Anda di halaman 1dari 16

Kode Etik Jurnalistik

Oleh WIDODO ASMOWIYOTO


Anggota Komisi Pendidikan PWI Pusat
Tim Penguji UKW PWI Pusat
Latar Belakang Masalah
 Di kalangan wartawan, sampai tahun 2007 hanya 22 persen
wartawan di seluruh Indonesia yang telah membaca seluruh isi
Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
 Sampai tahun 2007 tingkat pengetahuan umum masyarakat

terhadap KEJ masih memprihatinkan. (Wina Armada Sukardi, Cara


Mudah Memahami Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Pers , Penerbit
Dewan Pers, Jakarta, 2008)
 Tahun 2010 hingga tahun 2013, dari rata-rata 500 pengaduan

KEJ yang ditangani Dewan Pers selama setahun, 80 persen


berakhir dengan kesimpulan telah terjadi pelanggaran KEJ oleh
media massa atau oleh individu wartawan. Ini angka pelanggaran
KEJ yang dilaporkan ke Dewan Pers, yang tidak dilaporkan hamper
pasti jauh lebih besar. (Agus Sudibyo, Etika Jurnalisme Migas
Panduan untuk Wartawan, Penerbit PWI Pusat, Jakarta, 2015).
Latar Belakang Masalah

 Jenis Pelanggaran KEJ yang Ditangani Dewan Pers Januari-


September 2012 (143 kasus):
 Tidak berimbang 39 kasus (27,27 persen);
Mencampuradukkan fakta dan opini yang Menghakimi 35
kasus (24,48 persen); Tidak menguji informasi/konfirmasi
30 kasus (20,98 persen); Tidak akurat 14 kasus (9,79
persen); Tidak profesional dalam mencari berita 5 kasus
(3,50 persen); Tidak jelas narasumbernya 4 kasus (2,80
persen); Melanggar asas paraduga tidak bersalah 4 kasus
(2,80 persen); Tidak menyembunyikan identitas korban
kejahatan susila 4 kasus (2,80 persen); Tidak berimbang
secara proposional 2 kasus (1,40 persen); Tidak
menyembunyikan identitas pelaku kejahatan di bawah umur
1 kasus (0,70 persen); Lain-lain 5 kasus (3,50 persen).
Latar Belakang Masalah
 Pelanggaran KEJ terkait pemberitaan, paling banyak adalah
pelanggaran terhadap prinsip keberimbangan berita. Hal ini
terjadi karena pengaruh perkembangan pesat media siber,
berita dengan satu sumber telah menjadi tren dalam
pemberitaan di Indonesia.
 Pada awalnya hanya menjadi tren media siber yang serba

mengejar kecepatan berita, namun dalam perkembangannya


menjadi tren semua jenis media.
 Jurnalisme “hit and run”, begitu istilah popular di kalangan

wartawan untuk tren pemberitaan dengan sumber berita


tunggal ini. Jika para pakar menyatakan bahwa prinsip utama
jurnalisme adalah: verifikasi, verifikasi, verifikasi, maka
jurnalisme “hit and run” mengubahnya menjadi: kecepatan,
kecepatan dan kecepatan.
Pengertian KEJ
“Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak atau
moral. Dalam bahasa Latin ada pula kata “mos” (tunggal) atau “mores”
(jamak) yang artinya kebiasaan yang baik.
Dewasa ini etika secara sederhana diartikan sebagai prinsip-prinsip

atau tatanan berperilaku yang baik dari suatu kelompok masyarakat


tertentu yang bersumber dari keahlian, moral atau hati nurani
kelompok masyarakat itu.
Kata “kode” berasal dari bahasa Inggris “code”. Pengertian dasarnya

adalah himpunan ketentuan atau peraturan atau petunjuk yang


sistematis. Dari gabungan pengertian kedua kata itu, akhirnya kode
etik dapat diartikan sebagai himpunan atau kumpulan etika. Maka Kode
Etik Jurnalistik (KEJ) bermakna himpunan etika di bidang jurnalistik.
Dengan kata lain KEJ adalah kumpulan atau himpunan norma atau etika

di bidang jurnalistik yang dibuat oleh, dari, dan untuk wartawan.


Tujuan dan Manfaat KEJ

 Sebagai kaidah penuntun moral dan etika para


wartawan dalam menjalankan profesinya.
 Menjaga martabat profesi wartawan.
 Melindungi masyarakat dari penyalahgunaan
keahlian atau otoritas profesi wartawan.
 Mendorong persaingan sehat antar-wartawan.
 Mencegah kecurangan antar-wartawan.
 Mencegah manipulasi informasi oleh
narasumber.
Sejarah KEJ di Indonesia
 Periode Tanpa KEJ. Periode ini berlangsung di sekitar tahun proklamasi
kemerdekaan (1945). Meski baru merdeka, tak lama kemudian di Indonesia
telah lahir beberapa penerbitan baru. Tentu saja karena masih baru belajar
dan masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat menerbitkan pers di
alam merdeka, belum terpikir soal pembuatan KEJ. Akibatnya pada periode ini
pers berjalan belum dengan KEJ.
 Periode KEJ PWI Tahap I. Tahun 1946 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
lahir di Solo dan belum memiliki kode etik. Saat itu yang ada baru semacam
konvensi, yang dituangkan dalam satu kalimat, yang intinya bahwa organisasi
ini mengutamakan prinsip kebangsaan. Baru setahun setelah terbentuk atau
1947 lahirlah Kode Etik PWI yang pertama. Dilihat dari perumusan, sistematis
dan istilah-istilah yang dipakai ternyata KEJ PWI yang pertama itu secara
umum dapat disimpulkan tidak lebih dari terjemahan kode etik milik
wartawan Amerika yang bernama Cannon of Journalism. Menurut ketua tim
perumusnya, almarhum Tasrif, memang waktu para anggota perumusnya
sebagian besar banyak mempelajari kode etik wartawan Amerika.
Sejarah KEJ di Indonesia
 Periode Dualisme KEJ PWI dan KEJ Non-PWI. Setelah PWI lahir, kemudian muncul
berbagai organisasi wartawan lainnya. Meski dijadikan sebagai pedoman etik oleh
berbagai organisasi lain, sebenarnya KEJ PWI hanya berlaku bagi anggota PWI
sendiri, padahal organisasi wartawan lain juga memerlukan KEJ. Latar belakang
itulah yang kemudian mendorong Dewan Pers mencoba mebuat dan
mengeluarkan pula KEJ. Melalui sebuah Panitia Ad Hoc yang terdiri atas tujuh
orang, akhirnya Dewan Pers mengeluarkan KEJ melalui keputusan 09/1968 yang
ditandatangani Boediarjo (Ketua Dewan Pers) dan T. Sjahril (Sekretaris). Saat itu
Dewan Pers juga tidak menyatakan mencabut KEJ PWI sehingga ada dualisme KEJ.
 Periode KEJ PWI Tahap 2. Dualisme KEJ tersebut berlangsung sekitar tujuh tahun.
Sebab, pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah (Menteri Penerangan Mashuri)
mengukuhkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia (SK
Menpen No. 47/Kep/Menpen/1975). Sejlan dengan hal itu maka kode etik yang
berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia adalah KEJ PWI (SK Menpen No.
48/Kep/Menpen/1975). UU Pokok Pers yang berlaku saat itu (UU No. 21/1982)
menegaskan bahwa organisasi wartawan haruslah organisasi yang disetujui oleh
pemerintah. Pasal 1 ayat 5 UU Pokok Pers menegaskan, “ Organisasi pers ialah
organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, organisasi grafika pers dan
organisasi media periklanan yang disetujui oleh pemerintah. ”
Periode Reformasi (Banyak KEJ)
 Tahun 1998 Indonesia memasuki era reformasi sehingga paradigma dan tatanan
dunia pers pun berubah lagi. Pasal 7 ayat 1 UU Pers No. 40/1999 membebaskan
wartawan dalam memilih organisasi wartawan sehingga PWI bukan lagi sebagai
satu-satunya organisasi wartawan di tanah air. Karena itu lahirlah banyak
organisasi wartawan.
 Pada tanggal 6 Agustus 1999 di Bandung tercatat 25 organisasi wartawan
menelorkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan Dewan Pers hanya
mengesahkan saja melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni
2000. KEWI hanya terdiri atas 6 pasal. Bandingkan dengan KEJ PWI yang waktu itu
terdiri atas 17 pasal.
 Pada tanggal 14 Maret 2006 tercatat 29 organisasi pers (27 organisasi wartawan
dan 2 organisasi perusahaan pers) mengubah atau menyempurnakan KEWI
menjadi KEJ (terdiri atas 11 pasal). Kemudian Dewan Pers mengesahkan KEJ yang
