Anda di halaman 1dari 23

KETIDAKBERDAYAAN KEBIJAKAN

LINGKUNGAN DI INDONESIA
(Studi Kasus Pada Daerah Aliran Sungai
Citarum dan Kawasan Waduk Cirata)

Oleh :
Bambang Heru Purwanto
PENDAHULUAN
Berbagai kebijakan lingkungan menyangkut udara, air, limbah, hutan,
dan lain sebagainya telah diterbitkan oleh pemerintah dengan
harapan dapat mencegah kerusakan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Namun ternyata harapan itu tidak sesuai dengan
kenyataan. Kebijakan lingkungan dalam bentuk Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Daaerah (Perda) belum
mampu mengatasi permasalahan lingkungan di Indonesia.

Pernyataan di atas, diperkuat oleh hasil penelitian tesis mahasiswa


Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas padjadjaran, yang
menyimpulkan bahwa kebijakan lingkungan belum mampu
mencegah, mengurangi efek yang merugikan sumber daya alam.
Kebijakan lingkungan belum berhasil mengatasi permasalahan
lingkungan di Indonesia.
APA PENYEBABNYA ?
Bad Policy, Bad Executions, atau Bad Luck?

Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, mari kita simak beberapa kasus
lingkungan, diantaranya Kasus DAS Citarum dan Waduk Cirata.
Kebijakan lingkungan yang telah diterbitkan pemerintah baik pusat maupun
daerah yang terkait dengan DAS Citarum dan Waduk Cirata, adalah sebagai
berikut:
1. Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air
2. Peraturan Pemerintah No 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran
3. Surat Keputusan Gubernur No. 39/2000 tentang Peraturan Air dan Baku
Mutu pada Sungai Citarum dan Anak-anak Sungai di Jawa Barat.
KASUS DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CITARUM
Eksintensi dan Kondisi DAS Citarum Saat ini
serta Penyebabnya

Peran dan fungsi DAS Citarum sangat strategis, yaitu:


1. Menerangi peradaban dua pulau yaitu Jawa dan Bali melalui tiga
Waduk : Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.
2. Mengairi irigasi pertanian, perikanan, pemasok air untuk industri,
dan mensuplai bahan baku air minum, khusunya bagi 80% warga
DKI Jakarta.

Eksistensi sungai yang mengalir dari Situ Cisanti di kaki Gunung


Wayang Bandung Selatan sejauh 269 km hingga Muara Bendera,
Kecamatan Muara Gembong
Bekasi Jawa Barat telah memberikan kehidupan bagi puluhan juta
penduduk di Pulau Jawa dan Bali (Ekspedisi Citarum 2011).
Mata Air (Situ Cisanti)
Kondisi DAS Citarum saat ini dan Penyebabnya

Kondisi kualitas air sungai Citarum saat ini sangat


memprihatinkan, pencemaran dan sedimentasi merupakan
masalah utama Citarum. Menurut Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) tahun 2005, kondisi air citarum tercemar sedang –
berat.

Daerah Aliran Sungai (DAS) di hulu saat ini telah mengalami


pencemaran hebat akibat limbah industri maupun domestik.
Indikasi kerusakan DAS tampak dari indikator fungsi hidrologis,
yaitu tinggi perbedaan atau selisih (gap) suplai air pada musim
hujan dan musim kemarau, di mana terjadi banjir pada musim
hujan sementara pada musim kemarau suplai air rendah.
Limbah Sungai Citarum
Limbah Domestik Limbah Industri

Limbah Industri Tekstil di Sungai Citepus


Sampah di Palasari
Menurut data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat, di DAS Citarum
tidak satu lokasipun yang kualitas airnya memenuhi kriteria mutu air baik
untuk minum maupun kegiatan perikanan/pertanian. Perhatikan tabel kondisi
DAS Citarum Hulu.
“Run off”
Luas (Hektar)
(M3 per Tahun) Sedimentasi Sedimentasi
(ribu ton per tahun) (ribu ton per tahun)
Area Lahan Kritis

Cirasea 34.208,64 3.234,50 696,80 1.755,52

Cisangkuy 30.456,00 6.084,95 559,60 1.332,69

Ciminyak 34.295,04 4.626,00 616,90 1.132,35

Cikapundung 43.439,00 3.865,00 529,50 857,45

Cihaur 17.150,40 2.447,78 497,10 1.023,89

Ciwidey 29.374,56 1.982,00 389,10 1.023,89

Citarik 45.164,16 3.782,24 343,50 773,00

Tabel dan Kondisi Air sungai


Sumber : Balai Besar Sungai Citarum
Hasil pengukuran kualitas air, kondisi DAS Citarum sudah masuk
ketingkat pencemaran berat jadi ada peningkatan predikat jika
kita bandingkan dengan pengukuran KLH di tahun 2005.

Sekitar 40 persen limbah DAS Citarum merupakan limbah


organik dan rumah tangga. Sisanya merupakan limbah kimia
atau industri dan limbah peternakan serta pertanian.

Disamping kualitas air, sedimentasi juga bagian yang


memperparah kondisi DAS Citarum. Pada tahun 2011
sedimentasi mencapai 10 juta meter kubik pertahun
(Ekspedisi Citarum: 2011). Sedimentasi kemudian bergerak ke
daerah Waduk Saguling Cirata dan Jatiluhur.
Waduk Cirata dan Permasalahan KJA

Apa itu Waduk Cirata ?

Waduk Cirata adalah salah satu waduk yang terdapat di DAS


Citarum yang memiliki peran yang sangat strategis dalam
pembangunan di Indonesia. Penggenangan Waduk Cirata di
lakukan pada tanggal 27 September 1987, yang memiliki
prioritas tujuan yakni sarana penopang utama energi listrik
nasional.

Namun demikian sebagai ekosistem binaan yang terbuka Waduk


Cirata faktanya memiliki fungsi majemuk misalnya saja untuk
pengembangan budidaya perikanan, suplai air untuk irigasi,
sarana transportasi dan pengembangan pariwisata.
Peta Sebaran KJA
Kebijakan Yang Mengawal Waduk Cirata :

1. Surat Keputusan Gubemur No 41 Tahun 2002


tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan
Umum, Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk
Cirata.
2. Surat Keputusan Bersama No 15 Tahun 2003
tentang Pengembangan Pemanfaatan Kawasan
Waduk Cirata.
Kondisi Saat ini

Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA)


semakin melampaui daya dukung Waduk Cirata.
Jumlah KJA saat ini adalah 56.000 petak, jadi
sudah melampaui dari yang tersirat dalam SK
Gubernur No 4 1/2002 yaitu hanya 12.000 petak.
Grafik Pertumbuhan KJA
Mayoritas pemilik KJA bukan masyarakat lokal sekitar
waduk yang terkena Dampak. Diperkirakan 80 persen
pengusaha KJA dari luar (Jakarta, Makasar, Sumatera,
dll). Hal ini sudah tidak sesuai dengan pesan yang tersirat
dalam SK Gubernur No 41/2002, yang isinya
Pemanfaatan Waduk Cirata untuk kegiatan usaha KJA
diprioritaskan bagi warga masyarakat sekitar waduk yang
terkena dampak pembangunan. Pembagiannya adalah
80% untuk Masyarakat dan 20% diperuntukan bagi dunia
usaha. Jadi apabila populasi KJA yang diperbolehkan ada
di Waduk Cirata adalah 12.000 petak maka 9.600 petak
diperuntukan bagi masyarakat sekitar Waduk Cirata.
Dampak Pertumbuhan Populasi KJA Terhadap
Kualitas Air Waduk Cirata

1. Jumlah KJA yang telah mencapai 56.000 petak, jauh


melebihi yang direkomendasikan oleh SK Gubernur
maupun UPTD Kabupaten Cianjur yaitu 6200 petak,
berkontribusi terhadap degradasi kualitas dan
kuantitas air waduk yang disebabkan oleh limbah yang
dihasilkan oleh KJA (misalnya: sisa pakan ikan).

2. Turut serta menyumbang angka sedimentasi yang saat


ini mencapai rata-rata
7,30 juta M3/tahun telah melampaui asumsi desain
yang hanya 5,67 juta M3/tahun.
Menurut Tuarso (BPWC) hasil penelitian tahun 2007
menunjukkan bahwa sedimentasi yang disuplai oleh DAS Citarum
dan dari berbagai aktifitas usaha di Waduk Cirata 7,41 juta
M3/tahun, sebelumnya hanya 5,5 juta M3/tahun. Dengan waduk
yang didesain berusia 100 tahun itu akan berkurang 20 tahun.

Kasus-kasus yang terjadi di DAS Citarum dan Waduk Cirata itu


menandakan bahwa kebijakan lingkungan yang diterbitkan oleh
pemerintah dengan biaya tinggi, tidak berdaya mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut.

Penulis menduga bahwa tidak efektif sebuah kebijakan untuk


kasus di atas, disebakan oleh belum efektifnya implementasi
kebijakan. Yang jadi pertanyaan.
Faktor-Faktor Apa yang Menyebabkan Implementasi Kebijakan
Lingkungan tidak efektif?
Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita kupas masalah tersebut dengan
Model implementasi Kebijakan dan George Edward III, yang terkenal dengan
“Four critical factor or variable in implementing public policy: communication,
resources, dispositions or attitudes, and bureaucratic structure.”

Communication

Resources

Implementation
Dispositions

Bureaucratic
Structure
Direct and Indirect Impact or Implementation
Sumber: (Edward III, 1980 : 148)
Namun yang perlu ditambahkan untuk kasus
lingkungan di Indonesia adalah:

Law Enforcement
(penegakan hukum)

Pelanggaran harus diikuti dengan sanksi maupun


hukuman yang tegas.
SIMPULAN :
1. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum
termasuk kepada pencemaran berat. Sekitar 40
persen limbah DAS Citarum merupakan limbah
organik dan rumah tangga. Sisanya merupakan
limbah kimia atau industri dan limbah peternakan
serta pertanian.

2. Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) mencapai 56.000


petak, telah melampaui daya dukung waduk cirata,
berkontribusi terhadap degradasi kualitas dan
kuantitas air waduk yang disebabkan oleh limbah
yang dihasilkan oleh KJA.
3. Ketidakberdayaan kebijakan lingkungan di Indonesia
disebakan oleh pelaksanaan kebijakan yang tidak
efektif bukan disebakan oleh isi kebijakan (content
policy).

4. Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi tidak


efektifnya implementasi kebijakan adalah factor
komunikasi dalam hal ini koordinasi, faktor
disposisi/sikap, dan Law Enforcement (penegakan
hukum).
DAFTAR PUSTAKA
 Edward III, C. George, 1980, Implementing Public Policy,
Washington DC; Conrenssional Quartely Press.
 Ekspedisi Citarum 2011
 Sunardi Dkk 2014, Penyusunan Rencana Pengelolaan Lahan
Kawasan Waduk dan Pembentukan Masyarakat Peduli
Waduk Cirata. Pusat Penelitian dan Pengembangan SDA dan
Lingkungan LPPM – UNPAD.
 Surat Keputusan Gubernur No.41 Tahun 2002. Tentang
Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum, Lahan
Pertanian dan Kawasasn Waduk Cirata.
 Surat Keputusan Bersama No.15 Tahun 2003 Tentang
Pengembangan Pemanfaatan Kawasan Waduk Cirata.

Anda mungkin juga menyukai