Anda di halaman 1dari 25

Asuhan keperawatan

Manajemen Epitaksis
IDRUS IRVAN SUJI HERMANTO
RIZKY ARIE WARDHANA STEPANI FLUR B
Konsep dasar
Definisi MANAJEMEN EPITAKSIS
Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat berasal dari
bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung. Dapat terjadi
akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit
melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan
setempat atau penyakit umum. Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa
memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan
masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak segera ditangani (Endang & Retno,
2008).
Konsep dasar
etiologi MANAJEMEN EPITAKSIS

a. Penyebab local
1) Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.
2) Trauma : epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung.
3) Iritasi : epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada mukosa hidung.
4) Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi.
5) Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
6) Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun keronis serta vestibulitis.
7) Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi dihidung, sinus paranasal maupun nasofaring.
8) Latrogenic, akibat pembedahan atau pun pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.

b. Penyebab sistemik
1) Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah
2) Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbilli, demam tifoid
3) Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
4) Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary heamorrhagic teleangiectasis atau penyakit osler weber
rendu
5) Kelainan darah, seperti trombositophilia dan leokimia
Konsep dasar
Patofisiologi MANAJEMEN EPITAKSIS
Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari rongga hidung, yang keluar melalui lubang
hidung ataupun kebelakang (nasopharing). Secara patofisiologis, bisa dibedakan menjadi epistaksis
anterior dan posterior. 90% epistaksis berasal dari bagian depan hidung (anterior), berasal dari
sekat/dinding rongga hidung. Bagian dalam hidung dilapisi oleh mukosa yang tipis dan mengandung
banyak pembuluh darah (Kiesselbach plexus) yang fungsinya menghangatkan dan melembabkan
udara yang dihirup. Pembuluh-pembuluh ini amat peka terhadap pengaruh dari luar, selain karena
letaknya di permukaan juga karena hidung merupakan bagian wajah yang paling menonjol. Sehingga
perubahan cuaca (panas, kering), tekanan udara (di daerah tinggi), teriritasi gas/zat kimia yang
merangsang, pemakaian obat untuk mencegah pembekuan darah atau hanya sekedar terbentur
(pukulan), gesekan, garukan, iritasi hidung karena pilek/allergi atau kemasukan benda asing dapat
menimbulkan epistaksis. Jenis 14 epistaksis yang anterior biasanya lebih mudah diatasi dengan
pertolongan pertama di rumah (Isezuo, 2008).
Konsep dasar
Manifestasi MANAJEMEN EPITAKSIS
Biasnya epistaksis terjadi tanpa adanya tanda-tanda peringatan, darah akan mengalir
perlahan-lahan tetapi bebas melalui satu atau kadang-kadang kedua lumen hidung.
Tanda-tanda terjadinya perdarahan hidung antara lain adalah adanya perdarahan yang
keluar dari salah satu atau kedua lubang hidung. Penderita sering menelan, dan
penderita merasa ada cairan dibagian belakang hidung dan tenggorokan.
Konsep dasar
Komplikasi EPITAKSIS
Komplikasi dapat terjadi akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat
dari usaha penanggulangan epistaksis (Endang & Retno, 2008). Akibat
perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya
tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia,
iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark miokard sehingga dapat
menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah
harus dilakukan secepatnya (Endang & Retno, 2008).
Konsep dasar
penatalaksanaan EPITAKSIS
Penanganan epistaksis perlu diperhatikan perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan.
Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah dilakukan. Kecurigaan defisiensi faktor
koagulasIidilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin
(APTT).
Epistaksis Anterior Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum
bagian depan. Apabila tidak berhenti spontan, perdarahan anterior terutama pada anak, dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit. Bila sumber perdarahan dapat
terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%.
Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik (Nuty & Endang, 2008).
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit
dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior (Nuty & Endang, 1998). Epistaksis posterior
dapat diatasi dengan menggunakan Digital Repository Universitas Jember 20 tampon posterior,
balloon tamponade, ligasi arteri dan embolisasi (Abelson, 1997).
Asuhan keperawatan
WOC MANAJEMEN EPITAKSIS
ALGORITMA EPITAKSIS
Asuhan keperawatan
Pengkajian MANAJEMEN EPITAKSIS
1) A = “Airway”
Pasien penurunan kesadaran, rembesan darah pada lubang hidung anterior, tidak ada muntahan di rongga
mulut, bunyi auskultasi paru vesikuler.
2) B = “Breathing dan Ventilasi”
Udara terasa berhembus,Perkembangan dada seimbang, respiration rate.
3) C= “Circulation”
Klien mengeluh lemas dan sedikit pusing, lemah,Nadi terasa lemah, Perdarahan pada kedua hidung bagian
anterior
4) D= “Disability”
Riwayat trauma kepala, keluhan mengeluh pusing jika terlalu capek saat dirumah, kaji GCS
5) E= “Eksposure”
Ada/Tidak ada luka ditubuh klien, perdarahan di kedua lubang hidung bagian anterior, Suhu klien.
Asuhan keperawatan
Diagnosa MANAJEMEN EPITAKSIS

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d sekresi yang tertahan

b. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik

c. Ansietas b/d krisis situasi

d. Resiko perdarahan d/d adanya trauma


Asuhan keperawatan
Intervensi MANAJEMEN EPITAKSIS
Diagnosa SLKI Intervensi

Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d Setelah dilakukan Tindakan keperawatan
1) Manajemen jalan Nafas (I.01011)
sekresi yang tertahan diharapkan bersih jalan nafas meningkat
dengan kiteria hasil : 1.1 Monitor pola nafas
1. Ferkuensi nafas membaik
(frekuensi,kedalaman, usaha nafas)
2. Sputum menurun
3. Disnea menurun 1.2 Pertahankan kepatenan jalan
4. Pola nafas membaik
nafas dengan head-lift dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma
servikal)
1.3 Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
1.4 Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
2) Pemantauan respirasi (I.01014)
1.5 Monitor adanya sumbatan napas
Asuhan keperawatan
Intervensi MANAJEMEN EPITAKSIS
Diagnosa SLKI Intervensi

Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 1)Manajemen Nyeri (I.08238)


Nyeri akut b/d agens pencedera fisik
diharapkan tingkat cedera menurun dengan
kiteria hasil : 2.1 Identifikasi lokasi, karakteristik,
1. Perdarrahan menurun durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
2. Kejadian cedera menurun nyeri
3. Tekanan darah membaik 2.2 Kontol lingkungan yang
4. Frekuensi nadi membaik memperberat rasa nyeri (mis, suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
2.3 Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
2.4 Kolaborasi pemberian analgestik,
jika perlu
2.5 Jelaskan strategi meredakan nyeri
2.6 Berikan Teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis,
kompres dingin)
2)Pemantauan Nyeri (I.08242)
2.7 Monitor durasi dan frekuensi
Nyeri
Asuhan keperawatan
Intervensi MANAJEMEN EPITAKSIS
Diagnosa SLKI Intervensi
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan
Ansietas b/d krisis situasi Reduksi Ansietas (I.09314)
diharapkan Tingkat ansietas menurun
dengan kiteria hasil : 3.1 Identifikasi saat tingkat ansietas
1. gelisah menurun
berubah
2. Prilaku tegang menurun
3. pucat membaik 3.2 Monitor tanda-tanda ansietas
4. Tremor membaik
3.3 Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan.
3.4 Temani pasien untuk mengurangi
kecemasan.
3.5 Pahami situasi yang membuat
ansietas
3.6 Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama pasien, jika perlu
3.7 Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu
Asuhan keperawatan
Intervensi MANAJEMEN EPITAKSIS
Diagnosa SLKI Intervensi
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan Pencegahan perdarahan (I.02067)
Resiko perdarahan b/d adanya trauma
diharapkan Tingkat perdarahan menurun
dengan kiteria hasil : 4.1 Monitor tanda dan gejala
1. Kelembapan membran mukosa perdarahan
meningkat 4.2 Pertahankan bedrest selama
2. Kelembapan kulit meningkat perdarahan
3. Hemoglobin membaik
4. Hematokrit membaik 4.3 Batasi tindakan invasive, jika perlu
5. Suhu tubuh membaik 4.4 Jelaskan tanda dan gejala
perdarahan
4.5 Anjurkan segera melapor jika
terjadi perdarahan.
4.6 Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan, jikaPerlu
EPISTAKSIS

No.Dokumen : 440/010/SOP-
LAYANAN
KLINIS/35.07.103.101/2016
SOP
No. Revisi :0

Tanggal Terbit : 15 Agustus 2016

Halaman : 1/4

UPTD
dr. Yudiono Setiawan
PUSKESMAS
NIP. 19780401 201101 1 002
KASEMBON

EPISTAKSIS

No.Dokumen : 440/010/SOP-
LAYANAN
KLINIS/35.07.103.101/2016
UPTD SOP dr. Yudiono Setiawan
No. Revisi :0
PUSKESMAS NIP. 19780401 201101 1 002
Tanggal Terbit : 15 Agustus 2016
KASEMBON
Halaman : 2/4
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
1.Pengertian hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari
suatu kelainan yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung
dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu.
Prosedur ini dibuat dimaksudkan agar petugas kesehatan di puskesmas kasembon
2.Tujuan dapat melakukan penanganan penderita otitis media akut dengan baik dan benar

Keputusan Kepala Puskesmas No. 440/010/SOP-YANMED/35.07.103.101/ 2016


3.Kebijakan tentang Epistaksis
1. Panduan Praktik klinis Puskesmas
4.Referensi 2. Pedoman Pengobatan Dasar Puskesmas 2007
PENATALAKSANAAN
5.Prosedur Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok, pasien bisa
berbaring dengan kepala dimiringkan.
b. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter).
c. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat
pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan,
sekret maupun darah yang sudah membeku.
d. Bila perdarahan tidak berhenti, kapas dimasukkan ke dalam hidung yang
dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan pantokain 2% atau
2 cc larutan lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan adrenalin 1/1000. Hal
ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk
mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam
hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
e. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan nitrasargenti 20 -
30% atau asam trikloroasetat 10%. Sesudahnya area tersebut diberi salep
untuk mukosa dengan antibiotik.
f. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang
diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga
dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke
puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab
epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan
analgetik.

Gambar 17. Tampon anterior

a. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon


posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari
kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm.
Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi
dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana
(nares posterior). Teknik pemasangan tampon posterior, yaitu:
1. Masukkan kateter karet melalui kedua nares anterior sampai
tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut.
2. Kaitkan kedua ujung kateter masing-masing pada 2 buah benang
tampon Bellocq, kemudian tarik kembali kateter itu melalui
hidung.
3. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares
anterior dengan bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke
nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan
keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon
anterior ke dalam cavum nasi.
4. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah
gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang
terletak di nasofaring tidak bergerak.
5. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada
sisi lain dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah
untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.
6. Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian
perdarahan itu.
RENCANA TINDAK LANJUT
Pasien yang dilakukan pemasangan tampon perlu tindak lanjut untuk
mengeluarkan tampon dan mencari tahu penyebab epistaksis.

KONSELING DAN EDUKASI


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini adalah gejala
suatu penyakit sehingga dapat mencegah timbulnya kembali epistaksis.
b. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan hipertensi.
c. Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras.
d. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari
sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak.
e. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.

PEMERIKSAAN PENUNJANG LANJUTAN


Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila dicurigai sinusitis.

KRITERIA RUJUKAN
a. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau
nasofaring.
b. Epistaksis yang terus berulang.
EPISTAKSIS
No.Dokumen : 440/010/SOP-
UKP/35.07.103.101/2016
UPTD dr. Yudiono Setiawan
SOP No. Revisi :0
PUSKESMAS NIP. 19780401 201101 1 002
KASEMBON Tanggal Terbit : 15 Agustus 2016
Halaman : 4/4

6.Unit Terkait 1. Poli Umum


2. Rawat Inap
3. Pustu/Polindes

7.Diagram Alir Tidak Ada

8.Dokumen Terkait

9.Rekaman historis
Perubahan
No. Yang dirubah Isi Perubahan Tgl mulai diberlakukan
Telaah Jurnal
No PENELITI HASIL PENELITIAN
1. Ismail Salcan1 , Judul Penelitian :
Abdulkerim Olgun2  
Sayas Ada Hubungan Antara Epitaksis dan Variasi Anatomi?
Latar Belakang:
Epistaksis, salah satu kedaruratan telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) yang paling umum, mengacu pada mimisan
yang disebabkan oleh patologi vaskular dan gangguan pembekuan karena kerusakan mukosa hidung [1]. Epistaksis
diamati pada sekitar 60% populasi, lebih umum pada individu berusia di bawah 10 dan di atas 50 [2]. Ketika epistaksis
dievaluasi berdasarkan jenis kelamin, ada penelitian yang melaporkan bahwa itu lebih sering terjadi pada pria [3].
Frekuensi epistaksis meningkat di musim semi dan musim dingin karena peningkatan laju infeksi saluran pernapasan
atas, udara dalam ruangan yang panas dan kering, dan kelembaban yang lebih rendah [4]. Pendarahan ringan dan
cenderung berhenti secara spontan pada sebagian besar pasien. Suplai darah hidung berasal dari arteri karotis interna dan
eksterna [5]. Sekitar 90-95% mimisan terjadi di bagian anterior hidung, sebagian besar di daerah Little (pleksus
Kiesselbach) [6]. Garis ostium maksila memisahkan titik perdarahan anterior dan posterior [7]. Epistaksis posterior
umumnya disebabkan oleh arteri sphenopalatina dan dapat menyebabkan perdarahan hebat [8]. Sementara epistaksis
anterior lebih sering terlihat pada anak-anak dan orang dewasa, epistaksis posterior lebih sering terjadi pada orang tua
dengan penyakit sistemik seperti hipertensi [1
 
Tujuan:
Tujuan dari penelitian kami adalah untuk memperkenalkan hubungan antara epistaksis dan variasi anatomi dan
menyajikan pendekatan pengobatan saat ini
 
Hasil:
Epistaksis adalahsalah satu keadaan darurat telinga, hidung, dan tenggorokan yang paling umum. Alasan etiologi harus
dianalisis agar pengobatan menjadi efektif.
 

 
Tujuan:
The aim of our study is to introduce the relationship between epistaxis and
anatomical variations and present the current treatment approach
 

Hasil:
Epistaxis is one of the most common ear, nose, and throat emergencies. Etiological
reasons must be analysed for the treatment to be effective.
 
Terima Kasih
MOHON MAAF BANYAK
KEKURANGAN

Anda mungkin juga menyukai