Pertama ingatanku kembali Kalibata yg terbata-bata
Pada pagi yang sepi Selalu begitu dari zaman bahela Celoteh beo tak terdengar lagi Berjejer dan menumpuk unit yang rumit Mungkin malu karena harga diri Bikin dahi Pak Kanit mengernyit
Aku susuri memori kusut Kerumunan massa di Kalibata Soal regulasi yang selalu kisut Membuat Penyelenggara geleng kepala Hadir terlambat dan berkerut Dari bermacam-macam kelas manusia Membuat Penyelenggara ciut Hingga manusia tak bernyawa pun ada
Ini menyoal hak memilih yang gaduh Siapa yang bisa Membentur tembok apartemen angkuh Memecah problema Kalibata Kami terobos dengan kukuh Hanya Penyelenggara yang berdaya Hingga jebol dan bersimpuh Sang Pengawas maju ke medan laga Kebuntuan bisa terurai Akhirnya semua damai Beras bungkusan di peloksok Kebayoran Bukan hanya Pengawas yang aduhai Tak mau kalah ayam pun ikut dihidangkan Andil masyarakat pun bergerak ramai Dalih aturan yang berantakan Tanpa kompromi kami tertibkan Saat kampaye mulai berpendar Para Pemain mulai menjalar Jagakarsa yang perkasa Semua harap terasa pudar Wilayah terbanyak suara Hingga aturan ambyar Para Kurawa siap memangsa Gegara si regulasi yang ikut berkelakar Hingga tak ada yang tersisa
Di ujung Kebayoran Lama terjadi tragedi Di ujung Jagakarsa berbatas Margonda Jeritan spanduk yg menari-nari Para Penyamun cerdik menggoda Tak berhenti caci maki Bak Raja yang berkuasa Kami ikut menari dengan gaya Pasutri Tak tersentuh mata Penyelenggara Akhirnya disetujui untuk dilucuti Lenteng Agung yang menawan Bertebaran Tabloid Pembawa Pesan Tebet yang ribet Media-Media berkejaran Spanduk SARA menebar amat ulet Kami hadapi bersamaan Dari mulai Spanduk “Ber-Akal” tanpa alasan Untuk mendudukan persoalan LGBT isu norma murahan Hingga Spanduk Tauhid berserakan Kami lari ke Setiabudi Tanpa beban semua kami turunkan Menelisik pesona pagi hari Akal kami untuk kedamaian Dua kontestan saling memberi Kajian kami masuk indikasi Ada duri di Bukit Duri Saat ibu-ibu mengaji Di Guntur yang Luntur Tetiba masuk itu kalender Januari Pengawas kami melebur Cegah kami jangan diberi Karena fakta yang amburadul Bila tak mau masuk jeruji Ini ulah si semprul Hati kami hancur lebur Pancoran yang merekah Berseliweran kupon ke Mekkah Mampang Prapatan sunyi senyap Rawajati jadi saksi Bermeditasi para Kurawa bersayap Ketegasan kami sedang diuji Bukan berarti tidak ada yang menyelinap Putusan pengadilan masuk jeruji Justru senyap menggelembung asap Bukan, bukan kami tak ber-empati Ini soal penegakan regulasi Pela menjadi saksi keramat Di mana pencuri takut dijerat Hari minggu di Pasar Minggu Ditinggalkan bungkusan berisi sandang pangan Semua orang sedang menjamu Jerih payah Pengawas sita banyak kemasan Lagi-lagi ibu-ibu Diperdaya-i kerudung biru Di sepanjang Mampang Raya baliho berdiri kokoh Bukan kerudung yang salah Bukan sedikit uang yang dirogoh Tapi lokasi dan waktu yang tidak tepat Dari mulai pesohor sampai tokoh Tugas kami adalah mencegah Kami pastikan baliho roboh Aturan tanpa karat Cilandak yang beranak pinak Para Kontestan yang tak takut berselingkuh Kami tahu banyak kisanak Para Kontestan yang tak takut dituduh Tak peduli itu menak Para Kontestan yang sudah mengeluh Tak luput kami tindak Para kontestan yang bersikukuh Pesan kami aturan harus dipegang teguh! Akal bulus di Lebak Bulus Dengan reses kampanye dibungkus Menghitung angka tanpa suara Kalian kira zaman Orba Pengawas bukan badut Penyelenggara
Satpol PP mitra kami yang tanpa lelah Dari Semanggi sampai Srengseng Sawah Penuh semangat turunkan APK yang berserakan Kesetiaanmu begitu mengharukan Pengabdianmu tak akan pernah terlupakan Kami harus tegar menghadapi lika-liku Pemilu Dengan segala kekurangan yang ada di Bawaslu Namun hati kami tetap tak kuasa menahan ngilu Atas apa yang terjadi pada 17 April lalu
Jika teringat kembali rasanya kami tak mampu menahan tangis Andai kami tahu apa yang akan terjadi di masa depan Tentu saat mereka mendaftar menjadi Pengawas TPS akan kami gugurkan
Biarlah semua kepiluan ini menjadi cambuk bagi kami
Agar bekerja lebih serius lagi Bahwa apa yang sedang kami emban Bukanlah sebuah permainan Mari beralih pada persoalan lain di kepemiluan Tentang kotak suara kardus yang begitu rentan Siapa pun tahu Jakrta terhadap banjir itu langganan Siapa yang akan menjamin jika kotak itu tak hanya kecipratan
Dari soal bahan kardus ini tentu akan memberi ide si politikus Bahwa bisa saja kotak suara satu kontainer berhasil dicoblos Sebelum tiba kepada kita yang mengalami tali saudara hampir putus Itulah orang Betawi menyebut sumbu pendek kompor mledos
Semua kembali ke hati Hidup mesti hati-hati Jangan sampai kita rakus C1 diperjual-belikan tidak bagus
Banyak suara calon yang hilang Penyelenggara dibikin pusing bukan kepalang Ramai-ramai Caleg mengadu “Ini bagaimana urusannya Bawaslu?” Bawaslu, usiamu masih belia Oh parasmu menggoda wahai Mpok Lula Badanmu semakin tegap gempita Teriakanmu nyaring nan mempesona Meski sedikit orang tahu keberadaanmu Namun kau selalu setia pada pendirianmu Tak peduli cibiran tetangga Bisikanmu meluluhkan Mpok Lula,
Aku si belia yang dipandang sebelah mata
Aku si belia yang sudah memberikan fakta Yang semakin hari semakin merona Karena fakta yang tak terduga Hingga menjerat hati durjana
Wahai Bang Awas pengawal Bawaslu kita semua
Dengan Mpok Lula yang selalu di sampingnya Sudah pasti akan menggetarkan para durjana Di setiap saat mereka lukai paduka Awas !!! Jangan berani kalian menggoda Apalagi uang perdayai para raja Jangan sebut kami Pandawa Jika tidak bisa kami penjara
Bang Awas yang setia pada raja
Mpok Lula yg mempesona nan bersahaja Akankah masyarakat ikut serta Bersama mengawasi kawah candra dimuka Ah, panjang sekali aku bercerita Membuat Anda gundah gulana Jadi teringat secangkir kopi Rasanya nikmat menggoda Yang selalu menemani di pagi sepi Teman setia di saat senja !!!
* Puisi ini Karya Ketua Bawaslu Kota Adm. Jakarta
Selatan. (Disampaikan pada acara Sosialisasi Pengembangan Pengawasan Partisipatif melalui Sarana Budaya – Bawaslu Kota Adm. Jakarta Selatan. Jakarta, Hotel Ambara. Sabtu 30 Nopember 2019)