Anda di halaman 1dari 155

EKONOMI PEMBANGUNAN SEMESTER 1

2022/2023
Dosen Pengampuh
Widyawanti Rajiman, S.Pd.,
M.Pd

Praktisi
Muhammad Albar, S.E., M.Pd
KATA PENGANTAR

Konsep-konsep matematika menjadi alat analisis yang penting dalam ilmu ekonomi.
Matematika dapat menyederhanakan penyajian dan pemahaman masalahmasalah
ekonomi. Matematika Ekonomi bertujuan memberikan pengertian yang lebih mendalam
tentang konsep-konsep dasar ilmu ekonomi dengan menerapkan matematika dalam
bahasan-bahasannya.

Modul bahan ajar ini berisi uaraian, contoh-contoh soal dan latihan mengenai penerapan
konsep-konsep matematika dalam bidang ekonomi. Materi disusun berdasarkan Satuan
Acara Perkulihaan (SAP) mata kuliah matematika ekonomi selama satu semester pada
jurusan ekonomi pembangunan. Penyajian setiap bab diawali dengan model-model
matematika murni, disusul dengan penjelasan ringkas tentang logika dari konsep-konsep
ekonomi yang menerapakan model tersebut, kemudian penerapan model matematika itu
sendiri dalam konsep ekonomi yang bersangkutan beserta contoh-contoh praktisnya.

Modul ini disusun sedemikian rupa agar dapat dipahami dengan mudah oleh mahasiswa
dan dapat bermanfaat sebagai pelengkap acuan terutama bagi mahasiswa yang
mengambil mata kuliah matematika ekonomi.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
secara langsung maupun tidak langsung hingga tersusunnya modul bahan ajar ini.
Semoga modul ini dapat bermanfaat dan kritik serta saran-saran bagi perbaikan
kedepannya sangat diharapkan.

Palopo, 05 Agustus
2022

Pe n u l i
s
DAFTAR ISI

Kata
Pengantar ........................................................................................................................................ i
Daftar Isi .................................................................................................................................................
ii Kegiatan Belajar I Barisan dan
Deret .................................................................................................... 1
 Baris Hitung dan Deret Hitung ...............................................................................................
1
 Deret Ukur .............................................................................................................................
4
 Penerapan Ekonomi ...............................................................................................................
5

Kegiatan Belajar 2 Relasi dan Fungsi ....................................................................................................


9
 Relasi ......................................................................................................................................
9
 Fungsi ...................................................................................................................................
11
 Fungsi Umum dan Fungsi Khusus ........................................................................................
13

Kegiatan Belajar 3 Fungsi Non Linear .................................................................................................


19
 Fungsi Kuadrat ....................................................................................................................
26
 Fungsi Kubik ........................................................................................................................
39
 Penerapan Fungsi Non Linier Dalam Ekonomi dan Bisnis ...................................................
40

Kegiatan Belajar 4 Matriks dan Determinan ...................................................................................... 58
 Macam Matriks ...................................................................................................................
59
 Operasi dengan Matriks .......................................................................................................
61

Kegiatan Belajar 5 Deferensial ......................................................................................................... 101


 Kaidah-Kaidah Diferensial ..................................................................................................
102
 Hubungan Antar Fungsi Dengan Derivatifnya ....................................................................
104
 Penerapan Diferensial ........................................................................................................
107

Kegiatan Belajar 6 Maksimum dan Minimum 123 ii


 Perbedaan Nilai Maksimum dengan Nilai Minimum ..........................................................
124

1

Kegiatan Belajar 1

A. Pokok Bahasan : Barisan dan Deret

B. Sub Pokok Bahasan : 1. Baris Hitung


2. Baris Ukur
3. Deret Hitung
4. Deret Ukur
5. Penerapan Ekonomi: Bunga, Bunga
Majemuk, Kredit, Teori Nilai Uang,
Investasi

C. Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa akan dapat menghitung,


membedakan dan menerapkan deret
hitung dan deret ukur dalam ekonomi.

BARISAN DAN DERET

Barisan bilangan adalah susunan bilangan yang diurutkan menurut aturan


tertentu. Bentuk umum barisan bilangan a1, a2, a3, ...,an. Setiap unsur pada
barisan bilanan disebut suku. Suku ke-n dari suatu barisan ditulis dengan simbol
Un ( n merupakan bilangan asli). Untuk suku pertama dinyatakan dengan simbol a
atau U1. Berdasarkan banyaknya suku, barisan dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu :
a. Barisan berhingga, jika banyaknya suku-suku tertentu jumlahnya.
b. Barisan tak berhingga, jika banyaknya suku-suku tak berhinga jumlahnya
Deret adalah rangkaian bilangan yang tersusun secara teratur dan
memenuhi kaidah-kaidah tertentu. Bilangan-bilangan yang merupakan unsur dan
pembentuk sebuah deret dinamakan suku. Keteraturan rangkaian bilangan yang
membentuk sebuah deret terlihat pada “pola perubahan” bilangan-bilangan
tersebut dari satu suku ke suku berikutnya. Deret dibedakan menjadi dua
berdasarkan pola perubahan bilangan pada suku-sukunya:
1. Deret hitung
2. Deret ukur

1.1. Baris dan Deret Hitung


Deret hitung ialah deret yang memiliki pola perubahan penambahan atau
pengurangan yang sama. Bilangan yang membedakan suku-suku dari deret hitung
disebut pembeda.
Contoh:
1. 4, 9, 14, 19, 24 (pembeda = 5)
2. 100, 98, 96, 94 (pembeda = -2)
2

1.1.1. Suku ke-n Dari Deret Hitung


Besarnya nilai suku tertentu (ke-n) dari sebuah deret hitung dapat dihitung
melalui sebuah rumus. Suku pertama sebuah deret dilambangkan dengan a dan
pembeda suatu deret dilambangkan dengan b.
Contoh:
4, 9, 14, 19 24
S1 S1 S1 S1 S1

S1 = 4 = a
S2 = 9 = a + b = a = (2 –1)b
S3 = 14 = a + 2b = a + (3 –
1)b S4 = 19 = a + 3b = a + (4 – 1)b
S5 = 24 = a + 4b = a + (5 – 1)b
Sn = a + (n – 1)b
Berdasarkan perhitungan di atas, kita dapat menentukan nilai-nilai suku
tertentu. Misalkan suku ke-10 dari deret hitung ini adalah:
S10 = a + (n – 1)b = 4 + (10 – 1)5 = 4 + 45 = 49

Jadi rumus untuk menghitung nilai suku ke-n adalah:


Sn = a + (n – 1)b,
dimana a = suku pertama
atau S1 b = pembeda
1.1.2 Jumlah n Suku
nJumlah
= sukusuku
ke-nsebuah deret hitung sampai dengan suku tertentu adalah
jumlah nilai suku-sukunya.
n

Jn =  Sn = S1 + S2 + S3 + S4 + … Sn
5 i1

Berdasarkan  S5 =SSn 1=+aS+2 (n


J5 = rumus + S–31)b,
+ S4maka
+ S5masing-masing S dapat diuraikan
sebagai
i1
berikut:

J5 = a + (a + b) + (a + 2b) + (a + 3b) + (a + 4b) J5 =


5a + 10b

5
J5 = 5a + (5
2 – 1) b
Maka rumus jumlah n suku dapat ditulis sebagai berikut:
n
Jn = na + (n2 – 1)b, atau
2 n
Jn = na + (n – 1)b
2 2
2na n
Jn = 2+ (n – 1)b
2
3

na na n(n  1)b
Jn = + +
2 2
2
n
Jn = {a + a + (n – 1)b}
2
n
Jn = {2a + (n – 1)b}
n
Jn = 22(a + Sn)

Contoh:
1. Hitunglah jumlah sepuluh suku pertama dari deret hitung berikut ini:
4, 9, 14, 19, 24, …

Penyelesaian:
Diketahui:
a = 4, b = 5, n =
10, maka
10
J10 = 2+ {2.4 + (10 – 1)5}

Jn = 5 (8 + 45) = 265

2. Sebuah deret hitung memiliki suku pertama 480, banyaknya suku 15. Apabila
nilai suku ke-15 adalah 270. Hitunglah berapa nilai suku ke-13 dan berapa
jumlah deret tersebut?

Penyelesaian:
Diketahui:
a = 480, S15 = 270,

maka

S15 = a + (n – 1)b 270 =


480 + 14b
14b = -210

b = -15

n
S13 = a + (n – 1)b J15 = 2(a + Sn)

15
S13 = 480 + (13 – 1)(-15) J15 = 2(480 + 270)
J15 = 5.625
S13 = 300
4

Latihan:
Suatu deret hitung terdiri dari 8 suku, nilai suku ke-6 adalah 26. Beda antara suku
ke-3 dan ke-8 adalah 20. Tentukan nilai suku pertama dan berapa jumlah suku dari
deret tersebut?

2. Deret Ukur
Deret ukur adalah suatu deret yang perubahan suku-sukunya berdasarkan
perkalian terhadap suatu bilangan tertentu. Bilangan yang membedakan suku-suku
sebuah deret dinamakan pengganda.
Contoh:
4, 8, 16, 32, 64, 128 (pengganda = 2)

1. Suku ke-n dari Deret Ukur


Untuk dapat membentuk rumus perhitungan suku tertentu dari sebuah
deret ukur dapat dilakukan sebagai berikut,
Contoh:
4, 8, 16, 32, 64, 128
S1 =
4 = a S2 = 8
= ap
S3 = 16 = app = ap2 =ap3-
1
S4 = 32 = appp = ap3 =ap4-1 S5
= 16 = apppp = ap4 =ap5-1 Sn =
apn-1
Berdasarkan
perhitungan di atas, kita
dapat menentukan nilai-nilai
suku tertentu.
Misalkan suku ke-10 dari deret ukur ini
adalah: S10 = (4)(2)10-1 =(4)(2)9 = (4)(512) =2.048

Jadi rumus untuk menghitung nilai


suku ke-n adalah:
Sn = apn-1, dimana
a = suku pertama
atau S1 pJumlah
= pengganda
suku sebuah deret ukur sampai dengan suku tertentu adalah jumlah
n = suku ke-n
nilai suku-sukunya dari suku pertama sampai dengan suku ke-n.
Jumlah suku sebuah deret hitung sampai dengan suku tertentu adalah
1.2.2 suku-sukunya.
jumlah nilai Jumlah n
Suku n
Jn =  Sn = S1 + S2 + S3 + S4 + … Sn
i1

Berdasarkan Sn = apn-1, maka masing-masing S dapat dijabarkan sebagai berikut:


Jn = a + ap + ap2 + ap3 + … + apn-2 + apn-1 (1)
Jika persamaan (1) dikalikan dengan bilangan pengganda p, maka:
pJn = ap + ap2 + ap3 + ap4 + … + apn-1 + apn (2)
Dengan menguirangkan persamaan (2) dari persamaan (1), selisihnya adalah:
5

Jn - p Jn = a - apn
Jn (1 – p) = a(1- pn)
a(1  p n ) a( p n 1)
jika | p | > 1
Jn = 1  p jika | p | < 1 atau Jn = p
1
Contoh:
Hitunglah jumlah sepuluh suku pertama dari deret ukur berikut ini:
4, 8, 16, 32, 64, 128, …

Penyelesaian:
Diketahui:
a = 4, p = 2,
n = 10,4(2
maka
10
 1) 4(210 1) (4)(1.023)
= = = 4.092
J10 = 21 1 1

Latihan:
1. Deret ukur A mempunyai nilai a = 512 dan p = 0,5. Deret ukur B
mempunyai nilai a = 16 dan p = 4. Masing-masing pada suku ke
berapa nilai suku-suku dari kedua deret ini sama?
2. Deret ukur A mempunyai nilai a = 512 dan p = 0,5.Deret ukur B
mempunyai nilai a = 1 dan p = 4. Pada suku ke berapa kedua deret
tersebut mempunyai nilai yang sama.

3. Penerapan Ekonomi
Penerapan deret dalam bidang bisnis dan ekonomi sering ditemukan pada
kasus-kasus yang menyangkut perkembangan dan pertumbuhan. Apabila
perkembangan dan pertumbuhan suatu gejala tertentu berpola seperti perubahan
nilai-nilai
suku sebuah deret, baik deret hitung maupun deret ukur, maka teori deret masih
relevan diterapkan untuk menganalisisnya.

1. Model Perkembangan Usaha


Jika perkembangan variabel-variabel tertentu dalam kegiatan
usaha,misalnya produksi, biaya, pendapatan, penggunaan tenaga kerja, atau
penanaman modal berpola seperti deret hitung, maka prinsip-prinsip deret hitung
dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan variabel tersebut
Contoh:
Perusahaan komputer menghasilkan 3.000 unit komputer pada bulan
pertama produksinya. Dengan penambahan tenaga kerja dan peningkatan
produktivitas, perusahaan mampu menambah produksinya sebanyak 500 unit
setiap bulannya. Jika perkembangan produksinya konstan, berapa unit komputer
yang dihasilkan pada bulan kelima? Berapa unit yang telah dihasilkan sampai
dengan bulan tersebut?
6

Penyelesaian:
Diketahui:
a = 3.000; b
= 500; n = 5,
maka
5
Jn = (3.000
2 + (5+ 5000) = 20.000
Sn = 3.000

–Latihan:
1) 500 =
Perusahaan
5.000 kecap XYZ sudah beroperasi selama 8 bulan sejak bulan Januari 2004.
Pada bulan Juni perusahaan mampu menghasilkan 26.000 botol kecap. Beda
produksi antara bulan Maret dan Bulan Agustus adalah 20.000 botol. Berapakah
jumlah produksi pada bulan Januari dan berapa jumlah produksi selama 8 bulan?

1.3.2. Model Bunga Majemuk


Model bunga majemuk merupakan penerapan deret ukur dalam bidang
keuangan. Bidang keuangan ini meliputi prosedyr untuk mengkombinasikan
antara tingkat bunga dan pertimbangan waktu pembayaran pinjaman, nilai dari
berbagai aset-aset keuangan, dan strategi investasi.
Misalkan suatu investasi dari P rupiah pada tingkat bunga i per tahun,
maka pendapatan bunga pada tahun pertama adalah Pi, selanjutnya nilai investasi
pada masa yang akan datang setelah n tahun (Fn) dapat dihitung sebagai beriakut:
Setelah 1 tahun : F1 = P + Pi = P (1 + i)
Setelah 2 tahun : F2 = P (1 + i) + P (1 + i)I = P (1 + i)2
Setelah 3 tahun : F3 = P (1 + i)2 + P (1 + i)2 i = P (1 + 1)3
Dengan demikian rumus umumnya adalah:
Fn= P (1 + i)n
dimana, Fn= nilai masa
dating\\ P = nilai
sekarang
i = tingkat bunga per
tahun n = jumlah tahun

Contoh:
Seorang mahasiswa menyimpan uangnya dibank sebesar Rp 5.000.000
dengan tingkat bunga yang berlaku 12 persen per tahun. Berapa jumlah uang
mahasiswa tersebut pada tahun ketiga?

Penyelesaian:
Diketahui:
P = Rp 5.000.000; i = 12% per
tahun; n = 3 maka
Fn = P (1 + i)n
F3 = Rp 5.000.000 (1 + 0,12)3
= Rp 5.000.000 (1,12)3
= Rp 7.024.640
7

Rumus di atas hanya berlaku pada pembayaran bunga untuk setiap tahun
saja. Tetapi, dalam praktik bisnis misal pada bank-bank komersial pembayaran
bunga tidak hanya satu kali dalam setahun, melainkan dalam setahun frekuensi
atau banyaknya pembayaran bunga kepada nasabahnya lebih dari satu kali.
Misalnya pembayaran bunga majemeuk secara kuartal, bulanan bahkan harian.
Jika frekuensi pembayaran bunga ini dimisalkan m kali dalam setahun, maka nilai
masa datangnya adalah:
 (n)( m)
Fn p 1  i  dimana,
 m
Fn= nilai masa datang tahun ke-n
P = nilai sekarang
i = tingkat bunga per tahun
m = frekuensi pembayaran bunga dalama setahun
n = jumlah tahun

Contoh:
Seorang anak ingin menabung uangnya Rp 1.500.000 di bank dengan tingkat
bunga yang berlaku 15 persen per tahun. Berapakah nilai uangnya dimasa datang
setelah 10 tahun kemudian.
a. jika pembayaran bunga dilakukan setiap bulan?
b. Jika bunga diperhitungkan satu tahun sekali ?

Penyelesaian:
Diketahui:
P = Rp 1.500.000; i = 15% per tahun; n = 10
 i
(n)( m)
Fn  P 1
 m   (10 )(12)
0,15
F10 = Rp 1.500.000 1  12 
= Rp 1.500.000 (1 + 0,0125)120
=Rp 1.500.000 (4,440213)
=Rp 6.660.319,85

Latihan:
1. Investasi seorang pengusaha pada sebuah bank menjadi Rp 12.597.120 pada
tiga tahun yang akan datang. Jika tingkat bunga yang berlaku adalah 8 persen
per tahun, berapakah jumlah uang pengusaha pada saat sekarang?

2. Carilah jumlah uang yang harus diinvestasikan supaya mencapai Rp 2.000.000


pada akhir tahun ke-3, dengan tingkat bunga 18% secara kuartal?

1.3.3. Model Pertumbuhan Penduduk


Penerapan deret ukur yang paling konvensional dibidang ekonomi adalah
dalam hal penaksiran jumlah penduduk. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh
Malthus, penduduk dunia tumbuh mengikuti pola Deret ukur. Secara matematik,
dirumuskan sebagai beriakut:
8

Pt  PR t1 1 dimana,
R=1+r
P1 = jumlah penduduk pada tahun pertama (basis)

Pt = jumlah penduduk pada tahun ke-t r =


persentase pertumbuhan penduduk t =
indeks waktu (tahun)
Contoh:
Jika jumlah npenduduk suatu kota berjumlah 1.000.000 jiwa pada tahun 2001,
tingkat pertumbuhannya 4 persen per tahun. Hitunglah jumlah pendudk tersebut
pada tahun 2016?

Penyelesaian:
Diketahui:
P1 = 1.000.000; r = 0,04; R = 1,04
maka
Ptahun 2016 = P16 = 1.000.000 (1,04)15
= 1.000.000 (1,800943)
= 1.800.943 jiwa

Latihan:
Berdasarkan contoh di atas, jika mulai tahun 2016 pertumbuhannya menurun 2,5
persen, berapakah jumlahnya 11 tahun kemudian?
9

Kegiatan Belajar 2

A. Pokok Bahasan : Relasi dan Fungsi: Fungsi Linear

B. Sub Pokok Bahasan : 1. Relasi


2. Fungsi
3. Fungsi Umum dan Khusus
4. Macam-macam Fungsi
5. Fungsi Linear

C. Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa akan dapat memahami dan


memformulasikan kejaidan-
kejadian ekonomi dalam bentuk fungsi
linear.

RELASI DAN FUNGSI: FUNGSI LINEAR


Kejadian di dunia ini umumnya tidak berdiri sendiri melainkan
berhubungan satu sama lainnya atau ada kaitan antara satu kejadian dengan
kejadian lainnya. Demikian juga dalam dunia ekonomi dan bisnis, variabel
ekonomi yang satu berhubungan dengan variabel ekonomi lainnya atau
dipengaruhi oleh variabel ekonomi lainnya. Hubungan antara variabel ekonomi ini
dapat dinyatakan atau diformulasikan dalam model matematika yang disebut relasi
atau fungsi.

2.1 Relasi
Relasi atau hubungan dua himpunan A dan B adalah pemasangan anggota-
anggota himpunan A dengan anggota-anggota himpunan B. Jika R suatu relasi dari
himpunan A ke B, maka dengan memakai notasi himpunan, relasi dapat
dinyatakan sebagai berikut:
R = [ (x,y) ; x  A dan y  B]

Relasi atau hubungan dua himpunan A dan B dapat dinyatakan sebagai


berikut:
a. Dengan diagram anak panah
Suatu relasi antara himpunan A dan B adalah pemasangan antara anggota-
anggota himpunan A dengan anggota-anggota himpunan B.
b. Dengan pasangan berurutan

Maksudnya anggota pertama dari pasangan berurutan itu berasal dari


himpunan A dan anggota keduanya berasal dari himpunan B.
c. Dengan grafik cartesius
Grafik tersebut merupakan grafik relasi dengan menggunakan koordinat
cartesius.

Contoh:
10

Safa suka makan sate


Prili suka makan baksa
Farhan suka makan sate adan bakso
Mira suka makan soto
Jika Safa, Prili, Farhan dan Miora dihimpun menjadi himpunan A = {Safa,
Prili, Farhan, Mira} dan sate, bakso dan soto dihimpun menjadi himpunan B =
{sate, bakso, dan soto}. Maka antara himpunan A dan himpunan B terdapat
suatu relasi atau hubungan dengan penghubung “suka makan”. Relasi atau
hubungan antara himpunan A dan himpunan B, dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Dengan diagram anak panah

Safa ● ●Sate
Prili ● ●Baks
Anak panah menyatakan
Farhan● o relasi suka makan
Mira ●Soto

b. Dengan pasangan berurutan


R = (Safa, Sate), (Prili, Bakso), (Farhan, Sate), (Farhan, Bakso), (Mira, Soto)

c. Dengan grafik cartesius


Himpuan B

Soto
Bakso

Sate
Safa Farhan Himpunan A
Prili

2.1.1. Perkalian Himpunan Mira


Jika A dan B adalah dua himpunan maka perkalian A x B adalah himpunan
pasangan berurutan yang anggota-anggotanya terdiri dari himpunan A dan
himpunan B. Pasangan berurutan dinyatakan dengan (x,y) dengan x  A dan y 
B atau A x B = { (x,y) | x  A dan y  B}

Contoh:
A = {1, 2, 3}, dan B = {a, b}
maka A x B dan B x A masing-masing ditentukan sebagai
beriakut: A x B = { (1, a), (1, b), (2, a), (2, b), (3, a), (3, b)}
B x A = { (a, 1), (a, 2), (a, 3), (b, 1), (b, 2),
(b, 3)} A x B # B x A

Latihan:
Bila A = {2, 4, 6, 8} dan B = {1, 2, 4} dan jika x  A dan y  B, tentukan
relasi “x dua kali y” dengan:
a. diagram anak panah
b. pasangan berurutan
11

2.2. Fungsi
Suatu fungsi f dari himpunan A ke himpunan B adalah suatu relasi khusus
yang memasangkan dengan tepat setiap unsur A ke satu unsur B. Fungsi dari
himpunan A ke himpunan B dapat dinayatakan sebagai berikut:
f: A B

Artinya jika x  A dan y  B dan x dikaitkkan dengan y maka f(x) = y


dengan:
1. A disebut daerah asal (domain)
2. B disebut daerah kawan (Kodomain)
3. y disebut bayangan dari x.
4.Himpunan semua bayangan dari setiap x  A disebut daerah hasil atau range.
Contoh:
A = {1, 2, 3} dan B = {2, 3, 4, 5, 6}
Jika x  A dan y  B, tentukan relasi “x setengah kali y” dari himpunan A ke
himpunan B dengan diagram anak panah?

1 · · 2
· 3
2 · · 4
· 5
3 ·
· 6

Dari contoh di atas:


1. {1, 2, 3} = daerah domain
2. {2, 3, 4, 5, 6} = daerah kawan (kodomain)
3.2  B adalah bayangan dari 1  A
4  B adalah bayangan dari 2  A
6  B adalah bayangan dari 3  A
4.{2, 4, 6} = daerah nilai (range)

2.2.1. Notasi Suatu Fungsi


Fungsi himpunan A ke himpunan B
dinyatakan:
f:A

B
Apabila fungsi tersebut mengaitkan xA dengan yB maka bditulis:
f(x) = y Atau f:x y
Misalkan fungsi tersebut mengaitkan x dengan ax + b, x  A dan (ax + b) = y B,
maka ditulis:
f(x) = ax + b atau
f(x) = y = ax + bx dan y disebut perubah atau variabel. Himpunan nilai x
tersebut berepran sebagai domain. Nilai perubah y yang merupakan bayangan dari
nilai x, berperan sebagai range.
x biasanya disebut variabel bebas (independent variable).
y biasanya disebut variabel terikat (dependent variable).
Ini berarti nilai fungsi [(x,y)] atau y = f(x) ditentukan oleh
nilai x.
12

a adalah parameter yaitu suatu konstanta tertentu yang nilainya belum ditetapkan
yang terkait langsung pada suatu variabel dalam sebuah fungsi.
b disebut konstanta, yaitu nilai yang tidak berubah didalam fungsi walaupun
terjadi perubahan variabel didalam fungsi.

2.2.2. Nilai Suatu Fungsi


Fungsi yang memiliki dua variabel, bila nilai variabel bebasnya tertentu
maka nilai variabel terikatnya tertentu pula.
Contoh:
1. f(x) = 2x + 3
f(0) = 2(0) + 1 = 1
f(3) = 2(3) + 1 = 7
f(0,5) = 2(0,5) + 1 = 2
Penyelesaian:
Pada x = 0 : f(0) = 2(0) + 1 = 1
Pada x = 3 : f(3) = 2(3) + 1 = 7
Pada x = 0,5 : f(0,5) = 2(0,5) + 1 = 2

3. Diketahui y = 3x2 + 6x + 8
Hitunglah nilai fungsi tersebut pada x = 2 dan
pada x = 0 x = 2 : y = 3(2)2 + 6(2) + 8 = 32
x = 0 : y = 3(0)2 + 6(0) + 8 = 8
Jadi nilai fungsi tersebut pada x = 2 adalah 32,
pada x = 0 adalah 8.

2.2.3. Grafik Suatu Fungsi


Grafik suatu fungsi umumnya dapat dibuat melalui dua cara:
1.Menentukan dan menghubungkan titik-titik yang dilalui kurva.
2.Menentukan dan menghubungkan titik penting kurva.
Dalam menggambar grafik suatu fungsi umumnya variabel terikat
diletakkan pada sumbu vertikal (tegak) dan variabel bebas diletakkan pada sumbu
horizontal (datar).
Contoh:
Tentukan grafik f : A B dimana x  A dan 3x – 2 = y  B.
Penyelesaian:
f(x) = 3x – 2 atau y = f(x) = 3x – 2
Grafik tersebut dapat dibuat dengan dua cara sebagai berikut:
1. Menentukan dan menghubungkan titik-titik yang dilalui kurva.

X -1 1 3 4 dst
f(x) -5 1 7 10 dst
{x, f(x)} (-1, 5) (1, 1) (3, 7) (3, 10)
13

7 (3,7)
6
5
4
3
2
1 (1,1)

-1 1 2 3 4 5 6
-2
-3
-4
(-1,-5) -5

2. Menentukan dan menghubungkan titik-titik penting kurva


Titik potong fungsi dengan sumbu tegak / sumbu y, bila x = 0
f(x) = 3x – 2
f(x) = 3(0) –2 = -2
Jadi titik potongnya adalah (0, -2)
Titik potong fungsi dengan sumbu datar / sumbu x, bila y = 0
F(x) = 3x – 2
0 = 3x - 2
3x = 2
x = 0,7
Jadi titik potongnya adalah (0,7 ; 0)

2
1
(0,7;0)
-1 1 2 3
-2 (0,-2)

Latihan:
Buat grafik dungsi berikut f(x) = 3 + x2

2.3. Fungsi Umum dan Fungsi Khusus


Fungsi umum adalah suatu fungsi yang hanya dinyatakan dalam variabel
bebas dan variabel terikat saja, tanpa menjelaskan bagaimana hubungan atau
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikatnya.
Contoh:
Fungsi konsusmsi (C ) dipengaruhi oleh tingkat pendapatannya (y)

C = f(y)
14

Persamaan di atas tidak memberikan penjelasan bagaimana pendapatan seseorang


mempengaruhi konsumsi dan berapa besar. Fungsi khusus adalah suatu fungsi
yang dapat menjelaskan tentang hubungan atau pengaruh variabel bebas terhadap
variabel terikatnya.

Contoh:
Hubungan ekonomi antara pendapatan seseorang dengan konsumsinya yang
dinyatakan sebagai berikut:
C = 200 + 0,3y

Persamaan di atas menunjukkan hubungan atau pengaruh pendapatan (y) terhadap


konsusmsinya (C) adalah positif dan besarnya pengaruh ditunjukkan nilai
koefisien sebesar 0,3.

4. Macam-macam Fungsi
1. Dilihat dari operasinya:
Fungsi aljabar (fungsi linier, fungsi kuadrat, fungsi kubik, fungsi pecah)
Fungsi non aljabar (fungsi logaritma, fungsi eksponen, fungsi trigonometri)
2. Dilihat dari hubungan antar variabel
a. Fungsi eksplisit, yaitu suatu fungsi yang letak variabel bebas dan variabel
terikatnya tidak terdapat dalam satu ruas
Contoh: y = f(x) = ax2 + bx + c
b. Fungsi implisit, yaitu suatu fungsi yang letak variabel bebas dan variabel
terikatnya dalam satu ruas.
Contoh: f(x,y) = 0 atau ax2 + by2 + cx + dy + e = 0
3. Dilihat dari jumlah variabel bebasnya
a. Fungsi univariabel, yaitu suatu fungsi dengan satu variabel bebas
Contoh: y = f(x) = x2 + ax + b
b. Fungsi multivariabel, yaitu suatu fungsi yang memiliki lebih dari satu
variabel bebas.
Contoh: z = ax2 + by + c

5. Fungsi Linear
1. Hakikat Fungsi Linier
Sebelum dijelaskan mengenai fungsi linier, akan disajikan contoh fungsi
linier berikut ini :
a. y = 5x -10
b. y = 4x - 12
Berdasarkan contoh di atas dapat diketahui bahwa fungsi linier memiliki
satu variabel bebas x yang pangkatnya satu dan satu variabel terikat yaitu y. Jadi
dapat disimpulkan bahwa fungsi linier adalah fungsi yang hanya memiliki satu
variabel bebas yang berpangkat satu pada variabel tersebut. Fungsi linier sering
disebut dengan persamaan garis lurus (pgl) dengan bentuk persamaan umumnya
sebagai berikut :
Y=mx+c
Keterangan :
15

y = variabel terikat
x = variabel bebas
m= Gradien/ kemiringan
c = konstanta

5.2. Menggambar
Kurva Fungsi Linier
Gambar kurva fungsi linier berbentuk garis lurus yang memotong sumbu x
dan sumbu y. Sebelum disajikan langkah menggambar kurvanya, akan disajikan
contoh gambar kurva fungsi linier berikut ini :

Gambar 1: Contoh Kurva Fungsi Linier 1

Berikut ini langkah-langkah menggambar kurva fungsi linier


a. Tentukan titik potong terhadap sumbu x, maka y = 0, sehingga diperoleh
koordinat (x,0)
b. Tentukan titik potong terhadap sumbu y, maka x = 0, sehingga diperoleh
koordinat (0,y)
c. Tentukan letak dua titik potong tsb ke dalam bidang cartecius kemudian
hubungkan menjadi garis lurus.

Contoh
Gambarkan kurva dari persamaan y = 2x – 6
Jawab:
d.Titik potong terhadap sumbu x, maka y = 0
y = 2x – 6
0 = 2x – 6
0 + 6 = 2x
6 = 2x
x=3
Jadi koordinatnya (3, 0)

b.Titik potong terhadap sumbu y, maka x = 0


y = 2x – 6
y = 2. 0 – 6
y=0–6
y = - 6, Jadi koordinatnya (0, -6)
16

c. Tentukan letak titik potong pada bidang cartecius, kemudian hubungkan dengan
garis lurus

5.3 Menentukan Persamaan Fungsi Linier


Misal terdapat gambar kurva sebagai berikut ini :

Gambar 3.2: Contoh Kurva Fungsi Linier 2


Sesuai dengan Gambar 3.2 untuk menentukan persamaan fungsinya bisa
menggunakan metode :

a. Metode Dua Titik


Rumus di atas menunjukkan bahwa cara untuk memperoleh persamaan fungsi
linier adalah dengan menggunakan metode dua titik. Caranya adalah dengan
mensubtitusikan nilai-nilai X1, X2, Y1, dan Y2 yang telah diketahui pada rumus
di atas, sehingga akan menghasilkan persamaan y = mx + c atau mx + by + c = 0

Contoh :
Tentukanlah persamaan garis lurus yang melalui titik (3, -4) dan ( -2, 6)
Jawab:
x1= 3, y1 = -4, x2 = -2 dan y2 = 6, maka persamaan fungsi linier atau persamaan
garis lurusnya adalah dengan mensubstitusikan titik-titik yang diketahui ke
persamaan berikut
17

Koefisien pada y dijadikan sebuah pembagian pada ruas kanan.


↔ y = -2x + 2

b. Metode Satu Titik dan Satu Kemiringan (Gradien/m)

dengan

Contoh :
Tentukanlah persamaan garis lurus yang bergradien 2 dan melalui titik (-3,1)
Jawab:

Diketahui nilai gradien :


m=2
dengan titik yaitu
𝑥1=3
𝑦1=1
Nilai di atas disubstitusikan ke rumus utama yaitu:
y - 𝑦1 = m (x - 𝑥1)
maka
y = m (x – x1 ) + y1
y = 2 (x – (-3)) + 1
y = 2 (x + 3 ) + 1
y = 2x + 6 + 1
y = 2x + 7

5.4 Hubungan
Dua Garis
Lurus
Dua garis lurus yang terletak di satu bidang kemungkinannya dapat saling
berimpit, sejajar, tegak lurus, dan berpotongan satu sama lain.
a. Garis Berimpit
Dua garis lurus akan saling berimpit kalau persamaan garis yang satu merupakan
kelipatan persamaan garis yang lain.
b. Garis Sejajar (m1 = m2)
Dua garis akan sejajar bila gradiennya sama.
18

y - 𝒚𝟏= m (x - 𝒚𝟏)
c. Garis Tegak Lurus (m1 . m2 = -1)
Dua garis lurus akan saling berpotongan tegak lurus apabila perkalian kedua
gradien sama dengan -1
d. Garis Saling Berpotongan (m1 ≠ m2)
Dua garis lurus akan saling berpotongan apabila gradiennya tidak sama. Dua garis
yang berpotongan, koordinat titik potongnya harus memenuhi ke dua persamaan
garis lurus. Koordinat titik potong ini diperoleh dengan mengerjakan kedua
persamaan secara serempak.

Latihan:
1. Cari kemiringan garis yang telah ditentukan oleh titik A dan B berikut ini
a. A (3,4), B (4,3)
b. A (4,5), B (8,13)
c. A (-2, -2), B (5,5)
2.Untuk setiap pasangan titik-titik koordinat (X,Y) , carilah persamaan garis lurus
y =ax +c
a. (0,0), (6,3)
b. (3,5), (10,2)
c. (-6, -4), (10,8)
3. Gambarlah grafik dari persamaan garis lurus berikut ini :
a. 2x - 3y + 2=0
b. 4x – 6y = 0
c. 3x + y + 4 = 0
19

Kegiatan Belajar 3

A. Pokok Bahasan : Fungsi Non Linear

B. Sub Pokok Bahasan : 1. Persamaan Kuadrat


2. Persamaan Polinomial
3. Fungsi Eksponensial
4. Fungsi Logarima dan
Logaritma Natural
5. Pemecahan secara matematis (aljabar)
dan grafik
6. Aplikasi Fungsi Non Linear dalam
Ekonomi:

C. Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa akan dapat memahami dan


memformulasikan kejaidan-
kejadian ekonomi dalam bentuk fungsi
non linear.

FUNGSI NON LINEAR


Fungsi non linier merupakan fungsi yang menggambarkan perubahan yang tidak
proporsional antara peubah (variable) bebas dan variable terikatnya.
Panggambaran fungsi non linier dilakukan dengan menentukan :itik-titik yang
memenuhi persamaan fungsi yang bersangkutan atau dengan menentukan dulu
kaidah-kaidah untuk membuat grafik fungsi non linier. Kaidah-kaidah tersebut
seperti titik potong sumbu, baik titik potong dengan ;umbu y atau sumbu x, sumbu
simetris, batas nilai, asimtot, faktorisasi, titik ekstrim dan jenis ekstrim (ekstrim
maksimum dan minimum), serta titik be1ok (jika ada). Beberapa kaidah-kaidah
tersebut akan dijelaskan berikut

1. Titik Potong Sumbu

Titik potong sumbu yang dimaksud adalah titik perpotongan antara


grafik fungsi non linier dengan garis sumbu. Titik potong dengan sumbu x
diperoleh dengan memberi nilai y sama dengan nol dalam persamaan untuk
kemudian mencari nilai yang dimaksud. Sedangkan titik potong dengan
20

sumbu y diperoleh dengan memberi nilai x sama dengan no! ke dalam


persamaan, kemudian mencari nilai y yang dimaksud. Dengan membuat titik-
titik potong sumbu mi maka grafik fungsi yang dimaksud dapat digambar.

2. Simetris

Fungsi yang simetris terhadap sumbu x dan sumbu y tentu akan simetris
dengan titik origin (titik nol). Tetapi grafik yang simetris terhadap titik origin
belum tentu simetris terhadap sumbu x dan y.

3. Batas Nilai

Untuk menggambar grafik suatu fungsi harus dilihat tentang batas batas nilai
dan variabel-variabel yang ada pada persamaannya. Grafik yang akan
digambar harus mempunyai batas bilangan nil. Sehingga apabila dalam suatu
grafik terdapat titik-titik (x, y), maka nilai-nilai x dan y harus bilangan nil.
Sedangkan bila salah satu titik nilainya adalah tidak nil (imajiner), maka titik
tersebut tidak digunakan dalam penggambaran grafik yang dimaksud.

1. Asimtot

Asimtot adalah suatu garis lurus yang didekati oleh grafik dengan jarak yang
semakin dekat dengan nol, tetapi tidak sampai saling berpotongan di antara
mereka. Garis asimtot yang biasanya digunakan adalah asimtot yang sejajar
dengan sumbu x yang disebut asimtot datar (asimtot horizontal) dan asimtot
yang sejajar dengan sumbu y, disebut asimtot tegak (asimtot vertical). Untuk
asimtot datar yang sejajar dengan sumbu x diberi notasi y = k, untuk garis y =
f (x) di mana x mendekati bilangan tak berhingga (x —+ ~ ). Asimtot mi
sering digunakan apabila grafiknya berbentuk hiperbola.

5. Faktorisasi

Faktorisasi mi dimaksudkan untuk mencari nilai akar-akar persamaan yang


21

terdini dan dua faktor atau lebih. Sehingga dengan mengadakan faktorisasi
maka persamaan yang terdiri dan dua faktor atau lebih dapat lebih mudah
digambar grafiknya. Misalnya suatu persamaan x2 + 2 xy —3 y2 = 0. Maka
apabila persamaan tersebut akan dibuat grafiknya kita harus memfaktorkan
persamaan tersebut, yaitu:

Dan faktorisasi tersebut diperoleh grafik dan persamaan x2 + 2 xy —3 y2 = 0


adalah terdiri dan dua buah garis lurus dengan persamaan garis x—y= O dan
x + 3y = O.
Dengan membuat kaidah-kaidah yang telah dijelaskan di muka, maka grafik
dan persamaan tersebut dapat dibuat.
Di dalam buku mi hanya akan dibahas mengenai fungsi non linier yang sering
digunakan dalam analisa bidang ekonomi dan bisnis yaitu meliputi fungsi
kuadrat, fungsi pecah dan fungsi kubik atau fungsi pangkat tiga beserta
penerapannya di dalam kasus-kasus ekonomi dan bisnis.

3.3.8 Fungsi Kuadrat


Bentuk umum : y = f (x) = ax2 + bx + c; dimana a, b, dan c bilangan riil dengan a
 0. Persamaan kuadrat adalah suatu persamaan yang memiliki pangkat tertinggi
dari variabel adalah dua. Untuk memperoleh akar-akar persamaan kuadrat dengan
cara menetukan titik potong dengan sumbu x (y = 0), sehingga persamaan
Menjadi Y= ax2 + bx + c = 0
Adapun penyelesaian persamaan kuadrat dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Cara faktorisasi : (…±…) (…± …)

b  b2 
b. Rumus abc:
x1,2  4ac 2a
Ada tiga kemungkinan hasil akar-akar persamaan kuadrat, tergantung dari
diskriminan (D = b2 - 4ac) yaitu :
1. Jika D > 0, maka persamaan kuadrat mempunyai 2 (dua) akar yang
berlainan.
22

2. Jika D = 0, maka persamaan kuadrat mempunyai 2 (dua) akar yang


sama
3. Jika D < 0, maka persamaan kuadrat tidak mempunyai akar riil
(imajiner).
Selesaikan persamaan kuadrat berikut :
1. 2x2 + 9x + 5 = 0 2. x2 - 4x + 4 = 0
3. 3x2 - 5x + 6 = 0 4. x2 + 3x + 2 = 0
1. Menggambar fungsi kuadrat (manual)
Complete the following tables of function values and hence sketch a
graph of each quadratic function :
1. f (x) = 4x2 – 12x + 5
X -1 0 1 2 3 4
f(x) 21 5 -3 -3 5 21
2. f (x) = -x2 + 6x - 9
x -1 0 1 2 3 4 5 6
f(x) -16 -9 -4 -1 0 -1 -4 -9
3. f (x) = -2x2 + 4x - 6
x -2 -1 0 1 2 3 4
f(x) -22 -12 -6 -4 -6 -12 -22
2. Mengetahui Nilai Maksimum/Minimum, Sumbu Simetri dan Titik
Potong Fungsi Kuadrat
Langkah 1:
Jika a > 0, maka grafik terbuka keatas dengan nilai minimum adalah

D dan titik minimum   b ,  D  


4a 2a 4a
Jika a < 0, maka grafik terbuka ke bawah dengan nilai maksimum

D b D
adalah dan titik maksimum   , 
4a 2a 4a 
b
Sumbu simetri x =
2a
Langkah 2 :
Tentukan titik potong dengan sumbu y (x = 0)
23

Langkah 3:
Tentukan titik potong dengan sumbu x (y = 0) Hal ini sama dengan
memecahkan persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0.

Ilustrasi
Buat sketsa fungsi kuadrat f(x) = -x2 + 8x – 12
Jawab:
 Titik potong dengan sumbu x adalah :
I. Cara faktorisasi II. Menggunakan rumus

b  b2 
-x2+ 8x – 12 = 0
x1,2  4ac 2a

 8  8 2  4. 1. 12
(-x + 2) (x – 6)
x1,2  2. 1
64  48
-x + 2 = 0 x – 6 = 0 x1,2   8 
2

x1 = 2 x2 = 6 x1 = 2 x2 = 6

Jadi titik potong dengan sumbu x ada dua titik yaitu (2 , 0) dan (6 , 0).
 Titik potong dengan sumbu y adalah :
-x2 + 8x – 12 = y -02 + 8.0 – 12 = y
y = -12
Jadi titik potong dengan sumbu y adalah (0, -12)
 Sumbu simetri x = ½ [x1 + x2] = ½ [2 + 6] = 4 atau x =
b
= 2a

8
=4
2.  1
 Nilai maksimum adalah D  16
4a = 4.  = 4 dan titik maksimum
1
b D
 , = (4 , 4)
2a 4a
f(x) = -x2 + 8x – 12
X 0 1 2 3 4 5 6 7 8
F(x) - 12 -5 0 3 4 3 -0 -5 -12

Gambar 3.3
24

Latihan :
1. Gambarkanlah fungsi kuadrat (1) f(x) = 2x2 -11x – 6 dan (2) f(x) = x2 - 6x + 9
2. Jika fungsi permintaan dan penawaran suatu produk: P = Q2 + 14Q + 22 dan
P = Q2 - 10Q + 150 tentukan harga dan kuantitas keseimbangannya.
Gambarkan pula grafiknya! [ QE = 4, dan PE = 94]
3. Jika fungsi permintaan dan penawaran sutu produk: P = 2Q2 + 10Q + 10 dan
P = -Q2 - 5Q + 52, tentukan harga dan kuantitas keseimbangannya. Gambarkan
grafiknya! [ QE = 2, dan PE = 38 ]
4. Jika fungsi permintaan dan penawaran suatu produk : P = Q2 + 2Q + 12
dan P=-Q2 – 4Q + 68, tentukan harga dan kuantitas
keseimbangannya. Gambarkan grafiknya! [QE= 4 dan PE = 36].
25

5. Fungsi permintaan dan penawaran suatu barang adalah Q = 16 – 2P dan 4Q


= 4P2 + P. Jika diberikan subsidi s = 2 per unit, tentukanlah keseimbangan

setelah pemberian subsidi. [ QES = 32 - 4√19, dan PES = -8 + 2√19] (Nababan, 1988:

96)
6. Let the demand function be x = 10 - 2p and the supply function be x = 4p.
What amount of subsidy per unit would have to be given to half the
equilibrium price? (Arora, 2003:25)
7. The demand curve for a commodity is given as x = 20 – 4p and the supply
curve is x = 8p. Find the equilibrium price. What amount of tax per unit
would have to be imposed to double the equilibrium price without tax
“(Arora, 2003: 25).

3.3.8 Parabola Datar


Parabola yang sumbu simetrinya sejajar dengan sumbu x. Bentuk umumnya: x =
ay2 + by + c, a,b, c  R, a ≠ 0. Titik ekstrim : titik yang terletak paling kiri atau
paling kanan pada grafik. Jika a > 0 parabola terbuka ke kanan; jika a < 0 parabola
terbuka ke kiri.

Ilustrasi
(1) x = -2y2- 4y + 30.

Jawab :
 Titik potong dengan sumbu y adalah :
I. Cara faktorisasi II. Menggunakan rumus

b  b2 
-2y2– 4y + 30 = 0
y1,2  4ac 2a

 4 2  4. 
(-2y + 6) (y + 5) y 2.30
2.  2

4
1,2

1,2

16  240
-2y
Jadi+titik
6 =potong
0 y + 5dengan
=0 sumbu y ada dua ytitik yaitu (0 ,43) dan (0 , -5).

4

y1 = 3 y2 = -5 y1 = -5 y2 = 3
26

 Titik potong dengan sumbu x adalah :


x = -2y2 – 4y + 30 x = -2.02 - 4.0 x = 30
+ 30
Jadi titik potong dengan sumbu x adalah (30, 0)
4
=-
 Sumbu simetri y = ½ [y1 + y2] = ½ [3 - 5] = -1 atau x =
b
= 2a 2. 
2
1

 Nilai maksimum adalah D  256 32 dan titik maksimum


4a = 4.  =
2
D b
 , = (32 , -1)
4a 2a
x = -2y2 – 4y + 30
X 0 14 24 30 32 30 24 14 0
Y -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3

Gambar 3.4
P

(0,3)

(1 4 ,2 )
(24,1)
(3 0 ,0 )
0 Q
5 10 15 20 25 3 0 (32,-1)

(24,-3)
(14,-4)
( 0, - 5)

Jadi grafik terbuka ke kiri, sumbu simetri y = -1, titik potong dengan
sumbu x di (30,0). Titik potong dengan sumbu y (0, -5) dan ( 0, 3).

A. FUNGSI KUADRAT

Fungsi kuadrat adalah suatu fungsi non linier yang peubah (variabel)
bebasnya paling tinggi berpangkat 2 (dua). Bentuk grafik fungsi kuadrat dapat
berbentuk parabola hiperbola, lingkaran dan dips. Pada buku mi hanya akan
dibahas fungsi kuadrat yang berbentuk parabola, sedangkan bentuk yang lain
pembaca dapat mempelajari pada buku teks yang lain.
27

Fungsi parabola merupakan tempat kedudukan titik-titik pada suatu


bidang datar yang jaraknya ke suatu titik dan garis tertentu adalah sama.
Titik-titik tersebut disebut sebagai fokus dan garisnya disebut sebagai
direktrik (directrix). Suatu parabola memiliki suatu sumbu simetri yang
membagi parabola tersebut sama besar. Titik perpotongan antara sumbu
simetris dengan parabola yang bersangkutan disebut vertex. Bentuk umum
fungsi parabola adalah sebagai berikut:

Penggambaran grafik fungsi non linier yang berbentuk parabola dapat


dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
1. Penggambaran fungsi dengan cara tabel.
2. Penggambaran fungsi dengan ciri-ciri (kaidah)
menyelesaikan matematisnya.

Contoh 1:
Gambarlah persamaan parabola y = x2 — 7x + 12
Jawab:
Penggambaran parabola dengan cara membuat
tabel persamaan:

Setelah dicari .nilai-nilai dan variable x dan y, maka grafik parabola tersebut
dapat digambar sebagai berikut:
28

Penggambaran parabola dengan cara mencari ciri-ciri matematisnya.


29
30

Untuk menyidik (melihat) tentang posisi parabola apakah terbuka ke atas


(yang berarti memiliki titik minimum) atau terbuka ke bawah (berarti memiliki
titik maksimum), memotong sumbu x atau tidak, maka dapat dilihat pada
beberapa ketentuan berikut mi:
1. Apabila nilai D> 0 dan a> 0 → p parabola akan menghadap ke atas dan
memiliki 2 (dua) titik potong dengan sumbu x.
31

2. Apabila nilai D = 0 dan a> 0 → parabola akan menghadap ke atas dan


menyinggung sumbu x.
3. Apabila nilai D <0 dan a> 0 → parabola akan menghadap ke atas dan tidak
memiliki titik potong dengan sumbu x.
4. Apabila nilai D> 0 dan a < 0 → parabola akan menghadap ke bawab dan
memiliki 2 (dua) titik potong dengan sumbu x.
5. Apabila nilai D 0 dan a <0 → parabola akan menghadap ke bawah dan tidak
memiliki titik singgung dengan sumbu x.
6. Apabila nilai D <0 dan a < 0 → parabola akan menghadap ke bawah dan tidak
memotong sumbu x.

Untuk menggambar grafik fungsi parabola bentuk yang kedua yaitu


persamaan parabola dalam bentuk x = f (y) = ay2 + by ± C, juga berlaku cara-cara
dalam menggambar parabola dalam bentuk yang pertama, yaitu y =2 + bx + c.

Contoh 3:
Gambarlah fungsi parabola dengan persaimaan x = y2 + 5y
—6 Jawab:
a. Titik potong dengan sumbu x, bila y == 0
x = 0 ± 0 - 6 —.. untuk y = 0, maka x -6 —p titik potong dengan sumbu y pada
titik (-6, 0).
b. Titik potong dengan sumbu y, bila x = 0
→ 0=Y2+5y - 6 → Dete~iflan(D) = b2 - 4aC =(5)2 – 4 . l (-6) = 49 →
Determinan Iebih besar dan 0 (D> 0), maka terdapat dua titik potongdengan

sunibu y. Persamaany2 + 5y—6 —+(y + 6)(y -1) → y1 = -6 dan Y2 = 1 Jadi

titik potong dengan sumbu y pada titik (0, -6) dan (0, 1).
c. Titik puncak parabola

sehingga titik puncaknya pada titik (-12,25 ; -2,5).


d. Sumbu simetri
32

Jadi sumbu simetrinya adalah garis yang sejajar sumbu x pada y - 2,5
Dengan diketahui ciri-ciri matematisnya maka grafik fungsi parabola tersebut
dapat digambar sebagai berikut:

Untuk menyidik posisi parabola apakah terbuka ke kanan atau terbuka ke kin,
memotong sumbu y atau tidak dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Apabila nilai D> 0 dan a> 0 → parabola akan menghadap ke kanan
dan memiliki 2 (dua) titik potong dengan sumbu y.
2. Apabila nilai D 0 dan a> 0 → parabola akan menghadap ke kanan
dan menyinggung sumbu y.
3. Apabila nilai D. < 0 dan a> 0 → parabola akan menghadap ke kanan
dan tidak memiliki titik potong dengan sumbu y.
4. Apabila nilai D> 0 dan a < 0 → parabola akan mengha~ap ke kin
dan memiliki 2 (dua) titik potong dengan sumbu y.
5. Apabila nilai D 0 dan a < 0 → parabola akan menghadap ke k’iti dan
memiliki titik singgung dengan sumbu y.
6. Apabila nilai D <0 dan a <0 → parabola akan menghadap ke kin
dan tidak menyinggung/memotong sumbu y.

SOAL-SOAL UNTUK LA TIHAN


Gambarlah persamaan fungsi-fungsi berikut:
33

2. FUNGSI PECAH ( Fungsi Rasional )

ax  b
Bentuk umum: y  cx  d, a, b, c, d  R, dn c ≠ 0

Titik potong dengan sumbu x (y= 0). Titik potong dengan sumbu y (x = 0).
Asimtot : asimtot suatu kurva adalah garis lurus yang dituju oleh kurva tersebut
bila jaraknya dari titik asal semakin besar.
Aturan untuk menentukan asimtot :
1. Asimtot datar : dapat diperoleh dengan cara menyamakan koefisien x
berpangkat tertinggi dengan 0.
2. Asimtot tegak : dapat diperoleh dengan cara menyamakan cara koefisien y
berpangkat tertinggi dengan 0.
3. Grafiknya simetri terhadap titik potong kedua asimtot.

Ilustrasi :

x2
y  2x ,3setelah dikalikan diperoleh 2xy + 3y – x + 2 = 0
Asimtot datar : (2y-1)x + 3y + 2 = 0, maka 2y – 1 = 0 atau y = ½ . Jadi asimtot
datar y = ½. Asimtot tegak : (2x + 3)y – x + 2 = 0, maka 2 x + 3 = 0. atu x = -3/2.
Jadi asimtot tegak x = -3/2. Gambarkan!

Fungsi pecah merupakan fungsi yang memiliki koefisien fungsinya berupa


ax + b

di mana:
y sebagai variabél terikat
x sebagai vanabel bebas
a , b, c dan d sebagai
koefisien (konstanta)
Gambar grafik fungsi pecah berbentuk hiperbola. Oleh karena itu
pembahasan fungsi pecah dimasukkan dalam fungsi non linier karena gambar
grafiknya tidak linier. Untuk menggambar grafik pecah dapat dilakukan
dengan [angkah mencari ciri-ciri matematisnya sebagai berikut:
1. Titik potong grafik dengan sumbu y bila nilai nilai x = 0, sehingga
34

2. Titik potong grafik dengan sumbu x bila nilai y =0, sehingga

3. Asimtot grafik
a Asimtot tegak. tercapai apabila nilai y tidak terhingga (t), sehingga
persamaan menjadi:

Suatu bilangan apabila dibagi dengan bilangan tidak berhingga hasilnya


= not, sehingga dan hasil cx + d = 0, maka cx -d → x -d/c.
Jadi asimtot tegak terletak pada garis x = - d / c.
b. Asimtot datar, tercapai apabila nilai x tidak terhingga (i), sehingga
persamaan menjadi:

Jadi asimtot datar terletak pada garis y = a/c


4. Membuat tabel nilai x dan y dan fungsi yang bersangkutan Setelah ciri-ciri
matematis dan fungsi yang akan digambar diketahui, maka larigkah terakhir
adalah membuat tabel nilai x dan y yang bersesuaian dengan fungsinya.
Untuk lebih jelasnya dapat dipelajari pada contohberikut:
Contoh 4:

Jawab:
Sebelum menggambar, kita can dulu ciri-ciri matematisnya:
a. Titik potong dengan sumbu y bila nilai x 0
35

Jadi titik potong dengan sumbu y pada titik (0, 3).


b. Titik potong dengan sumbu x bila nilai y = 0

Jadi titik potong dengan sumbu x pada titik (-3 ; 0).

e. Membuat tabel untuk nilai-nilai x dan y yang bersesuaian, yaitu:

f. Gambar grafik fungsi pecah tersebut di atas ada!ah sebagai berikut:

SOAL-SOAL UNTUK LATIHAN


Gambarlah persamaan fungsi-fungsi pecah berikut mi:

Latihan
1. Gambarkanlah fungsi :
36

2x
2x  3 10x  200 (c) y 
(a) y  x (b) y  x  20 x
1 1
x2 1
(d) y  (e) y 
x3 x
2
3x  3
2. Gambarkanlah dan tentukan titik potong fungsi (1) y  2x  dan
1
y = 2x + 1 (2) xy = 30 dan x = 3y – 9
3. Tunjukkan bahwa bentuk berikut merupakan fungsi rasional
(1) xy – x – y -2 = 0 (2) xy + x – 3y – 2 = 0 (3) x – 3y + xy –2
=0

10. Fungsi Eksponen.


Bentuk umum fungsi eksponen : konstanta dipangkatkan dengan variabel bebas.
Ilustrasi :
y = 3x ; y = 52-x

11. Fungsi Pangkat


Bentuk umum fungsi pangkat
1 : variabel bebas dipangkatkan dengan konstanta, x3
misalnya. sifat b  b  x
x

3.3.12 Aplikasi Fungsi Eksponen :


Bunga majemuk : Besarnya modal yang dibungakan tergantung dari waktu

lamanya modal dibungakan dengan tingkat bunga konstan. Jika modal sebesar K0

dibungakan k kali per tahun dengan bunga sebesar r per tahun maka setelah n
tahun, modal tersebut akan menjadi :
r
K n  K 0 (1  )nxk
k

Apabila k sangat besar, yaitu k  , maksudnya bunga ditambahkan terus menerus

terhadap modal, maka persamaan di atas menjadi Kn = K0.e r.n Keterangan :

Ko = modal awal atau besar modal pada tahun ke nol. Kn = modal akhir atau
besar modal pada tahun ke-n dengan e = 2,718…, k = kelipatan bunga yang
dibayar pertahun, n = waktu lamanya modal dibungakan; r = besarnya bunga per
tahun.
37

Ilustrasi :
Saya menabung Rp. 4.000.000,00 dengan bunga pertahun 5% per tahun. Berapa
jumlah uang saya (pokok tabungan + bunga) setelah 10 tahun?
(a) bila bunga dibayarkan sekali setahun
(b) bila bunga dibayarkan per triwulan
(c)bila bunga dibayarkan secara kontinyu per tahun.
Jawab :
r 0,05
(a) Kn  K 0 (1  )nk
1x10 4(1  )  6.515.785
k 4
r 0,05 4
(b) Kn  K 0 (1  )nk  4(1 ) x10  6.574.477
 k 4

(c) Kn = K0.e rn = 4.(2,718)0,05x10 = 6.594.543 (Wirawan, 2001:158)

3.3.13 Fungsi Pertumbuhan


Kebanyakan hubungan ekonomi dan bisnis dapat dinyatakan oleh fungsi
pertumbuhan. Misalnya, jumlah tenaga kerja merupakan fungsi dari jumlah
penjualan tahunan. Penjualan merupakan fungsi dari pengeluaran iklan. Jumlah
persediaan barang jadi merupakan fungsi dari hari kerja produksi dan lain-lain.
Fungsi pertumbuhan mempunyai berbagai bentuk, dengan atau tanpa asimtot yang
merupakan batas atas. Dua jenis fungsi pertumbuhan yang terkenal adalah fungsi
Gompertz ( N = caRt, N =Jumlah penduduk pada tahun ke-t; R = Tingkat
pertumbuhan 0 < R < 1; a = Proporsi pertumbuhan awal; c = Tingkat
pertumbuhan dewasa; t = jumlah tahun) yang menggambarkan pertumbuhan
penduduk dan fungsi pengajaran yang digunakan psikolog untuk menggambarkan
pertumbuhan pendidikan manusia, yang biasa disebut dengan kurva belajar (Y
= c - ae-kx).
Ilustrasi
Pertumbuh
an

jumlah

tenaga

kerja

sebuah

perusahaan
38

1. Seorang mahasiswa menabung di Bank dengan jumlah Rp. 1.000.000,00


yang tingkat bunga pertahunnya 18%. Berapa jumlah uangnya setelah 5
tahun apabila
(a) bunga dibayarkan tahunan,
(b) bunga dibayarkan per semester, dan
(c) bunga dibayarkan secara kontinyu.
2. Penghasilan setiap bulan perusahaan AVIV dapat dirumuskan oleh fungsi, R
= 10000(0.10)0,8P. P menyatakan jumlah pengeluaran promosi. Berapa besar
pendapatan bila tidak ada pengeluaran promosi?. Berapa penghasilan total
bila Rp. 200,00 dikeluarkan untuk promosi ?
3. Biaya produksi perushaan AVIV dinyatakan oleh fungsi, C= 100 – 70e - 0,02x,
x menyatakan jumlah unit produksi.
(a) Berapa besar biaya tetapnya?
(b) Bila diproduksi 100 satuan, berapa besar biaya produksi totalnya?
4. Jumlah perusahaan dalam suatu industri dinyatakan oleh persamaan N =
6)0,5)0,7 t. Dengan t menyatakan jumlah tahun sejak industri didirikan. Berapa
perusahaan dalam industri tersebut setelah 5 tahun. (Kalangi, 2002: 143)
Latihan
Tentukan harga keseimbangan untuk fungsi permintaan dan penawaran berikut :

(1) 3Q  4 dan S : P = 2Q + 1
D : P  2Q 1

(2) D: P = 2Q2 - 22Q + 61 dan S: P = Q2 + 2Q +1


(3) D: P = -Q2 - 10Q + 150 dan S: P = Q2 + 14Q + 150
(4) D: Q = 6 - P dan S: Q = 4P + P2 [Ans. 1,5]
(5) D: Q = 19 - 3P – P2 and S: Q = 5P - 1 [Ans.
2,9]
(6) The demand for goods of an industry is given by equation Q = 100/P where
P is the price and Q is quantity. Supply is given by the equation 20 + 3P =
Q. What is the equilibrium price and quantity? [Ans. 10/3, 30]
(7) The average cost curve of a product is given as AC = 10 + Q/25 where Q
represent units of output. How many units of the product can be produced at
the total cost of Rs. 275? [Ans. 25]
39

B. FUNGSI KUBIK

Fungsi kubik atau fungsi pangkat tiga adalah fungsi non limer yang variabel
bebasnya berpangkat tiga (paling tinggi berpangkat tiga). Bentuk umum fungsi
kubik secara sederhana diformulasikan sebagai : y = ax3 + bx2 + cx + d, atau
y = a + bx + cx2 + dx3
di mana:
y sebagai variabel terikat
x sebagai variabel bebas
a. b, c dan d sebagai
koefisien/konstanta.
Untuk menggambar
fungsi kubik pada
dasarnya sama dengan
menggambar
fungsi kuadrat sebagaimana telah dijelaskan di muka. Bedanya bahwa pada
gambar grafik fungsi kubik memiliki 2 (dua) titik puncak (titik ekstrim) yaitu titik
puncak maksimum dan titik puncak minimum. Grafik fungsi kubik juga rnemiliki
suatu titik belok. Ada atau tidak adanya titik puncak dan atau titik belok tersebut
tergantung pada nilai a, b, dan c yang ikut membentuk persamaan fungsi kubik
dimaksud. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut.

Contoh 5:
Gambarlah grafik dan fungsi kubik: y = x3 — 2x2 + x + 4
Jawab:
Untuk menggambar fungsi tersebut di atas, maka dibuat
tabel nilainilai dan
variabel x dan y yang bersesuaian.
40

Contoh 6:
Gambarlah grafik dan fungsi kubik: y = x3 — 3x2 — 2x
Jawab:
Untuk menggambar fungsi tersebut di atas, ‘naka
dibuat tabel nilainilai dan
variabel x dan y yang bersesuaian.

Untuk mencari titik-titik maksimum dan minimum maupun titik belok suatu
fungsi kubik secara lebih jelas dan sederhana dapat dipelajari dengan cara
diferensial.

C. PENERAPAN FUNGSI NON LINIER DALAM EKONOMI DAN BISNIS

Penerapan fungsi linier dalam ekonomi dan bisnis yang akan dikemukakan
dalam buku mi meliputi 2 (dua) hal pokok. Pertama penerapan fungsi linier dalam
ekonomi yang meliputi fungsi perznintaan, penawaran dan keseimbangan pasar.
Sedangkan dalam bisnis akan dijelaskan tentang fungsi biaya, pendapatan dan
laba.

1. Fungsi Permintaan, Penawaran dan Keseimbangan Pasar

Pembahasan masalah fungsi permintaan, penawaran dan keseimbangan


pasar sudah dipelajari ketika kita menerapkan fungsi tinier dalam ekonomi. Pada
bagian mi, kita mencoba membahas bagaimana penerapan fungsi yang tidak tinier
(non linier) dalam konsep permintaan, penawaran dan keseimbangan pasar.
41

Untuk memperoleh garis fungsi permintaan dan penawaran yang bermakna, kita
ambil fungsi permintaan dan penawaran yang berbentuk non linier yang
~memi1iki nilai positif. Nilai positif mi berada pada kuadran pertama dalam suatu
sistem sumbu silang. Sehingga fungsi permintaan dan penawaran mi dapat
berbentuk potongan parabola, hiperbola atau potongan fungsi non linier yang lain.
Biasanya, dalam penerapan ekonomi, sumbu vertikal dalam suatu sistem suinbu
koordinat diganti dengan notasi harga (P = price) yang semula adalah sumbu y.
Sedangkan sumbu vertikal yang semula adalah sumbu x diberi notasi sebagai
sumbu kuantitas (Q = quantity).
Keseimbangan pasar yang merupakan titik potong antara permintaan dan
penawaran selain berbentuk linier sebagaimana telah kita bicarakan di muka,
juga berlaku untuk keseimbangan pasar yang berbentuk non tinier. Keseimbangan
non linier mi juga akan terjadi apabila jumlah barang yang diminta (Qd = quantity
of demand) sama dengan jumlah barang yang ditawarkan (Qs = quantity of
supply). Sehingga dengan mudah dipahami bahwa keseimbangan pasar akan
tercapai pada perpotongan fungsi permintaan dan penawaran atau Qd =Qs.
Untuk memberikan gambaran yang jelas, dapat diikuti contohcontoh berikut
mi.
Contoh 7:
Permintaan suatu barang diformulasikan oleh persamaan P = 2Q2 —11Q + 15,
sedangkan funsi
P = Q2 + 2Q + 1.penawarannya diformulasikan
Carilah titik keseimbangan oleh persamaanbarang
pasar non linier
tersebut dan
gambarlah grafiknya!
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan ter~sebut, kita selesaikan masing-masing fungsinya,
sehingga fungsi tersebut dapat digambar dalam sumbusumbu koordinat.
a. Fungsipermin(aan ad.: P = 2Q2 — 11Q + 15.
o Titik potong dengan sunibu P. bila nilai Q = 0 sehingga P = 2.0—
11.0+ 15 → P = 15 → titik potongnya pada (0, 15).
Titik potong dengan sumbu Q, bila nilai
P =
42

Jadi titik potong dengan sumbu Q pada titik (3, 0) dan titik (2,5 ; 0)
o Titik puncak fungsi permintaan pada Q -b/2a dan P -D/4a
Q = -b/2a = -(-11)/(2.2) = 11/4 = 2 3/4
P = -D/4a = - 1/4.2 = -1/8
Jadi titik puncaknya path titik (2 ¾ ; -1/8)
b Fungsipenawaran (Qs) : P = Q2 +
2Q + 1.
o Titik potong dengan sumbu P.
bila nilai Q = 0 sehingga P 0 +
2.0 +1
→ P= 1 →
titikpotongnyapada(O, 1).
o Titik potong dengan sumbu Q, bila nilai P =0. 0 =
Q2 + 2Q + I
43

2. Pengaruh Pajak pada Keseimbangan Pasar


Seperti halnya keseimbangan pasar pada fungsi linier. maka keseimbq~igan
pasar pada fungsi non Jinier juga akan berubah apabila pada barang yang
bersangkutan dikenakan pajak. Pajak yang dikenakan tersebut akan menaikkan
harga jual barang yang ditawarkan. Hal mi akan terlihat pada berubahnya fungsi
penawaran barang yang dimaksud. Fungsi penawaran tersebut akan bergeser ke
kin dengan adanya pajak. Di samping itu, dengan adanya pajak mi maka jumlah
barang yang ditawarkan akan berkurang dan keseimbangan pasar sebelum
dikenakan pajak. Perilaku perubahan tersebut seperti bunyi hukum permintan,
yaitu apabila harga suatu barang dinaikian maka jumlah barang yang diminta akan
turun.
Besamya pajak yang dikenakan oleh pemerintah terhadap suatu barang
tersebut tidak seluruhnya ditanggung oleh produsen. Beban pajak tersebut
akan ditanggung pula oleh konsumen dengan naiknya harga barang yang terkena
pajak tersebut. Jadi pajak yang dipungut oleh pemerintah akan
ditanggung oleh
44

produsen dan konsumen.


Besamya beban pajak akan ditanggung konsumen (tk) setiap unitnya adalah

selisih antara harga keseimbangan pasar setelah pajak (P1) dengan harga

keseimbangan sebelum pajak (Po). Secara total, beban pajak yang ditanggung
konsumen adalah sebesar beban pajak per unit dikalikan dengan kuantitas
keseimbangan setelah pajak (Qt). Adapun besamya pajak yang ditanggung
produsen per unit (tn) adalah selisih antara besarnya pajak per unit yang dikenakan

pemerintah (t) dikurangi dengan pajak per unit yang ditanggung oleh konsumen (t1),

sehingga t1, t — tk. Secara total, beban pajak yang ditanggung oleh produsen adalah

sebesar pajak yang ditanggung produsen per unit dikalikan dengan jumlah barang
yang dihasilkan. Sedangkan pajak yang akan diterima oleh pemerintah adalah
sebesar pajak yang ditanggung konsumen ditambah pajak yang ditanggung oleh
produsen atau besarnya pajak per unit dikalikan dengan kuantitas keseimbangan
setelah pajak.
Adanya pajak yang dikenakan kepada produsen, menyebabkan fungsi
penawarannya berubah. Dan penjelasan di atas, apabila fungsi penawaran sebelum
pajak (Qs) adalah P f(Q), sedangkan pajak yang dikenakan per unit sebesar t,
maka fungsi penawaran setelah pajak (Qs’) = f(Q) + t. Adapun fungsi permintaan
sebelum pajak (Qd) dan fungsi penawaran sesudah pajak (Qd’) tetap sama/tidak
berubah, sehingga Qd
Qd’: P = f(Q). Untuk lebih jelasnya berikut mi diberikan contoh
perhitungannya. Contoh 8:
Diketahui fungsi permintaan suatu barang (Qd) adalah P = Q2 — 11
Q + 30,
sedangkan fungsi penawarannya (Qs) adalah P = Q2 + 1. Apabila terhadap
barang tersebut dikenakan pajak per unit sebesar Rp 3, ditanyakan:
a. Keseimbangan pasar sebelum dan setelah pajak.
b. Pajak yang ditanggung oleh konsumen (tk)
c. Pajak yang ditanggung oleh produsen (tn)
d. Pajak yang diterima oleh pemerintah (tg)
e. Gambar grafik keseimbangan pasar sebelum dan setelah pajak.
45

Jawab:
a. Keseimbangan pasar sebelum dan setelah pajak
1) Keseimbangan pasar sehelum pajak → Qd = Qs

2) Keseimbangan pasar setelah pajak → Qd’ = Qs’

Jadi keseimbangan pasar setelah dikenakan pajak Rp 3 per unit adalah titik E’
(2,36 ; 9,57.)
b. Pajak yang ditanggung konsumen (tk)
Pajak yang ditanggung konsumen per unit barang sama dengan harga
keseimbangan setelah pajak dikurangi harga keseimbangan sebelum pajak
atau Rp 9,57 — Rp 7,97 = Rp 1,6
Jumlah pajak yang ditanggung konsumen secara total sebesan besarnya pajak
yang ditanggung konsumen per unit dikalikan keseimbangan jumlah barang
setelah pajak, yaitu = 2,36 x Rp 1,6 = Rp 3,776.
c. Pajak yang ditánggung produsen (tn)
Pajak yang ditanggung produsen per unit barang sama dengan besarnya pajak
per unit yang dikenakan oleh pemerintah di~rangi dengan pajak per unit yang
ditanggung konsumen sehingga pajak per unit yang ditanggung produsen atau
(ta) = Rp 3 — Rp 1,6= Rp 1,4.
Jum~h pajak yang ditanggung produsen secara total sebesar besarnya pajak
yang ditang~ung produsen per unit dikalikan keseimbangan jumlah barang
setelah pajak, yaitu = 2,36 x Rp 1,4 = Rp 3,304.
d. Pajak yang diterima pemerintah (tg)
Pajak yang diterima pemerintah sebesar pajak per unit yang dikenakan oleh
46

pemerintah dikalikan keseimbangan jumlah setelah pajak 9, sehingga (t2J = 2,36 x Rp

3 = Rp 7,08 atau sebesar pajak yang ditanggung konsumen ditambah pajak


yang ditanggung oleh produsen yaitu sebesar = Rp 3,776 + Rp 3,304 = Rp
7,08.
e. Gambar grafik keseimbangan pasar sebelum dan setelah pajak adalah sebagai
berikut:

3. Pengaruh Subsidi pada Keseimbangan Pasar

Selain mengenakan pajak terhadap barang yang dijual, pemerintah juga


membenkan subsidi terhadap suatu barang. Pemberian subsidi mi akan
mengakibatkan biaya produksi barang yang bersangkutan sebagian dibiayai
dengan subsidi tersebut, sehingga barang yang bersangkutan harga jualnya lebih
rendah dibanding apabila tidak diberi subsidi. Hal mi dicerminkan oleh
berubalinya harga keseimbangan menjadi lebib murah dan jumlah
keseimbangannya menjadi lebih banyak. Apabila disimak pada grafik, terlihat
47

bahwa grafik fungsi penawaran akan bergeser ke kanan, sehingga keseimbangan


pasarnyapun bergeser ke kanan.
Besarnya subsidi per unit barang yang diberikan oleh pemerintah tersebut
sebesar (s) akan dinikmati balk oleh produsen maupun konsumen. Bagian subsidi
yang dinikmati oleh konsumen (Sk) adalah sebesar selisih antara harga

keseimbangan sebelum subsidi (P0) dengan harga keseimbangan setelah subsidi (P1).

Sedangkan bagian subsidi yang dinikmati oleh produsen (sr) adalah sebesar selisih antara

besamya subsidi per unit yang diberikan pemerintah dengan subsidi yang
dinikmati oleh konsumen.
Jumlah subsidi secara keseluruhan yang dinikmati oleh konsumen maupun
produsen adalah sebesar bagian subsidi per unit yang dinikmatinya seperti
tersebut di atas dikalikan dengan jumlah barang yang terjual setelah adanya
subsidi (keseimbangan jumlah setelah subsidi). Adapun besarnya subsidi yang
diberikan oleh pemerintah (sg) adalah sebesar subsidi per unit dikalikan dengan
jumlah barang yang terjual (Sg S X Qi).
Dan penjelasan di atas, apabila fungsi penawaran sebelum subsidi (Qs)
diformulasikan sebagai P = f)Q), sedangkan subsidi yang diberikan oleh
pemenintah sebesar (s) per unit, maka fungsi penawaran stelab subsidi (Qs’)
menjadi P = f(Q) — s. Fungsi permintaannya akan sama baik sebelum maupun
setelah subsidi, sehingga fImgsi permintaan sebelum subsidi (Qd) = Qd’ yang
diformulasikan sebagai P = f(Q).
Untuk lebih jelasnya, berikut mi diberikan contoh perhitungannya.
Contoh 9:
Seperti contoh di muka, diketahui fungsi permintaan suatu barang (Qd)
adalah
P = Q2 — 11Q + 30, sedangkan fungsi penawarannya (Qs) adalah P =
Q2 +
1. Apabila pemerintah memberi subsidi terhadap barang tersebut sebesar Rp
4 per unit, maka hitunglah:
a. Keseimbangan pasar sebelum dan setelah subsidi.
b. Subsidi yang dinikmati oleh konsumen (sk)
c. Subsidi yang dinikmati oleh produsen(sp)
d. Subsith yang dinikmati oleh pemeerintah (sg)
48

e. Gambar grafik keseimbangan pasar sebelum dan setelah

subsidi Jawab:
a. Keseimbangan pasar sebelum dan setelah subsidi.
1) Keseimbangan pasar sebelum subsidi → Qd = Qs

Jadi keseimbangan pasar sebelum subsidi adalah titik E (2,64 ;7,97).


2) Keseimbangan pasar setelah subsidi → Qd’ Qs’
Fungsi permintaan setelah subsidi (Qd’) tetap yaitu P = Q2 - 11Q+30
Fungsi penawaran setelah subsidi (Qs’) menjadi P = Q2 + I — 4 atau
P=Q2—3.
Keseimbangan setelah subsidi menjadi: Qd’ Qs’
Q2—11Q+30=Q2--3
-1 1Q = -33 → Qi = 3
Untuk Qi = 3
P=Q2—3 → P=(3)2 → PI =6
Jadi keseimbangan pasar setelah diberi subsidi sebesar Rp 4 per unit
adalah titik E’ (3,6)
b. Subsidi yang dinikinati konsumen (Sk)
Subsidi yang dinikmati oleh konsumen per unit barang sama dengan harga
keseimbangan sebelum subsidi dikurangi harga keseimbangan setelah subsidi
atau Rp 7,97 — Rp 6 Rp 1.97
Jumlah subsidi yang dinikmati konsumen secara total sebesar subsidi yang
nikmati konsumen per unit dikalikan keseimbangan jumlah barang setelah
subsidi, yaitu = 3 x Rp 1,97 Rp 5,91.
c. Subsidi yang dinikmati produsen (Sp)
Subsidi yang dinikmati produsen per unit barng sama dengan besarnya
subsidi per unit yang diberikan oleh pemerintah (s) dikurangi dengan bagian
subsidi per unit yang dinikmati konsumen sehingga subsidi per unit yang
dinikmati produsen atau (Sp) Rp 4— Rp 1,97 = Rp 2,03.
49

Jumlah subsidi yang diterima produsen secara total besarnya sebesar subsidi
yang diterima produsen per unit dikalikan keseimbangan jumlah barang
setelah subsidi, yaitu 3 x Rp 2,03 = Rp 6,09.
d. Subsidi yang diberikan oleh pemenntah (Sg)
Subsidi yang diberikan oleh pemerintah sebesar subsidi per unit yang
diberikan oleh pemerintah dikalikan keseimbangan jumlah setelah subsidi,
sehingga (Sg) = 3 x Rp 4 = Rp 12 atau sebesar juinlah subsidi yang diterima
oleh konsumen ditambah subsidi yang dinikmati oleh produsen yaitu sebesar
= Rp 5,91 ± Rp 6,09 = Rp 12.
e. Gambar grafik keseimbangan pasar sebelum dan setelah subsidi adalah
sebagai berikut:

Keterangan:
E = Keseimbangan pasar sebelum subsidi pada titik(2,64;7,97)
E’ = Keseimbangan pasar setelah subsidi pada titik (3 ; 6)

4. Fungsi Biaya, Pendapatan dan Laba

Seperti halnya pada fungsi linier, fungsi biaya, volume dan laba juga dapat
dianalisis dan digambarkan dengan fiingsi non linier. Secara prinsip, pada
dasamya analisis biaya, volume dan laba baik menggunakan fungsi linier maupun
non linier tidak berbeda. Perbedaan terjadi pada perilaku biaya dan pendapatan itu
sendiri sehingga mengakibatkan penggambaran grafiknya berbeda.
Sudah kita ketahui bahwa biaya produksi terdiri dan biaya tçtap (fixed cost
= FC) dan biaya variabel (variable cost = VC). Biaya~total (Total Cost
= TC)
50

merupakan penjumlahan biaya tetap dengan biaya variabel. Selain pengertian


biaya tetap, biaya variabel dan biaya total tersebut, kita kenal pula konsep biaya
yang lain yaitu rata-rata (average cost AC) dan biaya marjinal atau biaya tambahan
(marginal cost MC). Biaya rata-rata merupakan hasilbagi antara biaya total dengan
jumlah unit barang yag diproduksi, sehingga biaya rata (AC) = TC/Q, di mana Q
adalah jumlah unit yang diproduksi. Sedangkan biaya maijinal merupakan
tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menghasilkan tambahan
1 (satu) unit produk atau barang yang dihasilkan.
Jumlah barang yang dihasilkan sering disebut volume produksi dalam
suatu periode tertentu. Apabila volume produksi dihubungkafl dengan biaya
produksi, maka volume produksi mi akan menentukan besarnya jumlah biaya
(biaya total = total cost, TC) yang harus dikeluarkan untuk membuat barang
tersebut. Di samping biaya total juga dapat ditentukan besarnya biaya variabel
(variable cost, VC), biaya tetap (fixed cost, MC) Volume produksi biasanya diberi
notasi Q (quantity). Secara matematis, hubungan antara biaya tersebut dan volume
produksi dijelaskan sebagai berikut:

Di samping berhubungan dengan biaya yang dikeluarkan, volume produksi juga


akan menentukan besamya pendapatan total atau penerimaan total (Total
Revenue; TR) yang akan diperoleh oleh perusahaan. Pendapatan total mi
merupakan hash kali antara jumlah barang yang dijual (Q) dengan harga barang
per unitnya (Price, P). Hal mi berarti bahwa pendapatan total mi juga merupakan
fungsi dan jumlah barang yang dijual. Dalam konsep pendapatan juga dikenal
pendapatan rata-rata (average revenue, AR) yaltu merupakan hasilbagi antara
pendapatan total dengan jumlah barang yang dijual. Juga ada konsep pendapatan
51

marjinal (marginal revenue, MR), yaitu merupakan tambahan pendapatan yang


diperoleh karena adanya tambahan satu unit barang yang dijual. Secara matematis,
konsep pendapatan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pendapatan total (Total Revenue) TR f(Q) = P x Q
Pendapatan rata-rata (Average Revenue) = AR TR/Q
Pendapatan marjinal (Marginal Revenue)

Telah dijelaskan di muka bahwa pendapatan rata-rata (AT) merupakan pendaptan


total (TR) dibagi dengan jumlah unit barang yang dijual (Q). Padahal kita tahu
bahwa pendapatan total (TR) juga sama dengan dengan harga (P) kali jumlah unit
barang yang dijual (Q). Hal mi berarti pendapatan rata-rata sama dengan hargajual
per unit.

Apabila digambarkan dalam grafik ternyata bahwa graf.k fungsi pendapatan


rata-rata akan sama dengan fungsi pendapatan barang yang dijual. Hal liii terutama
akan terjadi pada pasar persaingan sempuma di mana di pasar tersebut banyak
penjual yang menawarkan barang yang sama sehingga penjual tidak dapat
menentukan harga seenaknya. Harga akan sangat dipengaruhi oleh permintaan dan
penawaran yang terjadi.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, setelab kita ketahui tentang konsep
biaya dan pendapatan, maka kita akan melihat konsep laba. Sebaliknya apabila
pendapatan total lebih kecil danipada biaya totalnya maka akan terjadi mgi.
Sedangkan apabila pendapatan total sama dengan biaya totalnya maka perusahaan
dalam keadaann pulang pokok atau tidak untung dan tidak mgi. Pada saat
perusahaan mengalami pulang pokok mi sering disebut dalam titik pulang pokok
atau Break Event Point (BEP). Pada saat BEP tersebut laba yang diperoleh sebesar
nol dan ruginyapun sebesar nol karena pada saat itu pendapatan total sama dengan
biaya totalnya.
Penerimaan maksimal dan barang yang dijual akan tercapai pada titik puncak
fungsi penerimaan yang dimaksud. Sedangkan laba maksimal akan tercapai pada
52

titik funcak fungsi Iabanya. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut
mi diberikan contoh perhitungannya.
Contoh 10:
Fungsi pçrmintaan suatu barang ditunjukkan dalam persamaan permintaan P = -
4Q + 520, sedanglçan fungsi biayanya adalah TC = Q2 + 20Q + 3.500.
Dan informasi tersebut ditanyakan:.
a. Titik pulang pokok (Break Event Point, BEP)
b. Pendapatan (Total Revenue, TR) maksimal
c. Keuntungan (laba) maksimal
d.Gambar grafiknya
Jawab:
a. Titik pulang pokok
(Break Event Point),
BEP) tercapai pada
saat TR
53

b. Pendapatan (penerimaan) maksimal

c. Keuntungan (laba) maksimal

b. Gambar grafiknya

Keterangan:
54

Contoh 11:
Permintaan produksi barang suatu perusahaan diformulasikan dalam fungsi
permintaan P = -0,25Q + 25, sedan~kan fungsi biaya totalnya diformulasikan pada
persamaan TC = 0,75 Q2 — 75Q + 1.875. Dan data tersebut, ditanyakan:
a. BEP dalam unit (jumlah) produksi.
b. Jumlah produksi yang menghasilkan pendapatan maksimal
c. Jumlah produksi yang menghasilkaniaba maksimal.
d. Laba yang diperoleh apabila perusahaan menjual 60 unit.
e.Gambar grafiknya.
Jawab:
a. Titik pulang pokok
(Break Even Point).
BEP) tercapai pada
saat TR =TC
55

Jadi BEP tercapai pada saat perusahaan menjual barangnya sebanyak 25 unit dan
75 unit (terdapat dua keadaan BEP).
Besamya pendapatan pada saat BEP adalah:
Untuk Q1 =25 unit
TR = -0,25Q2 + 25Q =~0,25(25)2 + 25 (25)
TR = -156,25 + 625
TR = 468,75 = Rp 469,- (dibulatkan)
P = -0,25Q + 25

P = -0,25(25) + 25 → P 18,75 → sebagai P1 =19 (dibulatkan) Untuk

Q2 = 75 unit

b. Jumlah produksi yang menghasilkan pendapatan (penerimaan) maksimal.


Pendapatan maksimal tercapai pada Q = -b/2a

c. Jumlah produksi yang menghasilkan keuntungan (laba) maksimal.


Keuntungan maksimal tercapai pada titik puncak fungsi keuntungan (fungsi
laba).
56

Jadi untuk memperoleh laba yang maksimal perusahaan hams menjual


barangnya sebanyak 50 unit dengan laba sebesar Rp 625,-
d. Gambar grafiknya adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Q1 dan Q3 = jumlah produksi pada keadaan BEP

Q2 = jumlah produksi pada pendapatan dan laba maksimal

BEP1 = BEP pertama pada titik (25; 468,75)

BEP2 = BEP kedua pada titik (75; 468,75)

A = Titik puncak fungsi pendapatan


(pendapatan maksimal)

Dalam contoh 11 di atas terlihat bahwa laba maksimal tercapai ~pada saat
penerimaan juga maksimal yaitu jarak A dan B. Jumlah pr&Iuksi atau jumlah
barang yang terjual pada saat terjadi penerimaan maksimal tersebut sebanyak 50
unit dengan total penerimaan sebesar Rp 625. Hal mi juga Merupakan jarak
terlebar antara TR dan TC. Namun demikian, tidak setiap keadaan bahwa
pen~rimaan maksimal menghasilkan laba maksimal. Seperti halnya pada contoh
sebelumnya (10). Pada contoh tersebut terlihat bahwa pada pèndapatan maksimal
(titik A) tidak menghasilkan laba maksimal. Tetapi laba maksimal tercapai pada
saat jumlah barang yang diproduksi atpu dijual sebanyak 50 unit, yaitu jarak
antara titik B dan C.
Keadaan BEP pada contoh 11 di atas sangat jarang terjadi dan bahkan tidak
mungkin terjadi dalam dunia nyata. Hal mi karena keadaan penerimaan
57

maksimal tercapai pada saat biaya totalnya sama dengan no!. Biaya produksi sama
dengan nol akan terjadi jika perusahaan sudah bubar. Perlu diingat bahwa total
biaya terdiri dan biaya tetap dan biaya vaariabel. Sehingga walaupun perusahaan
tidak berproduksi, perusahaan tetap akan mengeluarkan biaya, yaitu sebesar biaya
tetapnya. Padahal dalam contoh tersebut, laba maksimal tercapaj pada produksi
sebesar 50 unit, dengan biaya total sebesar nol.
Sekali lagi, bahwa untuk menentukan laba maksimal secara grafiks
ditunjukkan oleh jarak antara grafik TR dan TC. Semakin lebar (selisih) antara TR
dan TC yang positif semakin besar pula laba yang diperoleh. Namun, perlu
dijeláskan kembali bahwa laba maksimal tidak selalu tercapai ketika grafik
pendapatannya maksimal, dan juga tidak selalu terjadi pada saat biaya produksi
minimal.
58

Kegiatan Belajar 4

A. Pokok Bahasan : Matriks dan Determinan

B. Sub Pokok Bahasan : 1. Operasi Matriks


2. Determinan
3. Invers Matriks
4. Aplikasi Matriks dalam
masalah ekonomi

C. Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa akan dapat memahami dan


memformulasikan kejaidan-
kejadian ekonomi dalam bentuk matriks
dan determinan.

MATRIKS DAN DETERMINAN


Definisi: Matrik ialah suatu kumpulan angka-angka (sering disebut elemen-
elemen) yang disusun menurut baris dan kolom sehingga berbentuk persegi
panjang, dimana panjangnya dan lebarnya ditunjukkan oleh banyaknya kolom-
kolom dan baris-baris.
Apabila suatu matrik A terdiri dari m baris dan n kolom maka, matrik A bisa
ditulis sebagai berikut :


a11 a12 ... a1 j a 2n
 a 22 ... a a
 a 21 2j 2n 
. 
. 
. 
Amxn    (aij ), i  1, 2,...m
 aa
...
 ai 2 a ij a in 
 = j = 1, 2, …n
. 
. 
. 
a a ... a a 
 m1 m mj mn 
2
59

4.1 Macam Matriks

SQUARE MARTIK, ialah suatu matrik di mana banyaknya baris sama


dengan banyaknya kolom (m = n). Apabila m = n, maka matrik A disebut
SQUARE MATRIK ORDER n. Sering disebut matrik kuadrat atau matrik jajaran
genjang.
Contoh :
1. m = n = 3 2. m = n = 2

3 5 4 b11 
A  2 3 1  
 
B  
1 4 2  b12 
b21 b22
3. m = n = 4 

4 8 6 5 
7 9 5 4  
C 
1 2 3 4
 
 8 6 4 1 

IDENTITY MATRIK, ialah suatu matrik di mana elemen-elemennya


mempunyai nilai 1 pada diagonal pokok dan 0 pada tempat-tempat lain di luar
diagonal pokok (diagonal dari kiri atas ke kanan – bawah).
Contoh :
1. n = 2 2. n = 3

1 0 1 0 0
I 2    , I 0 1 0 
3 

0 1

0 0 1
0 1 0 0  
3. n C
= 4 
10 0 0 0  
 0 1 0
0 0 0 1 
60

Diagonal Matrik, ialah suatu matrik di mana semua elemen di luar diagonal
pokok mempunyai nilai 0 dan paling tidak satu elemen pada diagonal pokok ≠ 0,
biasanya diberi simbol D.
Contoh :

1 0 0 
1. D  0 2 0 
0 0 5

1 0 0 
2. D  0 1 0 jadi
 identity matrik = diagonal matrix.
0 0 1

1 0 0 
3. D  0 0 0 
0 0 4

Scalar matrix. Scalar ialah suatu bilangan konstan. Kalau k, suatu bilangan
konstan, maka hasil kali kI dinamakan Scalar Matrix.
Contoh :

1 0 0 k 0 0
1. k.I 3 k 0 1 0  0 k  0
0 0 1 0 0 k 
2. k = 4

1 0 0 
4.I 3 4 01 0  0 4 0
 
400001  0 0 4

Matrix Simetris. Apabila matrix A = (aij) ; i j = 1, 2, …,n dan dimana aij = aji , maka A

disebut matrix simetris (symmetric matrix).


Contoh :

2 4 6
1. A  4 5 2 a12
23
, a21, a 13  a31 , a23  a
6 2 3
61

2 3 2  11 3 
2. A  3 1 5  3. B  
  
3 2
2 5 4


NULL MATRIX, ialah suatu matrix di mana semua elemennya mempunyai


nilai=0 (=null). Biasanya diberi simbol 0 , dibaca matrix nol.
Contoh :

 0 0  0 0 0  
0 0
1. 0   0 0  2. 0   0 0 0
   3. 0   
 0
 0 0 0
 0 0 0

4.2 Operasi Dengan Matrix


Definisi :
Dua buah matrix A dan B dikatakan sama yaitu A = B apabila A dan B mempunyai
jumlah baris dan kolom yang sama dan di samping itu elemen-elemen
pada baris dan kolom yang bersangkutan harus sama artinya aij = aij untuk semua nilai i dan

j, di mana:
Aij = elemen matrix A dan baris i dan kolom j Bij =
elemen matrix B dan baris i dan kolom j
Apabila A dan B tidak sama, ditulis A ≠ B ini berarti aij ≠ bij untuk beberapa nilai i dan j.

Contoh :

1 2 1 0 
1. , 
B  
A     1
0 1 0

A ≠ B sebab a21 ≠ b21 dan a22 ≠ b22

2 4  2 4 
3.  , B   
A   3
3 5 5
A = B

62

1 0 0 1 0 
2. 
 , B   
A   0
0 1 0 1
A ≠ B; jumlah kolom tidak sama

4.3 Penjumlahan Matrix

Kalau matrix A = (aij) dengan m baris dan n kolom, dan matrix B= (bij), juga dengan

m baris dan n kolom dijumlahkan (dikurangkan) maka diperoleh matrix yang

ketiga, yaitu matrix C = (cij) dengan m baris dan n kolom dimana elemen- elemennya

diperoleh dengan menjumlahkan (mengurangkan) elemen-elemen matrix A dengan

elemen-elemen matrix B yaitu bahwa : cij = aij + bij untuk semua i dan j, dimana cij merupakan

elemen dari baris ke-i dan kolom ke-j.

Hukum asosiatif dan kumutatif berlaku juga bagi penjumlahan matrix.

a). A + B = (aij + bij) = (bij + aij) = B + A

a). A + B + C = (aij + bij) + cij = (A + B) + C

= aij + (bij + cij ) = A + (B + C)

4.4 Perkalian Metrix


Definisi :

Apabila AmXn = (aij) yaitu matrix dengan m baris dan n kolom, BnXp= (bij) matrik

dengan n baris dan p kolom, kemudian dengan perkalian matrix A X B =


n
di mana i = 1,2, …, m
A.B. = AB (tanpa tanda 
c ij hasil akali),
ij bij kita maksudkan jsuatu
= 1, 2, … pCmXn ; (AB = C),
matrix
t 1
yaitu matrix dengan m baris dan p kolom, dimana elemen C dari baris ke-i kolom
ke-j diperoleh rumus :
Kalau diperhatikan benar-benar, maka agar hasil kali AB bisa dicari, syarat
cij = ail bij + ai2 b2j + … + ain bnj
utama yang perlu dipenuhi ialah jumlah kolom dari matrix A, atau matrix yang
63

pertama, harus sama dengan jumlah baris matrix B, di dalam ilustrasi di atas,
masing-masing sebesar n. Selain itu baris dari matrix C = AB ternyata merupakan
baris dari matrix A (sebesar m) sedangkan kolomnya merupakan kolom matrix B
(sebesar p).
Jadi di dalam menentukan apakah dua buah matrix bisa dikalikan atau tidak
dan sekaligus untuk menentukan jumlah baris dan kolom dari hasil kalinya, kita
harus yakin benar bahwa jumlah kolom dari matrix sebelah kiri (matrix A) harus
sama dengan jumlah garis dari matrix sebelah kanan (matrix B).

Am x n Bn x p = Cm x p atau Am.n Bn.p = Cm.p

Didalam hal ini yaitu apabila jumlah kolom A = jumlah baris B, maka A dan
B dikatakan Comfortable untuk perkalian, ini berarti bahwa dicari hasil kali AB.
Contoh :
b11 b12 
a11 a12  
1.   , B   
A 
a21 a22 b21 b22

a11 a12  b11 b12  a11b11  a12 b12 a11b12  a12 b22 
  
  =  
AB   
a21 a22 b21 b22  a21b11  a22 b22 a21b12  a22 b22 

1 3  2 1 
2. , B   
A   3
2
4 5

1 3  2 1  1x2  3x3 1x1  3x5  


 = 
AB        
 2 3 5 2x2  4x3 2x1  4x5
4

11 16
C




BUKTI:16
22
64

1. Matrik sebelah kiri tanda persamaan A (A+C) mempunyai baris dan kolom
sebesar m dan p. Sedangkan sebelah kanan tanda persamaan yaitu AB + BC
juga mempunyai baris dan kolom sebesar m dan p. Jadi salah satu syarat
bahwa matrik sebelah dan sebelah kanan tanda persamaan harus sama, sudah
dipenuhi.
2. Semua elemen dari matrix kiri tanda persamaan sama dengan semua elemen
dari matrix sebelah kanan tanda persamaan, sebab elemen dari baris
n
n

t 1
it tj tj 
t
it tj

1
Untuk semua nilai i dan j, jadi terbukti bahwa A (B+C) = AB + AC.
DALIL:

Kalau Amxn suatu matrix dengan baris dan kolom m dan n Kalau

Bnxp suatu matrix dengan baris dan kolom n dan p Kalau Cpxq

suatu matrix dengan baris dan kolom p dan q Maka kemudian

berlaku hubungan berikut :


A (BC) = (AB) C, dikatakan bahwa perkalian matrix
mengikuti hukum asosiatif.

BUKTI :
1. Jumlah baris dan kolom dari matrix sebelah kiri
tanda persamaan, yaitu A
(BC) sama dengan jumlah baris dan kolom matrix sebelah kanan tanda
persamaan yaitu (AB) C, masing-masing sebesar m dan q.
2. Elemen-elemen matrix A dari baris ke-i adalah sebagai berikut :

ai1, ai2, …., ain, i = 1, 2, …, n

Sedangkan elemen-elemen dari BC untuk kolom ke-j adalah sebagai berikut


: n
 p 
A (BC) =  t 1bst ctj 
s a is  
b1tctj, b2tctj, ….,
1 bntctj, t = 1, 2, …, p

Oleh dalam hal ini berkenaan atau berhubungan dengan penjumlahan
Jadi elemen di baris ke-i dan kolom ke-j dari hasil kali matrix.
terbatas (finite sum), maka urutan penjumlahan di atas bisa diubah menjadi:
65



p n
a isb st  c tj pada hal yang terakhir ini merupakan elemen matrix
t 1 s1 
(AB) C dari baris ke-i dan kolom ke-j. Selanjutnya
apabila tanda kurang dihilangkan,
 p n
 
p n
a isb st  ctj = a is bst ctj
t 1 s1  t 1 s1

(elemen matrix ABC dari baris ke-I dan kolom ke-j, ini berarti bahwa
A(BC) = (AB)C = ABC.
Jadi untuk mencari hasil kali 3 matrix ABC, bisa dikalikan BC terlebih dahulu,
kemudian A dikalikan dengan BC atau mencari hasil kali AB terlebih dahulu
kemudian kalikan dengan C.

Contoh :

3 4  4 2 
1. A = (1 2), B =  , C 
0 5  1 7

3 4 4 2  3  4 4  2  7 6
B + C =     
0 5   1 7 0  1 5  7 1 12

A (B + C) = (1 2) 7 6
 (7  2 . 6  24)  (9 . 30)
1 12

3 4 
AB (1 2)   (3  0 4 10)  (3 14)
0 5

4 2
AC (1 2)    (4  2 2  14)  (6 16)
17
AB + AC = (3 14) + (6 16) = (9 30)
Ternyata A (B + C) = AB + AC

3 4 3 0 2 
2. A = (1 2), B =   , C 
2 1  5 1 0

3 4 
AB (1 2)   (3  4 4  2)  (7 6)
2 1
66

4
3 4 3 0 2  9  10 0  4 6  0  29 6
BC =    
2 1  5 1 0 6  5 0  1 4  0  11 4
1
A (BC) 29 4 16 
 (51 6 14)
11 1 4 

(AB)C = (7 1) 3 0 2 
5 1 0  (51 6 14)
Ternyata bahwa A(BC) = (AB)C

4.5 PERKALIAN MATRIX DENGAN SCALAR


Apabila matrix A dikalikan dengan suatu scalar k, ini berarti bahwa semua

elemen matrik dari matrix A harus dikalikan dengan k, jadi apabila A = (aij) maka kA =

k(aij) = (aij) k = Ak.

Contoh :
1. k = 2, A = 4 2
8 3

kA = 2A = 2 4 2
=
8 4
8 3 16 6

4.6 Matrix Partisi


Untuk maksud-maksud tertentu, misalnya di dalam mencari Inverse suatu
matrix, maka suatu matrix sering harus dibagi-bagi menjadi beberapa matrix yang
lebih kecil yang sering disebut submatrix. Cara pembagian suatu matrix
menjadi matrix-matrix yang lebih kecil sangat tergantung kepada persoalan. Hal
ini perlu
diperhatikan apabila dilakukan penjumlahan atau perkalian. Matrix yang
dibagi- bagi disebut Matrix Partisi. Untuk jelasnya perhatikan contoh-contoh
di bawah
a11 a12 a13 a14   A11 A12
ini.a a a a 
 
 21 22 23 24 

1. A =     
 31 a a a 
a

 a41 a3242 a4333 a34 A22 
 44  
  A21

67

a11 a12  a13 a14 


   

Jadi A11 =      
 
 21 a  a
a
42  a23 24
 a33 a34 
a31 a32 
  

A11 =       

 41 a 42  
 a43 a 44 
a

A11, A12, A21, A22 : sub matrix


 A11 A12 
 
A=   = matrix partisi.


 A 22 
A21

3  A11
2 4 
  A
 12  
2. A = 6 1 2 =  
   
   
3
1  A21
4 
a15 

 a 21 a 22 a 23 aA2224  a 25
a11 A12 )
3. A =   a12 a13 a14
 ( A11
a31 a32 a33 a34 a35 

a 41 a 42
a 43
a 43
a 44 


b11 b12 b13

b
 21 b22 b23  B 11 
B =     
b31 b32 b33   B 
21 

b 
 41 b42 b43 
Jadi matrix partisi, ialah matrix di mana elemen-elemennya berupa matrix
dengan ukuran yang lebih kecil.
68

4.7. Penjumlahan Serta Perkalian Dengan Matrix

Matriks adalah suatu susunan bilangan yang diatur dalam baris dan kolom
berbentuk persegi panjang. Susunan itu diletakkan antara kurung biasa (atau
kurung siku). Bilangan-bilangan itu disebut unsur atau elemen. Perhatikan bahwa
matriks bukan suatu bilangan melainkan suatu susunan bilangan yang dapat
mempunyai arti dalam hubungan tertentu.
Ilustrasi

1  2
1. A =  , terdiri dari 2 baris dan 2 kolom
3 4

2
2. B = 3  , terdiri dari 3 baris dan 1 kolom

4 

7
10 5
3. C = 0 - 2 0  , terdiri dari 3 baris dan 3 kolom
2 7 3

Ukuran suatu matriks biasanya dinyatakan dengan Ordo. Ordo suatu matriks
ditentukan oleh banyaknya baris diikuti banyaknya kolom. Ordo matriks pada
Ilustrasi 1 adalah 2 x 2. Ordo matriks pada ilustrasi 2 adalah 3 x 1 ordo matriks pada
ilustrasi 3 adalah 3 x 3.

4.8.Penjumlahan dan Pengurangan Matriks


Jika A dan B dua matriks yang sejenis yaitu matriks A dan B memiliki
jumlah baris
dan kolom yang sama (ordo yang sama), maka jumlah dari A dan B ditulis A
+ B. Matriks A + B diperoleh dengan cara menambahkan setiap unsur dari A dengan
unsur dari B yang bersesuaian. Jika A dan B dua matriks dengan ordo yang sama,
maka untuk mengurangkan matriks B dari A diperoleh dengan cara menambahkan
negatif dari matriks B pada A, yaitu A – B = A + (-B).
Apabila matriks A dan B berbeda ordo apakah dapat dijumlahkan atau
dikurangkan?
Ilustrasi:
8 7 1 2  9 9 7
1. A =  , B=  , maka A + B = , dan A – B =
4 9  3 4 7 13 1 5 
5
69

Untuk bisa menjumlahkan dan mengalikan matrix dengan mempergunakan


matrix partisi, maka syarat penjumlahan dari perkalian untuk matrix, bisa berlaku
juga dalam hal ini, oleh karena jenis matrix ini juga terdiri dari elemen-elemen,
hanya bedanya dengan matrix biasa ialah bahwa elemen-elemennya terdiri dari
matrix-matrix yang lebih kecil jumlah baris dan kolomnya (sub-matrices).
Jadi jelaslah bahwa sub-matrices ini harus conformable baik untuk
penjumlahan maupun untuk perkalian.
4 3 2  A11 A12 
 
 
 
 
1. A = 5 4 3 = 
1 
 
 
 5 
 
2. A = 2 7 = 2 
 A21 A22 
 4 2
5
3 6 B11 B12 
  A  B   A  B  B12 
  A11  12    B11   11 11 A12 
A + B =  21  
12
 
2 5 
 A21 A 22 
 
 B B 22   A21  B 21 A22  B 22 
   
4 3 3 5  7 8
A11 + B11 =   
5 4  B212 7 7 11

2 6  8

 B
 22  
A12 + B12 =  
 
3 5  
1)8+ (4 2) = (6 3)
A21 + B21 = (2 + (5) = 7
A22 + B22 = (2)
7 8

8


 6 3

 2) = (8 4)
A + B = 7 11 8
7 



A22B21 = 2 (4

70

17) + (8 4) = (16
A21B11 + A21A22 = (8 21) = C21

6
A21 B21 = (2 1)   (17)

5

= (10)
A22B22 = (2) (5)
=
A22B22 + A22B22 = (17) + (10) (27) = C22
C11 C12  4926 35
  
  
AB = C = A + B =   = 35 59 65 
   
   
16
C21 C22 21 17 

4.9 Perkalian Matriks
Dua matriks dapat dilakukan perkalian apabila jumlah kolom dari matriks pertama
sama dengan jumlah baris dari matriks kedua. Jika matriks pertama memiliki
jumlah baris dan kolom (m x n), dan matriks kedua memiliki jumlah baris dan
kolom (n x k), maka hasil kali kedua matriks tersebut adalah sebuah matriks yang
memiliki jumlah baris dan kolom (m x k), yaitu diperoleh dari jumlah perkalian
unsur-unsur baris pada matriks pertama dengan unsur-unsur kolom pada matriks
kedua.
Ilustrasi:

8 7 1 2 8x1  7x3 4x27x4


8x2
1. A =  , B=  , maka A x B = 4x1 9x3
4 9 3 
4 9x4
 
29 44 
=
31 44
8
2 4 1 2
2. A =  , B= ,
3 7 5 1 9
2x8  4x1
2x1  4x5 3x8 2x2  4x9   2238 31 40
69
maka A x B =  20  7x1 3x2  7x9 =
3x1  7x5 


71

2. Determinan
Misalkan A matriks persegi (jumlah baris dan kolom sama). Determinan
matrik A adalah bilangan yang bersesuaian dengan matriks A yang
dilambangkan dengan |A|.
(A) Determinan Matriks Ordo 1 :
Jika A = [3], maka |A| = 3 dan jika A = [-9], maka |A| = -9

(B) Determinan Matriks Ordo 2 :


Determinan matriks ordo 2 diperoleh dengan cara mengalikan
elemen pada diagonal utama dikurangi dengan diagonal lainnya.
Ilustrasi:

a a  , maka | A | = a 11a 22 – a12a 21


A   11 a
12 a 21 22 

1 - 2
Jika A   , maka | A | = a11a22 – a12a21 = 10
3 4

(C) Determinan Matriks Ordo 3:

a11 a12 a13 


 a a ,
Jika A  a
 21 22 23 
a31
a32 a23 
maka | A | = 11 
a23 - a12 a21 + a13 a21 a22 
  a33  a 
a a32 a33  a31 a
a33   31 32 

Ilustrasi :
2 a22
1 3 3 1 2 1 2 3

1. A  2 3 1 , maka  
2 3
3 2 1 2 1 3 1 3
| A | = 1  
| A |  1[3- 2] - 2[2 - 3]  3[4 - 9]2
-12
7
2. A  0 2 0 , maka |
10 5
A | = 40
 
2 7 3 
72

Minor Dan Kofaktor


Minor unsur aij  M i j adalah determinan matriks asal setelah baris ke-i dan

kolom ke j di coret.
Kofaktor unsur a didefinisikan sebagai (1)i j M , ditulis A
ij ij ij

1 4 7
Ilustrasi Matriks A  6 9 3
 
0 8
7
Unsur matriks minor dari matriks A diperoleh :
9 3
M11 = Minor dari a11 (1) = 8 7 = 63 - 24 = 39

6 3
= 42 - 0 = 42
M12 = Minor dari a12 (4) = 0 7

6 9
= 48 - 0 = 48
M13 = Minor dari a13 (7) = 0 8

4 7
= 28 - 56 = -28
M21 = Minor dari a21 (6) = 8 7

1 7 7-0= 7
M22 = Minor dari a22 (9) = 07 =

1 4 8-0= 8
M23 = Minor dari a23 (3) = 0 8 =

47
M31 = Minor dari a31 (0) = =9123 - 63 = - 51

1 7 3 - 42 = -39
M32 = Minor dari a32 (8) = 6 3 =

1 4 9 - 24 = -15
M33 = Minor dari a33 (7) = 6 9 =

Unsur kofaktor dari matriks A diperoleh :


A11 = kofaktor dari a11 (1)11 M = 1 x 39 = 39
11

A12 = kofaktor dari a12 (1)12 M = -1 x 42 = - 42


12
73

A13 = kofaktor dari a13 (1)13 M = 1 x 48 = 48


13

A21 = kofaktor dari a21 (1)21 M = -1 x -28 = 28


21

A22 = kofaktor dari a22 (1)22 M = 1x 7 =


7
22

A23 = kofaktor dari a23 (1) M 23


= -1 x 8 = - 8
23
=
31
(1) M 1 x -51 = - 51
A31 = kofaktor dari a31 31

A32 = kofaktor dari a32 (1)32 M = -1 x -39 = 39


32

A33 = kofaktor dari a33 (1)33 M = 1 x -15 = - 15


33

 
Perhatikan ilustrasi berikut A  aa11 a12 aa13   
a    
23 
;
 21 22   
a31 a32 a33 
Maka diperoleh kofaktor dari matriks A, dinotasikan dengan lambang C
 42 48 
 39 7  8 ; dan

C =  28 
 51 39  15

28  51
Adjoint (A) = Adj (A) = C T =  42 
39
 7 39 ;
48
 8
15

Ilustrasi:
4
Tunjukkan jika A  4 3 7  ,
2 1
(1)


2
maka |A| = a 11 a22 a23  - a 12  a 21 a23  + a 13 a21 a 22 = 10.
a 1a   a a   a  a
 32 33   31 33   31
3 32 
Perlihatkan bahwa A11 =2, A12 = 2, A13 = -2, A21 = -11, A22 = 4,

A23 = 6, A31 = 25, A32 = -10, A33 = -10.


74

2 1 3 
1 2  , bahwa = -1, = -72,
(2) Tunjukkan jika A 3  A11 A12
1 2 3 

A13=5, A21 = 3, A22 = 3, A23 = -3, A31 = -1, A32 = 5, A33 = -1

Matriks Kofaktor?
Determian A =

| A | = a11A11 +

a12A12 + a13A13

atau

| A | = a21A21 +

a22A22 + a23A23

atau

| A | = a31A31 + a32A32 + a33A33 (ekspansi sepanjang baris) bisa

juga ekspansi sepanjang kolom


7
Determinasi
(3) A = jika A 10
Tunjukkan 0 2 50 , maka


| A | = a11A11 + a21A212+ a31A31 atau 7 3


| A | = a12A12 + a22A + a 13A32 atau a12 
|A|=- a22
21 
a 32 a11
+ a22  a13 - a23 a11 = 20
a33    a32 
12

a a32 a31 a33  a31


| A | = a13A13 + a23A23 + a33A33

Pilihlah baris atau kolom yang mempunyai elemen nol


(4)
terbanyak.Periksa kebenaran jawaban berikut ini
2 3 1 2
3 4 0 1 4 0
1 3 4 0
1 3 0 133
0 1 1 2
2 1 1 2 3 0 121012
5 3 0 1 2 0 1 1  40
3 0 1 5 0 1
5 3 1
53 0

Definisi :
Jika C adalah matriks n x n dan Aij adalah kofaktor aij , maka matriks
75

 A11 A12 A1n 



 A21 A . . . A
22 2n 
. . . . 
. .
A  .. . . 

. .
. . . . 
.
.
 An1 n 2 . . . A nn 
A
Dinamakan
 matriks kofaktor A. Transpos matriks kofaktor dinamakan
adjoint A dan dinyatakan dengan adj(A).

1 2 1 
Contoh: misalnya A   2 1 2
1 3 1 

1 2 2 2 2 1
A11  (1)11 3 1  5 , A12
13
 (1)12 2 1  2 , A  (1)13 1 3 5

2
2 1 1 1 1
A21  (1) 21
3 1 1 , A
22
23
 (1) 22
1 1 0 , A  (1) 23
1 3 
1
2
2 1 1 1 1  3
A31  (1)31 1 2  3 , A32
33
 (1)32 2 2 0 , A  (1)33 2 1

2
- 5 5
 
maka matriks kofaktor A adalah  1 
 3 0 -1
1
 5 3 0 - 3 
 
dan adjoint A = Adj (A)  2 0 0
 5 -1 - 
3

3. Invers Matriks
Invers matriks A yang berukuran n x n dinyatakan oleh A-1 dan merupakan
matriks n x n pula sehingga A A-1 = A-1A = 1
Dengan I merupakan matriks satuan n x n.
Jika A mempunyai invers, maka A disebut matriks tak singular.
Jika A tak mempunyai invers, maka A disebut matriks singular.
Jika A mempunyai invers, maka A invers unik (tunggal).
1. Jika A matriks non singular (|A|) ≠ 0 yang berukuran 2 x
2
76

a11 a12  -1 = 1  a a12 


22
A , maka A det A  21 a 11 
a 21 a 22 
a

Ilustrasi :

21  -1  1  4 1  =  0,8 0,2 


A , 5 3 3   0,6 0,4
 maka A 3 4

Penentuan invers dengan memanfaatkan matriks adjoint


Teorema :
Jika A matriks persegi yang non singular, maka langkah-langkah menentukan
matriks invers adalah sebagai berikut :
1. Hitunglah determinan matriks A, yaitu | A | .
2.
Tentukan matriks kofaktor Aij, yaitu terdiri dari matriks minor dengan tanda (-

i+j
3. 1)
Buatlah.Mij. matriks adjoint A atau adj (A) dengan mentranspose matriks

kofaktornya.
4. Tentukan matriks invers (A-1).
Dengan rumus :
1
A1  det(A) adj( A
)
Ilustrasi:
2 3 5
 2 3 5 
 A  4 1 6  2(0  24)  3(0  6)  5(16 1) 
A  4 1 6  det
(A)  45
1 4 0 
1 4 0
  24 6 15  
matriks kofaktornya adalah C   20 - 5 5 
13 8 -10 
20
  24 13 
matriks adjoint dari A = Adj.(A)  C   6
T
- 
5  8 -10 
15

-5
77

 24


45
 10 
20
Ilustrasi:

1 2 3  13 
matriks kofaktor dan inversnya
Jika A   4 1 5  , tunjukkan bahwa 1 
maka invers
 6dari0 A diberikan oleh: 6 5 8
2 

 2 22 6 4  1  7
berturut-turut adalah  15 
 
2 16 12 dan  22 16 7
 7 7 7  28
4  6 7 
5 12

4.4 Sistem Persamaan Linear (SPL)


Secara umum kita mendefinisikan persamaan linier dalam n variabel (peubah)

x1, x2, x3, … xn sebagai persamaan yang dapat dinyatakan dalam bentuk a1x1, a2x2, a3x3,

… anxn, = b dimana a1, a2, a3, … an dan b adalah konstanta- konstanta riil.

Pemecahan persamaan linier

a1x1 + a2x2 + a3x3 + … + anxn = b adalah urutan dari n bilangan s1, s2, s3, … sn sehingga

persamaan tersebut dipenuhi bila kita mensubstitusikannya terhadap x1 = s1, x2 =

s2, x3 = s3, … xn = sn.

Ilustrasi:

4x1 – x2 + 3x3 = -1

3x1 + x2 + 9x3 = -4

Pemecahan: x1 = 1, x2 = 2, x3 = -1 karena nilai-nilai ini memenuhi kedua persamaan

tersebut, x1 = 1, x2 = 8, x3 = 1, bukanlah sebuah pemecahan karena nilai-nilai ini hanya

memenuhi persamaan pertama dari kedua persamaan dalam sistem tersebut.


Tidak semua SPL mempunyai pemecahan.
Sebuah SPL yang tidak mempunyai pemecahan dikatakan inconsisten (tak
konsisten). Jika ada setidak-tidaknya satu pemecahan, maka sistem persamaan
tersebut dinamakan konsisten.
78

Ada tiga kemungkinan solusi SPL, yaitu :


1. SPL tidak mempunyai pemecahan.
2. Mempunyai tepat satu pemecahan.
3. Mempunyai tak terhingga banyaknya pemecahan.
Sebuah sistem sebarang yang terdiri m persamaan linier dengan n bilangan tak
diketahui akan dituliskan sebagai berikut :

a11x1 + a12x2 + … + a1nxn = b1

a21x.1 + a22x. 2 + … + a2n


. xn = .b2
. . . .
. . . .

am1x1 + am2x2 + … + amnxn = bm

dimana x1, x2, x3, … xn adalah bilangan-bilangan tak diketahui sedangkan aij dan bij

konstanta-konstanta.

Tinjaulah suatu SPL :

a. 11x1 +. a12x2 + ….+ a1nx. n = b1

. . . .
a21x1 + a22x2 + … + a2nxn = b2
. . . .

an1x1 + an2x2 + … + annxn = bn

SPL diatas dapat kita tulis dalam bentuk matriks sebagai berikut

a11 a12 a1n  x1  b1 


a a 22 . . . a  x  b2 
 21 2n   2
. .  .  . 
A  .. .. .. .    =  
.
. .  .  .
. . .... .  . 
a x
a n1 n . . . a nn   n  n
2

b 
Yaitu
A.x = b … (*)
79

a11 a12 a1n  x 1  b1 


a a 22 . . . a 2n  x 2  b 2 
 21  .  . 
. .
 ;
A .. .. .. .
. x ; b 
. .  .
 .

. . . . . .  .   .  
a nn  x n  b n
a n1 n . . . a

2

Solusi
Jika kedua ruas persamaan (*) kita kalikan dengan invers matriks A, maka
diperoleh
A-1  A  x = A-1  b
Tetapi A-1 A = 1 sehingga x = A-1  b

Ilustrasi 1:

x1 + 2x2 + x3 = 4 3x1

– 4x2 – 2x3 = 2

5x1 + 3x2 + 5x3 = -1


2 dalam
dituliskan
1 1 x1  4 
3 - 4matriks:
bentuk - 2  x  2 2  
 
 

5 3 5   x 1
 dengan
akan diselesaikan 3 menggunakan x = A-1 b. Penentuan A-1:

1 2
1 14 25 29 
A  3 4
2  35 , kofaktor A   7 0 7 ,

5  0 5 10

3 14 7 0
  0
adj A = A  25T
5 
5
29 7 10

-14 - 7
Jadi A1 
adj A 1
  - 25 0 5 
A 
35 29 7 -10

0
80

-14 - 7 0   4   2 
Sehingga x = A  b =  - 25 0
-1 1 5    2    3  
35  
 29 7 -10  1
- 4 
x 1  2
Atau  x 2  3 jadi x1 = 2; x2 = 3 ; x3 = -4

x3 4
Ilustrasi
 2:

2x1 + 4x2 + x3 = -11

-x1 + 3x2 – 2x3 = -16

2x1 – 3x2 + 5x3 = 21

ditulis dalam bentuk


Ax
1=3b;- 2   x  216 

2 -3 5  x  21
2 4 1  x31  
  
 9 23 11
11
1
A-1 = 1 8 3 dengan menggunakan rumus x = A-1  b, maka
19 
 3 14 10

x 1   9 23 11  11  2 
  1 
x = x 2   1 8 3  16  - 4 Jadi x1 = 2; x2 = -4; x3 = 1
   
19 
  3 14 10  21 
x3  Latihan 1


Selesaikan SPL berikut dengan cara seperti contoh di atas:
(a) 2x1 – x2 + 3x3 = 2

x1 + 3x2 – x3 = 11

2x1 – 2x2 + 5x3 = 3

Jawab : (a) x1 = -1; x2 = 5; x3 = 3; 2x1


(b)
– 3x2 + 4x3 = -16

-3x1 + 2x2 + x3 = 0

x1 + x2 – 2x3 = 10

Jawab : (b) x1 = 2; x2 = 4

x3 = -2
81

4.5. Aturan Crammer


Teorema :
Jika AX = b adalah sistem yang terdiri dari n persamaan linear dengan n bilang
tak diketahui sehingga det(A) ≠ 0, maka sistem tersebut mempunyai
pemecahan yang unik, pemecahan ini adalah sebagai berikut :

A1
x1  A x3  A3
A ; x2  2A; A

dimana Aj adalah matriks yang kita dapatkan dengan menggantikan entri-entri

b1 
dalam kolom ke-j dengan entri-entri dalam matriks b  b 2 
.b3
Ilustrasi : 

2x1 + 4x2 + x3 = -11

-x1 + 3x2 – 2x3 = -16

2x1 – 3x2 + 5x3 = 21

ditulis 4 
 2 4 dalam
1  x 1bentuk
 11 2 1 ; A   16
32 113421 ;
 1 = 3b;2 x   16 A   1 
Ax  1 
 2 3   2   21 
  2 3 5   21 3 5
5  x3


 2 11 1
A2  1 16 2 ;

2 21 5

4 11 

A3 1 3 16  , maka
2 3 21 

A1 38 A2
19
A3   1
x1  2,  A 76 
A x 19
2   19  4 , x 3
A 19
82

Soal:
1. Gunakan aturan Crammer untuk menyelesaikan SPL:
x1 + 2x3 = 6

-3x1 + 4x2 + 6x3 = 30

-x1 – 2x2 + 3x3 = 8

Jawab :
A1
40 A 72 A3 153
x1  , x  22   , x3  
A 44 A 44 A 44
2. Kombinasi barang x dan y yang Bagaimana yang harus diproduksi suatu
perusahaan untuk meminimumkan biaya apabila fungsi biaya bersama
(Joint Cost Function) perusahaan tersebut C = 6x2 + 10y2 – xy + 30 dan
perusahaan juga mempunyai kuota produksi x + y = 34?
Jawab :
Dengan metoda Lagrange:
Bentuklah suatu fungsi baru dengan menyamakan kendalanya sama
dengan 0, mengalikannya dengan , dan menambahkannya pada fungsi
asal atau fungsi objektif. Jadi
C = 6x2 + 10y2 – xy + 30 + (x + y – 34)

C
x  12x  y    0

C
y  20y  x    0

C
  x  y  34  0
Untuk mencari x, y dan  bisa digunakan cara Crammer atau Gauss.
Cara Crammer:

 12 - 1 1  x   0 
 1 20 1  y    0  
  
1 31 0  
34 
 0 -1 1 
 12 - 1 1
A   1 1 ; A 1  0 20 1
 20   1 31 0
1 31 0 
83

 12 0 1  - 1 0
 12 0
  
A2    1
3 
1  ; A   1
1 31  , maka
0
 1 1 20 
1
 0 

A1 A2  ... , x A3  ....
x1  .... , x
A
2  A 3 
A

Latihan
1. Use Cramer’s rule to solve for z without solving for x, y, and w.
4x + y + z + w = 6
3x + 7y – z + w = 1
7x + 3y – 5z + 8w = -3
x+ y +z
+2W = 3 Solusi: z = 2
1. In Exercises (i) - (ii) evaluate det (A) by a cofactor expansion along a row
or column of your choice.
4
 4 4 
1 - 1
(i) A =   0 Solusi: -120;
3 1 
1
 6
0
-1 1
 0 3 
2
0 -3 - 1
1 1
(ii) A =   0 3 Solusi: -18
 06 14 3
0  
3
1 8 0
4.6 Definisi Inverse Suatu Matrix
Definisi : misalkan A merupakan suatu matrix kuadrat dengan n baris dan n

kolom dan In suatu identity matrix. Apabila ada square matrix A-1 sedemikian rupa

sehingga berlaku hubungan sebagai berikut : AA-1 = A-1 = I, maka A-1


disebut inverse matrix A.
Selanjutnya bagaimana caranya untuk menghitung suatu inverse. Didalam
uraian berikutnya akan dibicarakan beberapa metode yang menghitung inverse,
84

akan tetapi belum dibahas cara yang cukup sukar untuk mencari inverse dan
matrix, terlebih dahulu akan dipergunakan cara yang paling sederhana. Cara ini
didasarkan atas suatu fakta bahwa inverse suatu matrix A memenuhi syarat
sebagai berikut : AA-1=I. kemudian dengan jalan substitusi bisa
elemen-elemen
dicari inverse matrix A. ingat bahwa hanya matrix kuadrat yang
mempunyai inverse.

2 3 
, cari A1
1. A =  
3 5 

a b 
Misalkan A1 =   
c d

 b 1 0 
AA-1 = I ,      =  
 23 35 a d 
 
2a + 3c = 1(1) 0
c
2b + 3d = 0 (2) 1
3a + 5c = 0 (3)
3b + 5d = 1 (4)
Ambil persamaan (1) dan (3), hilangkan c.
2a + 3c = 1 (1) kalikan dengan 3, diperoleh : 6a + 9c = 0
3a + 5c = 0 (3) kalikan dengan 2, diperoleh : 6a + 10c = 2
-c

= -3
c

= 3
Ambil persamaan (1) dan (3), hilangkan c.
2b + 3d = 0 (2) kalikan dengan 3, diperoleh : 6b + 9d = 0
3b + 5d = 1 (4) kalikan dengan 2, diperoleh : 6b + 10d = 2
-d = -2
d = 2

Dari persamaan (1) : 2a + 3c = 1


2a + 3(-3) = 1
85

2a – 9=1
2a = 10
a=5

Dari persamaan (2) : 2b + 3d = 1


2b 3(2) = 1
+ = -6
2b
b = -3
Jadi a = 5, b = -3, c = -3 dan d =2

a b 

Akhirnya : A-1   =   
c d   3
25  3 

2 3  5  3  1 0 

Cek : AA = I , 
-1  
=   = 
  I
2

3  3 0

5 2 1


b
a c

Misalkan A adalah sebagai berikut : A = d
-1 -1 f 
g h i 
e
Oleh karena AA-1 = I ,
d
 4 3 2  a g 1 0
    0 
1 2 2  c
i  0
0 1
Maka 2 1 1 b e h 0 = 0 1
   

f
Akan diperoleh 9 persamaan sebagai berikut :
4b + 3b + 3b = 1 (1) (1) : 4a + 3b + 2c = 1
2a + b + c a = 0 (2) (2) kalikan 2 : 4a + 2b + 2c = 0 -
+ 2b + 2c = 0 (3) b
4d + 3e + 2f = 0 (4)
= 1
2d + e + f d + = 1 (5) (3) : a + 2b + 2c = 0 a
2e + 2 f 4g = 0 (6) + 2 + 2c = 0 a +
+ 3h + 2 i = 0 (7) 2c = -2
86

2g + h + i = 0 (8) a = -2 - 2c
g + 2h + 2 i = 1 (9) (1) 4a + 3b + 2c = 1
4 [-2 – 2c] + 3 + 2c = 1
-8 - bc + 3 + 2c = 1
-6c = 1
c = -1
Jadi a -2 -2(-1) = -2 + 2 = 0
a=0
(4) 4d + 3e + 2f = 0
(5) x 2 4d + 2e + 2f = 2 –
e =-
2
(6) d + 2e + 2f = 0
d + 2(-2) + 2f = 0
d + 2f = 4
d = 4 - 2f
(4) 4d + 3e + 2f = 0
4 [4 – 2f ] + 3 (-2) + 2f = 0
16 – 8f – 6f + 2f = 0
– 6f = -10
f = 10/6 = 5/3
d = 4 – 2.5/3 = 3 – 10/3

12  10
= 3 = 2/3
(7) 4g + 3h + 2i = 0
(8) x 2 4g + 2h + 2i = 0 –
h
(9)
=0
g + 2h + 2i = 1
g + 2.0 + 2i = 1
g = 1 – 2i
(7) 4g + 3h + 2i = 0
4g + 2i = 0
87

4 [1 – 2i ] + 2i = 0
4 – 8i + 2i = 0
4 – 6i = 0 6i = 4
i = 2/3
g = 1 – 2i = 1 – 2(2/3) = 1 – 4/3 = -1/3
g = -1/3
jadi a = 0, b = 1, c = -1, d = 2/3, e = -2, f = 5/3, g = -1/3, h = 0, i = 2/3 dan
d
a g  0 2 / 3  1/ 3
akhirnya  e
0 
A b
-1
h  = 1  2
c f i   1 5 / 3 2 /
3
cek :
3 2/3 0
4 2 2  1 / 3 0
-1       1
AA 2 1 1 1   2 1 0 = 0 0 = I3
1 2 2   1 5 / 3 2 / 0 0 1

3

Perhatikan bahwa untuk mencari elemen-elemen inverse suatu matrix


kuadrat, maka persamaan yang harus dipecahkan sejumlah n2 dimana n
merupakan jumlah baris (kolom). Kalau n = 2, ada 22 = 4 persamaan. Kalau n = 3,
ada 32 = 9 persamaan.

MENCARI INVERSE SUATU MATRIX DENGAN MEMPERGUNAKAN


ADJOINT
Misalkan A suatu matrix kuadrat dengan baris dan kolomnya masing-

masing sebesar n . jadi A = (aij) ; ij = 1, 2, …, n. dan setiap elemen dari matrix

mempunyai kofaktor, yaitu elemen aij mempunyai kofaktor Kij. Apabila semua kofaktor itu

dihitung untuk semua elemen matrix A, kemudian dibentuk suatu matrix K


dengan kofaktor dari semua elemen matrix A sebagai elemennya, maka :

K 2 KK22 2  
N 1 K12 ...K 1N
...K
 
K = (Kij) =  .  disebut matrix kofaktor
 . 
 
 . 
K N1 K N 2 ...K NN 
88

Definisi : Yang disebut adjoint matrix A ialah suatu matrix yang elemen-
elemennya terdiri dari transpose semua kofaktor dari elemen-elemen
matrix A, yaitu apabila : K = (Kij), dimana Kij ialah kofaktor dari elemen aij, maka adjoint

matrix A yaitu ad(A) = KT = (KT = K ).


Jadi, jelasnya Adj (A) ialah transpose dari matrix kofaktor K, yaitu “

K11 K12 ...K1n 


K K

12
 ...K.22 2n
T
Adj (A) = K =  
 . 
 . 
 
K1n K 2n ...K nn 
Contoh :
1
A = 1 2
2 2
 3 Ingat Bab II, Kij = (-1)i+j det(Aij) atau Kij = (-1)i+j det (Mij) dimana

4 2 1
Mij= Aij = sisa matrix A kalau baris i dan kolom j dihapus / dihilangkan.

2 3  1+1
M11 = 
2 1 dan
 K11 = (-1) det (M11) = + 1.(2-6) = -4

1 3 
M12 =  
4 1 

K12 = (-1)1+2 det(M12) = (-1) (1-12) = -1 (1- 12 ) = 11

1 2 
M13 = 
4 2  

K13 = (-1)1+3 det(M13) = 1.(2-8) = -6

1 2 
M21 =  
2 1 

K21 = (-1)2+1 det(M21) = (-1) (1-4) = 3

2 2 
M22 = 
4 1  

K22 = (-1)2+2 det(M22) = 1.(2-8) = -6


89

2 1 
M23 = 
4 2  

K23 = (-1)2+2 det(M23) = (-1) (4-4) =0

1 2  3+1
M31 =  K
 = (-1) det(M31) = 1 (3-4) = -1
2 3  31

2 2  K32 = (-1)3+2 det(M32


) = (-1) (6-2) = -4
M32 =  
1 3 

2 1  3+3
M33 = 
1 2 K 33 = (-1) det(M33) = 1 (4-1) = 3

K11 K12 K13   4 11  6 


K 21 K 22 K 23 = 3 6 0 
 K 31 K 32 K 33   4 3 
1 31 
K 21 K 31   4
Jadi Adj(A) = K = T
K 12 K 22 K32  = 11  6  4 
K11  6 0 3 
K13 K 23
K 33  
Definisi : Apabila matrix A kuadrat dengan n baris dan n kolom dan merupakan

matrix yang non-singular yaitu det (A) ≠ 0 dan Kij merupakan


kofaktor dari elemen aij, maka inverse matrix A, yaitu dirumuskan A-1

sebagai berikut :
1 T
A 1  . Adj ( A)  K , KT  K transpose matrix kofaktor K.
der det
( A) ( A)
jadi :

K11 K 21 ...K n1 
K K
12 n2
1  ...K.22 
A-1 = det  
 . 
( A)  . 
 
K1n K 2n ...K nn 
90

 K 
11 K 21 ...  K n1
det(A) det(A) det(A) 
 
K12 K 22 ... K n2 
 det(A) det(A) det(A) 
 . 
A-1 =  
 . 
 . 
 
 K1n 
K 2n ... K nn
 det(A) det(A) 

det(A)
Contoh :
1. Cari inverse matrik A yang berikut :

4 1 

A  , det(A) = 4.2 – 3.1 = 8 – 3 = 5
3
2

1 K 11 K 21 

A-1 = 
det ( A) 
K12 K 22 

K11 = (-1)2 (2) = 2

K12 = (-1)3 (3) = -3

K21 = (-1)3 (1) = -1

K22 = (-1)4 (4) = 4 


Jadi : A-1 = 1/5    =  
 3 / 5 4 /
2 3 1  5
Cek : 4
2 / 5  1/ 5 
4 1  2 / 5  1/ 5 
AA-1 =     =  = I
2
0
130  2  3 / 5 4 / 1 
2. Kalau : 5

4 3 2 
A 2 1 1  , cari A-1

1 2 2
91

1 1   2 1   2 1  
M11   M12   M13  
2 2  1 2

1 2

K11 = (-1)1+1 det(M11) = (-1)2 (2-2) = 0

K12 = (-1)1+2 det(M12) = (-1)3 (4-1) = -3

K12 =(-1)  det(M13) =(-1)


3 2 1+2 4 24(4-1) = 3 4 3 
 
M 
21  M  22  M  23 
2 2  1 2

1 2

K21 = (-1)2+1 det(M21) = (-1)3 (6-4) = -2

K22 = (-1)2+2 det(M22) = (-1)4 (8-2) = 6

K22 =(-1) det(M23) =4(-1)


3 22+2 25 (8-3) = -5 4 3
 
M31   M32    M33 2  
1 1 2 1

2 1

K31 = (-1)3+1 det(M31) = (-1)4 (3-2) = 1

K32 = (-1)3+2 det(M32) = (-1)5 (4-4) = 0

K32 = (-1)3+2 det(M33) = (-1)6 (4-6) = -2

Det(A) = a11K11, a12K12 , a13K13


= 4(0) + 3(-3) + 2(3) = -9 +06=2-
K11 K 21 K 31  1
3  12
Adj(A) = K  
K22 K32  =   3 6 0
 3  5  2
K13 K 23 K 33 

2 2/
1 0 1 0 1/ 3

Jadi A  1
1   3
der . Adj ( A)  3 6  0 = 1  
3  0 1 5 / 3 2 / 3
( A) 2


 3  5  2 

92

MENCARI INVERSE METODE COUNTER


DALIL : Apabila A suatu matrix kuadrat yang non-singular, yaitu det(A) ≠ 0,

dengan baris kolom masing-masing sebanyak n dan In suatu identity matrix. Kemudian In

diletakkan sebelah kanan matrix A, maka diperoleh suatu matrix M yang

disebut Augmented matrix sebagai berikut : M = AIn . selanjutnya apabila

terhadap garis-garis baik dari matrix A maupun matrix In , jelasnya terhadap garis-

garis augmented matrix M, dilakukan transformasi elementer sedemikian

rupa sehingga matrix A berubah menjadi In maka akan diperoleh inverse dari A,

yaitu A-1 yang berada ditempat dari mana In berasal, dengan perkataan lain setelah

A berubah menjadi In maka In berubah menjadi A-1.

(dalil ini dipergunakan sebagai dasar untuk mencari inverse dengan metode
Counter).
Contoh : 3
A 1 2  5 2
1. Cari inverse matrix
 
1 dengan mempergunakan metode counter. Matrix A adalah
sebagai berikut :
6 7
Dibentuk23 augmented
 M sebagai berikut :
3 2
1 0
M = A I3 =   2 0   2R1
1
1   6R1
a) Terhadap matrix M0
5 1 0
Baris yang kedua ditambah dengan 2 kali yang pertama, baris yang ketiga
1
dikurangi dengan
6 6 kali
7 yang
23 pertama,
0 maka diperoleh matrix M1 sebagai berikut:
0 3 2
1 0  3R2
M1 = 0 0 
1 1 11R2

b) Terhadap matrix
 M1  3 2
1
0  11 35  6
0
93

Baris yang pertama dikurangi dengan 3 kali yang kedua, baris yang ketiga

ditambah dengan 11 kali yang kedua, maka diperoleh matrix M2 sebagai berikut:

1 0 7 5 3 0   7 / 2R3
M2 = 0 0   3 / 3

 1 3 2 1 2R
1 X 1/ 2
0 0 2 16 11
c) Terhadap matrix M
Baris yang pertama dikurangi dengan 7/2 kali yang ketiga, baris yang
kedua ditambah dengan 2/3 kali yang ketiga baris ketiga dikalikan

dengan ½ , maka diperoleh matrix M3 sebagai berikut:


0 0  61  83 / 2
1  7 / 2
M3 = 0 1 0 26 35 / 2 3 / 2

0 0 1 8 11 / 2 1/ 2
Oleh karena
 A sudah berubah menjadi I3, maka matrix yang kedua berada di

-1
sebelah kanan A yaituI383
menjadi
/2 A .
Jadi A-1 =  26 35 / 2
 61  7 / 2
 3 / 2


8 
11 / 2 1/
2. Matrix A adalah terdiri dari 2 baris dan 2 kolom, carilah inverse matrix A
2 
dengan mempergunakan metode Counter, kalau A adalah sebagai berikut :

4 3 
A =  
1 1

Dibentuk augmented matrix M sebagai berikut :


2 4 3 1 0  X1/ 4
M = AI = 1 1  1
1 0 1/ 4R
a) Terhadap matrix M
Baris yang kedua dikurangi dengan 1/4 kali yang pertama, kemudian baris
pertama dikalikan dengan 1/4 diperoleh M1, sebagai berikut:
94

3/3 1/ 4
1 0   3R2
M1 =  1/ 4  1/
0 1  X 4
4

b) Terhadap matrix M1

Baris pertama dikurangi 3 kali yang kedua, baris kedua dikalikan dengan

4 diperoleh M2, sebagai berikut:


0 1 3   3
M1 = 
1  jadi A-1 = 1
0 1  1   1 1
4

4 3 1  3  1
Cek : AA-1 =  =
1 1  1 1 0 1
2 4 3
3 2
0
6 25
3. A= 

4
14
2 5 2
 3
1 52 14 3 / 2 1 1/ 2 0 0 0
0 
M1 = 0 0 1/ 2 1 1  3 / 20 
0
 1 1 5 1 00 1 
0
1 0
1 2 33 / 2 1 8 1/ 2 10 0 20 0 0 2R
0  2
0 1/ 2 1 1 0 0 
0
M2 =  1 1  5  13 / 2 1 0 0X2
0
0 3 8 10  2 0 0
1   3R 2

1 0 3/2 1 5/2 0 2
0 0   7 / 2R2
1 1 5 1 0 1 
0  R 3
M3 =  0 1/ 2  2  3 2 0
0 0
0 0 8 5 5 0 3 
1  5R 3
95

1 0 0 18 13 7 2
0 0 18 / 2R4
1 0 7 4 2 1
0   7 / 5R 4
M4 = 
0 0 1 2 3 2 0 0  2 / 5R4
0 1 X 1/ 5
0 0 5 10  10 3

1 0 0 0  23  29  2 0
0 
1 0 0 10  12 1
0 
M5 =  0 1 0 1 0 0 
0
2
0 0 0 1 2 2 3 1   4
A1 
I 
  23  29  64 /
 18 / 5
 5
7 / 5 
Jadi A-1 =  10  12 2/5
 26 / 5

1 2 6/ 1/ 5 
5
2 2 3/5

Pemecahan dengan Gauss dan Jordan sebetulnya sama dengan menggunakan

Row Operation (elementary transformation) terhadap matrix AH sedemikian rupa sehingga

A menjadi I. AH = [A H] = augmented matrix, dari persamaan AX = H. contoh :

2x1 + x2 + 4x3 = 16

3x1 + 2x2 + x3 = 10 → AX = H

x1 + 3x2 + 3x3 = 16

A = 3 2 1 2, H1 =410    2


  , X= x  16  x1 
16
1 3 3  x 3

4 
2 1 16 
AH = A H = 3 2 1 10  = M
1 3 3
16

Sekarang lakukan row operation terhadap AH sehingga A berubah menjadi I = identity

matrix, seperti waktu mencari inverse dan rank dengan counter method (lihat Bab
V). begitu A berubah menjadi I (kalau tidak salah hitung), maka H
96

berubah menjadi X, jadi IX = H* → X = H* (H yang berubah karena row


operation).

2 1 4 16  x1/ 2

AH = M = 32 1 10   3 / 2 R 1

1/ 2 R1

1 3 3 16  R2
1 8 
M1 = 0 14 
1/2 2  x2

 1/2 5 8   5 R 2

0 5 / 2 1
M2 = 0 0  147 22  7 3/
24R3
1
 1  10  10 / 24 R
M3 = 0 2
0 0  24 78 x1/ 24

1 I 0 1 1

 1 0 x 1  1
   
Jadi AX = H* → x 2 = 2  
0 0 1  3
x3 
Contoh : H*
3
2x1 + 3x2 + x3 = 9

x1 + 2x2 + 3x3 = 6

1 x1/ 2
3x1 + x22+ 2x
3 3 = 8 9
M = 1 2 3   1/ 2
R 6 1
 3/2 
3 1 2 8
R1
3/2 3R2
9 / 2
1
M1 = 0 1/ 2 3 / 2  x 2
 11 /
 7 R2
  1/ 2 5 / 2
0 7  7 / 18
1 0
M2 = 0 1 5 3  5 / 18 3
0  7 / 5 1/  R
20 0 18 5 1 / 18

1
97

1 0 0 35 / 18 
 1 0 29 /
M3 = 0 
18

0 0 1 5 / 18
 I

x 1 H*
 35 / 18 
Jadi AX = H* → x 2 = 29 / 18
 5 / 18
ATURAN CRAMER x3   
Jadi kalau A non-singular maka akan diperoleh pemecahan yang unik, yaitu X =
A-1 H pemecahan ini adalah unik oleh karena inverse dari A juga unik. Begitu
diketahui A=1 dan H, maka X bisa segera dicari.

Cari x1x2 dan x3 dari persamaan simultan berikut : 4x1 +

3x2 + 2x3 = 6

2x1 + x2 + x3 = 4

x1 + 2x2 + 2x3 = 5

persamaan tersebut bisa dituliskan dalam bentuk


2 1 1  x2  4
matrix :
1 2= 2 x3 
4 3 2 AX = B → X = A-1xB 1  6 
5
 0 2 / 3  1/ 3 
0 
Bisa ditunjukkan bahwa A-1  1  2
 1 5 / 3
2/
3
 0 2 / 3  1/ 3  
6

X=A B=  1 2    =  2
-1
0 4  1 
 1 5 / 3 2 / 3 5

Jadi x1 = 1, x2=4-2, x3 = 4

Cek : 4(1) + 3(-2) + 2(4) = 4 – 6


+8=6
2(1) + 1(-2) + (4) = 2 – 2 + 4 = 4
1(1) + 2(-2) + 2(4) = 1 – 4 + 8 = 5

Contoh :
98

Cari x1, x2, x3 dari persamaan berikut : 2x1

+ 3x2 + x3 = 9

x1 + 2x2 + 3x3 = 6
5
2 3 1  7
3x1 + x2 + 2x3 = 8
A = 11 2 3 → A-1 = 1/8 7 
1
1  53 1 2 

5
7
5
1 7 9 35 / 18
X = A-1 = 1/8 7  56 = 29/ 18 
  5 7 1 8 5 / 18
1

Jadi x1 = 35/18, x 2 = 29/18, x3 = 5/18

Contoh :
1).
3x1 + 2x2 = 7

4x1 + x2 = 1
det(A1 )
3 2  x 1 = 7 → x1= , x2  det(A2 )
4 1  x 2 1 det(A) det(A)

3 2
det(A) = = 3 – 8 = -5
41

72
=7–2=5
det(A1) = 11

3 7
= 3 – 28 = -25
det(A2) = 41

Jadi x1 = 5/-5 = -1, x 2 = -25/-5 = 5

2)
4x1 + 2x2 = 7

3x1 + 2x2 = 5
4 2  x1  7
→  =
3 2   x 2 5
4 2
det(A) = =8–6=2
3 2
99

7 2
= 14 – 10= 4
det(A1) = 5 2

3 7
= 20 – 21 = -1
det(A2) = 4 4

det(A1 ) det(A )
x1 = det(A) ,  4 / 2  2, x 2  det(A)
2
 1/ 2  1/ 2

3)
5x1 + 2x2 = 8

2x1 + 3x2 = 5
5 2  x1  8
=
2 3  x 2 5
8 2

5 3 24  10 14
x1 = 5 2 15  4
10
2 3
58

2 5 25  16 9
x2 = 5 2  15  4 11

2 3

4)
Cari x1, x2, x3 dari persamaan berikut :

x1 + 3x2 - x3 = 0

3x1 + 4x2 - 2x3 = 10

1 3 x2 +x13 3 =x-61  0 
3   
 2  x 2  = 16 
 4 
1 x3 6
 0 1
det (A) = a31K
 31 + a32K32 + a33K33 (pergunakan baris 3)

3 1 1 1 13
=0 -1 +1
4 2 3  3 4
2
= 0 – 1 (-2+3) + 1(4-9)
100

= 0 – 1 – 5 = -6
3
0 3  1 1 0  1  1 0
 
A1 = 10  
4  2 , A2 = 3 10  2 , A3 = 3  4 10  
 
 0 1 
 6 1
2 0  6 6
1
det (A1) = a11K11 + a12K12 + a13K13 (pergunakan baris pertama)
3 2 10  2 10 4
=0 -3 -1
1 1 6 1 6 1
= 0 – 3 (10-12) - 1(10 +24) = 6 – 34 = -28

10 2 3 2 3 10
-0 -1
det (A2) = 1 6 1 0 1 06
= 1 (10-12) – 0 - 1(18 - 0) = -2 + 18 = 16

4 10 3 10
-3
det (A3) = 0
3 4
= 1 (-24 -10) - 3(-18 - 0) + 0+ 0
1 6 0 6 01
= -34 + 54 = 20

jadi x1 = det(A1 ) =  28 = 14
det(A) 6
3
det(A2 ) 16 8
x1 = = =-
det(A) 6 3

det(A3 ) 20 10
x1 = = =-
det(A) 6
7 5 3
3. – B = 
1 5 
101

Kegiatan Belajar 5

A. Pokok Bahasan : Differensial

B. Sub Pokok Bahasan : 1. Pengertian Differensial


2. Kaidah-kadiah Differensial
3. Hubungan Antar Fungsi
dengan Derivatifnya
4. Differensial Berantai
5. Differensial Parsial
6. Aplikasi Differensial dalam Masalah
Ekonomi

C. Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa akan dapat memahami dan


memformulasikan kejaidan-
kejadian ekonomi dalam bentuk
differensial.

DIFFERENSIAL
Differensial merupakan konsep matematika yang mempelajari tingkat
perubahan rata-rata atau tingkat perubahan seketika dari suatu fungsi. Konsep ini
memegang peranan penting dalam analisa ekonomi dan bisnis, karena variabel-
variabel ekonomi dan bisnis setiap saat dapat berubah akibat berubahnya variabel
lain yang mempengaruhinya. Penerapan lain dari konsep kalkulus diferensial
dalam ekonomi dan bisnis adalah untuk membandingkan perubahan dari suatu
keseimbangan lama ke suatu keseimbangan yang baru. Analisis perubahan
keseimbangan ini dalam ekonomi disebut analisis statis komparatif.

5.1. Differensial
Ilustrasi:
y = f(x) = 5x2 + 3, carilah hasil bagi perbedaannya!

y
Jawab: x= 10x + 5x

Pada ilustrasi di atas jika x = 2 dan x = 3, maka tingkat perubahan rata-rata y


akan menjadi 10(2) + 5(3) = 35. Ini berarti bahwa tingkat perubahan rata-rata bila
x berubah dari 2 ke 5 adalah 35.
102

Notasi Turunan:
Jika y = f(x), maka turunan pertama dari y terhadap x ditulis y’ atau f’(x) atau
dy df d
atau atau f .
dx dx dx

2. Kaidah-Kaidah Diferensial.
1. Aturan Turunan

dy
1. y  f (x)  x n , maka dx
 nX n1

dy
1. Jika y  f(x)  K , K bilangan tetap maka f ' (x)  0
dx

dy
2. Jika y  f(x)  Kg(x) , maka dx kg ' (x)

3. Jika f(x)  g(x)  h(x) maka f ' (x)  g ' (x)  h ' (x)

4. Jika f(x)  g(x) . h(x) maka f ' (x)  g(x).h ' (x)  h(x).g ' (x)
2. Aturan Rantai (The Chain Rule)
dy dy du
Jika y fungsi dari u dan u juga merupakan fungsi dari x, maka  X
dx
du
dx
3. Aturan Perkalian
1:
dy dv du
y  uv maka u v
dx dx dx
2:
For a cosmetic
thousands company
of dollars. Find P dP
= 0.002S2 + 50 S = 4A2 – 30
dA .
Where P = profit, S = sales, and A = advertising expenditures measured in
103

3:

ds
(i) s = 3x + 6 dan x = (2t2 + 5) (3t – 2), tentukan dt.

dg
(ii) g = 2h -1/3 dan h = 8t3 + 5, tentukan dt
5.2.4. Aturan Pembagian

u dy du dv
y  maka  v u
v dx 2
v
dx dx

8.2.5. Turunan Fungsi Eksponensial


I. dy
Jika y  f(x)  e x maka  ex
dx
Umumnya :
dy dy
Jika
du
y  emx maka  me mx y  e u maka  eu

dx dx dx
II. Jika y  k f ( x) , maka
dy

d
k f ( x)  k f ( x) (ln k )
df
dengan k bilangan
dx dx dx
positif sembarang kecuali 1

8.2.6. Turunan Fungsi Logaritma


f ' (x)
Jika y  ln f(x) , dy 1 f (x)
'

maka dx  f (x) f (x)
1
dy
Jika y  a log x , maka dx x ln
a
Turunan Tingkat Tinggi

dy
Jika y = f(x) diturunkan terhadap x, maka didapat dx f (x)

dy d2
Jika f (x)  y diturunkan lagi terhadap x, maka didapat f  (x) 
yang
dx d
3 dx
disebut turunan
2 kedua dari f terhadap x dan f (x) 
y dx 3
tiga …Dst
disebut turunan ke
104

5.3. Hubungan Antar Fungsi Dengan Derivatifnya


Turunan pertama (first derivative) dan turunan kedua (second derivtive) dan
suatu fungsi non linier dapat digunakan untuk menyidik (mengenal) bentuk
gambar suatu fungsi tersebut. Turunan pertama suatu fungsi dapat digunakan
untuk mengetahui di mana suatu fungsi menaik dan di mana fungsi tersebut
menurun. Dengan demikian, turunan pertama dapat juga digunakan mencari titik
maksimum dan minimum dan fungsi yang bersangkutan.
Perhatikan untuk fungsi y = f(x) untuk x = a. Turunan pertama dan fungsi y
terhadap x yaitu y’ = 1(x) merupakan kemiringan fungsi tersebut pada titik x a.
Apabila turunan pertama f(a) positif atau f(a)> 0, maka furigsi y f(x) merupakan
suatu fungsi x yang menaik pada x = a. Sebaliknya, jika turunan pertama f’(a)
negatif atau 1(a) <0, maka fungsi y = f(x) merupakan suatu fungsi kedudukan x
yang menurun pada x = a, artinya fungsi y = f(x) menurun ketika x bertambah
setelah x = a. Untuk Iebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 10 menunjukkan bahwa ketika kemiringan garisnya (koefisien arah)
positif, fungsinya menaik. Dan sebaliknya, ketika kemiringan garisnya negatif
maka grafiknya menurun. Sedangkan ketika kemiringannya nol, maka grafik
berada pada titik maksimum atau minimum mi berarti turunan pertama fungsi
tersebut sama dengan nol atau y’ = f(O) = 0 (ingat lagi bahwa kemiringan suatu
ganis sama dengan turunan pertama dan fungsi yang bersangkutan).

Contoh 41:
Perhatikan fungsi y = f(x) = 3x2
105

Turunan pertama y’ = 6x.


Nilai f(x)> 0 untuk x> 0 dan f(x) <0 untuk x <0, sehingga fungsi f(x)
merupakan fungsi x yang menaik untuk x positif dan fungsi x menurun untuk x
negatif. Dan 1(x) 0 ketika x = 0. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 11
berikut mi.

Gambar 11 menunjukkan grafik fungsi parabola. Pada gambar tersebut


terlihat bahwa ketika nilai x = 0, maka grafik mencapa~ titik minimum (titik
ekstrim) path titik (0, 8). Path titik ekairim tersebut nilai turunan pertama yaitu y’
= 6x untuk x 0 adalali sam.a dengan 0 yaitu y’ = 6 . 0 = 0. Sehingga titik
ekstrim
tercapal path saat turunan pertama y’ 0. Ketika mlai x> 0, maka fungsi f(x)
mulai menaik, sedangkan ketika nilai x <0, maka fungsi f(x) menurun. Sebagai
contoh, ketika nilai x = -2, maka turunan pertamanya y’ = 6(-2) = -12. Pada saat x
= -2, fungsi gx) menurun menuju ke titik (0, 8).Tetapi ketika nilai x=2, maka
fungsi f(x) telah naik dan titik minimumnya yaltu (0, 8).
Untuk melihat apakah suatu parabola memiliki titik maksimum atau
minimum dapat dilihat dan turunan kedua (y” atau d2y/dx2) fungsi parabola
yang bersangkutan. Apabila mlai y” positif (y”> 0) maka parabola akan memiliki
titik minimum atau grafik akan terbuka ke atas. Sebaliknya apabila y” negatif (y”
< 0) maka parabola memiliki titik maksimum atau grafik akan terbuka ke bawah.
Suatu grafik juga dapat memiliki titik maksimum dan minimum sekaligus.
Seandainya grafik tersebut memiliki titik maksimum dan minimum, maka dalam
106

grafik tersebut kemungkinan akan memiliki titik belok, misalnya pada grafik
fungsi pangkat tiga (fungsi kubik). Pada grafik fungsi kubik tersebut akan terlihat
adanya titik maksimum, titik minimum dan titik belok. Untuk lebih jelasnya dapat
dipelajari pada contoh 42 berikut.

Selain titik maksimum. minimum dan titik belok, kitajuga mengenal


107

nilai maksimum relatif dan minimum relatif dan suatu fungsi. Suatu fungsi
y f(x) dikatakan memiliki nilai maksimum relatif (maksimum lokal) pada x
= a apabila f(a) Iebih besar daripada setiap nilai f(x) untuk x dalam suatu
interval di sekitar a. Suatu fungsi y = f(x) dikatakan merniliki nilai
minimum relatif (minimum lokal) pada x a apabila f(a) lebih kecil
danipada setiap nilai f(x) untuk x dalam suatu interval di sekitar a tersebut.
Jadi nilai maksimum relatif atau minimum relatif suatu fungsi berlaku
untuk suatu nilai pada interval tertentu. Sedangkan nilai maksimum atau
minimum yang mutlak berlaku untuk suatu interval yang lebih besar atau
interval yang lebih panjang, tidak hanya interval pada suatu titik tertentu.

6. Penerapan Diferensial
1. Elastisitas
Di muka sudah dijelaskan bahwa diferensial mempelajari perubahan suatu
variabel tergantung (y) yang diakibatkan perubahan variabel bebas (x).
Rasio atau perbandingan perubahan relatif variabel tergantung y dengan
perubahan relatif variabel bebas x sering disebut elastisigas. Dengan demikian,
elastisitas mi mengukur peka tidaknya variabel tergantung y sebagai akibat
adanya perubahan variabel x. Konsep elastisitas mi sering digunakan untuk
mengukur kepekaan perubahan harga dan atau pendapatan terhadap permintaan
atau penawaran suatu barang. Kepekaan pengaruh perubahan harga terhadap
jumlah barang yang diminta disebut elastisitas permintaan, sedangkan
kepekaan pengaruh perubahan harga terhadap jumlah barang yang ditawarkan
sering dinamakan elastisitas penawaran.
Ada dua jenis elasitisitas yang kita kenal yaitu elastisitas titik (point
elasticity) dan elastisitas busur (arc elasticity). Elastisitas titik yaitu
mengukur elastisitas suatu fungsi pada suatu titik tertentu. Sedangkan
elastisitas busur mengukur elastisitas suatu fungsi antara dua titik.
Elastisitas biasa diberi
symbol  (baca: eta).
Elastisitas titik biasanya diformulasikan sebagai berikut:
108

di mana berlaku bahwa ketika x mendekati 0, maka y/x = dy/dx (sebagai


turunan pertama). Sehingga elastisitas titik dapat ditulis rnenjadi:

Formula di atas menunjukkan bahwa elastisitas fungsi y f(x) merupakan limit dan
perbandingan antara perubahan relatif variabel tergantung y (atau y) atau
terhadap perubahan relatif variabel bebas x (atau x).

Adapun elastisitas busur antara titik (x1. yl) dan titik (x2, y2) diformulasikan sebagai
berikut:

Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa konsep elastisitas mi banyak


digunakan untuk mempelajari tingkat kepekaan perubahan harga terhadap
permintaan atau penawaran suatu barang. Berikut mi akan dijelaskan tentang
elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran.
a. Elastisitas Permintaan
Sesuai. dengan hukum permintaan yaitu apabila harga suatu barang
meningkat maka jumlah barang yang diminta turun, dan sebaliknya jika
harga barang turun maka jumlah baran~yang diminta naik maka fungsi
perimntaan berlereng negatif, atau turunan pertamanya negatif sehingga
elastisitasnya juga negatif ( < 0 ). Elastisitas tidak memiliki satuan
(bebas satuan), sehingga kepekaan permintaan berbagai barang terhadap
perubahan harga dapat dibandingkan, yaitu dengan melihat nilai besarnya
109

elastisitas tersebut yang biasanya dikategorikan sebagai berikut:

Secara gfafis, keadaan kelima kategori elastisjtas tersebut dapat dilihat pada
bambar 13 berikut:

Apabila fungsi dinyatakan dengan Qd (quantity demand) = f(P), maka elastisitas

permintaan (d) diformulasikan sebagai:

Untuk lebih jelasnya diberikan contoh elastisitas permintaan sebagai berikut.


Contoh 43:
Fungsi permintaan suatu barang ditunjukkan oleh persamaan Qd = - P2 + 16,
tentukanlah elastisitas permintaannya pada harga Rp 50.
Jawab:

Contoh 44:

Fungsi 2permintaan suatu barang ditunjukkan oleh persamaan Qd = 20 - 2P , tentukanlah

elastisitas permintaannya pada harga Rp 2.


110

b. Elastisitas Penawaran
Sesuai dengan hukum penawaran yaitu apabila harga suatu barang
meningkat maka jumlah barang yang ditawarkan akan meningkat, dan
sebaliknya jika harga barang turun maka jumlah barang yang
ditawarkan
juga menurun. Dengan demikian fungsi penawaran berlereng positif, atau
turunan pertama dan fungsi penawaran bernilai positif,
sehingga
elastisitasnya juga positif ( >0).

Apabila fungsi dinyatakan dengan Q5 (quantity supply) = f(P), maka elastisitas

penawaran (s) diformulasikan sebagai:

Untuk lebih jelasnya diberikan contoh elastisitas penawaran sebagai benkut.


Contoh 45:

Fun~si penawaran suatu barang ditunjukkan oleh persamaan Q5 = P2 +

16, tentukaniah elastisitas penawarannya pada harga Rp 50.

Contoh 46:
Fungsi penawaran suatu barang ditunjukkan oleh persamaan Qs= 20
+ 2P2 , tentukanlah elastisitas penawarannya pada harga Rp 5.

5.6.2. Pendapatan Total dan Pendapatan Marjinal


111

Pada fungsi permintaan P = f(Q), pendapatan total (total revenue R atau


TR) merupakan hasil kali antara harga barang per unit dengan jumlah
barang yang diminta (dijual). Oleh karena itu, pendapatan juga merupakan
fungsi dan jumlah barang yang dihasilkan atau dijual, R f(Q). Sedangkan
pendapatan marjinal (marjinal revenue = MR) merupakan pendapatan
tambahan yang diperoleh oleh penjual kareria bertambahnya satu unit
barang yang dihasilkan atau dijual. Fungsi pendapatan marjinal mi secara
matematis merupakan turunan pertama dan fungsi pendapatan, jadi MR R’
= dR/dQ.
Kita telah tahu bahwa titik maksimum suatu fungsi parabola akan
tercapai
pada saat turunan pertama fungsi yang bersangkutan f’(x) sama dengan not.
Oleh karena itu, apabila fiingsi pendapatan tersebut berbentuk parabola maka
pendapatan maksimum juga tercapai pada saat turunan pertamanya (R’) sama
dengan nol. Padahal turunan pertama fungsi pendapatan (R’) tersebut merupakan
pendapatan marjinal (MR’). Sehingga pada saat pendapatan mencapai maksimum.
maka pada saat itu pula MR sama dengan not.
Selain pendapatan marjinal, kita juga mengenal pendaptan ratarata (average
revenue, AR). Pendapatan rata-rata mi merupakan hasil bagi antara pendapatan
total (R) dengan jumlah unit yang dihasilkan (dijual) atau R/Q. Pada saat
monopoli, pendapatan rataratanya sama dengan harga barang yang bersangkutan.
Kita tahu bahwa R = P x Q, mi berarti P = R/Q. Padahal AR = R/Q sehingga AR
== P.

Untuk lebih jelasnya kita lihat contoh berikut:


Contoh 47:
Apabila fungsi suatu barang diformulasikan dalam persamaan P = -3Q+
18. Bagaimana fungsi pendapatan total dan pendapatan marjinalnya.
Kemudian tunjukkan dalam grafik bagaimana hubungan antara pendapatan
total dan pendapatan marjinalnya.
112

Pada saat Q = 3, maka MR mencapai titik no! sedangkan R mencapai titik


maksimum (lihat gambar 14)

5.6.3. Biaya Total dan Biaya Marjinal


Biaya total (total cost, C) yang dikeluarkan oleh suatu peru~ahaan untuk
menghasilkan barang terdiri dan biaya tetap (fled cost, FC) dan biaya variabel
(variable cost, VC). Apabila biaya total C untuk memproduksi barang sej’umlah
Q unit diasumsikan hanya merupakan fungsi dan Q saja, maka fungsi biaya
total
dapat diformulasikan dengan C = f(Q). Berbagai tipe fungsi biasanya digunakan
untuk menyatakan grafik biaya tersebut. Pada umumnya biaya memiliki sifat-sifat
sebagai bçrikut:
1. Pada saat perusahaan tidak memproduksi barang, biaya total adalah not atau
positif yaitu f(Q) f 0. Jika f(Q)> 0, maka f(0) merupakan besarnya biaya tetap
produksi.
113

2. Biaya tetap merupakan biaya yang besarnya tetap, tidak tergantung volume
atau besarnya barang yang dihasilkan. Grafik biaya tetap biasanya sejajar
dengan sumbu horizontal.
3. Biaya variabel merupakan biaya yang besarnya berubah-ubah sesuai dengan
barang yang dihasilkan. Grafik biaya variabel dimulai dan titik origin.
4. Biaya total akan bertambah apabila jumlah barang yang dihasilkan
bertambah. Apabila terdapat biaya tetap, maka grafik biaya total akan dimulai
dan titik grafik biaya tetap tersebut dan sejajar dengan biaya variabel.
5. l3iaya rata-rata (average cost, AC) merupakan hasil bagi antara total biaya
(TC atau C) dengan jumlah unit yang dihasilkan (Q). Dengan demikian biaya
tetap rata-rata (average fixed cost, AFC) merupakan biaya tetap dibagi dengan
jumlah unit atau FC/Q. Sedangkan biaya variabel rata-rata (average variable
cost, A VC) merupakan biaya variabel dibagi dengan jumlah unit barang yang
terjual atau VC/Q.
6. Biaya marjinal (marginal cost, MC) merupakan biaya tambahan yang
dikeluarkan perusahaan untuk menghasilkan tambahan satu unit barang. Biaya
marjinal mi secara matematis merupakan turunan pertama dan biaya total.
Sehingga MC C’ dC/dQ.
7. Biaya marjinal akan sama dengan biaya rata-rata ketika biaya rata-rata
tersebut mencapai minimum. Biaya rata-rata minimum tercapai pada saat
turunan pertamanya sama dengan nol (AC’ = 0). Jadi MC = AC’.
Untuk lebih jelasnya kita ikuti contoh berikut mi.

Contoh 48:
Suatu perusahaan menghadapi fungsi biaya total C = 2Q3 — 8Q2 + 12Q, carilah
bentuk biaya marjinal, biaya rata-rata dan biaya ratarata minimum.

Dalam contoh mi terljhat tidak ada biaya tetap. sehingga ketika perusahaan
tidak meznproduksi barang maka biaya totalnya sama dengan no!. Sangat jarang
114

perusahaan yang bergerak tanpa biaya tetap.

Contoh 49:
Fungsi biaya yang dihadapi oleh suatu perusahaan diformulasikan sebagai:
C = Q3 —6 Q2 + 20Q. Carilah biaya marjinal dan biaya rata-rata.

5.6.4 Keuntungan Maksimum


Keuntungan atau biasa disebut laba merupaka selisih antara total
pendapatan dengan total biaya. Apabila selisih tersebut positif maka disebut
untung (laba), sedangkan apabila selisibnya negatif disebut rugi. Telah
dijelaskan di muka bahwa baik pendapatan maupun biaya. keduanya
merupakan fungsi dan jumlah unit barang yang diproduksi/dijual. Jadi
pendapatan (revenue, R) dan biaya (cost, C) merupakan fungsi dan f (Q).
Dengan demikian fungsi keuntungan (diberi notasi it) sama dengan
selisih
115

antara R — C.
Keuritungan maksimum dapat diperoleh dengan konsep turunan.
Keuntungan maksirnum tersebut diperoleh dengan cara menetapkan
turunan pertama dan fungsi labanya sama dengan no! (it = 0 ). Keuntungan
maksimum juga dapat terjadi pada saat pendapatan marjinal (mar] ma!
revenue, MR) sama dengan biaya marjinal (marfinal cost, MC). Jadi:

Contoh 50:
Suatu perusahaan menghadapi fungsi permintaan P = -Q + 28 dan fungsi biaya
rata-rata AC = 2Q2 — 31Q + 124 — 100/Q. Berapa unit perusahaan tersebut harus
memproduksi barangnya agar memperoleh laba maksimal dan berapa Jmlh
maksimal yang diperolebnya?

tJntuk melihat apakah terjadi laba maksimum atau mgi maksimum. kita lihat
turunan kedua dan fungsi laba yaitu ”. Jika ” > 0 maka terjadi rugi maksimum.
dan apabila “ < 0 maka teriadi laba maksimum.

Jadi laba maksimalnya sebesar 228 satuan.


116

Contoh 51:
Apabila fungsi biaya rata-rata (AC) suatu perusahaan diformulasikan
dalam persamaan AC = 2Q2 _ 20Q + 74 + 6/Q, sedangkan fungsi
permintaannya adalah P + 5Q = 50. Berapa harga yang harus dikenakan
pada barang tersebut agar perusahaan rnemperoleh laba maksimal dan
berapa laba maksimal yang diperolehnya?
Jawab:

Untuk melihat apakah terjadi laba maksimum atau mgi maksimum, kita lihat
turUnan kedua dan fungsi laba yaitu ”. Jika ”> 0 maka terjadi rugi maksimum,
dan apabila ” < 0 maka teijadi laba maksimum.

Jadi laba maksimalnya sebesar 22 satuan.


Apabila laba maksimal dicari dengan konsep pencLapatan marjinal sama
dengan biaya marjinal (MR = MC), maka penyelesaian contoh di atas adalah:
117

Langkah selanjutnya sama dengan cara pada contoh 51 di atas dan hasil
laba maksimalnya akan sama yaitu 22 satuan.

5.6.5. Pajak Maksimum


Apabila pemerintah mengenakan pajak terhadap suatu barang tertentu,
maka harga yang harus dibayar oleh konsumen atas barang tersebut akan
naik. dan pada gilirannya jumlah atau kuantitas barang yang diminta akan
menurun. Hal mi sesuai dengan hukum permintaan yang mengatakan bahwa
apabila harga suatu barang naik maka j umlah barang yang diminta akan turun.
Dengan adanya pajak yang dikenakan pada suatu barang pada akhirnya akan
merubah keseimbangan pasar. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila
terjadi persaingan murni dimana permintaan konsumen hanya tergantung pada
harga barang yang bersangkutan, maka fungsi permintaan atas barang tersebut
tidak berubah. Produsen akan menyesuaikan kurva penawaran dengan harga
baru yang telah mencakup pajak sebesar t per unit tersebut.
Jelasnya jika fungsi penawaran ditunjukkan oleh persamaan P = f(Q)
dan fungsi permintaannya adalah P = f(Q), di mana P adalah harga barang dan
Q adalah jumlah barang yang ditawarkan, maka dengan adanya pajak yang
dikenakan oleh pemerintah kepada produsen sebesar Rp t per unit akan
menyebabkan fungsi penawarannya berubah menjadi P = g(Q)+ t. Namun,
adanya pajak tersebut tidak menyebabkan fungsi permintaannya berubah
karena pajak dikenakan kepada produsen, sehingga fungsi permintaannya tetap
yaitu P f(Q). Dengan adanya pajak tersebut, maka keseimbangan pasar akan
berubah yang diformulasikan berikut mi:
118

Walaupun adanya pajak akan berpengaruh path fungsi penawaran, namun


pajak tersebut nantinya akan ditanggung oleh produsen dan konsumen. Hal mi
karena pajak yang dikenakan produsenakan dialihkan oleh produsen kepada
konsumen melalui kenaikan harga barang. Sedangkan pajak total yang akan
ditenma oleh pemerintah (T) adalah sebesar pajak per unit dikalikan dengan
jumlah barang yang terjual (t, Qt). Jadi pajak total yang diterima pemerintah
adalah T = t . Qt , di mana Qt adalah kuantitas keseimbangan setelah pajak.
Pajak total tersebut ditunjukkan oleh daerah yang diarsir sebagai perkalian
antara t . Qt, pada gambar 16 berikut mi:

Pemerjntah akan berusaha memaksimumkan pajak yang akan dikenakan


kepada produsen. Untuk itu apabila fungsi pajak T merupakan fungsi dan t
atau Q, maka pendapatan maksimum dan pajak dapat ditentukan dengan
memperhatikan pengliasilan pajak marjinal baik terhadap t maupun Q. Namun
untuk mudahnya, biasanya fungsi T dipandang sebagai fungsi dan Q atau T =
f(Q). Untuk lebih jelasnya kita lihat contoh berikut:

Contoh 52:
Suatu perusahaan menghadapi fungsi permintaan barang yang dijualnya yaitu :
P = -0,5 Q + 14 dan fungsi penawarannya P = 0,25Q + 5. Berapa pajak
maksimum yang diterima pemerintah bila pajaknyà Rp t per unit.
119
120

Contoh 53:
Suatu perusahaan menghadapi fungsi permintaan barang yang dijualnya yaitu : P =
-2Q2+ 55 dan fungsi penawarannya: P = Q2 + 7.
Berapa pajak maksimum yang diterima pemerintah bila pajaknya Rp t per unit,
kemudian gambanlah grafiknya.

Keseimbangan pasar sebelum pajak pada titik (4, 23)


Keseimbangan pasar setelah pajak:

d2T/dQ2 = -9<0 → maksimum


Jadi pajak maksimum pada Q 2,3 unit

Jadi keseimbangan pasar setelah paj2ak pada titik (2,3; 44,42).

Besarnya pajak per unit: t = -3(2,3) +48 → t = 32,13.


121

5.6.6. Pendapatan Nasional, Konsumsi dan Tabungan Marjinal


Pada bab sebelumnya telah kita ketahui bahwa hubungan antara pendapatan
nasional dengan konsumsi nasional ditunjukkan oleh fungsi konsumsinya. Dan
fiingsi konsumsi C = a + bY menunjukkan bahwa apabila pendapatan (Y)
meningkat atau menurun, maka konsumsi akan mernngkat atau menurun.
Besarnya pengeluaran untuk konsumsi tersebut dan perkalian antara
pendapatan nasional dengan hasrat untuk konsumsi mai]inal (marginal propensity
to consume
atau MPC). MPC Ifli menunjukkan besarnya perubahan konsumsi karena
adanya perubahan pendapatan. Secara matematis, MPC mi merupakan turunan
pertama
dan fungsi konsumsinya. Sehingga apabila fungsi konsumsi adalah C = f(Y)
maka MPC = C’ = dC/dY f(Y).
Demikian pula hubungan antara tabungan dengan pendapatan. Semakin besar
pendapatan yang diperoleh, maka tabungan semakin besar. Hal mi karena
pendapatan akan dikonsumsi dan ditabung sesual dengan persamaan Y = C + S.
Seperti halnya MPC, maka besarnya hasrat untuk menabung marjinal (marginal
propensity to saving atau MPS) sama dengan turunan pertama dan
fIingsi
122

tabungan. Apabila fungsi tabungan S = f(Y), maka MPS = S’ = S’(Y) = dS/dY.


Besarnya MPC = 1 — MPS, dan MPS = 1 — MPC.

Contoh 54:
Jika diketahui fungsi konsumsi adalah C = 50 + 0,75Y bagaiman fungsi
tabungan, MPC dan MPS-nya?
123

Kegiatan Belajar 6

A. Pokok Bahasan : Maksimum dan Minimum

B. Sub Pokok Bahasan : 1. Perbedaan Nilai Maksimum dan


Minimum
2. Penggunaan Turunan
untuk Memaksimumkan Selisih Antara
Dua Fungsi
3. Optimisasi Fungsi Dengan Variabel
Majemuk
4. Maksimisasi Fungsi dengan Variabel
Majemuk
5. Optimasi Tanpa Kendala
6. Optimasi Bersyarat Pengganda
Lagrange

C. Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa akan dapat memahami dan


memformulasikan kejaidan-
kejadian ekonomi dalam maksimum dan
minimum.

MAKSIMUM DAN MINIMUM


Proses optimisasi seringkali mengharuskan seseorang untuk mendapatkan
nilai maksimum atau minimum dari suatu fungsi. Jika suatu fungsi berada pada
keadaan maksimum atau minimum, maka slopenya atau nilai marginalnya pasti
nol. Turunan suatu fungsi ditunjukkan oleh slope atau nilai marginainya pada
suatu titik tertentu. Oleh karena itu, maksimisasi atau minimisasi dari suatu fungsi
terjadi jika turunannya sama dengan nol. Untuk menjelaskan hal tersebut,
perhatikan fungsi laba berikut ini:
 = - 10.000 + 400Q – 2Q2 (2.6)
Di sini  = laba total dan Q adalah jumlah output. Seperti ditunjukkan oleh
Gambar 2.7, jika output sama dengan nol, maka perusahaan tersebut akan rugi
sebesar Rp l0.000,00 (biaya tetap atau fixed cost adalah Rp-10.000,00). Tetapi
jika output meningkat, maka laba juga akan meningkat. Titik impas atau break
even point (tingkat output yang menghasilkan laba sama dengan nol) dicapai pada
124

saat output berjumlah 29 unit. Laba maksimum dicapai pada saat output sebesar
100 unit dan setelah itu laba menurun.Gambar 6.1
Laba Sebagai Fungal Dari Output

Tingkat output yang memaksimumkan laba bisa diperoleh dengan


menghitung nilai darl fungsi tersebut pada tingkat output tertentu, kemudian
menggambarkannya seperti Gambar 6.1. Laba maksimum tersebut bisa juga
diperoleh dengan mendapatkan turunan (marginal) dari fungsi laba tersebut,
kemudian menentukan nilai Q yang membuat turunan (marginal) tersebut sama
dengan nol.

Laba Marginal (M) = = 400 - 4Q
dQ
Dengan menyamakan turunan tersebut sama dengan nol maka:
400-4Q = 0
4Q = 400
Q = 100 unit
Oleh karena itu, jika Q = 100, maka laba marginal sama dengan nol dan laba total
adalah maksimum.

6.1. Perbedaan Nilai Maksimum dengan Nilai Minimum


Masalah akan muncul jika turunan digunakan untuk menentukan nilai
maksimum atau minimum. Turunan pertama sebuah fungsi total menunjukkan
suatu ukuran apakah fungsi tersebut sedang menaik atau menurun pada titik
tertentu. Agar suatu fungsi menjadi maksimum atau minimum, maka
fungsi
tersebut harus tidak dalam keadaan menaik atau menurun, oleh
karena itu
125

slopenya harus sama dengan nol. Namun demikian, karena nilai marginal akan
menjadi nol baik untuk nilai maksimum maupun minimum dari suatu fungsi,
maka analisis selanjutnya perlu untuk menentukan apakah nilai maksimum atau
minimum tersebut telah ditemukan.
Keadaan tersebut dilukiskan dalam Gambar 2.8 di mana tampak bahwa
slope dari kurva laba total adalah nol, baik pada titik A maupun titik B. Namun
demikian, titik A menunjukkan tingkat output yang meminimumkan laba,
sedangkan titik B menunjukkan tingkat output yang memaksimumkan laba.
Konsep turunan kedua (second-order derivative) digunakan untuk
membedakan nilai maksimum dengan minimum dari suatu fungsi. Turunan kedua
ini merupakan turunan dari turunan pertama. Jika laba total ditunjukkan oleh
persamaan  = a - bQ + cQ2 - dQ3, seperti ditunjukkan Gambar 6.1, maka
turunan pertamanya yang merupakan fungsi laba marginal adalah:

= M = -b + 2cQ - 3dQ2 (2.7)
dQ

Turunan kedua dari fungsi laba total adalah turunan dari fungsi laba marginal
(turunan persamaan 2.7) yaitu:

d2π dmπ
  2c  6cQ
dQ2 dQ
Gambar 6.2
Penentuan Nilai Maksimum dan Minimum Suatu Fungsi
126

Jika turunan pertama menunjukkan slope fungsi laba total, maka turunan kedua
tersebut menunjukkan slope dari turunan pertama tersebut yakni slope dari kurva
laba marginal. Kita bisa menggunakan turunan kedua tersebut untuk membedakan
titik maksimum dan minimum. Jika turunan kedua dari sebuah fungsi negatif
maka titik yang ditentukan adalah maksimum, demikian sebaliknya.
Alasan dari hubungan yang terbalik tersebut bisa dilihat dalam Gambar
6.2. Perhatikan bahwa laba mencapai minimum pada titik A karena laba marginal,
yang tadinya negatif dan karena itu menyebabkan laba total turun, tiba-tiba
menjadi positif. Oleh karena itu slopenya positif. Keadaan yang berlawanan terjadi
pada titik maksimum; nilai laba marginal tersebut adalah positif tetapi menurun
hingga suatu titik di mana fungsi laba total mencapai maksimum, dan negatif
setelah titik tersebut. Oleh karena itu, fungsi marginal tersebut berslope negatif
pada titik maksimum fungsi total.
Sebuah contoh dengan bilangan akan memperjelas konsep ini. Misalkan
fungsi laba total dalam Gambar 6.2 ditunjukkan oleh fungsi berikut:
Laba total (M) = -3.000 - 2.400Q + 350Q2 - 8,333Q3 (2.8)
Laba marginal ditunjukkan oleh turunan pertama dari laba total tersebut:

Laba marginal (M) = = -2.400 + 700Q – 25Q2 (2.9)
dQ
Laba total akan maksimum atau minimum pada titik-titik di mana turunan
pertama tersebut (laba marginal) sama dengan nol, maka:


= -2.400 + 700Q – 25Q2 = 0 (2.10)
dQ
Dengan menggunakan rumus abc, kita akan menemukan nilai-nilai output yang
memenuhi persamaan 2.10 yaitu 4 dan 24. Oleh karena itu nilai-nilai tersebut
merupakan titik-titik laba maksimum atau minimum.
Pengujian terhadap turunan kedua dari fungsi laba total pada masing--
masing tingkat output tersebut akan menunjukkan apakah nilai-nila tersebut
minimum ataukah maksimum. Turunan kedua dari fungsi laba total tersebut
didapatkan dengan mencari turunan dari fungsi laba marginal (persamaan 2.9):
127

d2π dMπ
 = 700 - 500
dQ2 dQ

Pada tingkat output atau Q = 4:

d2π
 700 - 50.4 = 500
dQ2

Karena turunan kedua tersebut positif, yang menunjukkan bahwa laba


marginal sedang menaik, maka laba total adalah minimum pada tingkat output
sebesar 4 unit. Dengan kata lain, laba total pada tingkat output sebesar 4 sesuai
dengan titik A pada Gambar 6.2.
Dengan menilai turunan kedua pada tingkat output sebesar 24 unit, kita
memperoleh:

d2π
 700-50.24 = -500
dQ2

Karena turunan kedua tersebut adalah negatif pada tingkat output sebesar
24, yang menunjukkan bahwa laba marginal tersebut sedang menurun, maka
fungsi laba total mencapai titik maksimum pada tingkat output sebesar 24 unit
tersebut. Tingkat output ini sesuai dengan titik A pada Gambar 6.2.

6.2. Penggunaan Turunan untuk Memaksimumkan Selisih Antara Dua


Fungsi

Salah satu kaidah dalam ekonomi mikro yaitu MR harus sama dengan MG
agar laba maksimum bisa dicapai, sebenarnya timbul berdasarkan pada asas
optimisasi kalkulus tersebut. Asas tersebut timbul dari adanya kenyataan bahwa
jarak antara dua fungsi akan maksimum pada titik di mana slope kedua fungsi
tersebut adalah sama. Gambar 6.3 menggambarkan titik tersebut. Di sini fungsi
penerimaan dan fungsi biaya hipotetis ditunjukkan. Laba total sama dengan TR
dikurangi TC, dan oleh karena itu sama dengan jarak vertikal antara kedua kurva
128

tersebut pada setiap tingkat output. Jarak tersebut akan maksimum pada tingkat

output QB di mana slope dari kurva TR dan TC tersebut adalah sama. Karena slope kurva

TR dan TC masing-masing menunjukkan MR dan MC, maka MR = MC.


Alasan bahwa QB merupakan tingkat output yang memaksimumkan laba
bisa tampak dengan memperhatikan bentuk dari kurva TR dan TC di sebelah akan
titik A. Pada titik A, TR = TC, berarti di situ terjadi titik impas (break even point),

dan oleh karena itu titik A tersebut menunjukkan tingkat output yang
menghasilkan laba sama dengan nol.
Gambar 6.3
TR, TC, dan Laba Maksimum

Pada tingkat-tingkat output setelah QA, TR meningkat lebih cepat dari TC, dengan kata lain,

MR > MC. Jika slope TR sama dengan slope TC, maka kedua kurva

tersebut akan sejajar. Keadaan tersebut teqadi pada tingkat output QB. Setelah melampaui QB

slope kurva TC lebih besar slope kurva TR (MC > MR), maka jarak antara kedua kurva

tersebut mengecil dan laba total menurun.

Suatu contoh dengan angka akan memperjelas penggunaan turunan ini.


Perhatikan fungsi-fungsi penerimaan, biaya, dan laba berikut ini. Misalkan:
Total Revenue JR) = 41,50 - 1,1 Q2
Total Cost (TC) = 150 + 10Q - 0,5Q2 + 0,02Q3
129

Laba Total = n = TR - TC
Tingkat output yang bisa memaksimumkan laba tersebut bisa diperoleh dengan
mensubstitusikan fungsi TR dan TG ke dalam fungsi laba, kemudian menganalisis
turunan pertama dan kedua dari persamaan tersebut:
 = TR-TC
= 41,5Q - 1,102 - (150 + 10Q - 0,5Q2 + 0,02Q3)
= 41,5Q-1,1Q2-150-10Q + 0,5Q2-0,02Q3
= -150+31,5Q-0,6Q2-0,02Q3
Laba marginal atau turunan pertama dari fungsi laba tersebut adalah:


M = =31,5 - 1,2Q - 0,06Q2
dQ
Dengan menentukan laba marginal sama dengan nol dan menggunakan rumus abc

kita bisa menemukan kedua akarnya yaitu Q1 = - 35 dan Q2 = + 15. Karena output yang

negatif tidak mungkin terjadi, maka 01 bukan merupakan tingkat output yang bisa
digunakan.
Suatu pengujian terhadap turunan kedua dan fungsi laba tersebut pada tingkat O =
15 akan menunjukkan apakah ini merupakan titik laba maksimum atau titik laba
minimum. Turunan kedua tersebut adalah:

d2π dMπ
 = -1,2 - 0,12Q
dQ2 dQ

Dengan menguji turunan tersebut pada Q = 15 menghasilkan nilai turunan kedua


tersebut sebesar -3, oleh karena itu Q = 15 merupakan titik laba maksimum.
Untuk melihat hubungan MR dan MC dengan maksimisasi laba,
perhatikan persamaan umum laba  = TR - TC. Dengan menggunakan
kaidah penjumlahan dan selisih dari diferensiasi, maka persamaan umum laba
marginal adalah:

dπ dTR dTC
Mπ   
dQ dQ dQ
130

Jika dTR/dQ merupakan MR, dan dTC/dQ merupakan MC, maka


M = MR - MC
Sekarang, karena maksimisasi setiap fungsi mengharuskan turunan pertama sama
dengan nol, maka maksimisasi laba akan terjadi jika
M = MR - MC = 0
atau
MR = MC

Meneruskan contoh kita di muka, MR dan MC diperoleh dengan penurunan fungsi

TR
dan TC:

dTR
MR = dQ= 41,5 - 2,2Q

dTC
MC = dQ = 10 - Q + 0,06Q2

Pada tingkat output yang memaksimumkan laba, MR = MC, maka.


MR = 41,5 - 2,2Q = 10 - Q + 0,06Q2 = MC
Dengan menggabungkan kedua persamaan tersebut, kemudian diperoleh
-31,5 + 1,2Q + 0,06Q2 = 0

Akhirnya diperoleh Q1 = -35 dan Q2 = 15. Hal ini menunjukkan bukti bahwa MR

= MC pada tingkat output yang menghasilkan laba maksimum.

Untuk menyimpulkan contoh tersebut, Gambar 6.4 menunjukkan gambar


fungsi penerimaan, biaya dan laba. Gambar bagian atas menunjukkan fungsi
penerimaan dan biaya, pada tingkat output sebesar 15 unit, slope kedua kurva
tersebut adalah sama, dan MR = MG.

Gambar bagian bawah menunjukkan fungsi laba, dan tingkat output yang
memaksimumkan laba adalah 15 unit, di mana d/dQ= 0 dan d2/dQ2 < 0.
131

Gambar 6.4
Syarat-syarat Tingkat Outputyang Memaksimumkan Laba

6.3. Optimisasi Fungsi Dengan Variabel Majemuk


Oleh karena hampir semua hubungan ekonomi menggunakan dua variabel
atau lebih, maka kita perlu untuk memperluas konsep diferensiasi ke dalam
persamaan-persamaan dengan 3 variabel atau lebih. Perhatikan fungsi permintaan
akan suatu produk di mana kuantitas yang diminta (0) ditentulkan oleh
harga (P) yang telah ditetapkan, tingkat pengeluaran iklan (A). Fungsi
tersebut bisa
dituliskan sebagai berikut: (2.11)
Q = f (P,A)
Untuk menganalisis hubungan variabel majemuk, seperti ditunjukkan persamaan
2.11 kita perlu mengetahui-pengaruh marginal dari setiap variabel independen
terhadap variabel dependen. Dengan kata lain, optimisasi dalam kasus seperti ini
memerlukan suatu analisis bagaimana perubahan dari setiap variabel independen
mempengaruhi variabel dependen, dengan menganggap pengaruh seluruh variabel
132

independen lainnya konstan. Turunan parsial merupakan konsep kalkulus yang


digunakan untuk analisis marginal seperti ini.
Dengan menggunakan fungsi permintaan pada persamaan 2.11, kita bisa
memperoleh 2 turunan parsial:
1. Turunan parsial Q pada harga (P) = Q/P
2. Turunan parsial Q pada pengeluaran iklan (A) = Q/A
Kaidah untuk menentukan turunan parsial adalah sama dengan kaidah
dalam turunan yang sederhana. Karena konsep turunan parsial menggunakan suatu
asumsi bahwa semua variabel, kecuali satu variabel di mana turunan tersebut
diturunkan, tidak berubah. Perhatilkan persamaan Y = 10 - 4X + 3XZ - Z2. Dalam
fungsi ini ada dua variabel independen, yaitu X dan Z, oleh karena itu 2 turunan
parsial bisa dihitung. Untuk menentukan turunan tersebut pada X, maka
persamaan tersebut bisa dituliskan kembali sebagai:
Y = 10 – 4x + (3Z)X – Z2
Karena Z dianggap konstan, maka turunan parsial Y pada X adalah:

Y
X = 0-4 + 3Z - 0
= -4 + 3Z

Dalam menentukan turunan parsial Y dan Z, X dianggap konstan, maka


kila bisa ditulis:

Y = 10 - 4X + (3X)Z - Z2

dan turunan parsial Y pada Z adalah:

Y
Z = 0-0 + 3X - 2Z
= 3X - 2Z

Contoh lain akan memperjelas teknik diferensiasi parsial ini.


Misalkan Y = 2X + 4X2Z - 3XZ2 - 2Z3 Maka turunan parsial Y pada X adalah:
133

Y
X = 2 + 8XZ-3Z -0
2

dan'turunan parsial Y pada Z adalah:

Y
= 0 + 4X2 - 6XZ - 6Z2
X

6.4. Maksimisasi Fungsi dengan Variabel Majemuk

Syarat maksimisasi (atau minimisasi) dari fungsi dengan variabel


majemuk merupakan perluasan secara langsung dari fungsi dengan variabel
tunggal. Semua turunan parsial pertama harus sama dengan nol. Oleh karena itu,
maksimisasi dad fungsi Y = f(X,Z) mensyaratkan:

Y
0
X
dan

Z Y
0
untuk menjelaskan prosedur ini, perhatikan fungsi:
Y = 4X + Z – X2 + XZ - Z2 (2.12)
yang mempunyai turunan parsial:
Y
= 4 - 2X + Z
X
dan

Y
Z = 1 + X - 2Z
Untuk memaksimumkan persamaan 2.12, turunan-turunan parsial tersebut harus
disamakan dengan nol:

Y
X = 4-2X + Z = O
dan
134

Y
Z = 1 +X-2Z = O
Di sini kita mempunyai dua persamaan dengan dua bilangan anu.
Penyelesaian secara simultan akan menghasilkan nilai X=3 dan Z=2 yang
memaksimumkan fungsi tersebut. Dengan memasukkan nilai-nilai X dan Z
tersebut ke dalam persamaan 2.12, kita akan memperoleh nilai Y = 7, dan oleh
karena itu nilai maksimum dari
Y adalah 7.
Proses yang terjadi disini bisa diperjelas dengan melihat Gambar 2.1 1,
suatu gambar tiga dimensi dari persamaan 2.12. Disini tampak bahwa
untuk nilai X dan Z yang positif, persamaan 2.12 membentuk suatu bidang dengan
titik puncak A. Pada puncak tersebut, permukaan dari gambar tersebut mendatar.
Kemungkinan bentuk lain, bidang datar yang bersinggungan dengan permukaan
pada titik A akan sejajar dengan bidang datar XZ, ini menunjukkan bahwa slope
dari gambar tersebut sama dengan nol. Keadaan ini merupakan persyaratan untuk
menentukan nilai maksimum dari sebuah fungsi dengan variabel majemuk.
Gambar 2.11
Mencari Nilai Maksimum Suatu Fungsi dengan Dua
Variabel: Y = 4X + Z – X2 + XZ - Z2
135

6.5. Optimisasi Terkendala

Dalam proses pengambilan keputusan yang dihadapi para manajer, ada


berbagai kendala yang membatasi pilihan-pilihan yang tersedia bagi para manajer
tersebut. Misalnya, seorang manajer produksi ditugaskan untuk meminimumkan
biaya total (TC) dalam memproduksi sejumlah produk tertentu dari
perusahaannya. Pada waktu yang lain manajer produksi tersebut ditugaskan untuk
memaksimumkan output dari suatu departemen tertentu, dengan sejumlah
sumberdaya tertentu yang tersedia.
Bidang-bidang fungsional lainnya dari suatu perusahaan juga menghadapi
masalah optimisasi terkendala ini. Para manajer pemasaran seringkali ditugaskan
untuk memaksimumkan penjualan dengan kendala tidak boleh melebihi anggaran
iklan yang telah ditetapkan. Para pegawai keuangan dalam upayanya untuk
meminimumkan biaya untuk memperoleh modal, seringkali harus bekerja di
bawah kendala-kendala yang ditetapkan oleh persyaratan pembiayaan investasi
(investment financing) dan keseimbangan kas (cash balance) dan oleh para
kreditor.
Secara umum, masalah optimisasi terkendala ini dikelompokkan menjadi 2
kelompok:
Masalah Maksimalisasi Masalah Minimisasi
Maksimalisasi : Minimisasi :
Laba, Penerimaan atau Output Biaya
Tunduk kepada : Tunduk kepada :
Kendala Sumber daya Kendala Kuanitas
Atau Kualitas Output

Tarnpak ada kaitan yang erat sekali antara formulasi maksimisasi dan
minimisasi pada masalah optimisasi terkendala dengan penggunaan sumberdaya
yang langka secara optimal.
Masalah optimisasi terkendala ini bisa dipecahkan dengan berbagai cara.
Dalam beberapa kasus, jika persamaan kendala tidak terlampau rumit, kita bisa
memecahkan persamaan kendala tersebut untuk salah satu dari variabel-variabel
pengambilan keputusan terlebih dahulu, kemudian mensubstitusikan variabel
136

tersebut ke dalam fungsi tujuan, apakah perusahaan tersebut bertujuan


memaksimumkan atau meminimumkan. Cara ini mengubah masalah tersebut
menjadi maksimisasi atau minimisasi tak terkendala yang bisa diselesaikan
dengan metoda-metoda yang telah dibahas d! muka.
Cara tersebut bisa diperjelas dengan melihat penerapannya di dalam
masalah minimisasi terkendala. Misalkan sebuah perusahaan memproduksi
produknya dengan menggunakan dua pabriknya dan bekerja dengan fungsi biaya
total (TC) sebagai berikut:

TC = 3X2 + 6Y2 - XY

di mana X merupakan output dari pabrik yang pertama dan Y merupakan


output dari pabrik yang kedua. Manajemen akan berusaha untuk menentukan
kombinasi biaya terendah (least-cost combination) antara X dan Y, dengan tunduk
kepada kendala bahwa produk total harus 20 unit. Masalah optimisasi terkendala
tersebut bisa dituliskan sebagai berikut:

Minimumkan TC = 3X2 +

6y2 - Xy dengan kendala: X + Y =

20
Dengan menyelesaikan kendala X dan mensubstitusikan nilai tersebut ke
dalam fungsi tujuan maka:
X = 20 - Y
dan

TC = 3(20 - y)2 + 6y2 - (20


- Y)Y (2.13)
= 3(400 - 40Y + Y2) +
6Y2 - (20Y - y2)
= 1.200-
120Y+3y2+6y2-20Y+Y2
= 1.200 - 140Y +
10Y2
137

Sekarang kita bisa menganggap persamaan 2.13 di atas sebagai masalah


minimisasi tak-terkendala. Untuk menyelesaikannya harus dicari turunannya,
menyamakan turunan tersebut dengan nol, dan mendapatkan nilai Y.

dTC
= - 140 + 20Y = 0
dY
20Y =
140
Y =
7
Suatu pengujian terhadap tanda dari turunan kedua yang ditaksir pada titik
tersebut akan membuktikan bahwa titik minimum ditemukan:

dTC
= -140+20Y
dY

d2TC
= +20
dY2

Karena turunan kedua tersebut adalah positif, maka Y=7 pastilah merupakan titik
minimum.
Dengan memasukkan 7 ke dalam Y di dalam persamaan kendala
memungkinkan kita untuk menentukan kuantitas optimum yang
diproduksikan oleh pabrik X.
X+7 = 20
X = 13
Oleh karena itu, produksi output 13 unit pada pabrik X dan 7 unit pada
pabrik Y adalah kombinasi biaya terendah dalam menghasilkan 20 unit produk
dari perusahaan tersebut. Biaya total (TC) tersebut adalah:
TC = 3(13)2 + 6(7)2 - (13 x 7)
= 507 + 294 - 91
= 710
138

6.6. Angka Pengganda Lagrange

Sayangnya, teknik substitusi seperti di atas tidak selalu bisa digunakan.


Kadang-kadang kendala terlalu banyak dan terlalu kompleks untuk
disubstitusikan. Dalam kasus seperti ini, teknik angka pengganda Lagrange harus
digunakan.
Teknik Lagrange untuk memecahkan masalah-masalah optimisasi
terkendala merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengoptimisasikan
sebuah fungsi dengan cara menggabungkan fungsi tujuan mula-mula dengan
persyaratan kendala. Persamaan gabungan ini disebut fungsi Lagrange. Fungsi ini
dibuat untuk memastikan (1) bahwa jika fungsi mencapai nilai maksimum (atau
minimum), fungsi tujuan mula-mula juga akan maksimum (atau minimum), dan
(2) bahwa semua persyaratan kendala terpenuhi.
Pengujian terhadap masalah optimisasi terkendala di muka akan
memperjelas penggunaan teknik ini. Perhatikan bahwa perusahaan tersebut
berusaha untuk meminimumkan fungsi TC = 3X2 - 6y2 - XY, dengan tunduk
kepada kendala X + Y = 20. Persamaan kendala tersebut diubah sebagai berikut:

0 = 20 - X - Y

Ini merupakan langkah pertama dalam membentuk suatu fungsi Lagrange.


Dengan mengalikan kendala tersebut dengan sebuah faktor yang tidak diketahui 'T'
(lambda) dan menambahkan hasil tersebut pada fungsi tujuan mula-mula
menghasilkan persamaan Lagrange.
Misalnya:

LTC = 3X2 + 6y2 - Xy +  (20 - X - Y) (2.14)


LTC didefinisikan sebagai fungsi Lagrange untuk optimisasi terkendala.
Oleh karena fungsi Lagrange tersebut memasukkan kendala ke dalam
fungsi tujuan, maka fungsi Lagrange ini bisa dianggap sebagai masalah
optimisasi tak terkendala, dan penyelesaiannya identik dengan penyelesaian
masalah optimisasi terkendala mula-mula. Untuk menggambarkan hal ini,
perhatikan masalah minimisasi dah fungsi Lagrange dalam persamaan 2.14. Pada
suatu titik
139

minimum dari fungsi yang menggunakan variabel majemuk, semua turunan


parsial harus sama dengan nol. Turunan-turunan parsial dari persamaan 2.14 bisa
dicari untuk variabel X, Y dan , sebagai berikut:

LTC
X = 6X-Y-

LTC
X = 12Y-X- l

LTC
λ = 20-X-Y
Dengan menentukan ketiga turunan parsial tersebut sarna dengan nol, kita
mendapatkan tiga persamaan dengan tiga bilangan :
6x - y -  = 0 (2.15)
-X+ 12Y-  = 0 (2.16)
dan
20-X-Y = 0 (2.17)

Perhatikan bahwa persamaan 2.17, turunan parsial fungsi Lagrange pada X,


merupakan kendala pada optimisasi mula-mula. Hasil tersebut bukanlah terjadi
secara kebetulan belaka. Fungsi Lagrange tersebut dibentuk secara khusus dan
oleh karena itu turunan dad fungsi Lagrange pada angka pengganda Lagrange ()
tersebut akan selalu merupakan kendala mula-mula. Selama turunan tersebut sama
dengan nol, yang berarti ia berada pada keadaan ekstrim (maksimum atau
minimum), maka persyaratan kendala optimisasi mula-mula tersebut akan
terpenuhi. Selain itu, jika pada persyaratan seperti itu suku terakhir dari persamaan
Lagrange harus sama dengan nol yaitu 0 = 20 - X - Y, maka fungsi Lagrange
tersebut akan tetap pada fungsi tujuan mula-mula, dan oleh karena itu
penyelesaian untuk masalah optimisasi tak terkendala (Lagrange) akan selalu
merupakan penyelesaian bagi masalah optimisasi terkendala mula-mula.
Penyempurnaan analisis dari contoh di muka akan memperjelas hubungan
tersebut. Kita mulai dengan menyelesaikan sistem persamaan tersebut untuk
mendapatkan nilai X dan Y yang optimal. Dengan mengurangkan persamaan 2.15
dengan persamaan 2.16 diperoleh:
7X - 13Y = 0 (2.18)
140

Kemudian mengalikan persamaan 2.17 dengan 7 dan kemudian menambahkan


persamaan 2.18 dengan hasil tersebut menghasilkan:

140 - 7X - 7Y = 0 7 x (2.17)
7X - 13Y = 0 (2.18)
140 - 20Y = 0
140 = 20Y
7=Y

Dengan mensubstitusikan 7 ke dalam Y dalam persamaan 2.17 menghasilkan


X=13, nilai X pada titikdimanatungsiLagrangetersebutminimtim.
Oleh karena penyelesaian fungsi Lagrange tersebut juga merupakan
penyelesaian masalah optimisasi terkendala dari perusahaan tersebut, maka
13 unit dari pabrik X dan 7 unit dad pabrik Y akan merupakan kombinasi output
yang bisa dihasilkan dengan jumlah pengeluaran biaya terendah, dengan tunduk
pada kendala di mana output total harus sama dengan nol. Ini merupakan jawaban
yang sama dengan yang kita dapatkan dengan cara yang telah diungkapkan lebih
awal di muka.
Teknik Lagrange ini merupakan suatu teknik yang lebih kuat untuk
memecahkan masalah optimisasi terkendala ketimbang metoda substitusi.
Teknik ini lebih mudah untuk diterapkan pada masalah dengan kendala majemuk,
dan teknik ini memberikan tambahan informasi yang sangat berarti bagi para
pembuat
keputusan. Hal ini disebabkan oleh angka pengganda Lagrange ()
memiliki suatu interpretasi ekonomis yang sangat penting. Dengan
mensubstitusilkan nilai X dan Y ke dalam persamaan 2.15 kita bisa menentukan
nilai dari  dari contoh kita tersebut:

6 . 13-7-  = 0
= + 71
Disini kita bisa menginterpretasikan X sebagai MC pada tingkat output
sebesar 20 unit. Ini menunjukkan kepada kita bahwa jika perusahaan tersebut
diharuskan memproduksi hanya 19 unit output, maka TC akan turun sekitar 71.
141

Sama juga halnya jika output diharuskan sebesar 21 unit, maka biaya akan naik
sejumlah itu (71).
Secara lebih umum, setiap angka pengganda Lagrange (~.) menunjukkan
pengaruh marginal terhadap penyelesaian fungsi tujuan mula-mula oleh penurunan
atau kenaikan persyaratan kendala sebesar l unit. Seringkali, seperti dalam contoh
di atas, hubungan marginal yang dijelaskan oleh angka pengganda Lagrange itu
menunjukkan data ekonomis yang bisa membantu seorang manajer untuk
mengevaluasi manfaat-manfaat potensial dari pengurangan sebuah kendala.

Latihan:
1. Fungsi produksi yang dihadapi oleh seorang produsen ditunjukkan oleh Y=
150X2-2X3, dimana Y adalah jumlah produk yang dihasilkan dan X
adalah jumlah input yang digunakan.
a) Bentuklah fungsi produk rata-ratanya.
b) Berapa produk total dan produk rata-rata jika digunakan 70 unit input?
c) Berapa produk marginal jika input ditambah 1 unit?
2. Biaya total yang dikeluarkan oleh sebuah pabrik ditunjukkan oleh persamaan
TC = Q3 - 90Q2 + 250Q + 56.500. Pada tingkat produksi berapa unit biaya
marginalnya minimum? Berapa. besarnya biaya marginal minimum tersebut,
berapa pula besarnya biaya total pada tingkat produksi tersebut?
3. Seorang produsen menghadapi fungsi permintaan P = 100 - 4Q dan biaya
totalnya
TC = 50 + 20Q. Hitunglah tingkat produksi yang menghasilkan laba
maksimum, besarnya laba maksimum dan harga jual barangnya per unit.
4. Buktikanlah bahwa untuk fungsi biaya total TC = 0,503 - 20Q2 + 25Q, biaya
rata-rata minimum sama dengan biaya marginal.
5. Andaikan fungsi produksi suatu macam barang dirumuskan dengan Q = K5/8
L3/8. Jika harga input K dan input L masing-masing adalah Rp 5,00 dan Rp
3,00 per unit, sedangkan produsen hanya ingin memproduksi 10 unit output,
carilah berapa unit masing-masing input sebaiknya digunakan agar ia berada
dalam keseimbangan (biaya produksinya minimum).
142

Kegiatan Belajar 7

A. Pokok Bahasan : Integral

B. Sub Pokok Bahasan : 1. Integral Tak Tentu


2. Integral Tertentu
3. Aplikasi Integral Dalam Masalah
Ekonomi: Surplus Konsumen dan
Surplus Produsen

C. Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa akan dapat memahami dan


memformulasikan kejaidan-
kejadian ekonomi dalam integral tak tentu
dan integral tertentu.

INTEGRAL
Kalkulus (hitung) diferensial dan integral mempunyai hubungan yang erat.
Kalkulus diferensial mencari fungsi turunan dari suatu fungsi tertentu. Fungsi
tertentu yang dimaksud disebut fungsi asal atau fungsi primitif. Sedangkan
kalkulus integral, sebaliknya yaitu mencari kembali fungsi asal dari suatu fungsi
turunan. Maka dari itu kalkulus integral disebut juga anti derivatif.

7.1 Integral Tak Tentu


Proses mencari fungsi dari fungsi turunannya disebut anti diferensial
Notasi Integral :
Setiap anti turunan dari f(x) adalah F(x) + c yang biasa ditulis :

 f (x)dx  F (x)  C
∫ : tanda integral;f(x) : integran; C : konstanta integral; dx adalah
faktor yang memberitahukan kita bahwa variabel integrasi adalah x.

 f (x)dx.
Himpunan semua anti turunan dari f(x) disebut integral tak tentu dari f

terhadap x yang ditunjukkan dengan simbol :  f (x)dx  F (x)  C jika dan

hanya jika F ' (x)  f (x) untuk setiap x pada daerah asal f.
Aturan Itegral :
143

1. Jika n ≠ -1, 1
 x n dx  n xn1  c
1
Ilustrasi :
3
a.  x dx 5
b.  1 dx
Jawab :
3
3 3 1 8
1 x 5  c  5 x 5
a.  x5 dx maka n =53 sehingga  x 5 dx
5 1 c
3

8
1
x 01  c  x  c
b.  1 dx Karena x0 =1, maka  1 dx   x dx0 
0

 1
x
1
2. Integral
1 1
 x dx  ln x  c , karena turunan dari ln x adalah x
3. Integral e x

e
x
dx  e x  c , karena turunan dari e x adalah e x

4. Untuk setiap konstanta k,

 kf (x)dx  k  f (x)dx
5. Penjumlahan :

 ( f (x)  g(x))dx   ( f (x)dx   g(x)dx 


1.  (3ex  x  12x 2 )dx  ?
2
Ilustrasi

Jawab :

 (3e  2x x
x )dx
12 2

Dengan aturan nomor 5, bentuk  (3e  2x  2x


x 1 2
)dx diubah
menjadi:

 3e dx   2xdx  2 x
x 1 2
dx

Dengan aturan nomor 4 diubah menjadi:

3e x dx  2 1  1  x2 dx  3x  2 ln x  1 x3  c
x 2 6
144

3x 5  2x  6
2.  dx
3
x
dx 3x 2x 6
5
 x 3 dx   x 3 dx   x 3 dx 
 3x 5  2x  6
x3

3 x 3 dx  2 x 2dx  6 x 3dx  x 3  2x 1
 3x 2  c

7.1.1 Metode Substitusi


Ilustrasi:

1.  (5x  3) dx  ?
9

Misalkan 5x + 3 = t, maka 5dx = du atau dx = 1/5du sehingga


1 1
(5x  3) dx   u du  (5x  3)  c
9 9 10

1 5 50
2.  dx  ?
(3  2x) 3
Misalkan 3 – 2x = u maka -2dx = du atau dx = -1/2 du sehingga
1 1
 1 du c
dx    3 
(3  2x) 3
2 u 4(3 
2x) 2

7.1.2 Integral Parsial


Integral parsial/integral perbagian
Integral parsial biasanya dipakai untuk mengintegralkan fungsi logaritma
atau hasil kali dua fungsi yang tidak dapat dihitung dengan menggunakan
aturan dasar integral. Metode integral parsial didasarkan pada pembalikan
rumus differensial hasil kali
Misalnya u dan v adalah fungsi dari x (u = f(x); v = g(x)), maka

d dv du
(uv )  u v
dx dx dx
atau

dv d du
u  (uv )  v
dx dx dx
dan integralnya terhadap x,

 udv  uv   vdu
………………. (*)
145

Persamaan (*) merupakan rumus Integral parsial.

Penggunaan rumus sangat tergantung kepada


 udv  uv   vdu

ketepatan memilih u dan dv sehingga  udv dan  dv dapat dihitung

walaupun  udv tidak dapat dihitung.

Tidak ada aturan umum untuk memisahkan suatu pernyataan tertentu

kedalam dua faktor u dan dv, sehingga rumus  udv  uv   vdu dapat
digunakan. Sebagai pegangan buat kita: yang penting bahwa dv harus
dapat diintegralkan. (dv sebagai faktor integran yang paling rumit yang
dapat langsung diintegralkan dan u sebagai fungsi yang turunannya
merupakan fungsi yang lebih sederhana.

Ilustrasi 1:

 ln xdx
misalkan u = lnx, dv = dx (dipilih pemisalan seperti ini karena untuk
mencari v kita harus dapat mengintegralkan dv), sehingga:
1
u  ln x du  x dx sehingga dengan menggunakan rumus
v   dv   dx  x
 udv  uv   vdu
1
 ln xdx  x ln x   xx dx  x ln x  x  c  x(ln x 1)
c
Ilustrasi 2:

 x ln xdx
misalkan u = lnx, dv = xdx (dipilih pemisalan seperti ini karena untuk
mencari v kita harus dapat mengintegralkan dv)
1
v   dv   xdx  2x 2

1
u  ln x du  x dx sehingga dengan menggunakan rumus

 udv  uv   vdu
146

1 1 1 1 1 1 1
 ln xdx  x 2 ln x   x 2 dx  x 2 ln x   xdx  x 2 ln x  x 2  c
2 2 x 2 2 2
4

Ilustrasi 3 :

 6x dx
x7

misalkan u = 6x, dv = xe x7 dx (dipilih pemisalan seperti ini karena untuk


mencari v kita harus dapat mengintegralkan dv).

v   dv   e x  7 dx  e x  7

u  6x du  6dx sehingga dengan menggunakan rumus

 udv  uv   vdu ,

 6xe dx  6e x  7 dx   6e x7 dx  6xe  6e x  7  c


x7 x7

7.2 Integral Tentu


Misalkan f(x) dan F(x) adalah fungsi dari x demikian sehingga

f (x) dx  F(x) . Integral tentu dari f(x) dengan batas bawah a dan batas atas

b
b ditulis f(x) dx
a

Teorema Dasar Kalkulus


b
3
f(x) dx  F(b) x 2F(a)
3 8
1.
a
2
x dx  3 2\  9 19
2
3 3
Ilustrasi:
1 1
2.  (2x 1) dx  (x 2
 x) \ 2
0
0

1 1
1 4
3.  x 3 dx  ln( x  3) \ 0 ln 3  
0

1
1 3 2 56
4.  (6x  4) dx 
9
(6x  4) 2 \ 
0 9
0

3
1 0
5.  1 3x 2 (e  e 7 )  7
1 (e 3x
 3x ) dx   e  x  \ 1 3
2
3
3

147

1
6. ln(1  x) dx  2ln 2  1
0

3. Aplikasi Integral Dalam Masalah Ekonomi


1. Kasus Surplus Konsumen :
Kurva permintaan menunjukkan jumlah barang yang bersedia dibeli konsumen
pada tingkat harga tertentu. Apabila tingkat harga yang terjadi di pasar (price

equilibrium) adalah PE, maka untuk konsumen tertentu sebenarnya masih bersedia

membayar dengan harga yang lebih tinggi dari PE, sehingga ada satu keuntungan bagi
konsumen (cosumer’s surplus). Secara grafik besarnya surplus konsumen
diperlihatkan oleh luasnya area pada kurva permintaan dengan harga di atas
^
tingkat harga keseimbangannya, yaitu luas segitiga PEE P

P ^
Gambar 7.1
^ (0 ,P )
P

E(QE ,PE )
PE
P = f(Q)

(Q^ , 0 )
O QE Q
Q^
Besarnya surplus konsumen (SK) secara matematis dapat dirumuskan sebagai
berikut :
QE
untuk fungsi permintaan P = f(Q)
SK   f (Q)Q  QE PE
atau 0

^
P

untuk fungsi penawaran Q = f(P),


SK   f (P)P
PE
sehingga
^
QE P

SK   f (Q)Q  QE PE 
0
 f (P)P
P E
148

Ilustrasi:
(1) P = 10 – 13 Q
Hitunglah besarnya surplus konsumen, jika harga keseimbangan yang terjadi
sebesar 6 dan gambarkan!
Jawab :
P = 10 – 13 Q

Jika PE = 6 maka QE = 12

Titik potong dengan sumbu x dan y adalah (0 , 10) dan (30 , 0)


QE
2 12
SK  9 f (Q)Q  QE P   (10  13Q) 1
Q  12.6 = 10Q  Q   72
E 6 0
0 0

120  24
2 2 12
1 1

= (10.12  12 )  (10.0  .0 )  72 
6 0 6
 72
= 24
Atau :
^P
10
SK   f (P)
  6 (30  30P) P =
 
 30P 3 P2
2
10

6
P
PE


= (30.10  10
3
32

) 2 (30.6  .62 ) 2 (300 150)  (180 126)

= 24
Gambar 7.2
P

10

E (12,6)
6
Q= 30-3P

0 12 30 Q
149

7.3.2 Surplus Produsen


Kurva penawaran menunjukkan jumlah barang yang bersedia ditawarkan produsen
pada tingkat harga tertentu. Apabila tingkat harga yang terjadi di pasar

(price equilibrium) adalah PE, maka untuk produsen tertentu sebenarnya masih

bersedia menawarkan dengan harga yang lebih rendah dari PE, sehingga ada suatu

keuntungan bagi produsen (producer’s surplus). Secara grafik besarnya surplus


produsen diperlihatkan oleh luasnya area pada kurva penawaran dengan harga di

bawah tingkat harga keseimbangannya, yaitu luas segitiga PEE P

P Gambar 7.3 P = f( Q )

P E E ( Q E , P E )

^
( 0 , )
P^ P

0
Q E Q

Besarnya surplus produsen (SP) secara matematis dapat dirumuskan sebagai


berikut :
QE
untuk fungsi permintaan P = f(Q)
SP  QE PE   f (Q)Q
0
atau
PE
untuk fungsi penawaran Q = f(P),
SP  ^ f (P)P
P

sehingga
QE
PE

SP  QE PE   0f (Q)Q   f^ (P)P
P

Ilustrasi:

(1) P = 20 + 14 Q
Hitunglah besarnya surplus produsen, jika harga keseimbangan yang terjadi
sebesar 30 dan gambarkan!
Jawab :

P = 20 + 14 Q
150

Jika PE = 30 maka QE = 40

Titik potong dengan sumbu x dan y adalah (0 , 20) dan (-80 , 0)


QE QE

0 f (Q)Q  40.30  0 (20  41Q) Q = 1.200  20Q 18Q  0


2 40
SP  Q E P
E 

= 1.200 
(20.40  1840 )2  (20.0  1

0 2) = 1.200  800 
= 1.200 – 1.000
8

 200

= 200
Atau :

PE PE
30
 f (P)P   (80  4P) 2
SP  (80P
^
P
^
P
P    2P
20


= (80.30  2.302 )  (80.20
  2.20 )
2

= (2.400 1.800)  (1.600 1.800)
=  600  800 =  600  800
= 200
Gambar 7.4
P Q=-80+4P

30
(40,30
20 )

- 80 0 40 Q

Latihan:
1. Tentukanlah:
1
2x  dx c)  x(x 2  4)3
a) b)  2
 x 2 3x
e dx 5
x (x  0
1) dx
2. Biaya marginal ditentukan dengan MC = -3Q2 + 24Q + 10. Biaya
tetap untuk memproduksi 1 unit adalah 25. Carilah fungsi:
a) Biaya total
b) Biaya rata-rata
151

c) Biaya variabel
d) Jika diproduksi 10 unit, tentukanlah biaya total, biaya rata-
rata dan biaya marginalnya.
1
3. Kecenderung menabung marginal adalah MPC  1  0,4Q  ,
6Q 2
ketika pendapatan 0, maka konsumsinya adalah 9, Carilah fungsi
konsumsinya.
4. Fungsi permintaan dan penawaran suatu barang masing-masing
adalah: P = 14 – Q2 dan P = 2 + Q2, tentukanlah:
a) Surplus konsumen
b) Surplus produsen
c) Gambarkan.
5. Tentukanlah:
3
12 dx c) x (x 3 
2
a)  xe
3x
dx b) 
x(x  1)(x  4)
5)2 dx
1
6. Biaya marginal ditentukan dengan MC Q 2 10Q .
 3 Biaya
tetapnya adalah 45.000. Carilah fungsi:
a) Biaya total
b) Biaya rata-rata
0,5
7. Kecenderungan konsumsi P  0,6  , ketika
marginal, 2Q

pendapatan 0, maka konsumsiadalah 10. Carilah


fungsi konsumsinya!
8. Fungsi permintaan dan penawaran suatu barang masing-masing
adalah P  20  3Q2 dan P  2Q2 , tentukanlah :
a) Surplus Konsumen
b) Surplus produsen
c) Gambarkan!
152

DAFTAR PUSTAKA

Black, J. & J.F. Bradley, “essential Mathematics for Economists”, 2nd edition, John
Wiley & Sons, New York, 1980.

Chiang, Alpha C., “Fundamental Methods of Mathematical Economics”, McGraw-


Hill, New York, 1967.

Chiang Alpha c, Fundamental Methods of Mathematical Economics, Third


edition, Mc Graid-Hill, New York The 1988.

Dumairy, Matematika terapan Induk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Ketiga BPFE,
Jogyakarta Press.

D. Agus Hanjito, Matematika Untuk Ekonomi dan Bisnis Penerbit Ekonomi,


Jogyakarta, 2005.

Gilbert, Gary G. & Donald O. Koehler, “Applied Finite Mathematics”, McGraw-


Hill, New York, 1984.

Henderson, J.M. & R.e. Quandt, “Microeconomic Theory: A Mathematical


Approach”, McGraw-Hill, New Yrk, 1980.

J. Supranto, Matematika Untuk Ekonomi dan bisnis, Lembaga Penerbit ke I,


Jakarta 1990.

Lial, Margaret L. & Charles D. Miller, “Finite Mathematics”, 2nd edition, Scott,
Foresman and Company, Glenview, Illinois, 1982

Mizrahi, Abe & Michael Sullivan, “Finite Mathematics with Application for
Business and Social Sciences”, 5th edition, John Wiley & Sons, New York,
1988.

Salvatarick Dominiek Managerial Economics, Me Graw-Hill Book, Company,


Newyesly 1998.

Weber, Jean e., “Mathematical Analysis: Business and Economic Applications”, 4th
edition, McGraw-Hill, New York, 1984.

Zulian Yamid, Manajemen Kuantitatif Untuk Bisnis, Edisi Pertama, Ekonomik,


Yogyakarta, 1997.

Anda mungkin juga menyukai