Anda di halaman 1dari 33

LC-MS- and 1H NMR

Spectroscopy-Guided Identification of
Antifungal Diterpenoids from Sagittaria latifolia
Mata Kuliah : Analisis Fisiko Kimia
Dosen Pengampu : Prof. Hanafi

Oleh :

APPERSITA FEBRIYUMITA DJURIA (5420220041)


DESI FAJRIANTI (5420220026)
EMILIA FATMAWATI (5420220019)
ENGKUN QURITULAENI (5420220031)
FIONA ALERTI (5420220032)

PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN


UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2020
Klasifikasi Sagittaria latifolia Wild.
Kingdom: Plantae
Subkingdom: Tracheobionta
Superdivisi: Spermatophyta
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Liliopsida
Subkelas: Alismatidae
Ordo: Alismatales
Famili: Alismataceae
Genus: Sagittaria
Spesies: Sagittaria latifolia Willd.
Sagittaria latifolia tumbuhan akuatik herba, telah lama menjadi sumber
makanan penting bagi masyarakat adat di Amerika. Genus ini terdiri dari
hampir 25 spesies yang terdistribusi melalui daerah tropis di Amerika
Utara dan Selatan. Penelitian sebelumnya melaporkan kandungan
fitokimia spesies Sagittaria lainnya menunjukkan adanya berbagai
kemotipe diterpenoid.
• Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa diterpenoid ent-rosane
dan ent-kaurane menunjukkan aktivitas antimikroba yang kuat
terhadap gen patogen oral.
• Untuk mengidentifikasi senyawa antijamur, Ekstraksi bertingkat
bunga dan daun S. latifolia, diikuti dengan isolasi dan elusidasi
struktur komponen bioaktif dilakukan dan hasilnya menunjukkan dua
isopimaradiene baru (senyawa 1 dan 2)
Proses Ekstraksi, dan Pemisahan
Daun dan Bunga Sagittaria latifolia

Dicuci bersih, ditiriskan, dikeringkan dengan cara diangin-


anginkan, digiling secara mekanik

Serbuk Daun dan Bunga Sagittaria latifolia


Diekstraksi sebanyak tiga kali dengan EtOH 95% pada suhu kamar kemudian diuapkan

Ekstrak Etanol 95% Sagittaria latifolia


Dikromatografi menggunakan eluen CHCl3, kemudian CHCl3-MeOH (0-30% MeOH)

Fraksi 1-29 Uji aktivitas antijamur


Fraksi yang diperoleh diamati pola kromatogram pada KLT dengan pembanding
CF80680-c4

Fraksi gabungan 16-18 Fraksi gabungan 11-12


Dikromatografi menggunakan silica gel Dikromatografi menggunakan silica gel
C-18 fase terbalik dan dielusi dengan C-18 fase terbalik dan dielusi dengan
sistem elusi gradien (85-100% MeOH sistem elusi gradien (80-100% MeOH
dalam H2O) dalam H2O)

Senyawa 1 (172.5 mg) Senyawa 2 (159,1 mg)

Elusidasi struktur menggunakan LCMS dan NMR, Elusidasi struktur menggunakan LCMS dan
pengujian aktivitas antijamur, dan hidrolisis asam NMR, pengujian antijamur, dan hidrolisis basa
Hidrolisis asam senyawa 1

Larutan senyawa 1 (25 mg) dalam HCl 2M-1,4-dioksan (1:1, 2 ml) diaduk pada
suhu 80 °C selama 45 menit

Setelah dingin, campuran dilarutkan dalam H2O dan diekstraksi dengan CHCl3
(10 ml x 3)

Lapisan organik yang tergabung dicuci menggunakan H2O (5ml x 3)

Dikeringkan dengan Na2SO4 dan dipekatkan sampai kering

Residu (21 mg)

Dikromatografi menggunakan silica gel C-18 fase terbalik dengan sistem elusi
isokratik, dengan eluen MeOH−H2O (98:2)

Senyawa 3 (7 mg) Lapisan H2O

Dikromatografi menggunakan resin Amberlite


MB-150 dengan eluen H2O (50 mL)
Uji aktivitas antijamur dan sitotoksik

L-arabinosa (4.5 mg)


Hidrolisis basa senyawa 2

Larutan senyawa 2 (1 mg) dalam MeOH−1% KOH (1:1, 200 μL) didiamkan pada
suhu kamar selama 15 menit

Dilakukan analisis KLT menggunakan sistem eluen CHCl3-MEOH (95:5)

Senyawa 1 dideteksi dengan nilai Rf 0.3


Prosedur percobaan secara umum
Rotasi khusus diukur menggunakan polarimeter Autopol
Spektrum H dan 13C NMR ditentukan menggunakan spektrometer Bruker DRX NMR 400 MHz
beroperasi pada 400 (1H) dan 100 (13C) MHz atau Bruker DRX 500 MHz. Spektrometer NMR
beroperasi pada 500 (1H) dan 125 (13C) MHz. Pergeseran kimiawi dinyatakan dalam ppm relatif
terhadap pelarut sisa sinyal. Data ESIMS resolusi tinggi diperoleh di Agilent.
Spektrometer massa seri 1100 SL.
Kromatografi kolom dilakukan pada silika gel (40 μm, J. T. Baker) dan silika fase terbalik gel (C18,
40 μm, J.T.Baker). Silika gel 60 pelat TLC F254 (Merck, Darmstadt, Jerman) dan pelat TLC fase
terbalik (C18, Merck, Darmstadt, Jerman) digunakan untuk KLT analitik. Pelat KLT divisualisasikan
dengan penyemprotan H2SO4 10% dilanjutkan dengan pemanasan.
Data UPLC-MS ELSD-PDA CFs diperoleh dengan Waters Acquity Sistem UPLCMS (Waters Corp.,
Milford, MA, USA).
Uji aktivitas antijamur secara in vitro.
• Versi modifikasi dari metode CLSI (sebelumnya NCCLS)
digunakan untuk pengujian kerentanan. Organisme (C.
neoformans ATCC 90113 dan C. gattii ATCC 32609)
diperoleh dari American Type Culture Collection (ATCC)
(Manassas, VA, AS). Ampotericin B (Biomedis ICN, Aurora,
OH, USA) digunakan sebagai kontrol positif.

• Pengujian aktivitas antijamur secara in vitro dilakukan


terhadap 29 fraksi kolom yang diperoleh dan hasilnya
menunjukkan fraksi kolom yang mengandung senyawa 1
(fraksi 16-18) merupakan fraksi teraktif yang memiliki
aktivitas antijamur terhadap C. neoformans dan C. gattii
Uji aktivitas antijamur secara in vitro.
• Cryptococcus neoformans adalah salah satu spesies cendawan
patogen pada manusia. Spesies ini terdiri dari dua jenis, yaitu
C. neoformans var. neoformans dan C. neovormans var. gattii.
• Cendawan ini ditemukan pertama kali oleh Otto Busse dan
Abraham Buschke pada tahun 1984. Beberapa katarakteristik
dari cendawan ini adalah berbentuk khamir terenkapsulasi
dengan ukuran 4-7 hingga 4-8 µm, dapat menggunakan
berbagai macam sumber karbon, memproduksi enzim urease
dan fenoloksidase.
• C. neoformans memiliki kapsul yang berperan bagi virulensinya
dan terbuat dari polisakarida, enzim, serta protein.
• Cendawan ini dapat menginfeksi manusia dengan sistem imun
normal dan rentan dapat tumbuh dengan baik pada suhu
tubuh manusia
• Amfotericin B adalah obat antijamur yang digunakan
untuk mengobati infeksi jamur berat dan leismaniasis.
• Amfotericin B efektif untuk mengobati infeksi jamur
seperti aspergilosis, blastomikosis, kandidiasis,
koksidioidomikosis, dan kriptokokosis. Untuk
beberapa jenis infeksi, amfoterisin B diberikan
bersamaan dengan flusitosin. Pemberian obat ini
dilakukan secara intravena.
• Amfotericin B berikatan dengan ergosterol, komponen
membran sel jamur. Setelah itu, amfoterisin B
membentuk pori-pori yang menyebabkan kebocoran
ion monovalen dengan cepat (K+, Na+, H+ dan Cl-),
sehingga menyebabkan kematian sel jamur.
Prosedur pengujian
• Suspensi organisme uji disiapkan dengan mensuspensikan
tiga sampai lima koloni (Cryptococcus spp) dalam agar
Sabouraud dextrose (SD) selama 24-72 jam berisi normal
saline steril. Kurva standar kepadatan optik (OD) pada 530
nm versus CFU/ml suspensi saline dari organisme uji
dihasilkan menggunakan regresi linier untuk menghitung
target inokula uji.

• Inokula uji disiapkan dengan menggunakan kurva standar


untuk mengencerkan suspensi mikroba dengan tepat
dalam kaldu inkubasi (SD broth) untuk memperoleh target
inokula akhir 1,5 x 10^3 CFU/ml
• Inokula diverifikasi untuk setiap pengujian dengan
menempatkannya ke dalam agar SD atau PD untuk
penghitungan koloni.
• Untuk Cryptococcus neoformans, kaldu SD digunakan sebagai
pengganti kaldu RPMI karena pertumbuhan yang rendah.
• Dua percobaan terpisah menggunakan kaldu RPMI dengan
kedua strain C. neoformans memberikan kualitas pengujian
yang buruk seperti perbedaan OD pada 530 nm antara media
kosong dan kontrol pelarut sangat kecil.
• Oleh karena itu, media uji untuk C. neoformans diganti
menggunakan media standar dalam screening bahan alam
yaitu media kaldu SD. Namun, semua kondisi CLSI lainnya
digunakan (ukuran inokulum, suhu inkubasi, dan waktu
inkubasi).
• Sampel uji diencerkan menggunakan seri konsentrasi
dalam 20% dimetilsulfoksida-garam dan dipindahkan
ke pelat mikro alas datar 96 sumur dengan 2 kali
ulangan.
• Semua senyawa dan obat (kontrol positif) diuji dengan
menggunakan dua seri pengenceran. Organisme uji
ditambahkan ke pelat uji untuk menghasilkan volume
akhir 200 µl.
• C. neoformans dibaca pada 530 nm menggunakan
pembaca pelat sebelum dan setelah inkubasi pada
35°C selama 72 jam. Persen pertumbuhan dihitung,
dan IC50 dihasilkan menggunakan perangkat lunak.
Uji Sitotoksisitas secara In Vitro

• Prinsip pengujian ini didasarkan pada deteksi sel hidup


melalui penyerapan pewarna merah netral (NR). Merah
netral adalah pewarna eurhodin yang mewarnai lisosom
di sel yang layak. Pengujian serapan merah netral
memberikan pengukuran kuantitatif jumlah sel yang
layak dan dapat diukur pada OD 540 nm.

• NR adalah pewarna kationik lemah yang dipercaya dapat


masuk sel dengan difusi non-ionik melalui membran sel.
Pewarna kemudian terakumulasi di lisosom sel hidup.
• Dua jenis sel mamalia Vero (Fibroblast ginjal monyet
hijau Afrika) dan LLC-PK1 (epitel ginjal babi) yang
digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari ATCC.
Sitotoksisitas ditentukan dengan metode merah netral,
dan Doxorubicin (ICN Biomedicals) digunakan sebagai
kontrol positif.

• Doxorubicin merupakan antibiotik golongan antrasiklin


yang banyak digunakan untuk terapi berbagai macam
jenis kanker seperti leukemia akut, kanker payudara,
kanker tulang dan ovarium

• Senyawa ini diisolasi dari Streptomyces peucetius var


caesius pada tahun 1960-an dan digunakan secara luas.
Antibiotik antrasiklin seperti doxorubicin memiliki
mekanisme aksi sitotoksik melalui empat mekanisme
yaitu:
1. Penghambatan topoisomerase II
2. Interkalasi DNA sehingga mengakibatkan
penghambatan sintesis DNA dan RNA
3. Pengikatan membran sel yang menyebabkan aliran
dan transport ion
4. Pembentukan radikal bebas semiquinon dan radikal
bebas oksigen melalui proses yang tergantung besi
dan proses reduktif yang diperantarai enzim.
Prosedur pengujian
• Larutan stok berair 0,4% dari pewarna (3-amino-m-
dimethylamino-2-methyl-phenazine hydrochloride)
disiapkan dan ditambahkan alikuot untuk membuat
media DMEM dengan konsentrasi akhir 50 µg/ml.
Preinkubasi media berisi NR selama 1 malam pada
37°C untuk menghilangkan endapan halus dan kristal
pewarna yang terbentuk saat NR dicampur dengan
media.
• Endapan kristal yang terdapat dalam kultur sel selama
inkubasi akan mengganggu pengujian. Media NR
disentrifugasi selama 10 menit pada 1500xg sebelum
digunakan untuk menghilangkan kristal.
• Penambahan 0,2 ml media-NR ke dalam sumur dan
inkubasi selama 3 jam pada 37°C menghasilkan
penyerapan pewarna ke dalam sel hidup.

