Anda di halaman 1dari 42

Nama:

Tedy Kurniawan Bakri, S.Farm., M.Farm., Apt.

Tempat / tanggal lahir:


Blangpidie / 08 Mei 1987

Alamat:
Lam Ara, Banda Aceh

Bidang Keilmuan:
Farmakologi / Farmasi Klinis

No.Hp / WA : +62813 7535 3761


Email: tedykbakri@gmail.com
FARMAKOLOGI ENDOKRIN
Te d y K u r n i a w a n B a k r i , M . F a r m . , A p t
Program Studi Pendidikan Dokter
F a k u l t a s K e d o k t e r a n U n i v. A b u l Ya t a m a
2016
FARMAKOLOGI
DIABETES MELITUS
DIABETES MELITUS

• Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit


metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.
• Hiperglikemia berdampak buruk terhadap luaran klinis karena
dapat menyebabkan gangguan fungsi imun serta lebih rentan
terkena infeksi, perburukan sistem kardiovaskular, trombosis,
peningkatan inflamasi, disfungsi endotel, stres oksidatif, dan
kerusakan otak.
TERAPI INSULIN

• Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien


DMT1 (insulin-dependent DM). Namun, insulin lebih banyak
digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh
lebih banyak dibandingkan DMT1.
• Terapi insulin pada pasien hiperglikemia memperbaiki luaran
klinis.
• Insulin yang diberikan lebih dini menunjukkan hasil klinis yang
lebih baik terutama berkaitan dengan masalah glukotoksisitas.
• Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel, menekan
proses inflamasi, mencegah gangguan apoptosis, dan
memperbaiki profil lipid.
INDIKASI TERAPI INSULIN

1. Semua penyandang DMT1


2. Penyandang DMT2 dengan:
• kegagalan terapi OHO (obat hiperglikemik oral);
• kendali kadar glukosa darah yang buruk (HbA1c > 7,5 % atau kadar
glukosa darah puasa >250 mg/dL);
• Ketoasidosis diabetikum (KAD) atau Hiperglikemik Hiperosmolar
non-ketotik (HONK);
• Peningkatan hormon cortisol  Keadaan stres berat seperti pada
infeksi berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut, stroke;
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat;
• Penyandang DMT2 yang hamil
• Alergi dan kontraindikasi thd OHO
3. DM gestasional
Farmakokinetik Sediaan Insulin Yang Umum Digunakan

Profil kerja (jam)


Human Insulin/ Insulin Analog
Awal Puncak

Kerja sangat cepat (ultra rapid


acting)
Insulin lispro (Humalog) 0.2-0.5 0.5-2
Insulin aspartat (Novorapid) 0.2-0.5 0.5-2
Insulin glusilin (Apidra) 0.2-0.5 0.5-2
Kerja pendek (short acting)
Reguler (Human) Humulin R/ 0.5-1 2-3
Actrapid
Kerja menengah (intermediate
acting)
NPH (Human) Humulin N/ 1.5-4 4-10
Insulated
Kerja panjang (long acting)
Insulin glargine (Lantus) 1-3 Tanpa puncak
Insulin detemir (Levemir) 1-3 Tanpa puncak
Farmakokinetik Sediaan Insulin yang Umum Digunakan
Profil kerja (jam)
Human Insulin/ Analog Insulin
Awal Puncak

Campuran
(mixtures, human insulin)
75/30 Humulin /Mixtard 0.5-1 3-12
(70% NPH,30% reguler)
50/50 Humulin 0.5-1 2-12
(50% NPH, 50% reguler)

Campuran
(mixtures, insulin analog)
75/25 Humalog 0.2-0.5 1-4
(75% NPL, 25% lispro)
50,50 Humalog 0.2-0.5 1-4
(50% NPL, 50% lispro)
70/30 Novomix 30 0.2-0.5 1-4
70% protamine aspart, 30% aspart)
50/50 Novomix
(50% protamine asprart, 50% aspart)
Profil farmakokinetik human insulin dan insulin analog. Terlihat lama kerja
relatif berbagai insulin. Lama kerjanya bervariasi antar dan intra-perorangan.
Memulai dan Alur Pemberian Insulin

• Pada pasien DMT1, pemberian insulin yang dianjurkan adalah


injeksi harian multipel dengan tujuan mencapai kendali kadar
glukosa darah yang baik.
• Selain itu, pemberian dapat juga dilakukan dengan
menggunakan pompa insulin (continous subcutaneous insulin
infusion [CSII]).
• Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis
terapi insulin untuk pasien DMT2.
• Salah satu cara yang paling mutakhir dan dapat dipakai
sebagai acuan adalah hasil Konsensus PERKENI 2006 dan
Konsensus ADA-EASD tahun 2006.
Perhitungan Dosis Insulin
Cara Pemberian Insulin

• Cara pemberian insulin basal dapat dilakukan dengan


pemberian insulin kerja cepat drip intravena (hanya dilakukan
pada pasien rawat inap), atau dengan pemberian insulin kerja
panjang secara subkutan.
• Idealnya, sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi
insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali
dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan.
Namun, terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai
dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin
mendekati kebutuhan fisiologis.
Lokasi Penyuntikan Insulin yang Disarankan
Berbagai Regimen Suntikan Insulin Multipel
Obat Hiperglikemik Oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, OHO dapat dibagi menjadi 3
golongan, yaitu:
• Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin (Insulin
Secretagogue)  golongan sulfonilurea dan glinida
(meglitinida dan turunan fenilalanin).
• Obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin (Insulin Sensitiser)  golongan biguanida dan
tiazolidindion.
• Inhibitor katabolisme karbohidrat (starch-blocker)  inhibitor
α-glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan
umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-
prandial (post-meal hyperglycemia).
A. Golongan Sulfonilurea

• Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan.


• Sulfonilurea bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pancreas, oleh
sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi.
• Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-
senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh
kelenjar pancreas.
• Merupakan drug of choice untuk penderita diabetes dewasa baru dengan
berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis
sebelumnya.
• Tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal dan tiroid, serta
wanita hamil.
• Ex: Glibenclamide, Glipizide, Glimepiride, Glikuidon.
Farmakokinetik Sulfonilurea

• Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus cukup


baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi,
obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma
sebagian terikat pada protein plasma terutama albumin (70-
90%).
Efek Samping Sulfonilurea

Efek samping umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain:


• Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut,
hipersekresi asam lambung dan sakit kepala.
• Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia
dan lain sebagainya.
• Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia,
agranulosistosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang
sekali.
• Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu
ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia.
• Hipogikemia akibat sulfonilurea juga dapat disebabkan karena masa
kerjanya yang panjang.
Interaksi Obat Golongan Sulfonilurea

Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan risiko


hipoglikemia sewaktu pemberian obat-obat hipoglikemik
sulfonilurea antara lain:
• alkohol • dikumarol
• insulin • kloramfenikol
• fenformin • penghambat MAO (Mono
• sulfonamida Amin Oksigenase)
• salisilat dosis besar • guanetidin
• fenilbutazon • steroida anabolik
• oksifenbutazon • fenifluramin
• probenezida • klofibrat
B. Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin

• Golongan glinida ini merupakan obat hipoglikemik generasi


baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea.
• Kedua golongan ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi
insulin oleh kelenjar pankreas.
• Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida
dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi
dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya.
C. Golongan Biguanida

• Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan berikatan


pada PPARγ (peroxisome proliferator activeted receptor-gamma) di
otot, jar.lemak, dan hati.
• Golongan biguanida bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati.
• Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi
insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia.
• Satu-satunya senyawa biguanida yang masih dipakai saat ini adalah
Metformin.
• Metformin masih banyak dipakai di beberapa negara termasuk
Indonesia, karena frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup sedikit
asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada gangguan
fungsi ginjal dan hati.
Efek Samping dan Kontraindikasi Gol. Biguanida

• Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah,


kadangkadang diare, dan dapat menyebabkan asidosis laktat.
• Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita
gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, penyakit
jantung kongesif dan wanita hamil. Pada keadaan gawat juga
sebaiknya tidak diberikan biguanida.
D. Golongan Tiazolidindion

Turunan Cara kerja


Pioglitazone Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein transporter glukosa, sehingga
meningkatkan uptake glukosa di sel-sel jaringan perifer. Obat
ini dimetabolisme di hepar. Obat ini tidak boleh diberikan
pada pasien gagal jantung karena dapat memperberat
edema dan juga pada gangguan fungsi hati. Saat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal.