baru dan berlaku secara nasional itu melalui SK No. 03/SK-DP/III/2006 tanggal 24
Maret 2006. KEJ yang baru tersebut memenuhi ketentuan Pasal 7 bahwa “ Yang
dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi
wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers .” Akan tetapi Dewan Pers tidak
mencabut KEJ milik masing-masing organisasi wartawan yang banyak tersebut.
Komitmen Taati KEJ (UU Pers)
 Berbeda dari negara lain, di Indonesia KEI diatur dalam UU No. 40/1999
tentang Pers (Pasal 7 ayat 2). Pasal ini menyebutkan bahwa wartawan memiliki
dan menaati KEJ. Ini berarti pelanggaran terhadap KEJ bisa berimplikasi sebagai
pelanggaran hukum. Mengenai UU Pers yang mengatur KEJ ini menimbulkan
tiga tafsir atau pendapat yaitu:
 Pertama, pengaturan soal KEJ dalam UU Pers hanya bersifat deklaratif saja.
Mengenai mekanisme bagaimana KEJ dibuat, sifat-sifatnya, ruang lingkup, dan
sanksinya, tetap diserahkan kepada mekanisme KEJ itu sendiri.
 Kedua, diaturnya KEJ dalam UU Pers telah mencampuradukkan sifat-sifat etika
menjadi sifat yuridis. Dengan demikian ruang lingkup etika sudah diperluas
menjadi ruang lingkup hukum. Kesalahan etika pun menjadi sama dengan
kesalahan hukum. Akibatnya KEJ kehilangan sifat etikanya dan telah berubah
menjadi sifat hukum atau yuridis.
 Ketiga, masalahnya harus dilihat kasus per kasus. Artinya, walaupun polanya
sama, tetapi kesimpulannya setiap kasus bisa tetap berbeda. Bahwa KEJ sudah
disepakati oleh 29 organisasi pers yang ada, hal itu sudah sesuai dengan sifat
etika profesi: dari, oleh, dan untuk kalangan etika profesi itu sendiri. Dengan
demikian KEJ sudah memenuhi syarat untuk diberlakukan.
Komitmen Taati KEJ (Piagam
Palembang
 Komitmen untuk menaati KEJ juga diatur dalam Piagam Palembang tentang Kesepakatan
Perusahaan Pers Nasional. Piagam Palembang ini ditandatangani oleh para pimpinan 19
kelompok perusahaan pers pada puncak upacara peringatan Hari Pers Nasional di
Palembang tanggal 9 Februari 2010. Ke 19 kelompok perusahaan itu ialah Jawa Pos Group,
LKBN Antara, LPP TVRI, LPP RRI, Republika Group, Kompas Gramedia Group, Suara Merdeka
Group, Femina Group, MNC Group, Pandji Media Group, Jakarta Globe Group, Transmedia
Corp, Bali Post Group, Pikiran Rakyat Group, Pos Kota Group, Smart FM Group, Detik.com
Group, Bintang Group, Waspada Group.
 Pengantar Piagam Palembang antara lain mengatakan, “Dalam mewujudkan
kemerdekaan pers serta melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya,
pers mengakui adanya kepentingan umum, keberagaman masyarakat, hak asasi
manusia, dan norma-norma agama yang tidak dapat diabaikan. Agar
pelaksanaan kemerdekaan pers secara operasional dapat berlangsung sesuai
dengan makna dan asas kemerdekaan pers yang sesungguhnya, maka
dibutuhkan pers yang profesional, tunduk kepada UU tentang Pers, taat terhadap
KEJ dan didukung oleh perusahaan pers yang sehat serta dapat diawasi dan
diakses secara proporsional oleh masyarakat luas.”
 “Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya KEJ, Standar Perusahaan Pers,
Standar Perlindungan Wartawan, dan Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami.”
Pentingnya KEJ untuk Wartawan
 Pertama, KEJ dibuat khusus dari, untuk, dan oleh kalangan wartawan sendiri
dengan tujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi wartawan. Ini
berarti, pelanggaran terhadap KEJ adalah pelanggaran terhadap kehormatan
profesi wartawan. Pelanggaran terhadap kehormatan diri sendiri. Bagi mereka
yang menyandang profesi wartawan, tiada yang lebih tercela dibandingkan
dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai kehormatan profesinya sendiri.
 Kedua, wartawan harus memiliki keterampilan teknis di bidang profesinya.
Misalnya harus dapat menulis berita atau menyiarkan berita dengan benar, adil
dan berimbang. Selain itu wartawan juga harus memiliki pengetahuan dan
wawasan yang sangat luas. Pendek kata, wartawan harus berilmu, baik dalam
penguasaan teknis jurnalistik maupun sosial kemasyarakatan. KEJ dalam hal
ini menjadi salah satu dan yang utama dan serta baromater profesionalisme
wartawan.
 KEJ menyangkut hati nuransi terdalam wartawan. Rumusan dalam KEJ
merupakan hasil pergumulan hati nurani wartawan. Pelaksanaannya juga harus
dilandasi dengan hati nurani. Maka pelanggaran terhadap KEJ, berarti
pengkhiatanan terhadap hati nurani profesi wartawan sendiri, dan ini jelas
merupakan sifat yang sangat tercela.
Asas-Asas KEJ (Dewan Pers)
 Apabila dibedah dan ditelaah dari kerangka jiwanya, KEJ yang diputuskan Dewan Pers
melalui SK No. 03/SK-DP/III?2006 tanggal 24 Maret 2006, sedikitnya mengandung
empat asas, yaitu:
 Asas Demokratis. Asas ini antara lain tercermin dari: a. Berita harus disiarkan secara
berimbang (pasal 1 dan pasal 3), b. Wartawan harus bersikap independen (pasal 1), c.
Pers wajib melayani hak jawab (pasal 11), d. Pers mengutamakan kepentingan publik.
 Asas Profesionalistas. Asas ini antara lain tercermin dari: a. Pers harus membuat dan
menyiarkan berita yang akurat (pasal 1), b. Pers harus menghasilkan berita yang faktual
(pasal 3), c. Wartawan tidak melakukan plagiat (pasal 2), d. Wartawan harus dapat
menunjukkan identitas kepada narasumber, kecuali dalam kasus investigatif (pasal 2), e.
Pers selalu menguji (check and recheck) informasi yang ada (pasal 3), f. Pers tidak
mencampuradukkan fakta dan opini yang menhakimi (pasal 3), g. Pers menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record (pasal 7), h. Pers segera
mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf
(pasal 10).
 Asas profesional memang menyebabkan secara tidak langsung harus ada semacam
seleksi kualitas untuk menjadi wartawan: tidak semua orang mampu menjadi wartawan
(profesional). Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini, mereka yang baru pertama kali terjun
ke dalam profesi wartawan sebaiknya diberikan kesempatan lebih dulu untuk mengenali
dunia kewartawanan.
Asas-Asas KEJ (Dewan Pers)
 Asas Moralitas. Asas ini antara lain tercermin dari: a. Pers tidak beritikad buruk
(pasal 1), b. Pers menghormati hak-hak pribadi atau privasi orang lain (pasal 9), c.
Pers menghormati pengalaman traumatik narasumber (pasal 5), d. Pers tidak
membuat berita cabul dan sadis (pasal 4), e. Pers tidak menyebut identitas korban
dan pelaku kejahatan anak-anak (pasal 5), f. Pers tidak menyebut identitas korban
kesusilaan (pasal 5), g. Wartawan tidak menerima suap (pasal 6), h. Wartawan
tidak menyalahgunakan profesi (pasal 6), i. Wartawan segera minta maaf terhadap
perbuatan dan penyiaran berita yang tidak akurat dan keliru (pasal 10), j. Pers
tidak menulis dan menyiarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA (suku, agama,
ras dan antargolongan), jender dan bahasa (pasal 8), k. Pers tidak
merendahkanorang miskin dan orang cacat jiwa maupun fisik (pasal 8).
 Sebagai lembaga sosial yang dapat memberikan pengaruh sangat luas terhadap
tata nilai, kehidupan dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan
kepercaraan, jelas moral memegang peranan penting dalam pers. Bahkan dalam
beberapa hal pers sendiri dapat berfungsi sebagai penjaga moral itu. Betapa
membahayakannya apabila pers tidak dilandasi moral yang tinggi. Maka
merupakan suatu kondisi yang tidak dapat ditiadakan, pers ketika menjalankan
tugasnya haruslah memiliki integritas yang tinggi. Tidak mungkin tercipta pers
yang baik dan berwibawa tanpa moral yang tinggi.
Asas-Asas KEJ (Dewan Pers)
 Asas Supremasi Hukum. Asas ini antara lain tercermin dari: a. Pers menerapkan asas
praduga praduga tidak bersalah (pasal 3), b. Pers tidak membuat berita bohong dan fitnah
(pasal 4), c. Wartawan tidak boleh melakukan plagiat (pasal 2), d. Pers memiliki hak tolak
(pasal 7).
 Pers bukanlah profesi yang imun atau kebal dari hukum. Dalam melaksanakan profesi,

wartawan juga dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam
memberitakan sesuatu, misalnya, wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga
tidak bersalah. Bagi wartawan asas ini tidak hanya wajib diterapkan dalam berita yang
menyangkut dalam proses hukum saja, tetapi dalam semua pemberitaan wajib menjaga asas
praduga tidak bersalah ini. Pada intinya asas praduga tidak bersalah bermakna, tidak boleh
menyatakan secara bersalah sebelum ada keputusan formal sat itu, tetapi memastikan
kejadian sebenarnya tetap boleh.
 Daftar Pustaka :
 1. Agus Sudibyo, Etika Jurnalisme Migas Panduan untuk Wartawan , Penerbit PWI Pusat, 2015.
 2. Dewan Pers Periode 2013-2016, Mengembangkan Kemerdekaan Pers dan Meningkatkan Kehidupan Pers Nasional ,
Jakarta, 2013.
 3. E. Subekti, Kode Etik Jurnalistik, Bahan Presentasi Safari Jurnalistik , Jakarta, 2013.
 4. Wina Armada Sukardi, Cara Mudah Memahami Kode Etika Jurnalistik dan Dewan Pers , Penerbit Dewan Pers, Jakarta, 2008.
 5. Wina Armada Sukardi, Keutamaan di Balik Kontroversi UU Pers ,
Penerbit Dewan Pers, November 2007.

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai