobservasi setidaknya 15 menit sekali. Jika klien

bingung atau gelisah, pengamatan 1:1 diperlukan sampai kondisi klien

stabil. Jika klien sadar, tingkat orientasi harus dinilai setiap 30 menit

sampai status kesehatan jiwa kembali ke kondisi awal. Jika klien tertidur,

jangan dibangunkan kecuali bila hendak melakukan tindakan

keperawatan, karena tidur dapat membantu proses pemulihan lebih cepat.

Bila kondisi klien belum sepenuhnya terjaga, maka hindari resiko

jatuh. Mungkin klien akan sedikit mengalami kebingungan atau

disorientasi. Klien juga akan mengalami hilang ingatan terhadap materi


yang baru dipelajari dan informasi yang diperoleh selama ECT. Perawat

harus menjelaskan bahwa sebagian besar masalah memori akan hilang

dalam beberapa minggu. Sebagian kecil kasus menunjukkan kehilangan

memori dapat berlangsung selama 6 bulan, dimana beberapa informasi

tidak bisa diingat kembali, termasuk pengalaman ECT sendiri dan

peristiwa yang terjadi sebelum prosedur, seperti penusukan intravena.

h. Kolaborasi Interdisiplin

Perawat merupakan bagian dari tim trirmen interdisipliner yang

tidak hanya mengelola perawatan tetapi juga bekerja sama untuk

mengevaluasi aktifitas ECT dan merekomendasikan perubahan dalam

rencana tritmen klien. Gejala yang muncul sebagai dampak yang tidak

diharapkan dari ECT harus dilaporkan, termasuk periode kebingungan

atau disorientasi yang berkepanjangan.

Sangat penting ketika seorang klien dirujuk untuk mendapatkan

ECT, klien dan keluarga sudah dijelaskan tentang informasi alternatif

tritmen yang seimbang dan objektif. Semua perawat harus didorong untuk

mengamati pelaksanaan prosedur ECT seperti yang dilakukan di institusi

mereka.
2. Chronotherapy

Chronotherapy adalah sekelompok tindakan yang didasarkan pada

bagaimana ritme sirkadian berkontribusi terhadap gangguan suasana hati.

Tindakan terapi meliputi fototerapi dan gangguan tidur (disebut juga dengan

“terapi terjaga sepanjang malam”). Fototerapi dilakukan dengan

menghadapkan klien pada terapi pencahayaan sekitar 5-20 kali lebih terang

dari lampu ruangan. Klien duduk dengan mata terbuka sekitar 3 meter dari

sumber cahaya dan mata menghadap kesebuah kotak yang berisi sat set

lampu neon spektrum luas yang dirancang untuk menghasilkan komposisi

intensitas dan warna siang hari diuar ruangan. Kemudian mereka diminta

melakukan kegiatan seperti biasa, seperti membaca, menulis, atau makan.

Stimulasi fajar merupakan stimulasi terapi yang paling efektif. Selain

itu panjang gelombang cahaya yang lebih pendek dapat lebih efektif dari

pada panjang gelombang cahaya yang lebih panjang. Jumlah cahaya yang

diberikan tergantung pada intensitas sumber cahaya dan durasi yang

diberikan. Gangguan tidur (sleep deprivation) merupakan gangguan tidak

dapat tidur sama sekali, baik sepanjang malam, sebagian malam, atau

kombinasi kedua nya. Gangguan atau kurang tidur semalam dapat menjadi

tritmen antidepresan yang efektif hingga 60%. Sayangnya, terapi berumur

pendek, dengan kekambuhan sering terjadi setelah tidur siang atau tidur

pada malam berikutnya.


Chronotherapy di duga memiliki efek positif yang penting tritmen

yang cepat dan dapat diulang. Tritmen dapat dilakukan dirumah dan tidak

perlu mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari. Meskipun seseorang yang

profesional dengan pengalaman dan pelatihan khusus harus mengawasi sesi

awal terapi ini (Benedetti et al, 2007).

a. Indikasi

Chronotherapy mungkin bernilai lebih menguntungkan bagi klien

yang lebih memilih tritmen nonfarmakologi. Karena respons yang cepat,

lebih bermanfaat dalam mendukung program tritmen lainnya.

b. Mekanisme Kerja

Chronotherapy didasarkan pada ritme biologis, khususnya yang

berkaitan dengan terang dan gelap. Mekanisme kerja dan terapi

chronotherapy masih belum jelas, namun, teori yang paling populer

berkaitan dengan ”pergeseran fase”. Hal ini didefinisikan sebagai

penundaan fase abnormal pada ritme sirkadian tubuh manusia.

c. Efek Samping

Efek samping yang terjadi, umumnya ringan. Efek samping yang

paling umum dari fototerapi adalah kelelahan mata dan sakit kepala.

Klien dengan riwayat mania atau hypomania harus menggunakan terapi

cahaya dengan hati-hati karena dapat memicu kondisi tersebut. Efek

samping lainnya termasuk lekas marah, susah tidur, kelelahan, mual, dan

kekeringan pada mata, hidung dan sinus. Hal ini biasanya dapat dikelola
dengan mengurangi durasi terapi atau memperbesar jarak klien dengan

cahaya.

Efek jangka panjang dari fototerapi, jika ada, saat ini tidak

diketahui pasti. Terapi cahaya harus digunakan dengan hati-hati pada

orang-orang dengan kondisi mata tertentu. Kurang tidur dapat

menyebabkan perilaku mania pada beberapa klien dengan gangguan

bipola. Jadi kurang tidur, seperti dengan beberapa obat antidepresi, harus

digunakan dengan hati-hati pada klien yang rentan terhadap mania atau

memiliki riwayat kesehatan keluarga dengan penyakit bipolar.

3. Stimulasi Magnetik Transkranial

Stimulasi magnetik transkranial/transcranial magnetic stimulation

(TMS) adalah prosedur invasif dimana medan magnet yang berubah

diperkenalkan ke otak untuk mempengaruhi aktivitas otak. Bidang ini

dihasilkan dengan melewatkan arus listrik yang besar melalui kumparan

kawat stimulasi dalam waktu singkat. Setelah mengkaji ambang istirahat

motorik klien yang ditunjukkan untuk menentukan dosis, kumparan

terisolasi ditempatkan pada atau dekat dengan area spesifik di kepala klien,

sehingga medan magnet melewati tengkorak dan kewilayah sasaran otak.

Ketika stimulus magnetik diberikan selama beberapa rangsangan per detik,

hal ini disebut stimulasi magnetik transkranial berulang atau repetitive

transcranial magnetic stimulation (rTMS).


a. Indikasi

TMS telah dipelajari untuk beberapa indikasi. Penggunaan yang

paling sering untuk TMS dalam gangguan jiwa adalah sebagai terapi

gangguan suasana hati. Pemeriksaan terhadap kondisi cerebral

dihadapkan bahwa klien depresi telah mengalami kondisi penurunan

perfusi diaerah korteks prefrontal otak, terutama pada sisi kiri. Berbagai

hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan terapi TMS yang berulang

(rTMS), bila diberikan setiap hari di korteks prefrontal kiri, merupakan

ritmen yang efektif untuk mengatasi kondisi depresi nonpsikotik. Studi

menggambarkan durasi perbaikan dengan TMS berulang (rTMS)

keadaan sesi harian ditambah menjadi lebih dari 3 minggu atau ebih dari

biasanya.

b. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja dari TMS didasarkan pada prinsip induksi

faraday. Menurut prinsip ini, ketika arus listrik diberikan melalui sebuah

kumparan maka dihasilkan medan magnet. Jika bahan konduktif lain,

seperti neuron di otak, terkena medan magnet yang berubah, medan listrik

kedua diaktifkan dalam kondisi tersebut. Aktivitas ini dapat

mengakibatkan perubahan neurokimia berdasarkan perubahan dalam

ekspresi gen seperti peningkatan dalam beberapa ikatan reseptor.

Ridak seperti ECT, TMS secara langsung otak dirangsang untuk

menghasilkan perubahan neurokimia. Namun, seperti ECT, perubahan


yang tepat yang membuat tritmen ini menjadi efektif masih dalam

penelitian lebih lanjut.

c. Efek Samping

Kekhawatiran terbesar saat menggunakan terapi TMS berulang

(rTMS) adalah potensi untuk menginduksi kejang, bahkan pada klien

tanpa riwayat epilepsi sebelumnya. Potensi ritnitus atau gangguan

pendengaran sementara yang disebabkan oleh kebisingan frekuensi tinggi

yang dihasilkan oleh alat tritmen telah mendorong penggunaan

penyumbat telinga baik untuk klien ataupun peneliti, sehingga

meminimalkan terjadinya efek samping ini.

Efek samping yang paling umum ilaporkan dari TMS yang berulang

(rTMS) adalah terjadinya sakit kepala, etiologi keluhan ini diduga akibat

kontraksi otot kulit kepala selama stimulas. Pada kebanyakan kasus sakit

kepala ini teratasi dengan pemberian analgesik standar.

4. Stimulasi Elektroterapi Kranial

Cranial electrotherapy stimulation (CES) adalah terapi somatik dengan

memberikan arus listrik dalam jumlah kecil secara transcutancous. Terapi

CES menggunakan seperangkat alat kecil yang mudah dipindahkan dengan

arus yang telah disediakan oleh batrai 9 Volt. Saat ini arus dihantarkan

melalui elektroda yang diselikan di telinga. Jumlah kecil arus yang diberikan
saat ini terbatas pada 600 microamper. Tritmen dilakukan selama 30 menit

sebanyak 5 kali per minggu.

a. Mekanisme Kerja

CES diyakini mempengaruhi sekresi neurotransmiter dalam sistem

limbik, reticular activating system (RAS), dan mungkin hipotalamus.

Arus listrik diperkirakan menggerakkan elektron diotak melalui frekuensi

“resonansi yang harmonis (harmonic resonance)”, yang menghasilkan

sekresi hormon ini.

b. Efek Samping

Klien yang menerima CES munkin mengalami efek samping

ringan. Keluhan berupa kesemutan dilokasi elektroda, mual, nyeri

menyengat, atau pusing. Semua efek ini dapat di hindari dengan

menyesuaikan perangkat terapi.

5. Implantasi Perangkat Stimulasi Otak-Stimulasi Saraf Vagus

Terapi VNS dilakukan dengan tindakan pembedahan untuk

menanamkan sebuah alat generator berukuran kecil (pocket watch-sized) ke

dada klien. Berkas elektroda tertanam secara subcutan dari generator menuju

saraf vagus disisi kiri leher klien. Ujung elektroda melilit ujung saraf

ini.setelah ditanam (implantasi), generator diprogram melalui komputer

untuk memiliki frekuensi dan intensitas stimulus yang diharapkan.


a. Indikasi

Tritmen VNS digunakan untuk mengatasi gangguan efektif,

khususnya depresi yang resisten terhadap tritmen. VNS paling efektif

pada klien yang memiliki resistensi rendah sampai sedang terhadap terapi

pengobatan antidepresan. Efek maksimum dapat muncul setelah beberapa

bulan.

b. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja terapi VNS tidak diketahui pasti, tetapi diduga

terapi ini bekerja dengan cara sistem neurotransmiter. Pemasangan diarea

saraf vagus kiri ditunjukkan karena saraf ini teriri dari serat sensorik

aferen yang sebagian besar terhubung kebatang otak dan struktur otak

dalam. Stimulasi serat ini mengubah fungsi dari beberapa struktur dan

juga mempengaruhi konsentrasi beberapa neurotransmiter, seperti

gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamat (Howland, 2008).

c. Efek Samping

Efek samping terapin VNS ringan dan dapat ditoleransi. Keluhan

dapat berupa suara serak, nyeri tenggorokan, sakit leher, sakit kepala, dan

sesak nafas.
6. Stimulasi Otak Dalam

Deep brain stimulation (DBS) terdapat elektrod berukuran kecil yang

ditanamkan ditubuh klien memberikan stimulasi ke area otak yang

mengalami gangguan fungsi. Kabel yang terhubung dengan kedua batrai di

tanam tepat dibawah tulang leher. Elektroda memancarkan arus listrik untuk

memblokir aktivitas otak abnormal yang dapat menyebabkan obsesi, suasana

hati bersedih, dan kecemasan. DBS tidak merusak jaringan otak dan bersifat

reversibel. Jika klien tidak menghendaki alat ini lagi, maka perangkat itu

dapat dimatikan (Sachdev dan Chen, 2008).

a. Indikasi

DBS merupakan tritmen yang di anjurkan untuk mengatasi

gangguan tremor dan penyakit parkinson. Terapi ini sedang dipelajari

sebagai tritmen aterntif untuk mengatasi kondisi depresi berat, serta klien

dengan gangguan absesif-kompulsif berat. Penelitian menunjukkan

bahwa DBS adalah tritmen yang aman dan efektif untuk mengatasi

depresi yang bertahan.

b. Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja dari terapi DBS tidak diketahui pasti, diduga

bahwa elektroda merangsang nukleus otak dan bekerja dengan modulasi

fungsi sirkuit otak.


c. Efek Samping

Kejang, pendarahan, dan infeksi dapat terjadi sebagian akibat dari

operasi. Parestesia, kontraksi otot, dan perubahan suasana hati (mood),

memori, dan kognisi merupakan efek samping yang ditimbulkan dari

tritmen ini.

B. Restrains dan Seclusion

1. Restrains

Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain mekanik

atau restrain manual terhadap pergerakan klien. Dapatkan izin dokter bila

diharuskan kebijakan institusi

a. Isolasi

Adalah menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak dapat

keluar atas kemauannya sendiri. Tingkatkan pengisolasian dapat berkisat

dari penempatan dalam ruangan yang tertutup tapi tidak terkunci sampai

pada penempatan dalam ruang terkunci dengan kasur tanpa sprei dilantai,

kesempatan berkomunikasi yang dibatasi, dan klien memakai pakaian RS

atau kain terpal yang berat.

1) Indikasi Penggunaan

a) Pengendalian perilaku amuk yang pontensial membahayakan

klien atau orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang
lain dengan intervensi pengendalian yang longgar, seperti kontak

interpersonal atau pengobatan.

b) Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta klien.

2) Kontraindikasi

a) Kebutuhan untuk pengamatan masalah medic.

b) Resiko tinggi untuk bunuh diri.

c) Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori.

d) Hukuman

3) Evaluasi

Mengukur apakah tujuan dan kriteria sudah tercapai. Perawat dapat

mengobservasi perilaku klien. Dibawah ini beberapa prilaku yang

dapat mengindikasikan evaluasi yang positif.

a) Identifikasi yang dapat membangkitkan kemarahan klien

b) Bagaimana keadaan klien saat marah dan benci pada orang

tersebut

c) Sudahkah klien menyadari akibat dari marah dan pengaruhnya

pada orang lain

d) Buat komentar yang kritikal

e) Pakah klien sudah mampu mengekspesikan suatu yang berbeda

f) Klien mampu menggunakan aktifitas secara fisik untuk

mengurangi perasaan marahnya

g) Mampu mentoleransi marahnya


h) Konsep diri klien sudah meningkat

i) Kemandirian dalam berfikir dan aktifitas meningkat.

2. Seclusion

a. Pengekangan Fisik

Merupakan tindakan keperawatan yang terakhir. Ada dua macam,

pengekangan fisik secara mekanik (menggunakan manset, sprei

pengekang ) atau isolasi (menempatkan klien dalam suatu ruangan

dimana klien tidak dapat keluar atas kemauan nya sendiri).

Jenis pengekangan mekanik:

1) Camisoles (jaket pengekang)

2) Manset untuk pergelangan tangan,

3) Manset untuk pergelangan kaki, dan

4) Menggunakan sprei.

b. Indikasi pengekangan

1) Perilaku amuk yang membahayakan diri sendiri atau orang lain.

2) Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan

3) Ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan

penolakan klien untuk beristrirahat, makan, dan minum.

4) Permintaan klien untuk pengendaliaan perilaku eksternal. Pastikan

tindalan ini telah dikaji dan berindikasi terapeutik.


3. Pengekangan dengan sprei basah atau dingin

Klien dapat diimobilisasidengan membalutnya seperti mummi dalam

lapisan sprei dan selimut. Lapisan paling dalam terdiri atas sprei yang telah

direndam dalam air es. Walaupun mula-mula terasa dingin,balutan segera

hangat dan menenangkan.hal ini dilakukan pada perilaku amuk atau agitasi

yang tidak dapat dikendalikan dengan obat.

Intervensi keperawatan:

a. Baringkan klien dengan pakaian rumah sakit diatas tempat tidur yang

tahan air.

b. Balutkan sprei pada tubuh klien dengan rafi dan pastikan bahwa

permukaan kulit tidak saling bersentuhan.

c. Tutupi sprei basah dengan selapis selimut.

d. Amati klien dengan konstan.

e. Pantau suhu, nadi, dan pernapasan.Jika tampak sesuatu yang

bermakna,buka pengekangan.

f. Berikan cairan sesering mungkin.

g. Pertahankan suasan lingkungan yang tenang.

h. Kontak verbal dengan suara yang menenangkan.

i. Lepaskan balutan setelah lebih kurang 2 Jam.

j. Lakukan perawatan kulit sebelom membantu klien berpakaian.


4. Persyaratan penggunaan tindakan seklusi dan restrain

1. Semua anggota staf rumah sakit yang terhubung langsung dengan klien

diharuskan mengikuti program pendidikan dan pelatihan berkelanjutan

yang ketat, sebagai upaya penggunakan tindakan pengasingan (seklusi)

dan pembatasan gerak fisik yang tepat

2. Dokter yang berlisensi, perawat yang terdaftar, harus mengevaluasi

kebutuhan-kebutuhan dasar klien setiap 1 jam setelah tindakan seklusi

atau restrain ini dimulai. Tindakan restrain dilakukan minimal 4 jam

untuk orang dewasa, 2 jam untuk remaja usia 9-17 tahun, dan 1 jam

untuk anak dibawah 9 tahun. Tindakan ini dapat diperpanjang untuk 24

jam berikutnya sebelum uvaluasi tatap muka dilakukan.

3. Harus ada penilaian berkelanjutan, monitoring, dan evaluasi ulang klien

selama dilakukan tindakan pengasingan (seklusi) dan pembatasan gerak

fisik (restrain). Klien yang dilakukan kedua tindakan (direstrain dan

juga diseklusi) harus terus di observasi dengan menggunakan peralatan

audio atau video.

4. Klien harus dibebaskan dari tindakan pengasingan (seklusi) dan

pembatasan gerak fisik (restrain) sesegera mungkin.

5. Rumah sakit harus memberitahukan hak-hak klien dan keluarga saat

dilakukan tindakan ini. Termasuk juga tentang perawatan, privasi, dan

keamanan serta kerahasiaan catatan sebagai bentuk pencegahan

anggapan bahwa tindakan pembatasan gerak fisik (restrain) dan


pengasingan (seklusi) dilakukan karena pemaksaan, pendisiplinan,

pembalasan, ataupun kenyamanan petugas kesehatan.

6. Fasilitas perawatan kesehatan harus melaporkan kematian seorang klien

yang terkait dengan penggunaan tindakan pembatasan gerak fisik

(restrain) dan pengasingan (seklusi).

Factor-faktor non klinis, seperti sosial budaya, persepsi peran anggota

tim tenaga kesehatan, dan prosedur administrasi rumah sakit, memiliki

pengaruh besar dalam tindakan tindakan pengasingan (seklusi) dan

pembatasan gerak fisik (restrain).

C. Assessment keperawatan jiwa

Dalam tahap pengkajian psikiatrik informasi diperoleh langsung dan

terstruktur dari klien melalui observasi, wawancara, dan pemeriksaaan.

Wawancara pengkajian yang memerlukan ketrampilan komunikasi efektif secara

liguistik dan kultural, observasi perilaku, peninjauan catatan-catatan data dasar

dan pengkajian komprehensip (Biologis, psikologis, sosial dan spiritual)

terhadap klien dan sistem yang relevan memungkinkan perawat kesehatan jiwa

untuk membuat penilaian klinis dan rencana tindakan yang tepat dengan klien.

Untuk dapat menjaring data yang diperlukan format pengkajian atau riwayat

perawatan sebagai pedoman agar informasi yang diperoleh akan sistematis dan

sebagai bagian dari dokumentasi.


Formulir pengkajian yang dianjurkan untuk membantu memastikan

informasi penting yang harus diperoleh dari klien secara ringkas isi

pengkajiannya meliputi :

1. Indentitas klien

2. Keluhan utama/alassan masuk

3. Faktor predisposisi

4. Aspek fisik/biologis

5. Aspek psikososial

6. Status mental

7. Kebutuhan persiapan pulang

8. Mekanisme koping

9. Maslah psikososisal dan lingkungan

10. Pengetahuan

11. Aspek medis

Disamping 11 isi pengkajian diatas, perawat dapat menggunakan berbagai

sumber data yang lain meliputi riwayat kesehatan klien, informasi ronde

keperawatan, laporan pergantian dinas, rencana tindakan keperawatan dan

evaluasi yang dilakukan oleh anggota tim kesehatan lainnya seperti psikolog,

pekerja sosial dan psikiater. Dalam memanfaatkan sumber data sekunder,

perawat seharusnya tidak segera menerima hasil pengkajian dari anggota tim

kesehatan lain.
Data yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :

1. Data obyektif yang ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui

observasi dan pemeriksaan langsung oleh perawat.

2. Data subyektif adalah data yang didapatkan melalui wawancara perawat

kepada klien dan keluarga


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Restrain dan seklusi merupakan tindakan yang dilakukan untuk

pengasingan dan membatasi gerak penderita gangguan jiwa dengan perilaku

kekerasan agar tidak membahayakan diri klien, orang lain dan lingkungan

disekitarnya. Namun tindakan ini hanya biasa di lakukan dengan syarat-syarat

tertentu sebagai tindakan darurat saja atau karena terapi lain tidak efektif.

Terapi somatik merupakan terapi yang berguna untuk mengatasi gangguan

jiwa, ada bebrapa terapi somatik yang saaat ini sering di gunakan untuk

mengatasi gangguan jiwa yaitu :

1. Terapi kejang listrik (convulsive therapy/ECT)

2. Chronotherapy

3. Stimulasi magnetik transkranial/transcranial magnetic stimulation (TMS)

4. Cranial electrotherapy stimulation (CES)

5. Implantasi Perangkat Stimulasi Otak-Stimulasi Saraf Vagus (VNS)

6. Deep brain stimulation (DBS)


B. Saran

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien yang mendapatkan

terapi somatik, sangat penting bagi perawat untuk dapat memahami proses kerja

terapi ini, termasuk pemahaman tentang asuhan keperawatan yang dapat

meningkatkan efektivitas terapi.

Pengasingan dan Pembatasan gerak fisik merupakan pembatasan

kebebasan klien yang dapat menyebabkan kerugian bagi klien dan staf yang

melaksankannya, oleh karena itu tindakan ini harus digunakan hanya sebagai

tindakan darurat untuk menjamin keamanan klien atau orang lain dan hanya jika

tindakan lainnya tidak efektif. Tindakan ini merupakan pelanggaran hak-hak

klien jika digunakan sebagai alat pemaksaan, disiplin, atau kenyamanan staf.
DAFTAR PUSTAKA

Syadah, NS. 2017. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : CV Budi Utama

Anda mungkin juga menyukai