Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

“ABSES PARU”
I Made Prasetya Kuniawan 20200420080
Janette Alvina 20200420091
Jihan Delima Harvina 20200420092
Jocelyn Christabella 20200420093
Abses paru adalah lesi paru yang berupa supurasi atau
pembentukan rongga (lebih dari 2 cm) yang mengandung
debris atau cairan nekrotik yang disebabkan oleh infeksi
bakteri dan nekrosis jaringan. Terdapat beberapa kondisi
yang dapat menyebabkan atau mendorong terjadinya
abses paru diantaranya ialah pecandu alkohol, penderita
karies gigi, aspirasi saluran pernafasan sampai dengan
PENDAHULUAN kelainan saluran pernafasan. Kuman atau bakteri
penyebab dari abses paru sangatlah bervariasi, 46% abses
paru disebabkan oleh bakteri anaerob, sedangkan 43%
campuran bakteri anaerob dan aerob. Abses paru masih
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Angka kematian abses paru berkisar antara 15-
20% merupakan penurunan bila dibandingkan dengan era
pre-antibiotika yang berkisar 30-40%
◦ Abses paru adalah lesi paru yang berupa
supurasi atau pembentukan rongga (lebih dari
2 cm) yang mengandung debris atau cairan
DEFINISI nekrotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri
dan nekrosis jaringan.
EPIDEMIOLOGI

Sekitar seratus tahun yang lalu, angka kematian akibat abses paru adalah sekitar
75% pasien. Drainase terbuka abses paru menurunkan mortalitas pada 20-35%
dan dengan terapi antibiotik penurunan mortalitas sekitar 8,7%.

Beberapa faktor predisposisi abses paru adalah :


• Pasien immunocompromised
• Pasien dengan risiko tinggi aspirasi: kejang, disfungsi bulbar, keracunan alkohol, dan gangguan
kognitif
Organisme utama yang bertanggung jawab untuk abses paru adalah bakteri,
khususnya bakteri anaerob.

Bakteri penyebab abses paru monomikroba adalah Staphylococcus aureus,


batang gram negatif seperti Klebsiella spp., Pseudomonas aeruginosa,

ETIOLOGI Burkholderia pseudomallei (melioidosis), Pasteurella multocida, grup A


streptococci, Haemophilus influenza tipe b dan c, Legoinella
spp. ,Rhodococcus equi, Actinomyces spp., dan Nocardia spp., Streptococcus
pneumoniae, M. tuberculosis.

Organisme lain yang dapat menyebabkan abses paru termasuk berbagai


jamur, mycobacterial spp, dan parasit (misalnya, Paragominus westermani,
Entamoeba histolytica)
Klasifikasi dari abses paru dibagi
berdasarkan oleh durasi, progres dan cara
penyebarannya.
Durasi : akut dan kronis

KLASIFIKASI Progress : primer dan sekunder

Cara penyebaran : bronkogenik dan


hematogenic
Aspirasi bahan infektif adalah penyebab paling
umum dari abses paru.

Sekitar 75% abses paru berkembang di segmen


posterior lobus kanan atas, segmen superior lobus

PATOFISIOLOGI kanan dan kiri bawah. Segmen tersebut paling


sering terkena karena bronkus segmentalnya
sejajar dengan saluran pernapasan bagian atas
dalam posisi terlentang

Secara hematogen yang paling sering terjadi


adalah akibat septikemi atau sebagai fenomena
septic emboli sekunder dari fokus infeksi dari
bagian lain tubunya
1. Suhu badan yang meningkat Kadang dijumpai dengan
manifestasi temperatur >40oC disertai menggigil bahkan rigor
klinis

Batuk dengan bau busuk (Foetor ex oroe)

Produksi sputum

DIAGNOSIS Nyeri dada (± 50% kasus)

Batuk darah (± 25% kasus)

Gejala tambahan lain lelah, penurunan nafsu makan,


berat badan dan Clubbing finger
2. Pemeriksaan Fisik

◦ Dapat dijumpai kelainan seperti nyeri tekan lokal, tanda-tanda


konsolidasi seperti redup pada perkusi, suara bronchial dengan
ronki basah atau krepitasi di tempat abses,

DIAGNOSIS ◦ Apabila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi
empiema toraks sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan
pergerakan dinding dada tertinggal di tempat lesi, fremitus vocal
menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi nafas menghilang
DIAGNOSIS
3. Laboratorium

o leukositosis shift to the left >12.000/mm


o pemeriksaan sputum dan KOH untuk menentukan
antibiotic
o pemeriksaan kultur dan tes kepekaan antibiotic
untuk diagnose dan etiologi
4. pemeriksaan radiologi

 foto polos
◦ Akan tampak kavitas irregular dengan batas cairan dan
permukaan udara (air-fuid level) di dalamnya. Kavitas ini
DIAGNOSIS berukuran 2 - 20 cm. Gambaran spesifik ini tampak dengan
melakukan foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada paru
anaerobik kavitasnya singel (soliter) yang biasanya ditemukan
pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder
(aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya bisa multipe
◦ Posisi posterior-anterior (PA) : Terdapat area berbatas tegas
transparan di lobus kiri atas (panah putih). Kavitas diisi oleh
cairan dan udara (air-fluid level) (panah hitam)

◦ Posisi lateral : kavitas terlihat di lobus kiri atas dengan udara


dan cairan di dalamnya (panah hitam).
 CT-scan
◦ Pada gambaran CT, kavitas terlihat bulat
dengan dinding tebal, tidak teratur dengan
air-fluid level dan terletak di daerah jaringan
paru yang rusak. Tampak bronkus dan
pembuluh darah paru berakhir secara
mendadak pada dinding abses, tidak tertekan
atau berpindah letak. Abses paru juga dapat
membentuk sudut lancip dengan dinding dada

Gambaran CT scan contrast-enhanced axial menunjukan lesi kavitas yang


besar di lobus bawah kiri dengan dinding yang relative tebal (panah hitam).
Kavitas memiliki batas dalam yang halus dan air-fluid level (panah putih).
Terdapat reaksi inflamasi pada sekitar paru-paru (panah kuning). Terlihat
adanya sudut lancip dengan dinding posterior dada.
 USG
◦ Pemeriksaan USG jarang dianjurkan pada
pasien dengan abses paru. Namum, USG
juga dapat mendeteksi abses paru. Tampak
lesi hipoechic bulat dengan batas luar.
Apabila terdapat kavitas, didapati adanya
tambahan tanda hyperechoic yang
dihasilkan oleh gas-tissue interface

Terletak dekat dengan dinding thoraks, proses di dalam


paru kira-kira sebesar 2,5x2x2 cm (pointed angle between
pleura and process) dengan dinding membran. Setelah
pengobatan, hanya terdapat sisa gambaran hypoechoic di
tempat abses sebelumnya (setelah beberapa minggu)
 MRI
◦ MRI berhasil mengidentifikasi penyakit
paru secara akurat untuk menentukan
lokalisasi penyakit pada lapangan paru.
Pada pasien dengan pneumonia dan
abses paru, peradangan akut
berhubungan dengan peningkatan
intensitas sinyal pada T2 bila
dibandingkan dengan T1 weighted image.
Setelah pengobatan perubahan sudut menunjukan
peningkatan sinyal pada daerah pleura kanan. Ini
merupakan sisa absen membran
 
Penatalaksanaan abses paru dapat dibagi
menjadi dua kategori; terapi farmakologis
dan terapi nonfarmakologis

TATALAKSAN  

A ◦ Terapi Farmakologis: Antibiotik


◦ Terapi non farmakologis: Drainase
perkutan/endoskopi dan pembedanan
Tatalaksana Farmakologis
 Hampir 95% pasien merespon terapi antimikroba

 Selama bertahun-tahun, penisilin adalah antibiotik pilihan untuk abses paru primer. Namun, karena anaerob oral dapat menghasilkan beta laktamase, klindamisin
terbukti lebih unggul dari penisilin dalam uji klinis

◦ Regimen yang direkomendasikan untuk abses paru primer adalah:

 Antibiotik lini pertama: Klindamisin (600 mg IV tiga kali sehari; Ketika demam turun dan ada perbaikan klinis dapat dilanjutkan dengan 150-300 mg PO empat
kali sehari)

 Kombinasi β-laktam/β-laktamase inhibitor (amoksisilin/klavulanat, ampisilin/sulbaktam. Ampicillin–sulbactam 3 g IV q6-8

 Karbapenem termasuk ertapenem 1 g IV q24, imipenem-cilastatin 500-1000 mg IV q6, atau meropenem 1 g IV q8.

 Florokuinolon generasi baru termasuk moxifloxacin 400 mg PO

- Metronidazol tidak boleh digunakan sebagai monoterapi.

- Metronidazol tidak efektif sebagai agen tunggal karena mencakup organisme anaerob tetapi tidak streptokokus mikroaerofilik yang sering juga merupakan
komponen flora campuran abses paru primer.

- Dapat digunakan dalam kasus tertentu bersama dengan antibiotik beta-laktam seperti sebagai seftriakson. Dosis standar adalah metronidazol 500 mg IV/PO q6-8
 Terapi harus dilanjutkan sampai pencitraan menunjukkan abses paru yang regresi atau sembuh dan meninggalkan
jaringan parut.

 Durasi pengobatan dapat berkisar dari 3 – 4 minggu hingga 14 – 16 minggu.

 Perbaikan klinis ditunjukkan dengan penurunan demam dalam 3-4 hari pertama dan resolusi lengkap dalam 7-10 hari.

 Immunitas host, usia dan ukuran abses berkorelasi positif dengan waktu yang dbutuhkan untuk resolusi abcess

 Demam persisten disebabkan oleh kegagalan pengobatan karena patogen yang tidak umum (misalnya, bakteri multi-
resisten obat, mikobakterium, jamur) atau dengan adanya diagnosis alternatif.

 Regimen pengobatan untuk abses paru sekunder harus diarahkan pada patogen yang teridentifikasi.

 Pada tahap awal abses paru, terdapat komunikasi langsung dari cabang trakeobronkial dengan rongga abses, dan oleh
karena itu bahan purulen dapat drainase secara otomatis atau dengan bantuan fisioterapi.

 Jika pasien secara klinis membaik dengan produksi sputum yang memadai, tidak diperlukan manajemen non
farmakologi
- Tatalaksana non-farmakologis

1. Drainase

 Drainase perkutan

- Drainase perkutan adalah metode invasif minimal dengan efektivitas terapeutik yang tinggi dan preservasi jaringan
paru fungsional.

- Prosedur perkutan biasanya dipilih untuk abses paru dengan diameter lebih besar dari 4-8 cm dan dilakukan di
bawah bimbingan fluoroscopic, ultrasound atau computed tomography.

- Computed tomography umumnya lebih disukai karena informasi tambahan yang diberikan tentang lokasi, isi dan
ketebalan dinding abses.

- Terbukti berguna dalam membedakan antara empiema dan abses dan dalam menyingkirkan lesi endobronkial.

- Durasi drainase bervariasi tetapi biasanya diperlukan 4-5 minggu.


◦Drainase Perkutan (Izumi et al., 2017)
 Drainase Endoskopi

◦ Indikasi:

- Kasus drainase perkutan tidak dapat dilakukan. Misal: gangguan koagulasi, infeksi kulit di daerah thorax, atau ketika sejumlah besar
jaringan paru harus dilalui

◦ Cara singkat:

- Guidewire dimasukkan ke dalam cavitas abcess dengan bantuan bronkoskop fleksibel.

- Setelah lokasi guidewire dipastikan dengan fluoroskopi, kateter 7 French pigtail dimasukan.

- Dilakukan infusi media kontras melalui kateter, jika lokasi cavitas abcess sudah benar guidewire dan bronkoskop ditarik dan ujung
kateter distabilkan di dinding nasal.

- Selanjutnya, rongga dibilas setiap hari dengan larutan normal salin melalui kateter, dan infusi antibiotik (misalnya gentamisin atau
amfoterisin pada infeksi jamur yang dikonfirmasi) melalui kateter juga dapat diberikan.

- Kateter dilepas setelah 4-6 hari jika ada perbaikan segera klinis dan pencitraan radiologis dalam 24 jam pertama.
2. Pembedahan

Indikasi pembedahan
• Pasien septik karena abses kronis yang tidak merespon pengobatan farmakologis
baik sendiri atau sudah dikombinasikan dengan drainase transkutan.
• Abses paru dengan komplikasi hemoptisis masif karena pecahnya pembuluh darah
besar,
• Kanker paru primer yang memiliki komplikasi pembentukan abses
• Luasnya reseksi bedah tergantung pada ukuran lesi yang mendasarinya.
• Lobektomi adalah jenis reseksi bedah yang paling umum diperlukan.
• Segmentektomi dilakukan pada abses yang lebih kecil (<2 cm)
• Pneumonektomi harus dilakukan pada abses multipel atau gangren.
◦ Edukasi pasien dan keluarga tentang faktor risiko terjadinya abses
paru seperti menghindari asupan alkohol yang berlebihan,
perawatan gigi yang tepat, peninggian ujung kepala tempat tidur
pada pasien yang berisiko tinggi aspirasi adalah yang paling
penting.
EDUKASI ◦ Pengenalan segera gejala abses paru seperti demam, sesak napas,
batuk, dan dahak produktif atau nonproduktif.
◦ Instruksi tentang pentingnya kepatuhan terhadap antibiotik dan
untuk memantau efek samping obat untuk menghindari
komplikasinya diperlukan.
◦ Komplikasi sekunder akibat kurang dikenali,
kurang diobati, atau penyebab abses paru yang
KOMPLIKAS tidak diobati, termasuk ruptur ke dalam rongga
pleura, fibrosis pleura, paru-paru yang
I terperangkap, gagal napas, fistula bronkopleural,
dan fistula pleurokutaneus.
DIAGNOSA BANDING

Metastase karsinoma
bronkial Empiema pleura Bula emfisematous Pneumokoniosis
Metastase TBC
(skuamoselular atau terlokalisir yang terinfeksi kavitas
mikroselular)

Poliangiitis dengan
Kista hidatidosa paru- Infark kavitas paru- granulomatosis
Hernia hiatus Hematoma paru
paru paru (Wegener
granulomatosis)

Aspirasi benda asing Emboli paru septik


Abses paru primer berhasil diobati dengan terapi antibiotik empiris,
diikuti dengan terapi target tergantung pada pewarnaan gram dan hasil
kultur dengan tingkat kesembuhan sekitar 90%. Abses sekunder
memerlukan pengobatan penyebab yang mendasari untuk
meningkatkan hasil.

Tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi (20%) berhubungan


dengan abses paru pada pasien dengan beberapa faktor predisposisi,
seperti ukuran abses yang besar dan lokasi di lobus kanan bawah,
prognosisnya lebih buruk.

PROGNOSIS Pasien yang terinfeksi S.aureus, K.pneumoniae, dan khususnya


P.aeruginosa memiliki prognosis yang buruk.

Kematian pada pasien dengan abses paru primer atau abses yang
didapat dari komunitas (sekitar 2% sampai 5%), tetapi hasil yang fatal
terlihat pada lebih dari 65% kasus terkait dengan lesi obstruktif jalan
napas, gangguan imun host, infeksi nosocomial, atau neoplasma
bronkial.
KESIMPULAN

Abses paru adalah infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru
pada satu lobus atau lebih. Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi.
46% abses paru disebabkan hanya olch bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran
bakteri anaerob dan aerob.

Untuk memastikan diagnosa dari abses paru maka dilakukan serangkaian pemeriksaan
dari anamnesa, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara lain Foto Polos, Tomografi
Komputer, UItrasonografi (USG) dan Magnetik Resonance Imaging (MRI)
DAFTAR PUSTAKA
◦Alsagaff, H., & Mukty, A. (2010). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press.
◦Izumi, H. et al. (2017) ‘A case of lung abscess successfully treated by transbronchial drainage using a guide sheath’, Respirology Case Reports,
58(1). doi: 10.1002/rcr2.228.
◦Jameson JL, Fauci DL, Kasper SL, Hauser DL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 20th ed. New York: McGraw-Hill; 2018.
◦Kuhajda, I., Zarogoulidis, K., Tsirgogianni, K., Tsavlis, D., Kioumis, I., Kosmidis, C., Tsakiridis, K., Mpakas, A., Zarogoulidis, P., Zissimopoulos,
A. and Baloukas, D., 2015. Lung abscess-etiology, diagnostic and treatment options. Annals of translational medicine, 3(13).
◦Lawrensia, S., 2021. Lung Abscess: Diagnosis and Treatment. Cermin Dunia Kedokteran, 48(5), pp.286-288.
◦Loukeri, A. A. et al. (2015) ‘Diagnosis, treatment and prognosis of lung abscess’, Pneumon, 1(28), pp. 55–60.
◦Mustafa M, Iftikhar HM, MuniandyRK, Hamid SA, Sien MM, Ootha N. Lung abscess: Diagnosis, Treatment and Mortality. International Journal
of Pharmaceutical Science Invention. 2015;4(2):37-41
◦Rasad, S. (2018). Radiologi Diagnostik Edisi Kedua (I. Ekayuda (ed.); 2nd ed.).
◦Sabbula, B.R., Rammohan, G. and Akella, J., 2020. Lung abscess. In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.
◦Sipahutar, H. M. (2021). Gambaran Radiologis pada Abses Paru. Departemen Radiologi Universitas Sumatera Utara.
◦Touray S, Martinez-Balzano C, Lee J, Tigas E, Kopec S. Lung abscess: Patient characteristics, microbiology, and determinants of complete
radiographic resolution as a treatment endpoint. Chest. 2016;150(4):1237A.
◦Witzke, H.J. and Anikin, V., 2017. Other conditions of the lung (abscesses, inhaled foreign bodies, bullous lung disease, hydatid).  Surgery
(Oxford), 35(5), pp.269-273.
◦Wright WF. Essentials of clinical infectious diseases. New York: Springer Publishing Company; 2018.

Anda mungkin juga menyukai