Rosiglitazone Cara kerja hampir sama dengan pioglitazon, diekskresi


melalui urin dan feses. Mempunyai efek hipoglikemik yang
cukup baik jika dikombinasikan dengan metformin. Pada saat
ini belum beredar di Indonesia.
E. Golongan Inhibitor α-glukosidase

• Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja


menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada
dinding usus halus.
• Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase
dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida,
pada dinding usus halus.
• Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi
pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga
dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial
pada penderita diabetes.
• Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-
amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di
dalam lumen usus halus.
• Ex: Acarbose (glucobay, precose), Maglitol (Gylcet)
• Umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan
secara bertahap sampai 150-600 mg/hari.
• Efektif bagi penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan
kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl.
• Hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan
dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu.
Pengolongan Obat Hiperglikemik Oral
Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam
Penggunaan Obat Hiperglikemik Oral

1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian


dinaikkan secara bertahap.
2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek
samping obat-obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral,
usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi,
baru pertimbangkan untuk beralih pada insulin.
5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia,
oleh sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja
jangka panjang tidak diberikan pada penderita lanjut usia.
6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita
FARMAKOTERAPI
GANGGUAN HORMON TIROID
A. Farmakoterapi Hipotiroidisme

• Dalam pengobatan hipotiroidisme, senyawa tiroksin (T4) dan


triiodotironin (T3) yang dipakai adalah isomer L (Levo). Isomer
ini digunakan karena memiliki aktifitas yang jauh lebih tinggi
daripada isomer dextro.
• Preparat pilihan untuk pengganti hormone tiroid adalah
levotiroksin.
• Mekanisme kerja levotiroksin sama dengan hormone tiroid
yang disintesis secara alamiah dari kelenjar tiroid. 
Farmakokinetik Levotiroksin

• Tiroksin diabsorbsi paling baik di duodenum dan ileum.


Tingkat absorpsinya dipengaruhi oleh keasaman lambung,
flora saluran cerna, makanan, dan obat lainnya.
• Absorpsi melalui jalur oral T3 sekitar 95%, sedangkan
Levotiroksin 80%. Absorpsi  Levotiroksin dihambat oleh
sukralfat, resin kolestiramin, Fe, kalsium, dan Al(OH)3.
Absorpsi T3 dan T4 sangat menurun di ileus pada pasien yang
mengalami myxedema, oleh karena itu jalur parenteral
digunakan.  Jalur parenteral yang digunakan adalah intravena.
Farmakokinetik Levotiroksin

• Levotiroksin memiliki waktu paruh yang panjang(7 hari), lebih


stabil, tidak menimbulkan alergi, murah, dan konsentrasinya
dalam plasma mudah diukur. 
• Pemakaian Levotiroksin sekali sehari 100 mikrogram.
• Eksresi bilier dapat meningkat oleh obat yang menginduksi
enzim sitokrom, misalnya rifampin, phenobarbital,
carbamazepine, phenytoin, imatinib, protease inhibitors,
sehingga meningkatkan eksresi melalui empedu.
• Alasan lain pemakaian Levotiroksin sebagai obat pilihan
adalah kelebihan T4 dapat diubah menjadi T3.
B. Farmakoterapi Hipertiroidisme

Hipertiroidisme diobati dengan empat golongan obat, yaitu:


• Antitiroid, obat yang menghambat sintesis hormone secara
langsung
• Penghambat transport iodide
• Iodium berkonsentrasi tinggi
• Iodium radioaktif
1. Antitiroid (Tioamid)

• Tioamid memiliki beberapa efek menghambat sintesis tiroid.


• Cara kerja pertama yaitu menghambat enzim tiroid
peroxidase, yang berfungsi mengubah iodide menjadi iodine.
• Cara kerja lainnya adalah menghalangi iodotirosin untuk
berpasangan. 
• Contoh tioamida adalah propiltiourasil (PTU), metimazol,
thiamazole, dan carbimazole.
Farmakokinetik Tioamid

• PTU sangat cepat diserap dan mencapai konsentrasi


puncaknya. PTU diabsorbsi melalui saluran pencernaan
sebanyak dan memiliki bioavailbilitas sekitar 50-80%.
• PTU didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh dan dieksresi
melalui air susu ibu dan urin, melalui bentuk glukoronida.
• PTU memiliki waktu paruh 1,5 jam dan diberikan setiap 6-8
jam sebanyak 100 mikrogram. Pemberian dosis tersebut dapat
menghambat organifikasi iodine sebanyak 60% selama 7 jam.
• Metimazol diabsorpsi secara lengkap dan memiliki volume
distribusi yang luas. Methimazol dieksresikan lebih lambat,
yaitu 65-70% selama 48 jam.
• Methimazol / carbimazole dapat menembus plasenta, fetus
menerima metamizol yang dikonsumsi ibunya. Methimazol
dapat menyebabkan hipotiroidisme pada janin. Namun PTU
memiliki ikatan dengan protein yang lebih kuat, sehingga lebih
sedikit yang beredar bebas dalam darah. Oleh karena itu PTU
masih dapat digunakan ibu hamil.
• Efek samping dari tioamid salah satunya adalah agranulosis,
yang dapat timbul karena PTU dan methimazol. Efek samping
yang sering muncul adalah purpura dan papular rash, yang
dapat hilang sendiri. Efek samping lainnya adalah nyeri dan
kaku sendi.
2. Inhibitor Anion

• Inhibitor anion adalah golongan obat yang menghambat


pompa iodide sel folikuler. Penghambatan ini menurunkan
sintesis hormone tiroid.
• Contoh obat golongan ini adalah tiosianat, perklorat, dan
fluoborat. Obat ini dapat menimbulkan goiter.
• Efek samping dari Natrium dan kalium perklorat adalah
anemia anaplastik, demam, kelainan kulit, iritasi usus, dan
agranulositosis.
3. Iodida

• Iodida merupakan obat tertua untuk terapi hipertiroidisme.


Iodida menghambat organifikasi dan pelepasan hormone
serta menghambat vaskularisasi kelenjar tiroid.
• Sediaan yang digunakan adalah natrium iodide dan kalium
iodide, dengan dosis tiga kali 0,3 mL.
• Iodida sebaiknya tidak digunakan sendiri. Iodida akan
menumpuk dalam folikel, dan setelah 2-8 minggu efek
hambatannya menghilang. Hal ini menimbulkan tirotoksikosis.
• Iodida tidak diberikan pada ibu hamil
4. Iodida Radioaktif

• Iodida radioaktif yang sering digunakan adalah 131I, yang


memiliki waktu paruh 8 hari. 131I memancarkan sinar β dan γ.
Iodium radioaktif terkumpul dalam folikel. Pancaran sinarnya
menghancurkan parenkim tiroid.
• Dosis terapinya adalah 0,03 mikrogram.
• Distribusi iodide radioaktif sama dengan iodine biasa.
• Eksresi iodide radioaktif dipengaruhi oleh aktifitas tiroid, pada
normotiroid 65%, hipotiroid 85-90%, dan pada hipertiroid 5%
dieksresikan dalam 24 jam.
• Iodium radioaktif dikontraindikasikan bagi wanita hamil dan
anak-anak.
C. Farmakoterapi Badai Tiroid

• Badai tiroid (thyroid storm) adalah tirotoksikosis yang muncul


tiba-tiba dengan efek yang sangat hebat. Kondisi ini
merupakan kegawatdaruratan.
• Propanolol 40-60 mg oral setiap enam jam dapat mengurangi
efek tirotoksikosis ke jantung. Kalium iodide sebanyak 10 tetes
sehari dapat menghambat pelepasan hormone tiroid,
sedangkan pamberian PTU 250 mg setiap 6 jam dapat
menghambat sintesis hormon.
SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai