Anda di halaman 1dari 25

1

Pengendalian Mikroorganisme Berbahaya


Aliefia Meta D., S.Pd., M.Kes

Nama Kelompok:
1. Mujiati
2. Ita Mariana Ningtyas
3. Karyani Kusuma Ningrum
4. Candra Dewi
5. Siti Nur Azmilatin
PENDAHULUAN 2

 Pengendalian mikroorganisme pada lingkungan, tubuh, dan produk adalah


perhatian penting terhadap kesehatan dan industri.

 Metode pengendalian mikroba termasuk dalam kategori umum prosedur


dekontaminasi; yaitu menghancurkan atau menghilangkan kontaminan.
 Dalam mikrobiologi, kontaminan adalah mikroba yang ada di tempat dan waktu
tertentu yang tidak diinginkan (unwanted & undesirable).
 Sebagian besar metode dekontaminasi menggunakan agen fisik, seperti panas
atau radiasi, atau agen kimia seperti desinfektan dan antiseptik.
RESISTENSI RELATIF DARI BENTUK MIKROBA 3

 Sasaran utamanya adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi atau


pembusukan yang hadir di lingkungan dan pada tubuh manusia.

 Namun, populasinya jarang ada dalam bentuk sederhana atau seragam; pada
kenyataannya terdapat dengan campuran mikroba dengan perbedaan ekstrim dalam
tingkat resistensi dan bahayanya.
METODE PENGENDALIAN MIKROBA 4

Sterilisasi

• Panas
• Iradiasi
• Pemisahan

Desinfeksi

• Agen kimia
STERILISASI 5

 Sterilisasi adalah proses dihancurkan atau dihilangkannya semua


mikroorganisme yang ada dalam suatu objek.
 Metode penanganan mikroorganisme tertua  panas
 Metode sterilisasi yang lebih disukai adalah yang tidak menyebabkan kerusakan
pada bahan atau objek sasaran.
 Metode sterilisasi:
• Panas
• Radiasi
• Filtrasi
STERILISASI 6

Sterilisasi Panas (suhu tinggi)

Dapat dilakukan dengan cara :


 Pemanasan basah  menyebabkan denaturasi dan koagulasi protein penting
seperti enzim
 Pemanasan kering  oksidasi komponen organik sel
STERILISASI 7

Sterilisasi Panas (suhu tinggi)

Pemanasan hingga mendidih (suhu 100 °C)

 Selama 10 menit
 Cukup untuk mencapai sterilitas.
 Organisme tidak hadir dalam konsentrasi tinggi
 Sebagian besar bakteri mati pada suhu sekitar 70°C.
 Endospora dari bakteri tertentu (terutama Bacillus
dan Clostridium) dapat tahan pada proses perebusan
 perebusan perlu dilakukan selama beberapa jam.
STERILISASI 8

Sterilisasi Panas (suhu tinggi)

Pemanasan lebih dari 100°C

 Untuk menghancurkan endospora yang tahan panas.


 Dicapai dengan memanaskan dengan tekanan dalam
bejana tertutup.
 Autoklaf  15 menit, 103 kpa (15 psi) dan 121°C.
 Udara akan didorong keluar dari sistem, sehingga
seluruhnya terdiri dari steam.
 Untuk skala besar memerlukan waktu yang lebih lama
agar panas dapat menembus seluruhnya.
9

 Autoclave hanya mencapai suhu maksimum jika hanya terdiri dari uap murni.
 Temperatur dicapai pada 103 kPa (15 psi) di system yang berbeda.
 Setiap udara yang tersisa dalam sistem akan mengurangi suhu akhir yang dicapai.
STERILISASI 10

Sterilisasi Panas (suhu tinggi)

Tyndalisasi

 Metode sterilisasi untuk zat atau bahan yang dapat rusak oleh suhu tinggi yang
digunakan dalam sterilisasi autoklaf.
 Dapat membunuh endospore dan sel-sel vegetatif.
 Dipanaskan pada suhu hingga antara 90 dan 100°C selama 30 menit pada tiga hari
berturut-turut, dan pada tiap jedanya dibiarkan pada suhu 37°C.
 Prosesnya :
 Sel-sel vegetatif akan mati pada fase pemanasan, endospore tetap hidup.
• Endospore pada fase jeda akan tumbuh jadi sel-sel vegetatif.
• Berlanjut hingga 3 hari
STERILISASI 11

Sterilisasi Panas (suhu tinggi)

Dry Heat

 Penggunaan oven  sterilisasi alat-alat instrument


logam.
 Dibutuhkan suhu yang lebih tinggi (160-170 ◦C) dan
waktu pemaparan yang lebih lama (2 jam).
 Bekerja dengan mengoksidasi ('membakar')
komponen sel.
 Insinerasi  Bentuk ekstrem pembakaran
mikroorganisme hingga hancur dengan dry heat.
 Prosedur aseptic di laboratorium  panas nyala api.
12

 Dry Heat juga memiliki beberapa efek


pada mikroba.
 Dapat mengoksidasi sel dan, pada suhu
yang sangat tinggi, mengubahnya menjadi
abu.

 Dengan cara: mendehidrasi komponen sel


dan dapat mendenaturasi protein dan
DNA, tetapi protein lebih stabil dalam
panas kering daripada panas lembab, dan
suhu yang lebih tinggi diperlukan untuk
menonaktifkannya.

 Contoh sederhana  nyala api bunsen


13
DESINFEKSI 14

 Penggunaan bahan kimia yang dapat mengkoagulasi (mendenaturasi) protein


untuk membersihkan benda mati.

 Pemilihan zat kimia dengan pertimbangan:


(1) efektif, bahkan dalam konsentrasi rendah,
(2) memiliki kelarutan baik dalam air atau alkohol dan stabil dalam jangka panjang,
(3) memiliki cakupan luas, dan tidak beracun bagi jaringan sel manusia dan hewan,
(4) sifat tidak korosif atau tidak bernoda
(5) memiliki sifat membersihkan dan menghilangkan bau
(6) murah
(7) Ketersediaannya mudah
15
DESINFEKSI 16

Dengan Alkohol

 Hanya etil dan isopropil alkohol yang cocok untuk kontrol mikroba.

 Mekanisme aksi alkohol sebagian tergantung pada konsentrasinya.


 Konsentrasi > 50%, membran lipid terlarut, mengganggu tegangan permukaan
sel, dan mengganggu integritas membran.
 Alkohol yang telah memasuki protoplasma mendenaturasi protein melalui
koagulasi, tetapi hanya dalam larutan alkohol-air 50-95%.
 Alkohol absolut (100%) dapat mendehidrasi sel dan menghambat pertumbuhan,
tetapi tidak mendenaturasi protein.
DESINFEKSI 17

Dengan Halogen

Klorin

 Denaturasi enzim yang dihasilkan bersifat permanen dan menunda reaksi


metabolisme.
 Klorin membunuh tidak hanya sel bakteri dan endospora tetapi juga jamur dan virus.
 Keterbatasan utama senyawa klor adalah:
(1) Tidak efektif jika digunakan pada pH basa;
(2) Terlalu banyak bahan organik dapat mengurangi aktivitas; dan
(3) Relatif tidak stabil, terutama jika terkena cahaya.
 Klor gas dan cair  eksklusif untuk desinfeksi skala besar; air minum, air limbah dari
berbagai sumber.
 Klorinasi hingga konsentrasi 0,6 hingga 1,0 ppm  bahwa air itu aman untuk
diminum.
18

Iodin
 Zat kimia hitam yang menyengat yang membentuk larutan berwarna coklat ketika
dilarutkan dalam air atau alkohol.
 Hadir sebagai iodium bebas dalam larutan (I2) dan iodofor.
 Cepat menembus sel-sel mikroorganisme, mengganggu berbagai fungsi
metabolism, mengganggu hidrogen dan ikatan protein disulfida (mirip dengan
klorin).
 Larutan iodin (2% iodine and 2.4% sodium iodide)  antiseptik sebelum operasi
dan pengobatan untuk kulit yang terbakar dan terinfeksi.
 Larutan iodin (5% iodine and 10% potassium iodide)  desinfektan untuk barang-
barang plastik, instrumen karet, pisau pemotong, dan termometer.
 Tingtur iodin (2% solution of iodine and sodium iodide in 70% alcohol) 
antisepsis kulit.
19

Iodofor
 Kompleks iodin dan polimer netral seperti polivinilalkohol  memungkinkan
pelepasan iodin bebas secara lambat dan meningkatkan tingkat penetrasi.
 Produk iodophor yang umum dipasarkan = Betadine, Povidone (PVP), dan Isodine
mengandung 2-10% dari iodin.
 Digunakan untuk menyiapkan kulit dan selaput lendir untuk operasi dan suntik,
scrub tangan bedah, untuk mengobati luka bakar, dan untuk mendisinfeksi
peralatan.
DESINFEKSI 20

Dengan Fenol

 Dalam konsentrasi tinggi, racun seluler dengan cepat mengganggu dinding dan
membran sel dan mendenatursi protein.
 Dalam konsentrasi yang lebih rendah, menonaktifkan sistem enzim tertentu.
 Fenol sangat mikrobisida  menghancurkan bakteri vegetatif (termasuk the
tubercle bacillus), jamur, dan sebagian besar virus (bukan hepatitis B), tetapi bukan
sebagai sporisida.
 Aktivitas tetap berlangsung meski terdapat bahan organik dan deterjen.
 Namun, toksisitas fenolik  terlalu berbahaya untuk digunakan sebagai antiseptik.
21

 Fenol digunakan untuk desinfeksi umum saluran air, tangki limbah, dan tempat
penampungan hewan, tetapi jarang diterapkan sebagai germisida medis.
 Cresol (turunan fenolik sederhana) dikombinasikan dengan sabun  untuk
desinfeksi tingkat menengah atau rendah di rumah sakit.
 Ortofenil fenol  bahan utama dalam semprotan aerosol disinfektan.
 Triclosan (secara kimiawi dikenal sebagai diklorofenoksifenol), senyawa antibakteri
yang ditambahkan banyak produk, seperti sabun  sebagai desinfektan dan
antiseptik dan memiliki efek spektrum luas.
DESINFEKSI 22

Dengan Hydrogen Peroxide

 Efek pembunuh kuman oleh aksi oksigen langsung dan tidak langsung.
 Oksigen membentuk radikal bebas hidroksil yang sangat beracun dan reaktif
terhadap sel.
 Meskipun sebagian besar sel mikroba menghasilkan katalase untuk menonaktifkan
hidrogen peroksida secara metabolik, ia tidak dapat menetralkan jumlah hidrogen
peroksida yang masuk ke dalam sel selama desinfeksi dan antisepsis.
 Hidrogen peroksida bersifat bakterisidal, virucidal, dan fungisidal dan, dalam
konsentrasi yang lebih tinggi, sporicidal.
23

 Sebagai antiseptik, hidrogen peroksida 3%  pembersihan kulit dan luka,


perawatan luka baring, dan obat kumur.
 Hidrogen peroksida juga merupakan disinfektan serbaguna untuk lensa kontak
lunak, implan bedah, peralatan plastik, peralatan, perlengkapan tidur, dan interior
ruangan.
DESINFEKSI 24

Dengan Detergent

 Deterjen adalah zat organik kompleks yang bertindak sebagai surfaktan.


 Kebanyakan deterjen anionik (bermuatan negatif) memiliki daya mikrobisida
terbatas.
 Sabun masuk dalam kelompok detergent.
 Menyerang membrane sel, hingga kehilangan permeabilitas pada membrannya.
 Senyawa amonium kuarterner menyebabkan kebocoran sitoplasma mikroba,
mendenaturasi protein, dan menghambat metabolisme.
 Konsentrasi sedang  efektif terhadap beberapa bakteri gram positif, virus, jamur,
dan ganggang.
 Konsentrasi rendah  hanya memiliki efek mikrobistatik.
25

Amonium kuartener
 Dalam pengenceran 1: 100 hingga 1: 1.000, quat dicampur dengan agen
pembersih untuk membersihkan lantai, furnitur, permukaan peralatan, dan toilet.

Sabun
 Mikrobisida lemah, dan hanya menghancurkan sel yang sangat sensitif seperti
agen gonore, meningitis, dan sifilis.
 Sebagai agen pembersih dan pembersih dalam industri dan rumah.
 Menghilangkan secara mekanis sejumlah besar permukaan tanah, minyak, dan
kotoran lain yang mengandung mikroorganisme.
 Sabun memberikan sifat pembasmi kuman yang lebih besar ketika dicampur
dengan agen kimia lain, seperti chlorhexidine atau iodine.

Anda mungkin juga menyukai