Anda di halaman 1dari 50

HUKUM ACARA DAN PRAKTIK PTUN

RESUME BUKU ARGUMENTASI HUKUM KARYA PHILIPUS


M. HADJON & TATIEK SRI SJATMIATI
FARHAN HADINATA
B1A019105
KELAS: E

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
BAB I


ILMU HUKUM SEBAGAI
ILMU SUI GENESIS
+ 1. KARAKTER NORMATIF ILMU HUKUM
+ Ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri khas ilmu
hukum adalah sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian
menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami
kepribadian ilmu hukum itu mulai meragukan hakikat
keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena dengan
sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris

2
BAB I


+ Di sisi lain yuris Indonesia yang ingin mengangkat derajat
keilmuan hukum berusaha mengempiriskan imu hukum
melalui kajian-kajian sosiologik. Hal itu merupakan salah
satu sebab terjadinya berbagai kerancuan dalam usaha
pengembangan ilmu hukum. Sebagian yuris Indonesia
kehilangan kepribadiannya dan konsekuensi selanjutnya
ialah pembangunan hukum melalui pembentukan hukum
yang tidak ditangani secara profesional. Pendidikan
hukum tidak jelas arahnya. Mudah-mudahan KURNAS
1993/1994 betul-betul merupakan suatu reorientasi
dalam pendidikan hukum di Indonesia.

3
BAB I


+ Dalam usaha mengilmiahkan ilmu hukum secara empiris,
usaba yang dilakukan ialah menerapkan metode-metode
penelitian sosial dalam kajian hukum normatif. Metode
ilmu sosial dapat digunakan dalam fundamental research
yang memandang hukum sebagai fenomena sosial.' Kajian
hukum diempiriskan antara lain dengan merumuskan
format-format penelitian hukum yang oleh metode
penelitian ilmu sosial yang notabene adalah penelitian
empiris. Dengan demikian kejanggalan-kejanggalan yang
ditemukan antara lain memaksakan format penelitian ilmu
sosial dalam penelitian . hukum normatif seperti:

4
BAB I


+ • Rumusan masalah dalam kalimat tanya. Kata-kata bagaimana,
seberapa jauh, dan lain-lain, dipaksakan dalam rumusan masalah
penelitian hukum normatif;
+ • Sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Tanpa
disadari bahwa data bermakna empiris, sedangkan penelitian
hukum normatif tidak mengumpulkan data; dan
+ • Populasi dan sampling. Seorang peneliti hukum normatif tidak
boleh membatasi kajiannya hanya pada satu undang-undang
misalnya. Dia harus melihat keterkaitan undang-undang tersebut
dengan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian populasi
dan sampling tidak dikenal dalam penelitian hukum normatif.

5
BAB I

+

Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk
menjelaskan hakikat keilmuan hukum dan dengan
sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya.
Dua pendekatan tersebut ialah:
+ A. Pendekatan dari sudut filsafat ilmu;
+ B. Pendekatan dari sudut pandang teori hukum

6
BAB I


Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut
pandangan, yaitu pandangan positivistik yang melahirkan
ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan
ilmu normatif. Dari sudut ini ilmu hukum memiliki dua sisi
tersebut. Pada satu sisi ilmu hukum dengan karakter
aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lain ilmu
hukum memiliki segi-segi empiris.

7
BAB I


+ 2. TERMINOLOGI ILMU HUKUM
+ Dalam bahasa Belanda, Jerman, dan bahasa inggris
digunakan istilah berikut
+ -Rechtswetenschap (Belanda)
+ -Rechstheorie (Belanda)
+ -Jurisprudence (inggris)
+ -Legal science (inggris)
+ -Jurisprufent (Jerman)

8
BAB I


+ 3. JENIS ILMU HUKUM
+ Dari segi obyeknya, ilmu hukum dibedakan atas:
+ -ilmu hukum Normatif
+ -ilmu hukum empiris
+ Tahapan studi ilmu hukum empiris sampai saat ini
meliputi:
+ 1. Realis: factual patterns of behavior
+ 2. sociological jurisprudence: law in action # law in the
books
+ 3.socio-legal studies

9
BAB I


+ Perbedaan antara ilmu hukum normatif dengan ilmu
hukum empiris oleh D.H.M. Meuwissen digambarkan
sebagai berikut:
+ • Ilmu hukum empiris secara tegas membedakan fakta
dari norma; •
+ • Bagi ilmu hukum empiris, gejala hukum harus murni
empiris, yaitu fakta sosial;
+ •Bagi ilmu hukum empiris, metode yang digunakan adalah
metode ilmu empiris
+ • ilmu hukum empiris merupakan ilmu yang bebas nilai.

10
BAB I


+ 4. LAPISAN ILMU HUKUM
+ Lapisan ilmu Hukum

Filsafat Hukum

Teori Hukum

Dogmatik hukum

Praktik hukum

11
BAB II

LOGIKA DAN ARGUMENTASI HUKUM


1. KESALAPAHAMAN TERHADAP PERAN LOGIKA
Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis,

merumuskan suatu argumentasi secara cepat. Teori
argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar
untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional.

12
BAB II


2. KESESATAN (FALLACY)
Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat
itu, karena sesuatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Kalau
orang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan ia

sendiri tidak melihat kesesatannya, penalaran itu disebut
paralogis.
Kalau penalaran yang sesat itu dengan sengaja digunakan
untuk menyesatkan orang lain, maka ini disebut sofisme

13
BAB II


Selanjutnya untuk menggambarkan kesesatan dalam
penalaran hukum R.G. Soekadijo memaparkan lima model
kesesatan hukum, yaitu:
1. Argumentum ad ignorantiam

2. Argumentasi ad verecumdiam
3. Argumentasi ad hominem
4. Argumentasi ad misericordiam
5. Argumentasi ad baculum.

14
BAB II


3. KEKHUSUDAN LOGIKA HUKUM
Arti penting makna logika bagi hukum juga dipaparkan oleh A.
Soeteman dan P.W. Brouner.
Satu dalil yang kuat: satu argumentasi bermakna hanya
dibangun atas dasar logika •
Tiga lapisan Argumentasi Hukum yang rasional meliputi:
1. Lapisan logika
2. Lapisan dialektik
3. Lapisan prosedural

15
BAB III


. DASAR-DASAR DALAM ARGUMENTASI HUKUM
1. DARI LOGIKA TRADISIONAL
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, teori argumentasi
dewasa ini dapat ditelusuri kembali ke masa Aristoteles.

Aristoteles mulai dengan studi sistematis tentang logika,
yang intinya adalah konsistensi (logical sequnce) yaitu
konsistensi dalam premis-premis sampai kesimpulan

16
BAB III


Rasionalitas dan Argumentasi
Kriteria argumentasi rational dengan pendekatan ini
berkaitan dengan:
1. Bentuk argumentasi
2. Substansi atau isi argumentasi •
3. Prosedur atau hukum acara
Dalam teori hukum, logici hukum bertitik tolak dari model
logika deduksi

17
BAB III


Dengan titik tolak logika tradisional, model argumentasi yang
lazim adalah argumentasi deduksi.
1. Argumentasi deduksi yaitu penerapan suatu aturan hukum
pada suatu kasus •
2. Dalam common law system dikenal model argumentasi
yang tidak bisa dikualifikasikan sebagai argumentasi
deduksi

18
BAB III


2. BATAS JUSTIFIKASI DEDUKSI
Neil MacCormick mengetengahkan tentang batas justifikasi
deduksi. Tidak semua aturan hukum dan tidak semua produk
legislatif dirumuskan dalam bentuk verbal yang tepat, yang

diharapkan memberikan jawaban yang jelas terhadap
persoalan hukum praktis. Hampir setiap peraturan hukum
menunjukkan hubungan yang membingungkan dan tidak jelas
dalam berbagai sengketa.

19
BAB III

Interpretasi.


Ada berbagai macam interpretasi. Bruggink
mengelompokkannya dalam 4 model yaitu
1. Interpretasi bahasa •

2. Historis undang-undang
3. Sistematis
4. Kemasyarakatan

20
BAB III

3. PENALARAN (KONSTRUKSI HUKUM)


Disamping interpretasi juga dikenal 3 bentuk
konstuksi hukum: analogi, rechtsverfijning dan
argumentum a contrario. Kontruksi hukum sangat
dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum
(leemten)

21
BAB III

4. KONFLIK NORMA
Rechtsvinding berkaitan dengan norma yang terdapat
dalam satu ketentuan undang-undang. Rechtsvinding
dibutuhkan karena konsep norma yang terbuka (open
texture) dan norma yang kabur (vague norm). Dalam
menghadapi satu kasus hukum, bisa terjadi ada 2
atau lebih undang-undang, yang secara bersama-sama
diterapkan pada kasus tersebut.

22
BAB III

Penyelesaian-penyelesaian Konflik Norma


Ada tipe penyelesaian berkaitan dengan asas
preferensi hukum (yang meliputi asas lex superior,
asas lex spesialis, dan asas lex posterior) yaitu: 1.
Pengingkaran (disavoal), 2. Reinterpretasi, 3.
Pembatalan (invalidation) 4. Pemulihan (remedy).

23
BAB III

5.PENALARAN INDUKSI
Penalaran induksi dalam hukum
penanganan perkara dipengadilan selalu berawal dari
langkah induksi. Langkah pertama adalah merumuskan
fakta, mencari hubungan sebab akibat, mereka-reka
probabilitas. Dengan langkah itu, hakim pengadilan
pada tingkat pertama adalah judex facti (orang
sering salah menulis: judex factie). Langkah induksi
ini dibatasi oleh asa hukum pembuktian.

24
BAB III

Hubungan kasual
Hubungan kasual memainkan peranan penting dalam
penanganan perkara. Hubungan kasual dalam hukum
sangat tergantung dari jenis hukum atau macam-
macam hukum. Hubungan kasual dlam hukum pidana
belum tentu cocok untuk hukum perdata atau hukum
administrasi untuk sengketa Tata Usaha Negara
(TUN)

25
BAB III

6. DIALEKTIK DAN RETORIKA


Terdapat beberapa tahapan
argumentasi dialektik dan rektorik:
Tahapan argumentasi dialektik dan
retorika tersebut dapat dikemukakan
seperti berikut:

26
BAB III
Dialektik Retorika
a. Konfrontasi pemaparan a.Exordium: usaha menarik
sengketa simpati
b. Opening fase, Paparan b. Narratio: Paparan kasus
usaha memecahkan sebagai persiapan beragumentasi,
masalah berdasarkan Digressio: Peralihan dari narratio
ketentuan hukum ke argumentatio
c. Argumentasi fase c.Argumentatio
mempertahankan Berusaha untuk meyakinkan
argumentasi pendiriannya
d. Afsluitingsfase d. Peroratio
Mempertahankan pendapat Kesimpulan atas dasar fakta
demi kepentingannya

27
BAB III

7. LEGAL REASONING DALAM COMMON LAW


SYSTEM
Dalamkepustakaan anglosaxon terdapat dua tipe
legalreasonong , yang satu berdasarkan preseden
(based on precedent), dan yang berdasarkan aturan
hukum (based on rules).

28
BAB IV
LANGKAH PEMECAHAN MASALAH HUKUM
DAN LEGAL OPINION
1. STRUKTUR ARGUMENTASI HUKUM
Seperti telah diuraikan sepintas dalam Bab II yang
menyangkut logika dan argumentasi hukum perlu
ditekankan kembali mengenai struktur argumentasi<
oleh karena inilah yang menjadi titik tolak dalam
langkah pemecahan masalah hukum
Tiga lapisan argumentasi hukum yang rasional adalah:
a. Lapisan logika: struktur intern argumentasi
b. Lapisan dialek perbandingan pro-kontra argumentasi
c. Lapisan prosedur

29
BAB IV

Lapisan logika
Lapisan ini masuk wilayah logika tradisional. Isu
utama dalam lapisan ini adalah apakah alur premis
sampai kepada konklusi dari suatu argumentasi itu
logis. Langkah penalaran deduksi, analogi, abduksi
dan induksi menjadi fokus. Dengan langkah deduksi,
pendekatan Undang-Undang dengan pendekatan
preseden berbeda.
Contoh: konsep penyalahgunaan wewenang.

30
BAB IV

Lapisan dialek
Dengan dialektik, suatu argumentasi tidak monotoon.
Dalam dialektik, suatu argumentasi diuji, terutama
dengan argumentasi pro-kontra. Proses dialektik
dalam adu argumentasi menguji kekuatan nalar suatu
argumentasi. Kekuatan nalar terletak dalam kekuatan
logika. Dengan demikian dialektik berkaitan dengan
logika.
Contoh: dalam kasus tata usaha negara, pengumuman
suatu surat penolakan program penjaminan oleh BI
digugat.

31
BAB IV

Lapisan prosedur
Hukum acara merupakan aturan mian dalam proses
argumensi dalam penangananperkara di pengadilan.
Dengan demikian prosedur dialektik di pengadilan
diatur oleh hukum acara.
Contoh: beban pembuktian. Siapa yang harus
membuktikan?
Jawabannya: tergantung ketentuan hukum acara.

32
BAB IV
2. LANGKAH-LANGKAH ANALISIS HUKUM
(PEMECAHAN MASALAH HUKUM)
1. Pengumpulan Fakta
Fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa, atau
keadaan. Pembunuhan adalah perbuatan hukum,
kelahiran adalah peristiwa hukum, dibawah umur
adalah suatu keadaan. Pengumpulan fakta hukum
didasarkan pada ketentuan tentang alat bukti.
Contoh: andaikata fakta hukum berkaitan dengan
perbuatan hukum, tentunya lawyer dalam mengajukan
pertanyaan beranjak dari ketentuan Pasal 1365 BW

33
BAB IV
2. Klasifikasi Hakekat Permasalahan Hukum
Klasifikasi hakekat permasalahan hukum pertama-
tama berkaitan dengan pembagian hukum positif.
Hukum positif diklasifikasikan atas hukum publik dan
hukum privat yang masing-masingnya terdiri atas
berbagai disiplin, misalnya hukum publik terdiri dari
atas Hukum Tata negara, Hukum Administrasi, dan
Hukum Internasional Publik, sedangkan hukum privat
terdiri atas Hukum Dagang, Hukum Perdata, lalu ada
fungsional memiliki karakter campuran. Misalnya:
Hukum perburuan.

34
BAB IV

3. Identifikasi dan Pemilihan Isu Hukum yang Relevan


Isu hukum berisi pertanyaan tentang fakta dan
pertanyaan tentang hukum. Pertanyaan tentang fakta
pada akhirnya menyimpulkan fakta hukum yang
sebenarnya yang didukung oelh alat-alat bukti.
Contoh: permasalahan malpraktek dokter apakah
merupakan tindakan wanprestasi ataukah perbuatan
melanggar hukum.

35
BAB IV
4. Penemuan Hukum yang Berkaitan dengan Isu
Hukum
Dalam pola civil law hukum utamanya adalah legislasi.
Oleh karena itu langkah dasar pola nalar yang dikenal
sebagai reasoning based on rules adalah penelusuran
peraturan perundang-undangan (berdasarkan
ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 1 angka 2):
peraturan perundang-undang adalah produk hukum
tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang, yang isinya mengikat umum.

36
BAB IV

5. Penerapan Hukum
Setelah menemukan norma konkrit langkah
berikutnya adalah penerapan pada fakta hukum.
Seperti contoh diatas setelah menemukan konkrit
dari perbuatan dalam konteks Pasal 1365 BW dapat
dijadikan parameter untuk menjawab pertanyaan
hukum apakah gempa bumi merupakan perbuatan?
Contoh lain: berkaitan dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh pejabat.

37
BAB IV

3. MENULIS LEGAL OPINION

Bentuk susunan:
1. Summary
2. Fakta hukum
3. Isu hukum
4. Analisis isu hukum
5. Kesimpulan

38
BAB IV

1. Summary
- Diterjemahkan pada awal. Maksimum 1 halaman
- Summary harus memuat:
a. Rumusan singkat fakta hukum
b. Daftar isu hukum
c. Summary legal opinion

39
BAB IV

2. Rumusan Fakta
Fakta harus dirumuskan secara lengkap tetapi tidak
terlalu panjang. Yang penting intinya saja yang
dijadikan landasan untuk merumuskan isu hukum.
3. Isu Hukum
Isu hukum harus dirumuskan secara lengkap dan
diberi nomor. Pendekatan konseptual merupakan yang
paling sering digunakan. Setiap isu hukum diikuti
dengan pertanyaan hukum.

40
BAB IV
4. Analisi Isu Hukum
- Mulai dengan isu satu dst.
- Pada tiap isu ditelusuri ketentuan hukum,
yurisprudensi, pendapat akademis yang diberikan
dengan isu tersebut.
- Tuliskan ketentuan hukum dan yurisprudensi yang
ditemukan.
- Identifikasi problematik hukum yang relevan
dengan kasus yang dianalisis.
- Berikan pendapat dan abagaimana ketentuan hukum
tersebut ditetapkan dalam kasus tersebut.

41
BAB IV

5. Kesimpulan
Rumuskan pendapat hukum yang berkenaan dengan
fakta hukum tersebut.
Catatan: semua kasus (yurisprudensi), ketentuan
hukum yang digunakan dalam kasus tersebut harus
disusun dalam daftar secara tepat dan lengkap.

42
BAB V
CONTOH-CONTOH KASUS LEGAL OPINION
Untuk mengimplementasikan hal-hal yang diuraikan
dalam bab-ba sebelumnya, yang itinya adalah giving
reason terhadap suatu pendapat hukum yang
berkaitan dengan kasus tertentu, dipaparkan contoh-
contoh-contoh yang pada dasarnya adalah legal
opinion yang disusun oleh penulis terhadap kasus
yang dihadapi.

43
BAB V
CONTOH KASUS
Pendapat hukum tentang status pegawai PDAM (BUMD)
dalam rangka UU Advokat Kasus Pesisi Seorang advokat
melakukan her-registrasi sesuai ketentuan UU no. 18 Th
2003 tentang advokat. Permohonan her-registrasi yang
bersangkutan ditolak dengan alasan yang bersangkutan
berstatus sebagai pegawai perusahaan daerah air minum.
Permohonan didasarkan atas ketentuan Pasal 3 ayat (1)
huruf c UU Advokat yang menentukan syarat bagi seorang
advokat ialah: tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau
pejabat negara.

44
BAB V
Isu hukum, dalam kasus ini adalah apakah pegawai PDAM
termasuk pengertian Pegawai Negeri menurut UU
Advokat.
Berdasarkan isu hukum tersebut disusun pendapat hukum
(legal opinion) sebagai berikut:
1.Ketentuan UU Advokat (UU No. 18 Th. 2003)
Pasal 3 ayat (1) huruf c: Tidak berstatus sebagai pegawai
negeri atau pejabat negara.
II. Pertanyaan Hukum
Apakah berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat 1 huruf c UU
Advokat, Pegawai PDAM (BUMD) termasuk pengertian
pegawai negeri?

45
BAB V
III. Analisis
A. Dasar Hukum
1. UU No. 18 th. 2003 tentang Advokat
2. UU No. 8 th. 1974 tentang Kepegawaian
3. Peraturan Kepegawaian PDAM
a. Keputusan MENDAGRI no. 34 th. 2000
b. PERDA KMS No. 15 th. 1986
B. Pengertian Pegawai Negeri menurut UU No. 8 th. 1974
Pasal 1 huruf a:
Pegawai Negeri adalah mereka yang ..diangkat oleh Pejabat
Yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri ..
Pasal 1 huruf c:
Jabatan negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif ...
Berdasarkan ketentuan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: Apakah pegawai
PDAM menjalankan jabatan negeri dalam asti jabatan dalam bidang eksekutif?

46
BAB V
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan:
1. apa arti jabatan dalam bidang eksekutif
2. apakah pegawai PDAM menjalankan jabatan dalam bidang eksekutif?
Bidang Eksekutif adalah bidang kekuasaan negara diluar kekuasaan legislatif
dan yudisiil.
Karakter hukum kekuasaan (termasuk kekuasaan eksekutif) adalah hukum
publik. Dengan demikian hubungan hukum pegawai negeri adalah hubungan
hukum publik.
Menjawab pertanyaan apakah pegawai PDAM menjalankan jabatan dalam
bidang eksekutif, ketentuan hukum yang dapat dijadikan pijakan:
Pasal 1 huruf h. PERDA KMS No. 15 th. 1986:
→Pegawai adalah pegawai perusahaan daerah .
Pasal 3 ayat (1). KEP.MENDAGRI No. 34 th. 2000:
→ Untuk dapat diangkat menjadi pegawai harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
huruf i: Tidak boleh merangkap menjadi pegawai Negeri.

47
BAB V
Berdasarkan ketentuan tersebut jelas pegawai PDAM tidak menjalankan jabatan dalam
bidang eksekutif. Menurut Pasal 3 ayat (1) huruf i KEPMENDAGRI No. 34 th. 2000, jelas
pegawai PDAM bukan pegawai negeri. Di sisi lain, berdasarkan UU No. 21 th. 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, pengertian perusahaan termasuk perusahaan milik negara
(vide Pasal 1 angka 9). Jadi jelas pegawai PDAM tidak menjalankan tugas dibidang eksekutif
dalam makna hukum publik. Hubungan kepegawaian PDAM bukan hubungan hukum publik
tetapi hubungan hukum perdata.
C. Apakah pegawai PDAM dapat disamakan dengan Pegawal Negeri menurut UU Advokat?
Dalam hal tertentu, pegawai BUMN/BUMD dapat disamakan sebagai pegawai negeri.
Contoh: Pasal 1 PP 10 1983
Tentang Izin perkawinan dan perceraian bagi PNS.
Namun demikian,
Prinsip Hukum yang harus diperhatikan dalam hal ini:
1. Pegawai BUMN/BUMD bukan pegawai negeri.
2. Ada ketentuan bagi pegawai negeri yang juga diberlakukan bagi pegawai BUMN/BUMD
namun tidak berarti pegawai BUMN/BUMD adalah pegawai negeri.

48
BAB V
Prinsip hukum yang harus diperhatikan dalam hal ini:
Pemberlakuan ketentuan yang berlaku, bagi Pegawai Negeri terhadap pegawai
BUMN/BUMD harus jelas dasar hukumnya dan bukan sekedar interpretasi
ekstensif yang memperluas daya berlakunya suatu ketentuan hukum. Setiap
ketentuan bagi pegawai negeri tidak secara otomatis berlaku bagi pegawai
BUMN/BUMD.
A-Contrario, sepanjang tidak ada ketentuan khusus secara tegas, ketentuan yang
berlaku bagi pegawai negeri tidak bisa dengan sendirinya berlaku juga bagi pegawai
BUMŇ/BUMD dalam hal ini pegawai PDAM.
Dengan demikian sepanjang tidak ada ketentuan khusus yang menyatakan bahwa
ketentuan larangan PNS menjadi Advokat menurut UU Advokat berlaku juga bagi
pegawai BUMN/BUMD atau pengertian pegawai negeri menurut UU Advokat
termasuk pegawai BUMN/BUMD, TIDAK ADA LARANGAN bagi PEGAWAI PDAM
menjadi ADVOKAT.

49
BAB V
IV. Kesimpulan
1. Tidak ada ketentuan dalam UU Advokat bahwa
termasuk pengertian pegawai negeri adalah pegawai
BUMN/BUMD.
2. Pegawai PDAM (BUMD) bukanlah pegawai negeri
dalam makna pegawai negeri menurut UU Advokat.

Legal Opinion
Disusun Tanggal 10 Nopember 2003

50

Anda mungkin juga menyukai