Terapi Farmakologi
Diabetes melitus dibagi menjadi dua, yaitu DM Tipe 1 dan DM Tipe 2.
Berikut merupakan pemilihan terapi untuk pasien DM :
Untuk DM Tipe 1, berikut merupakan jenis terapi nya : terdapat beberapa pilihan
jenis insulin menurut kerjanya, diantaranya sebagai berikut (IDAI,2015)
Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja
panjang sampai dengan 24 jam. Di Indonesia saat ini sudah tersedia insulin
glargine dan detemir; keduanya mempunyai profi l kerja yang lebih terduga
dengan variasi harian yang lebih stabil dibandingkan insulin NPH. Insulin ini
tidak direkomendasikan untuk anak-anak di bawah usia 6 tahun. Perlu digaris
bawahi, bahwa insulin glargine serta detemir tidak dapat dicampur dengan insulin
jenis lainnya. Mengingat sifat kerjanya yang tidak mempunyai kadar puncak
(peakless) dengan lama kerja hingga 24 jam, maka glargine dan detemir
direkomendasikan sebagai insulin basal. Bila dibandingkan dengan NPH, glargine
dan detemir dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan lebih baik pada
kelompok usia 5-16 tahun, namun secara keseluruhan tidak memperbaiki kadar
HbA1c secara bermakna. Insulin glargine dan detemir juga mengurangi risiko
terjadinya hipoglikemia nokturnal berat (IDAI, 2015).
Sedangkan untuk terapi DM tipe 2 adapun terapi secara farmakologi adalah sebagai
berikut (Wells et.Al, 2015) :
1. Sulfonilurea
Obat pada golongan ini memiliki efek hipoglikemia dengan mekanisme
menstimulasi sekresi insulin dari pankreas. Semua obat pada golongan ini rata-
rata dapat menurunkan HbA1C 1,5-2% dan dengan penurunan kadar glukosa
hingga 60-70 mg/dL. Efek samping dari obat pada golongan ini adalah
hipoglikemia. Orang-orang dengan risiko tinggi yaitu orang tua, terdapat
penurunan fungsi ginjal atau penyakit hati, orang-orang yang jarang makan,
berolahraga keras, atau pasien dengan penurunan berat badan yang drastis. Efek
samping selain hipoglikemia adalah ruam kulit, anemia hemolitik, gangguan
pada gastrointestinal, dan kolestasis serta hiponatremia.
Obat-obat golongan sulfonilurea adalah Acetohexamide, Chlorpropamide,
Tolazamide, Tolbutamide, Glipizide, Glyburide, dan Glimepiride.
2. Short-acting Insulin Secretagogues (Meglitinide)
Memiliki efek dapat menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi
pankreas untuk mensekresi insulin, tetapi sekresi insulin bergantung pada ada
atau tidaknya glukosa dan berkurang apabila konsentrasi glukosa darah
menurun. Risiko hipoglikemia yang disebabkan oleh meglitinide lebih kecil dari
pada sulfonilurea. Rata-rata penurunan dari HbA1C adalah 0,8-1%. Obat pada
golongan ini dapat dikonsumsi 30 menit sebelum makan untuk memicu
tersekresinya insulin saat makan. Ketika tidak ada intake makanan, obat ini juga
tidak perlu di konsumsi.
Conton obat dari golongan ini adalah Repaglinide (dengan dosis 0,5-2 mg per
oral dengan maksimum dosis 4 mg setiap 30 menit sebelum makan) dan
Nateglinide (120 mg per oral tiga kali sehari sebelum makan. Dosisnya tidak
lebih dari 60 mg setiap sebelum makan).
3. Biguanide
Obat golongan ini adalah Metformin. Obat ini meningkatkan sensitivitas hepar
dan jaringan otot, untuk meningkatkan masukan glukosa. Obat ini dapat
menurunkan HbA1C 1,5-2%, kadar gula darah acak 60-80 mg/dL. Metformin
juga dapat menurunkan kadar trigliserida dan LDL dalam plasma 8-15% dan
meningkatkan HDL dalam plasma hingga 2%. Apabila metformin dikonsumsi
tunggal, tidak akan menyebabkan efek hipoglikemia. Efek samping dari
metformin ini adalah ketidaknyamanan di perut, sakit perut, diare, dan
anoreksia. Efek samping ini dapat diminimalisir dengan mentitrasi dosisnya
secara perlahan dan mengonsumsi bersamaan dengan makanan. Untuk
metformin extended-release dapat menimbulkan efek samping asidosis laktat
pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, gagal jantung, atau kondisi
hipoksemia.
4. Thiazolidinedione
Merupakan golongan obat dengan efek meningkatkan sensitivitas insulin pada
jaringan otot, hepar, dan jaringan lemak secara tidak langsung. Apabila telah
diberikan obat golongan ini selama 6 bulan dengan dosis maksimal akn dapat
menurunkan nilai HbA1C 1,5% dan kadar gula darah 60-70 mg/dL. Pioglitazone
dapat menurunkan nilai trigliserida dalam plasma 10-20%. Pioglitazone tidak
meningkatkan LDL dalam plasma, tetapi rosiglitazone dapat meningkatkan LDL
5-15%.
Contoh obat pada golongan ini adalah pioglitazone (dosis dimulai dari 15 mg per
oral satu kali sehari, maksimal 45 mg per hari) dan rosiglitazone (per oral
dengan dosis -4 mg per hari, dengan dosis maksimal 8 mg per hari. Dengan
dosis 4 mg dua kali sehari dapat menurunkan HbA1C 0,2-0,3%.)
5. α-glukosidase inhibitor
obat pada golongan ini dapat memecah sukrosa dan karbohidrat pada usus halus,
dan memperpanjang penyerapan karbohidrat. Efek utama dari terapi ini adalah
penurunan glukosa post prandial 40-50 mg/dL. Efek samping dari obat golongan
ini adalah sering buang angin, kembung, ketidaknyamanan perut, dan diare,
tetapi dapat diminimalisir dengan penitrasian dosis. Efek samping hipoglikemia
dapat muncul apabila pengonsumsiannya dikombinasi dengan sulfonilurea atau
insulin, dextrose, atau glukagon.
Contoh obat dari golongan ini adalah acarbose dan miglitol. Dosis terapi ini
dimulai dengan 25 mg secara oral satu kali sehari bersamaan dengan makanan
dan dapat ditingkatkan maksimal hingga 50 mg tiga kali sehari untuk pasien
dengan berat badan 60 kg, atau 100 mg tiga kali sehari untuk pasien dengan
berat badan di atas 60 kg. Obat-obat ini dikonsumsi pada suapan pertama saat
makan dengan tujuan untuk menghambat aktivitas enzim.
6. Dipeptidyl Peptidase-4 inhibitor
Bekerja dengan cara menurunkan kenaikan glukagon postprandial dan
menstimulasi sekresi insulin yang bergantung pada keberadaan glukosa. Rata-
rata dapat menurunkan HbA1C 0,7-1% pada dosis maksimal. Pada penggunaan
monoterapi maupun kombinasi tidak menyebabkan hipoglikemia. Efek samping
urticaria atau edema pada wajah dapat terjadi pada pasien sebanyak 1%. Selain
itu kasus sindrom Stevens-Johnson juga dapat terjadi.
Contoh obat dari golongan ini adalah sitagliptin (dengan dosis 100 mg secara per
oral satu kali sehari. Penggunaan 50 mg apabila CrCl 30-50 mL/min dan 25 mg
per hari apabila CrCl kurang dari 30 mL/min), saxagliptin (dengan dosis 5 mg
satu kali sehari. Dosis dapat dikurangi 2,5 mg per hari apabila CrCl kurang dari
50 mL/min), linagliptin (5 mg per oral per hari), dan alogliptin (dengan dosis 25
mg satu kali sehari. Dosis dapat dikurangi hingga 12,5 mg per hari apabila CrCl
kurang dari 60 mL/min dan 6,25 mg per hari apabila CrCl kurang dari 30
mL/min).
7. GLP-1 Analog
Exenatide merupakan salah satu obat golongan ini. Efeknya dapat meningkatkan
sekresi insulin dan menurunkan produksi glukosa dari hepar. Obat ini dapat
meningkatkan kekenyangan pada pasien, memperlambat pengosongan lambung,
dan menurunkan berat badan. Rata-rata dapat menurunkan HbA1C hingga 0,9%
dengan penggunaan dua kali sehari. Dosis obat ini dapat dimulai dari 5mcg
secara subkutan dua kali sehari, dititrasi hingga 10 mcg dua kali sehari dalam 1
bulan apabila terjadi toleransi. Dapat diinjeksikan 0-60 menit sebelum makan
pagi dan malam. Untuk sediaan extended-release dapat diberikan 2 mg subkutan
satu kali seminggu, dengan ata tanpa makanan.
Liraglutide, memiliki efek farmakologis dan efek samping yang mirip dengan
exenatide. Rata-rata dapat menurunkan HbA1C hingga 1,1% dan menurunkan
kadar gula darah serta glukosa postprandial 25-40 mg/dL. Dosis yang digunakan
yaitu 0,6 mg secara subkutan satu kali sehari untuk satu minggu, kemudian dosis
ditingkatkan 1,2 mg satu kali sehari untuk satu minggu. Dosis ini dapat
ditingkatkan hingga 1,8 mg.
8. Analog amylin
Pramlintide adalah obat golongan analog amylin dimana bekerja dengan
menekan sekresi glukagon posprandial, menurunkan glukosa prandial,
meningkatkan efek kenyang pada pasien, dan memperlambat waktu
pengosongan lambung. Rata-rata penurunan HbA1C yang dihasilkan mencapai
0,6%. Efek samping yang sering muncul akibat pengonsumsian obat ini adalah
mual, muntah, dan anoreksia. Apabila penggunaan obat ini monoterapi, tidak
akan menyebabkan hipoglikemia. Dosis obat ini dimulai dari 60 mcg secara
subkutan sebelum makan berat, dan dititrasi hingga 120 mcg berdasarkan nilai
glukosa postprandial.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.
IDAI. 2015. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI-World Diabetes Foundation.
Raveendran, A. V., Chacko, E. C., & Pappachan, J. M. (2018). Non-pharmacological Treatment
Options in the Management of Diabetes Mellitus. European Endocrinology, 14(2):31-39.