• Media pewarna dilepas dan sel dicuci secara cepat


dengan 40% formaldehyde-10% CaC12, untuk
menghilangkan pewarna yang tidak terikat dan sangat
melekat sekaligus meningkatkan adhesi sel ke substratum.
Formaldehida hanya boleh kontak sebentar dengan sel
karena eksposur yang lebih lama akan menghasilkan
ekstraksi pewarna. Penghilangan formaldehida dan
penambahan 0,2 ml campuran 1% asam asetat-50%
etanol ke masing-masing sumur, yang menghasilkan
ekstraksi NR ke dalam larutan.
• Setelah 20 menit, pelat mikrotiter ditempatkan selama
beberapa detik pada pengocok pelat mikrotiter dan
absorbansi diukur menggunakan pembaca pelat mikro
pada OD 540 nm.
• Pembacaan dilakukan sebanyak empat kali, hasilnya
direratakan dan dinyatakan sebagai absorbansi yang
diamati sebagai persentase kultur kontrol (%), atau
sebagai µg pewarna yang terekstraksi, dihitung dari kurva
standar NR yang dilarutkan dalam larutan 1% asam
asetat-50% etanol.
• Pengujian aktivitas sitotoksik hanya dilakukan terhadap
senyawa 1 dan senyawa 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis dereplikasi ini didasarkan pada perbandingan berat molekul


(MW), pola fragmentasi spektrometri massa (MS), absorpsi UV, dan
karakteristik sinyal HNMR dengan data yang dilaporkan sebelumnya,
serta pertimbangan kemotaksonomi bahwa senyawa yang secara
struktural serupa terdapat dalam spesies, genus, atau bahkan famili
tumbuhan yang sama.
Data LC-MS
• Data LC-MS CF80680-c4 ditunjukkan pada Gambar 1.
• Kromatogram evaporative light scanning detect (ELSD) menunjukkan bahwa
terkandung dua senyawa mayor (1 dan 2) dengan perbandingan kira-kira 1: 1
pada time retention (tR) 1,93 dan 2,06 menit, keduanya tidak memiliki
absorpsi UV (data tidak ditampilkan).
• Senyawa 1 memberikan ion molekul yang diprotonasi atm / z421.2 [M + H] +
dalam ESIMS positif dan ion [M + HCOO] atm / z465.3 dalam ESIMS negatif,
menunjukkan MW 420
• Untuk senyawa2, ion molekul terionisasi atm / z463.5 [M + H] + dan 507.2 [M
+ HCOO] −di ESIMS positif dan negatif, masing-masing, menunjukkan MW 462
Gambar 1.
Gambar 1. (Lanjutan...)
• Perbedaan 42 unit massa antara 1 dan 2 menunjukkan bahwa kemungkinan
adanya gugus asetil dan dijelaskan bahwa waktu retensi yang sedikit lebih lama.
Karena beberapa diterpenoid telah diisolasi dari spesies lain, rentang MW dan
sifat penyerapan non-UV senyawa 1 dan 2 menunjukkan bahwa mereka
kemungkinan turunan terpenoid.
• Dengan menggunakan MW dan informasi taksonomi tersebut, ditetapkan
bahwa:
1.) Satu diterpenoid bernama sagittine B dari S. sagittifolia dari MW 420, data
yang diperoleh dari senyawa 1. Terdapat pada Data 500 (1H) dan 125 (13C) MHz
2.) Dua diterpenoid bernama sagittine C dan sagittine D dari S. Sagittifolia
MW yang sama dari 462.10. Terdapat pada data 400 (1H) dan 100 (13C) MHz
untuk senyawa 2 dan 3
• Karena MW yang sama (atau rumus molekul) umumnya sesuai dengan
beberapa struktur kimia, terutama untuk MW kecil kurang dari 500, tidak dapat
ditentukan, apakah 1 dan 2 adalah senyawa yang disebutkan di atas, dan data
LC-MS tidak tersedia
Data NMR
• Keuntungan menggunakan spektroskopi 1H NMR untuk replikasi terletak pada sifat
sidik jarinya yang memberikan informasi struktural yang sangat baik yang dapat
secara signifikan mempersempit kemungkinan ketika dikombinasikan dengan LC-MS
• Dalam penelitian ini, spektrum 400 MHz1H NMR CF80680-c4 diperoleh dalam
kloroform deuterasi dengan kuantitas 0,4 mg
• Spektrum 1H NMR ini (Gambar 1f) menunjukkan gugus metil kerangka literpenoid
dalam kisaran δH0,6−1,0
• Gugus asetil pada δH2,05
• proton dari gugus aglikon dan proton anomerik gula sebagian dalam kisaran
δH4.7−6.0
• Perbandingan resonansi metil karakteristik dengan sagittine B diindikasikan
berbeda, hal ini menunjukkan bahwa senyawa 1 dan 2 memiliki kerangka
diterpenoid yang berbeda dan dengan demikian mungkin menghasilkan produk
alami.
• Untuk mengisolasi senyawa 1 dan 2, yaitu ekstrak etanol 95% dari daun kering
dan bunga S. lattifolia difraksinasi menjadi CFs dengan kromatografi silika gel
fasa normal menggunakan sistem pelarut kloroform dengan persentase
peningkatan metanol.
• CF yang mengandung dua senyawa ditempatkan dengan mudah dengan
perbandingan langsung perilaku TLC dan spektrum 1H NMR dengan CF80680-
c4.
• Isolasi selanjutnya CF ini dengan kromatografi kolom C18 fase terbalik yang
dihasilkan dalam senyawa 1 dan 2 yang dimurnikan
• Data 1H dan 13C NMR senyawa 1 (Tabel 1) karena gugus aglikon
berbeda dari yang diterpenoid sebelumnya diisolasi dari Sagittaria spp
• Sedangkan bagian gula tampak menjadi satu β-arabinofuranosa yang
hadir dalam beberapa glikosida diterpenoid yang telah diisolasi dari
Sagittaria spp sering menghasilkan aglikon dan L-arabinosa
• Data NMR 13C ditugaskan oleh eksperimen 2D NMR dan dilaporkan
untuk pertama kalinya dalam Tabel 1 penentuan senyawa 1H dan 13C
NMR difasilitasi oleh eksperimen 2D NMR.
• Keterkaitan arabinosa dengan gugus hidroksil C-19 pada senyawa 1
dikonfirmasi oleh korelasi HMBC antara H2-19 di δH3.65 dan 3.62 (1H,
masing-masing, d, J = 9.3 Hz) dan C-1‘ di δC108.9 dan antara H-1′ di
δH4.96 (1H, br s) dan C-19 at δC70.8, serta korelasi NOE antara H-19
dan H-1 ′. Selain itu,
Korelasi NOE kunci, H3-20 dan H2-19, H-5 dan H-9, dan H3-17 dan H-11β,
mendukung kerangka isopimara-7,15-dien-19-ol yang menunjukkan
konformasi kursi / kursi-seperti / kursi untuk sistem cincin A / B / C
trisiklik, seperti yang ditunjukkan dalam geometri yang dioptimalkan oleh
ChemBio3D Ultra 12.0 (Gambar 2).
Tabel 1. Aktivitas Antijamur dan Sitotoksisitas Senyawa 1 dan 3 a secara
in vitro

Aktivitas Antijamur (IC50/MIC, μg/mL)b Sitotoksisitas (IC50, μg/mL)c


Senyawa
C. neoformans ATCC 90113 C. gattii ATCC 32609 Vero LLC-PK1
1 3.7 ± 0.3/>20.0 1.8 ± 0.6/20.0 ± 0 30.0 ± 0 21.5 ± 4.9
3 9.2 ± 1.1/>20.0 6.8 ± 0.6/20.0 ± 0 37.5 ± 3.5 42.5 ± 3.5
Ampotericin B 0.2 ± 0.02/0.7 ± 0 0.1 ± 0.06/0.3 ± 0.1
Doxorubicin 5.4 ± 0.2 0.4 ± 0.2
a: Aktivitas antijamur dan sitotoksisitas dinyatakan sebagai nilai rata-rata dari
tiga nilai eksperimen dengan standar deviasi. bIC50: Konsentrasi yang
bertanggung jawab atas penghambatan 50% pertumbuhan sel jamur; MIC:
konsentrasi hambat minimum (konsentrasi terendah yang memungkinkan
tidak terdeteksi pertumbuhan). Konsentrasi uji tertinggi yang digunakan untuk
kedua senyawa 1 dan 3 adalah 20μg/ml. cIC50: konsentrasi yang bertanggung
jawab atas penghambatan 50% pertumbuhan sel mamalia. Konsentrasi uji
tertinggi yang digunakan untuk kedua senyawa 1 dan 3 adalah 50 μg/ml.
KESIMPULAN
 Data LC-MS CF80680-c4 ditunjukkan Kromatogram evaporative light
scanning detect (ELSD) menunjukkan bahwa terkandung dua senyawa
mayor (1 dan 2) yaitu bernama sagittine B dari S. sagittifolia dari MW 420,
data yang diperoleh dari senyawa 1 dan dua diterpenoid bernama
sagittine C dan sagittine D dari S. Sagittifolia MW yang sama dari 462.10
untuk senyawa 2 dan 3
 Penggunakan spektroskopi 1H NMR untuk memberikan informasi
struktural yang sangat baik yang dapat secara signifikan mempersempit
kemungkinan ketika dikombinasikan dengan LC-MS. Dalam penelitian ini,
spektrum 400 MHz1H NMR CF80680-c4. Perbandingan resonansi metil
karakteristik dengan Sagittine B diindikasikan berbeda, hal ini
menunjukkan bahwa senyawa 1 dan 2 memiliki kerangka diterpenoid yang
berbeda dan dengan demikian mungkin menghasilkan produk alami.
KESIMPULAN
 Uji antijamur in vitro menunjukkan bahwa senyawa 1 memiliki nilai
IC50 3,7μg/mL terhadap C. Neoformans ATCC 90113, sedangkan
senyawa 2 tidak aktif pada konsentrasi uji tertinggi 20 μg/mL.

 Nilai IC50 kira-kira sepertiga dari yang diamati untuk CF80680-c4.


Dengan demikian disimpulkan bahwa senyawa 1 bertanggung jawab
atas aktivitas antijamur dari CF80680-c4.
DAFTAR PUSTAKA
1. Borenfreund E and Puerner JA. Toxicity Determined in vitro by Morphological Alterations and
Neutral Red Absorption. Toxicology Letters, 24 (1985) 119-124.
2. Li, XC et al. Potent In Vitro Antifungal Activities of Naturally Occurring Acetylenic Acids.
Antimicrob. Agents Chemother. 2008, 52, 2442−2448.
3. Childs et al. 2002. Doxorubicin Treatment in Vivo Causes Cytochrome c Release and
Cardiomyocyte Apoptosis, As Well As Increased Mitochondrial Efficiency, Superoxide Dismutase
Activity, and Bcl-2:Bax Ratio, Cancer Research, 62:4592-4598.
4. Minotti G et al. 2004. Anthracyclins: Molecular Advances and Pharmacologic Developments in
Antitumor Activity and Cardiotoxicity. Pharmacol Rev., 56:185-228
5. Casadevall A, Perfect JR. 1998. Cryptococcus Neoformans: Molecular Pathogenesis and Clinical
Management. American Society for Microbiology.Page.1;71-73
6. R. R. Ravu et al., “LC-MS- and 1H NMR Spectroscopy-Guided Identification of Antifungal
Diterpenoids from Sagittaria latifolia,” J. Nat. Prod., vol. 78, no. 9, pp. 2255–2259, 2015, doi:
10.1021/acs.jnatprod.5b00470.
7. U. A. Jenie, Teknik Modern Spektroskopi NMR : Teori dan Aplikasi dalam Elusidasi Struktur
Molekul Organik. 2014.
8. http://plantamor.com/species/info/sagittaria/latifolia
9. https://wildflowersearch.org/search?&PlantName=Sagittaria+latifolia

Anda mungkin juga menyukai