Anda di halaman 1dari 23

PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI HALAL

DAN SISTIM JAMINAN HALAL (SJH)


BAGI PRODUK UMKM

(Oleh: Drs. H. Adnan Mandiri)


TERMINOLOGI

1. Produk Halal ialah Produk Pangan, Obat-obatan,


kosmetika dan Produk Gunaan lainnya yang tersusun
Dari unsur yang halal dan telah melalui proses
sertifikasi produk halal yang telah dinyatakan halal
sesuai dengan Syari’ah (Hukum Islam)

2. Sertifikat Halal ialah Fatwa Tertulis dari MUI yang


menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan
Syari’ah Islam, setelah melalui proses audit yang
dilakukan oleh LPPOM MUI sebagai pemeriksa Halal.

3. Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah suatu pengelolaan


terpadau terhadap bahan, proses produksi, sumber
daya manusia dan prosedur untuk menghasilkan
produk halal serta menjamin kehalalannya secara
konsisten dan berkelanjutan.
4. Ajaran Islam mengatur secara rinci tentang masalah makanan
yang dikonsumsi oleh setiap muslim.
Firman Allah: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan
makanannya”. (QS. Abasa (80) : 24)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS Al Baqarah : 168)

5. Pernyataan tentang Halal dan Haram


 Mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal adalah
wajib hukumnya bagi orang Islam
 Pengertian Halal Haram
(i) Halal adalah boleh
(ii) Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT
dengan larangan yang tegas
 Contoh Bahan Haram:
 Khamar atau minuman keras
 Bangkai, Darah, Daging Babi dan (daging) hewan yang
disembelih bukan atas nama Allah SWT.
 Anjing dan hewan Buas
 Najis dan Kotoran
 Organ dari tubuh manusia
6. PRAKTEK PENERAPAN SJH

 Menjaga semua fasilitas produksi dan peralatan dalam


keadaan bersih sebelum dan sesudah digunakan.
 Menjaga kebersihan diri karyawan sebelum dan selama
bekerja sehingga tidak mengotori produk yang dihasilkan.
 Tidak boleh membawa produk tidak halal di area
produksi.
 Tidak boleh membawa/memelihara hewan peliharaan di
area produksi.
 Tidak boleh menggunakan peralatan produksi untuk
kepentingan lain.
 Menyimpan bahan dan produk di tempat yang bersih dan
menjaganya supaya terhindar dari najis.
 Memastikan kendaraan yang digunakan untuk
mengangkut produk halal dalam kondisi baik dan tidak
digunakan untuk mengangkut produk lain yang diragukan
kehalalannya.
7. Pengetahuan Benda Najis
a. Pengertian najis :
1. Menurut bahasa adalah “setiap yang kotor”
2. Menurut syara’ adalah kotoran yang wajib dihindari dan
dibersihkan oleh setiap muslim ketika terkena olehnya.
b. Najis ada tiga:
1. Najis mukhaffafah (najis ringan), yaitu air seni bayi laki-laki
sebelum usia dua tahun yang hanya mengonsumsi AS.
2. Najis mughallazhah (najis berat), yaitu najis babi, anjing atau
turunan keduanya.
3. Najis mutawassithah (najis sedang), yaitu najis kotoran
hewan, khamr (minuman keras)
c. Mutanajjis adalah benda suci yang terkena najis, dapat berupa
bahan, produk atau peralatan produksi. Benda mutanajjis dapat
menjadi suci kembali setelah dicuci secara syar’i.
d. Pencucian benda mutanajjis padat yang terkena najis
mutawassithah secara syar’i yaitu dengan mengucurinya dengan
air atau mencucinya di dalam air yang banyak (direndam) hingga
hilang rasa, bau dan warna dari bahan najisnya.
e. Pencucian benda mutanajjis padat yang terkena najis
mughallazhah secara syar’i yaitu dicuci tujuh kali dengan air dan
salah satunya dengan tanah atau bahan lain yang mempunyai
kemampuan menghilangkan rasa, bau dan warna.
8. Pengetahuan Sertifikasi Halal
a. Sertifikat halal produk di Indonesia dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah audit dilakukan
oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan
Kosmetika (LPPOM MUI).
b. Perusahaan yang telah mendapatkan sertifikat halal dari
MUI harus menjaga kehalalan produknya dengan cara
menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH).
c. Inti dari penerapan SJH adalah membuat kebijakan
halal, membentuk Tim Manajemen Halal dan
melaksanakan dengan sungguh-sungguh semua prosedur
operasional yang tercantum dalam Manual SJH.

9. Penerapan Sistem Jaminan Halal (SJH)


a. Membeli bahan dengan nama/merk dan produsen sesuai
dengan yang tercantum dalam Daftar Bahan Halal.
b. Memeriksa label bahan pada setiap pembelian bahan
atau penerimaan bahan untuk memastikan kesesuaian
nama bahan, nama produsen dan negara produsen
dengan yang tercantum dalam Daftar Bahan.
10. Fasilitas Produksi adalah semua lini produksi dan
peralatan pembantu yang digunakan untuk
menghasilkan produk, baik milik sendiri atau menyewa
dari pihak lain.

Kriteria Fasilitas Produksi:


a. Seluruh nama (jika ada) dan alamat fasilitas produksi harus
didaftarkan.
b. Fasilitas produksi tidak boleh digunakan bergantian.
c. Fasilitas penyimpanan bahan dan produk termasuk Gudang
antara, harus mampu mencegah terjadinya kontaminasi
najis
d. Fasilitas pencucian peralatan tidak boleh digunakan
bergantian dengan peralatan yang kontak dengan bahan
berasal dari babi dan turunannya.
e. Menjaga semua fasilitas produksi dan peralatan dalam
keadaan bersih sebelum dan sesudah digunakan.
f. Memastikan kendaraan yang digunakan untuk mengangkut
produk halal dalam kondisi baik dan tidak digunakan untuk
mengangkut produk lain yang diragukan kehalalannya.
g. Mendaftarkan setiap ada penambahan fasilitas produksi
baru untuk disertifikasi halal.
Jaminan Halal Dari Produsen:
1. Sebelum produsen mengajukan sertifikat halal
terlebih dahulu harus mempersiapkan Sistem
Jaminan Halal. Penjelasan rinci tentang Sistem
Jaminan Halal dapat merujuk kepada Buku
Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal yang
dikeluarkan oleh LP POM MUI.
2. Berkewajiban mengangkat secara Resmi seorang
atau tim Auditor Halal Internal (AHI) yang
bertanggungjawab dalam menjamin pelaksanaan
Produksi halal.
3. Berkewajiban menandatangani kesediaan untuk
diinspeksi secara mendadak tanpa pemberitahuan
sebelumnya oleh LP POM MUI.
4. Membuat Laporan berkala stiap 6 bulan tentang
pelaksanaan Sistem Jaminan Halal.
JAMINAN PRODUK HALAL
MENURUT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2014
KETENTUAN UMUM

Pasal 3
Penyelenggaraan JPH bertujuan:
a. Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan,
dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi
masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan
Produk; dan
b. Meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk
memproduksi dan menjual Produk Halal.
 
Pasal 4
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal
LEMBAGA PEMERIKSA HALAL

Pasal 15
Auditor Halal bertugas:
a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
d. meneliti lokasi Produk;
e. Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;
f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kepada LPH.
PROSES PRODUK HALAL
 
Pasal 21
1. Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan
lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,
penjualan, dan penyajian Produk tidak halal.

2. Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) wajib:
a. dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b. bebas dari najis; dan
c. bebas dari Bahan tidak halal.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan


alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
 
PROSES PRODUK HALAL
 
Pasal 22
1. Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat,
dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif
berupa:
a. Peringatan tertulis; atau
b. Denda administratif.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan


sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
 
PELAKU USAHA
 
Pasal 24
Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat
Halal wajib:
a. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
c. Memiliki Penyelia Halal; dan
d. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada
BPJPH.
 
PELAKU USAHA
 
Pasal 25
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib:
a. Mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang telah
mendapat Sertifikat Halal;
b. Menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat
Halal;
c. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat
pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,
penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak
halal;
d. Memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat
Halal berakhir; dan
e. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.
 
PELAKU USAHA
 
Pasal 26
1. Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan
yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan
dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.

2. Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada
Produk.
 
TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL
 
Pasal 29
1. Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku
Usaha secara tertulis kepada BPJPH.

2. Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan


dokumen:
a. Data Pelaku Usaha;
b. Nama dan jenis Produk;
c. Daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d. Proses pengolahan Produk.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan


permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan
Menteri.
PENETAPAN LEMBAGA PEMERIKSA HALAL
 
Pasal 30
1. BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

2. Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dinyatakan lengkap.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara


penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.
PEMBIAYAAN
 
Pasal 44
1. Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku
Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat
Halal.

2. Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro


dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi
oleh pihak lain.
KETENTUAN PIDANA
 
Pasal 56
Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang
telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 57
Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses
JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang
tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 58
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum
Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai
jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.
 
Pasal 59
Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau
perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara
memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-
Undang ini diundangkan.
 
Pasal 60
MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal
sampai dengan BPJPH dibentuk.
 
Pasal 61
LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui
sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak BPJPH
dibentuk.
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 67
 
1. Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang
beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5
(lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

2. Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang
bersertifikat halal diatur secara bertahap.

3. Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat


halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai