Anda di halaman 1dari 21

FISIOLOGI DAN

TEKNOLOGI
PASCA PANEN
TERHADAP
SIFAT FISIK
PISANG
Disusun oleh : Kelompok 3
Kelas : R002
Dosen pengampu : Ir. Surhaini, M.P.

Anggota :
1. Ari Fauzan J1A120012
2. Miftahir hidayat J1A120016
3. Windika Pebryanti J1A120022
4. Indye Larasati J1A120034
5. Anita Trizani J1A120044
6. Erwin J1A120050
7. Febiannisa Masher J1A120062
8. Tadzkiratul Mubarakh J1A120068
9. Anggia Dwi Lestari J1A120070
10. Mohammad Reichan Pasha
PASCA PANEN PISANG

Pasca panen adalah kegiatan yang dilakukan mulai proses pemanenan pada
produk holtikultura baik buah, sayur maupun bunga hingga sampai ke
tangan konsumen dengan mempertahankan mutu produk. Penanganan
Pascapanen yang salah dapat membuat, buah dan sayur mengalami
penurunan mutu berupa layu, pucat, keriput, melunak dan menyusut
beratnya (Arti I.M dan Miska M.E.E ., 2020).
PISANG
SEBAGAI
BUAH
KLIMATERIK
Pisang sangat terkenal sebagai buah klimaterik, yaitu buah yang
mengalami peningkatan laju respirasi setelah dipanen, ini
dikarenakan saat matang pisang sangat dipengaruhi oleh gas etilen
(respirasi). Oleh karena itu, pisang sangat mudah menjadi terlalu
matang atau busuk jika tidak disimpan dengan benar atau
dikonsumsi dalam waktu yang cukup singkat setelah dipanen.
Menurut (Lukai, Ma et al, 2022).
Tingkat
Kematangan
Pisang
Berdasarkan
Warna
Kualitas dan kematangan buah umumnya dinilai
berdasarkan ukuran, warna, dan tekstur ( Sanaeifar et al.,
2016 ).  Warna kulit buah pisang berubah dari hijau ke
kuning. Setiap warna memiliki makna yang berbeda-beda.  Tingkat
 
1.Tahap 1 – Hijau
Kematangan
2.Tahap 2 – Hijau, jejak kuning Pisang
3.Tahap 3 – Lebih hijau daripada kuning
4.Tahap 4 – Lebih kuning dari hijau
Berdasarkan
5.Tahap 5 – Kuning dengan ujung hijau Warna
6.Tahap 6 - Kuning 
7.Tahap 7 – Kuning dengan bintik coklat
Ketentuan panen buah
pisang

Pisang yang dipanen terlalu muda akan memiliki kualitas yang kurang baik
ketika matang, sedangkan buah yang dipanen terlalu tua memiliki daya
simpan rendah (Widodo et al., 2019). Penentuan waktu panen umumnya
menggunakan beberapa indikator yaitu perbandingan antara daging buah dan
kulit, jumlah hari setelah pembungaan, menghilangnya sudut-sudut pada
setiap buah, mengeringnya daun, dan kerapuhan ujung tandan (Pantastico,
1986). Penentuan waktu panen yang tepat dapat memperpanjang umur
simpan.
Faktor Penyimpanan
Pisang

Suhu dan
Kelembapan

Tingkat
Ruang Tertutup
Kematangan

Pencahayaan
Perubahan pada fisik pada pisang terjadi selama
proses pematangan buah. Perubahan mutu fisik
buah pisang selama penyimpanan. Beberapa faktor
penentu kualitas fisik pisang dapat dilihat dari
beberapa faktor yaitu :
Kualitas fisik Susut bobot
pisang Tingkat kekerasan kulit dan daging buah
(Widodo et al., 2019)
Susut bobot
Susut bobot adalah salah satu indikator penurunan kualitas
sebagai akibat adanya proses transpirasi pada komoditi
holtikultura (Widjanarko, 2012). Susut bobot buah pisang
diakibatkan adanya kehilangan unsur karbon selama proses
respirasi, senyawa-senyawa karbon yang terdapat dalam gula
buah pisang akan mengikat dan bereaksi dengan oksigen yang
akan menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang mudah
menguap yakni uap air dan karbondioksida sehingga buah akan
kehilangan bobotnya (Swara, 2011).
Mengatasi
susut bobot

Penyimpanan suhu rendah adalah salah satu cara untuk


mengatasi susut bobot terhadap pisang yang telah dipanen.
Penyimpanan suhu rendah mampu menekan kecepatan
respirasi dan transpirasi sehingga prosesnya dapat berjalan
lambat dan daya simpan buah pisang dapat diperpanjang
(Arti I.M dan Miska M.E.E ., 2020).
Tingkat
kekerasan kulit
dan daging
buah

Tingkat kekerasan kulit dan daging buah adalah faktor


penting dalam menentukan kualitas fisik pisang. Tingkat
kekerasan kulit dan daging buah dipengaruhi oleh
kematangan dan varietas pisang.
Tingkat
kekerasan kulit
dan daging
Tingkat kekerasan kulit dan daging buah pisang dapat buah
mempengaruhi kualitas fisik pisang, seperti rasa, tekstur,
dan daya tahan simpan. Pisang yang terlalu keras cenderung
tidak enak saat dikonsumsi, sementara pisang yang terlalu
lembut cenderung cepat rusak dan berair. Oleh karena itu,
penting untuk memilih pisang yang memiliki tingkat
kekerasan kulit dan daging buah yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan konsumen.
NO Olahan Kriteria

Yellow with green at ends –


1 Pisang Goreng
Yellow with brown spot

Olahan Yellow with some green


Pisang
2 Selai Pisang
Dan Full yellow

3 Kripik Pisang Yellow with some green

4 Tepung Pati Pisang Light green with light yellow


PISANG
GORENG

Pisang dengan tingkat kematangan yellow with brown spot (kuning


dengan bintik-bintik coklat) lebih cocok untuk diolah menjadi pisang
goreng karena pada tahap ini, pisang telah mencapai tingkat
kematangan yang ideal untuk diolah, yaitu pisang telah mencapai
kandungan gula alami yang cukup tinggi dan teksturnya juga lebih
lembut sehingga ketika diolah menjadi pisang goreng, rasa manisnya
akan lebih terasa dan teksturnya akan lebih empuk.
Selai Pisang

Pisang dengan tingkat kematangan full yellow (kuning penuh) lebih


cocok untuk dijadikan bahan dasar selai karena pada saat itu, pisang
telah mencapai kematangan penuh sehingga memiliki aroma dan rasa
yang baik untuk di gunakan sebagai selai salain itu dapat digunakan
pisang kematangan Yellow with some green untuk meningkatkan pektin
pada selai. Pektin adalah senyawa alami yang ditemukan di dalam
buah-buahan dan berfungsi sebagai pengental alami yang dapat
membantu menghasilkan tekstur selai yang lembut dan kental.
Keripik Pisang
Pisang dengan tingkat kematangan yellow with some green
(kuning dengan sedikit hijau) cocok diolah menjadi keripik
pisang karena pada saat itulah, pisang masih cukup keras dan
memiliki kandungan air yang rendah. Hal ini sangat penting
dalam pembuatan keripik pisang karena pisang yang terlalu
matang dan lunak cenderung mudah hancur saat diiris dan diolah
menjadi keripik.
Tepung Pati
Pisang
Pisang dengan tingkat kematangan light green with light yellow
(hijau terang dengan kuning terang) cocok untuk diolah menjadi
tepung pati karena pada tahap ini, kandungan pati pada pisang
masih cukup tinggi dan belum terlalu mengeras. Pada saat pisang
mulai matang, kandungan patinya akan terus meningkat dan pada
tingkat kematangan ini, kandungan pati dalam pisang sudah
cukup tinggi.
KESIMPULAN

Pisang adalah buah klimaterik yaitu buah yg mengalami laju peningkatan respirasi
setelah di panen, sehingga sangat mempengaruhi tingkat kematangan pisang. Hal ini
dapat ditanggulangi dengan teknik pascapanen. Pascapanen adalah kegiatan yang di
mulai dari proses pemanenan tanaman hortikultura sampai ke tangan konsumen
dengan mempertahankan mutu produk. Kualitas pisang dapat dilihat dari perubahan
warna nya mulai dari tahap 1-7. Selain itu kualitas perubahan fisik terhadap pisang
dapat dilihay dari faktor susut bobot, tingkat kekerasan kulit dan daging buah, serta
bagian buah yang dapat di makan
Daftar pustaka

Arti, I. M., & Miska, M. E. E. (2021). Perubahan Mutu Fisik Pisang Cavendish Selama Penyimpanan
Dingin pada Kemasan Plastik Perforasi dan Non-Forasi. UG Journal, 14(11).
Lukai, Ma, et al. 2022. Prediction of banana maturity based on the sweetness and color values of
different segments during ripening. Current Research in Food Science . Vol. 5 Page 1808-1817.
Pantastico, E.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur–
Sayuran Tropika dan Subtropika. Dalam Kamariyani (ed.). Postharvest Physiology, Handling and
Utilization of Tropical and Sub-Tropical Fruits and Vegetables. Gajah Mada University. Yogyakarta.
Daftar pustaka

Sanaeifar, S, et al.2016. Prediction of banana quality indices from color features using support vector
regression. Talanta, 148, pp 54-61.
Swara, E.P. (2011). Perlakuan Pendahuluan Buah Pisang Cavendish (Musa cavendishii) untuk
Penyimpanan. Skripsi. IPB. Bogor.
Widjanarko, S.B. (2012). Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen – Fisiologi dan Handling Buah, Sayur,
Bunga dan Herbal. UB Press. Malang
Widodo, W. D., Suketi, K., & Rahardjo, R. (2019). Evaluasi kematangan pascapanen pisang Barangan
untuk menentukan waktu panen terbaik berdasarkan akumulasi satuan panas. Buletin Agrohorti, 7(2),
162-171.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai