TUKAR
Defini Krisis Nilai Tukar
tukar mencapai lebih dari rata-rata sampel sampai dengan dua kali
standar deviasi.
Implikasinya adalah apabila tingkat suku bunga dalam negeri lebih rendah dari
tingkat suku bunga luar negeri, diperlukan adanya ekspektasi apresiasi mata
uang dalam negeri sebagai kompensasi selisih tingkat suku bunga tesebut. Hal
ini karena adanya arbitrase sempurna dari ekspektasi imbal hasil pada pasar
Terdapat tiga hipotesis untuk menjelaskan penyebab terjadinya krisis mata uang yang
1. Moral hazard lebih ditimbulkan karena bantuan sistem keuangan dari pemerintah
(bail out) dan jaminan-jaminan keuangan lainnya. Sistem nilai tukar tetap juga
berkontribusi terhadap kebiasaan moral hazard dimana para agen ekonomi merasa
2. Original sin lebih ditunjukkan dengan ketidakmampuan mata uang domestik sebagai
orang-orang yang tidak jujur dalam kontrak finansial yang menjadi sumber krisis
finansial.
Tingkat keterbukaan perekonomian yang
semakin tinggi terhadap pihak asing akan
mengakibatkan perekonomian suatu negara akan
lebih rentan terhadap serangan krisis akibat
adanya globalisasi ekonomi.
Selain sebab-sebab dalam negeri yang telah dijabarkan ,
terdapat pula faktor penyebab yang sepenuhnya berasal dari
luar perekonomian negara tersebut, yaitu faktor penularan
(contagion effect).
sebagai berikut:
1. Serangan terhadap suatu mata uang menyebabkan mata uang tersebut terdepresiasi sehingga dapat meningkatkan daya saing
produknya.
2. Peningkatan daya saing ini berarti penurunan ekspor bagi negara-negara pesaingnya, sehingga dapat mengakibatkan negara
pesaingnya mengalami defisit transaksi berjalan, penurunan cadangan devisa secara bertahap, dan pada akhirnya menghasilkan
3. Disamping memberikan efek penularan pada negara pesaingnya, krisis mata uang juga dapat memberikan efek penularan pada
4. Krisis yang melanda suatu negara mengakibatkan depresiasi, sehingga harga barang ekspornya menjadi turun. Bagi negara mitra
dagangnya, hal ini berarti penurunan harga barang impor yang dapat mendorong penurunan tingkat inflasi dan permintaan
uang beredar.
5. Untuk melindungi mata uangnya, pelaku ekonomi pada negara mitra dagang dapat melakukan swap yang mengakibatkan
6. Dalam kondisi cadangan devisa yang menurun, krisis mata uang dapat timbul karena cadangan devisa tidak cukup kuat
et. all., 2004), yang diwakilkan dalam dua kondisi umum yaitu puncak (peak) dan
lembah (trough).
Kondisi puncak adalah kondisi yang terjadi setelah terjadinya pemulihan (recovery)
kondisi yang terjadi setelah resesi dimana kinerja perekonomian berada dibawah
antara keluaran aktual dan keluaran potensial dinamakan sebagai selisih output
(output gap).
Mishkin (2007) menjelaskan pergerakan siklus usaha dalam suatu prekonomian
pada tahun 1997. Pandangan mengenai penyebab krisis tersebut terbagi menjadi dua
pandangan utama.
1. Pandangan pertama diungkapkan oleh Krugman (1998) dan Miskhin (1999) yang
2. Pandangan kedua yang diungkapkan oleh Radelet dan Sachs (1998) dan Furman dan Stiglitz
(1998) menyatakan bahwa akar permasalahan krisis di Asia Timur adalah pure contagion
3. Sedangkan pendapat lain dari Corsetti, Pesenti dan Roubini (1998) serta Djiwandono (1999)
mengambil jalan tengah dengan mengajukan argumen bahwa contangion dan kelemahan
sekitar Rp2.200 per dolar Amerika Serikat, hingga mencapai titik terendahnya sekitar Rp16.000 per
swasta membayar utang-utang berdenominasi dollar yang mencapai US$68 miliar pada akhir 1997.
Utang tersebut kebayakan disumbang oleh utang korporasi non-bank sebesar US$54 miliar. Sektor
swasta ini kemudian juga dibebani oleh tingginya suku bunga perbankan akibat tingginya inflasi.
Besarnya beban sektor perbankan maupun sektor swasta membuat rasio non performing loan (NPL)
bersih melonjak hingga 34,7% dan capital adequcy ratio (CAR) jatuh hingga -15,7% pada tahun 1998.
Krisis di pasar finansial kemudian diikuti oleh krisis ekonomi akibat karena sektor riil tidak mampu
mendapatkan pembiayaan yang cukup dari perbankan. Jatuhnya grade investasi Indonesia juga
periode krisis 1997, Bhattacharyay (1999) mengestimasikan kerugian kotor yang diderita oleh
suatu negara berkisar antara 9% dan 20% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Sebagai
perkiraan, kerugian yang diderita Indonesia pada periode krisis mata uang tahun 1997 tersebut
dilihat dari sektor perbankan memakan biaya pemulihan dan restrukturisasi hampir 45% dari PDB
Biaya yang ditimbulkan oleh krisis keuangan mempengaruhi cadangan devisa dan output secara
signifikan. Berdasarkan data yang dikeluarkan International Monetary Fund (IMF) tahun 1997,
pertumbuhan PDB riil Indonesia sebesar 4,6% dan di tahun 1998 pertumbuhan tersebut hanya
mencapai -13,7% yang dapat diartikan bahwa Indonesia harus menanggung biaya krisis sebesar
9,1%.
Indonesia pada krisis periode 1997 yang terjadi adalah transaksi neraca berjalan yang negatif,
terjadinya ekspansi kredit besar-besaran dimana kebanyakan dari kredit tersebut digunakan untuk
investasi jangka panjang, serta para investor yang mulai meninggalkan Indonesia.
Kesimpulan